• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKEMATISME DUNIA

Dalam dokumen frederic engels anti duhring (Halaman 57-64)

“Keberadaan yang meliputi-segala adalah satu. Di dalam keswa- sembadaannya tiada apapun di sampingnya atau di atasnya. Mengasosiasikan suatu keberadaan lain dengannya akan menjadikannya sesuatu yang bukan dirinya, yaitu, suatu bagian atau unsur pokok (con- stituent) dari suatu keseluruhan yang lebih komprehensif. Berdasarkan kenyataan bahwa kita meluaskan pikiran kita yang disatukan seperti sebuah kerangka-kerja, tiada apapun yang akan dicakup dalam kesatuan- pikiran ini dapat mempertahankan suatu kedwi-rangkapan di dalam dirinya. Lagi pula, tiada juga sesuatupun dapat lolos dari kesatuan-pikiran ini ... Hakekat semua pikiran terdiri atas gabungan unsur-unsur kesadaran menjadi sebuah kesatuan ... Ia adalah titik kesatuan dari sintesis yang dengannya ide dunia yang tak-terbagikan telah lahir dan alam-semesta, sebagaimana dinyatakan oleh nama itu sendiri, dipahami sebagai sesuatu di mana segala sesuatu disatukan menjadi sebuah kesatuan.”””””

Hingga sejauh ini Herr Dühring. Inilah penerapan pertama metode matematika itu: “Setiap persoalan mesti diputuskan secara aksiomatik sesuai dengan bentuk-bentuk dasar yang sederhana, seperti kita membahas azas-azas matematika sederhana itu.”

“Keberadaan yang mencakup-segala adalah satu.” Jika tautologi, ulangan sederhana dalam predikat itu mengenai yang sudah dinyatakan di dalam subyek –jika itu menjadikan suatu aksiom, maka di sini kita mendapatkan sesuatu yang paling murni. Dalam subyek itu Herr Dühring memberitahu pada kita bahwa keberadaan meliputi segala, dan di dalam predikat itu ia secara berani menyatakan bahwa dalam kasus itu tiada terdapat apapun di luarnya. Betapa “pikiran pencipta-sistem” yang luar- biasa!

Ini memang benar-benar pencipta-sistem! Di dalam ruang enam baris berikutnya Herr Dühring telah mentransformasi kesatuan keberadaan, dengan alat pikiran kita yang disatukan, menjadi kesatuannya. Karena hakekat semua pikiran terdiri atas dikumpulkannya segala sesuatu

menjadi suatu kesatuan, begitu keberadaan, seketika ia dipahami, dipahami sebagai dipersatukan, dan ide mengenai dunia sebagai tidak- terbagikan; dan karena keberadaan “yang dipahami,” maka “ide mengenai dunia” itu, dipersatukan, oleh karenanya keberadaan nyata, dunia nyata itu, adalah juga suatu kesatuan yang tidak-dapat dibagi.Dan dengan itu, “tiada lagi ada ruang untuk hal-hal di luarnya, sekali pikiran telah belajar memahami keberadaan di dalam universalitasnya yang homogen.” Itu merupakan suatu kampanye yang sepenuhnya mengalahkan Austerlitz dan Jena, Königgrätz dan Sedan. Dalam beberapa kalimat saja, nyaris sehalaman setelah kita memobilisasi aksiom pertama, kita sudah menyingkirkan, membuang, menghancurkan, segala sesuatu di luar dunia – Tuhan dan rombongan surgawi, surga, neraka dan purgatori, sekalian dengan keabadian roh.

Bagaimana kita sampai dari kesatuan keberadaan pada persatuannya? Dengan kenyataan pemahamannya itu sendiri. Sejauh kita menyebarkan ide kita tentang persatuan disekitar keberadaan sebagai sebuah kerangka, persatuannya dalam pikiran menjadi suatu kesatuan, suatu kesatuan- pikiran; karena hakekat dari semua pikiran terdiri atas dikumpulkannya unsur-unsur kesadaran menjadi suatu kesatuan.

Pernyataan terakhir ini sama sekali tidak-benar. Pertama-tama, pikiran tak-bedanya terdiri atas pembongkaran obyek-obyek kesadaran menja- di/pada unsur-unsurnya, dan pengumpulan unsur-unsur bersangkutan menjadi suatu kesatuan.Tanpa analisis, tiada sintesis. Kedua, tanpa membuat kesalahan-kesalahan, pikiran hanya dapat mengumpulkan menjadi suatu kesatuan unsur-unsur kesadaran yang di dalamnya atau yang dalam prototip-prototipnya yang sesungguhnya, kesatuan ini “sudah ada sebelumnya.” Jika aku memasukkan sebuah sikat-sepatu ke dalam kesatuan mamalia, ini tidak membantunya untuk mendapatkan kelenjar- kelenjar mamari. Kesatuan keberadaan, atau lebih tepatnya, persoalan apakah konsepsinya sebagai suatu kesatuan itu dibenarkan, oleh karenanya menjadi hal yang mesti dibuktikan; dan ketika Herr Dühring memastikan pada kita bahwa ia memahami keberadaan sebagai suatu kesatuan dan tidak sebagai sesuatu kerangkapan, yang ia beri-tahukan

pada kita tidak lebih daripada pendapatnya sendiri yang tidak-otoritatif. Jika kita mencoba menyatakan proses pikirannya dalam bentuk tidak- campuran, maka kita mendapatkan yang berikut: “Aku memulai dengan keberadaan. Karenanya aku berpikir apa keberadaan itu. Tetapi pikiran dan keberadaan mesti bersesuaian, mereka berada dalam konformitas satu sama lain, mereka bertepatan. Karenanya keberadaan itu suatu kesatuan juga di dalam realitas. Oleh karenanya tiada dapat terdapat sesuatupun di luarnya.” Seandainya Herr Dühring berbicara tanpa tedeng-aling-aling seperti ini, gantinya memperlakukan kita dengan kalimat-kalimat orakuler di atas itu, maka ideologinya akan jelas-jelas terbaca. Berusaha membuktikan realitas sesuatu produk pikiran dengan identitas pikiran dan keberadaan sungguh salah-satu fantasi gila yang paling absurd dari – seorang Hegel.

Bahkan seandainya seluruh metode pembuktiannya itu tepat, Herr Dühring tetap tidak akan memenangkan sehelai rambut dibela tujuh dari para spiritualis. Yang tersebut belakangan itu akan menjawab singkat: bagi kami, juga, alam semesta itu adalah sederhana; pem- bagian ke dalam dunia ini dan dunia sana hanya ada bagi pendapat kita yang khususnya bumiawi, pendapat dosa-asali; dalam dan bagi dirinya sendiri, yaitu, dalam Tuhan, semua keberadaan adalah suatu kesatuan. Dan mereka akan menemani Herr Dühring ke benda-benda langit lainnya yang dicintainya dan menunjukkan pada satu atau berbagai yang di atasnya tidak terdapat dosa-asali, di mana –oleh karenanya– tiada ada oposisi/pertentangan di antara dunia ini dan di luar sana, dan dimana kesatuan alam semesta merupakan suatu dogma kepercayaan.

Bagian paling lucu dari urusan ini adalah bahwa Herr Dühring, untuk membuktikan ketidak-beradaan Tuhan dari ide keberadaan, meng- gunakan bukti ontologis bagi keberadaan Tuhan. Ini jadinya: manakala kita berpikir tentang Tuhan, maka kita memahaminya sebagai jumlah total dari semua kesempurnaan. Tetapi jumlah total dari semua kesempurnaan di atas segala-galanya meliputi keberadaan, karena suatu keberadaan (makhluk) yang tidak-berada (non eksisten) mestilah tidak sempurna. Oleh karenanya kita mesti memasukkan keberadaan di antara kesempurnaan-kesempurnaan Tuhan. Karenanya Tuhan itu mesti ada.

Herr Dühring bernalar secara tepat sama: manakala kita berpikir tentang keberadaan, kita memahaminya sebagai satu ide. Apapun yang merupakan satu ide adalah suatu kesatuan. Keberadaan tidak akan bersesuaian dengan ide keberadaan apabila ia bukan suatu kesatuan. Sebagai konsekuensinya ia mesti suatu kesatuan. Sebagai konsekuensinya tiada Tuhan, dan begitu seterusnya.

Manakala kita berbicara mengenai keberadaan, dan semurninya mengenai keberadaan, kesatuan hanya dapat terdiri atas semua obyek acuan kita yang – berada, eksis. Mereka terdapat dalam kesatuan keberadaan itu, dan tidak dalam kesatuan lain, dan diktum umum bahwa mereka semua ada tidak saja tidak dapat memberikan sesuatu kualitas tambahan pada mereka, yang umum maupun yang tidak, tetapi untuk sementara memustahilkan semua kualitas seperti itu dari pertimbangan. Karena sesegera kita berpisah bahkan semilimeter saja dari kenyataan dasar yang sederhana bahwa keberadaan itu umum bagi semua hal ini, perbedaan-perbedaan di antara hal-hal ini mulai timbul/muncul – dalam apakah perbedaan-perbedaan ini terdiri atas keadaan bahwa ada yang putih dan ada yang hitam, bahwa ada yang hidup dan lain-lainya tidak hidup, bahwa ada yang mungkin dari dunia ini dan lain-lainnya dari dunia sana, tidak dapat ditentukan oleh kita dari kenyataan bahwa sekedar keberadaan secara sama dijulukkan pada mereka semua.

Kesatuan dunia tidak terdiri atas keberadaannya, sekalipun keberadaannya merupakan suatu prasyarat bagi kesatuannya, karena ia jelas mesti sebelumnya ada sebelum ia dapat menjadi satu (sesuatu). Memang, keberadaan senantiasa merupakan sebuah persoalan di luar titik di mana bidang observasi kita berhenti. Kesatuan sesungguhnya dari dunia terdiri atas materialitasnya (keserba-materinya), dan ini dibuktikan tidak dengan beberapa kalimat yang disulap, melainkan dengan suatu perkembangan filsafat dan ilmu-pengetahuan alam yang panjang dan menjemukan.

Untuk kembali pada teksnya. “Keberadaan” yang dibicarakan oleh Herr Dühring “bukan keberadan sama-diri yang murni, yang tiada semua determinan-determinannya, dan sesungguhnya hanya mewakili imbangan ide ketiadaan atau mengenai ketiadaan ide.” Tetapi akan segera

kita lihat, bahwa semesta-alam Herr Dühring sesungguhnya dimulai dengan suatu keberadaan yang tidak mempunyai semua perbedaan in- ternal, semua gerak dan perubahan internal, dan oleh karenanya, dalam kenyataan hanya suatu imbangan dari ide ketiadaan, dan karenanya sungguh-sungguh ketiadaan. Hanya dari keberadaan-ketiadaan ini berkembang keadaan alam-semesta sekarang yang didiferensiasikan, yang berubah itu, yang mewakili suatu perkembangan, suatu kemenjadian; dan hanya setelah kita menangkap hal ini kita menjadi mampu, bahkan di dalam perubahan terus-menerus ini, untuk “mempertahankan konsepsi tentang keberadaan universal dalam suatu keadaan sama-diri.” Oleh karenanya, kita sekarang mendapatkan ide mengenai keberadaan itu di atas penarah yang lebih tinggi, di mana ia meliputi di dalam dirinya sendiri baik kelembaman maupun perubahan, keberadaan dan kemenjadian. Dengan mencapai titik ini, kita mendapatkan bahwa “genus dan species, atau yang umum dan yang khusus, adalah alat-alat pembedaan yang paling sederhana, yang tanpanya maka konstitusi segala sesuatu tidak dapat dimengerti.” Tetapi ini semua adalah alat-alat pembedaan dari kualitas-kualitas; dan setelah ini dibahas, kita melanjutkan: Bertentangan dengan genus terdapat konsep mengenai besaran, sebagai dari suatu homogenitas di mana tiada perbedaan-perbedaan lebih jauh dari species; dan begitu dari “kualitas” kita beralih pada “kuantitas,” dan ini senantiasa “dapat diukur.”

Mari kita sekarang membandingkan “pembagian tajam skemata efek- umum” ini dan “sikapnya yang sungguh-sungguh kritis” dengan “kekasaran-kekasaran, ocehan-ocehan liar dan fantasi-fantasi gila” seorang Hegel. Kita mendapati bahwa Logika Hegel dimulai dari keberadaan – seperti dengan Herr Dühring; bahwa keberadaan ternyata adalah ketiadaan, tepat seperti dengan Herr Dühring; bahwa dari keberadaan-ketiadaan ini terdapat suatu transisi pada kemenjadian, yang hasilnya adalah keberadaan tertentu (Dasein) yaitu, suatu bentuk lebih tinggi, lebih penuh dari keberadaan (Sein) –tepat yang sama dengan Herr Dühring.

Keberadaan-keberadaan tertentu berlanjut pada kualitas, dan kualitas berlanjut pada kuantitas – tepat sama dengan Herr Dühring. Dan agar tiada ciri hakiki yang hilang, Herr Dühring pada suatu kesempatan lain

memberi-tahukan pada kita: “Dari alam non-sensasi telah dibuat suatu peralihan pada alam sensasi, sekalipun adanya segala gradasi kuantitatif, hanya melalui suatu lompatan kualitatif, yang darinya kita ... dapat mengatakan bahwa ia berbeda secara tak-terhingga dari sekedar gradasi suatu sifat yang satu dan yang sama itu.” Inilah justru garis nodal (pangkal) Hegelian dari hubungan-hubungan ukuran, di mana, pada titik- titik nodal definitif tertentu, peningkatan atau pengurangan yang semurninya kuantitatif menimbulkan suatu lompatan kualitatif; misalnya, dalam kasus air yang dipanaskan atau didinginkan, di mana titik-didih dan titik-beku merupakan pangkal-pangkal di mana –di bawah tekanan normal– lompatan pada suatu taraf agregasi baru terjadi, dan di mana sebagai konsekuensinya, kuantitas diubah menjadi kualitas. Penyelidikan kita telah seperti itu pula berusaha sampai pada akar- akarnya, dan mendapatkan akar-akar dari skemata dasar yang berakar- dalam dari Herr Dühring adalah – “fantasi-fantasi gila” dari seorang Hegel, kategori-kategori dari Logika Hegelian, Bagian I, “Doktrin mengenai Keberadaan,” dalam “urutan” yang seketatnya Hegelian-tua dan dengan nyaris sesuatu usaha untuk menyelubungi plagiarisme itu! Dan tidak puas dengan penyopetan dari pendahulunya yang terhujat- habis-habisan, dari seluruh bagan yang tersebut terakhir mengenai keberadaan, Herr Dühring, setelah sendiri memberikan contoh tersebut diatas mengenai perubahan seperti-lompatan dari kuantitas menjadi kualitas, berkata tentang Marx tanpa sedikitpun kegelisahan: “Betapa menertawakan, misalnya, acuan (yang dibuat oleh Marx) pada pengertian Hegelian yang kacau, yang kabur” bahwa “kuantitas telah ditransformasi menjadi kualitas!”

Pengertian kacau, pengertian kabur! Siapakah yang telah ditransformasi di sini? Dan siapakah yang menertawakan di sini, Herr Dühring? Semua hal-hal yang remeh-temeh ini karenanya tidak hanya tidak “ditentukan/diputuskan secara aksiomatik,” sebagaimana ditentukan, tetapi sekedar diimpor dari luar, yaitu, dari Logika Hegel.Dan dalam kenyataan dalam suatu bentuk yang sedemikian rupa hingga dalam seluruh bab itu bahkan tidak ada kemiripan dari sesuatu koherensi in-

ternal kecuali yang dipinjam dari Hegel, dan seluruh persoalan akhirnya menetes keluar dalam suatu perumitan tak-berarti tentang ruang dan waktu, kelembaman dan perubahan.

Dari keberadaan Hegel beralih pada hakekat, pada dialektika. Di sini ia membahas dengan determinasi-determinasi pemikiran, antagonisme- antagonisme dan kontradiksi-kontradiksi internal mereka, seperti misalnya, positif dan negatif; ia kemudian sampai pada kausalitas atau hubungan sebab dan akibat dan berakhir dengan keharusan. Tidak bedanya Herr Dühring. Yang Hegel sebutkan doktrin hakekat diterjemahkan oleh Herr Dühring menjadi sifat-sifat logis keberadaan. Namun ini terutama terdiri atas antagonisme kekuatan-kekuatan, dalam yang bertentang- tentangan. Kontradiksi, namun, ditolak secara mutlak oleh Herr Dühring; kita kelak akan kembali pada masalah ini. Kemudian ia beralih pada kausalitas, dan dari ini pada keharusan. Sehingga, ketika Herr Dühring berkata tentang dirinya sendiri: “Kita, yang tidak berfilsafat dari sebuah kurungan,” ” ” ” ” agaknya ia maksudkan bahwa dirinya berfilsafat dalam sebuah kurungan, yaitu, kurangan skematisme Hegelian mengenai kategori-kategori.

V

Dalam dokumen frederic engels anti duhring (Halaman 57-64)