• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 9. Penentuan elemen kunci peningkatan produktivitas lahan

5.11. Skenario Rekomendasi Kebijakan

Untuk memformulasikan rekomendasi kebijakan dilakukan melalui tiga skenario yaitu skenario I, II dan III. Nilai indeks keberlanjutan pada masing-masing skenario selengkapnya tertera pada Tabel 40.

Tabel 40. Indeks keberlanjutan kondisi existing, dan kondisi masing-masing skenario

Nilai indeks keberlanjutan (%) Kelas kesesuaian lahan

dan dimensi keberlanjutan Existing Skenario I Skenario II Skenario III Cukup sesuai (S2) 1)

Ekologi 40,75 46,11 51,04 58,43

Ekonomi 48,58 54,28 60,18 70,53

Sosial budaya 75,20 75,20 81,71 81,71

Infrastruktur dan teknologi 40,49 45,53 50,10 66,73

Hukum dan kelembagaan 36,39 46,96 72,06 72,06

Pertahanan dan keamanan 36,39 42,82 79,31 79,31

Gabungan 45,81 51,38 62,38 69,48 B/C 2) 1,53 1,54 1,57 1,61 Lm (ha/KK) 3) 3,54 3,14 1,36 1,05 Sesuai marginal (S3) 1) Ekologi 36,78 40,73 45,78 53,20 Ekonomi 44,87 47,60 54,62 65,58 Sosial budaya 75,20 75,20 81,71 81,71

Infrastruktur dan teknologi 32,96 37,11 43,90 55,43

Hukum dan kelembagaan 36,39 46,96 72,06 72,06

Pertahanan dan keamanan 36,39 42,82 79,31 79,31

Gabungan 42,83 47,32 58,44 65,44

B/C 2) 1,16 1,19 1,27 1,39

Lm (ha/KK) 3) 4,35 3,79 1,57 1,16

1)

S2 dan S3 = kelas kesesuaian lahan; 2)B/C = BC rasio; 3)Lm= luas lahan minimal (ha KK-1)

Pada Tabel 40 dapat diketahui bahwa pada masing-masing skenario terjadi peningkatan nilai indeks keberlanjutan, mulai skenario I hingga skenario III. Peningkatan indeks keberlanjutan masing-masing skenario pada setiap dimensi keberlanjutan berdasarkan diagram layang-layang selengkapnya disajikan pada Gambar 40 dan 41.

Gambar 40. Indeks keberlanjutan enam dimensi keberlanjutan kondisi eksisting, skenario I, II dan III pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2)

Gambar 41. Indeks keberlanjutan enam dimensi keberlanjutan kondisi eksisting, skenario I, II dan III pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3)

Pada Tabel 40 dapat diketahui bahwa pada masing-masing skenario mengalami peningkatan indeks keberlanjutan dari kondisi eksisting. Dari ketiga skenario tersebut akan dapat diketahui skenario terbaik berdasarkan penghitungan jarak euclidian antara nilai indeks keberlanjutan kondisi eksisting dan nilai indeks pada masing-masing skenario (Tabel 41 dan 42).

0 20 40 60 80 100 Ekonomi Sosial Budaya

Infrastruktur & teknologi Hukum & kelembag

Hankam

Eksisting Skenario I Skenario II Skenario III

0 20 40 60 80 100 Ekologi Ekonom i Sosial Budaya

Infrastruktur & teknologi Hukum & kelem bag

Hankam

Tabel 41. Jarak euclidian antara kondisi eksisting dan kondisi skenario I, II dan III pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) 1)

!" " # $ ! % ! " $ " # " $ $ "$ " ! # % ! %" ! ! " "$ # & '( ) !" !" ! ! * ( ( + " "# % " " % $ % $ $ " ,( ( ' % # #% "! ! % $ #% " % # % $ - . $ # #% # # % # ! #% $ ! $ / 0 12 #% % / 0'1 2 %$ !" 3' 2 ##! !#$ 2 $ #!!! 4 " !" % " $$$ ! $$ " $ $ $ $ "$ # " $" ! % $ % # # & '( ) $ ! !" " #$ ## ! # " % * ( ( + " % " $ $$ " ,( ( ' ! # #% " ! ! # % ! #% " ! # ! $ - . !% # # #% % $ " % #% #" " " " / 0 12 # %! ! / 0'1 2 % "$ 3' 2 #!$$ #"$ 2 " % 5 "$ # !" ! $ # "$ #" " $ ! $$% ! "# $ "$ %" $ $ " ! " " " # & '( ) $ ! !" " #$ ## ! # " % * ( ( + !# % $$ "#! !# $ ! ! "% "%$ " ,( ( ' ! # #% #" ! ! # % % #% "$ %# - . !% # # #% % $ # #% % $ / 0 12 #% !!$ / 0'1 2 #% $" 3' 2 " # % 2 ! % 1)

dimodifikasi dari Iswari (2008); 2)hasil survei

Hasil analisis pada Tabel 41 dapat diketahui bahwa pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2), jarak euclidian skenario I sebesar 18,38 persen; skenario II sebesar 61,55 persen dan skenario III sebesar 70,94 persen. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dari ketiga skenario tersebut yang paling baik adalah skenario III.

Tabel 42. Jarak euclidian antara kondisi eksisting dan kondisi skenario I, II dan III pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3) 1)

!# # !$ # %" " " !$ % ! $! !# ! " % ! %" $! ! $ " # & '( ) !" !" ! ! * ( ( + #! # % " ! " %% # $ # # % !% % " ,( ( ' % # #% "! ! % $ #% " % # % $ - . $ # #% # # % # ! #% $ ! $ / 0 1 2 %# # !! / 0'1 2 # 3' 2 %" !% 2 ! %$ 4 " !$ # !$ % $ ! $$ " $ $ " $! % !" %" " $" ! % $ % # # & '( ) $ ! !" " #$ ## ! # " % * ( ( + # % # % % # $ # " $ $$ " ,( ( ' ! # #% #" ! % $#$ ! #% " ! # ! $ - . !% # # #% % ! # % # #% % $ / 0 12 # " / 0'1 2 3' 2 # $ 2 # 5 "# # !$ % #" " $ ! $$% " "$ $! ! $ % ! " " " # & '( ) $ ! !" " #$ ## ! # " % * ( ( + "" # # % ! " % % !# $ ! ! "% "%$ " ,( ( ' ! # #% #" ! ! # % % #% "$ %# - . !% # # #% % $ # # #% % $ / 0 12 # !! / 0'1 2 #% $" 3' 2 !"# $ 2 $ % % 1)

dimodifikasi dari Iswari (2008); 2)hasil survei

Hasil analisis pada Tabel 42 dapat diketahui bahwa pada kelas kesesuaian lahan sesuai marginal (S3), jarak euclidian skenario I sebesar 17,20 persen; skenario II sebesar 60,12 persen; dan skenario III sebesar 68,94 persen. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dari ketiga skenario tersebut yang paling baik adalah skenario III.

Secara skematis model peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik tertera pada Gambar 42.

Gambar 42. Model peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik

Peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan (Selesai) Skenario Mulai Kondisi existing (potensi, kendala) Kesenjangan,

indeks dan status keberlanjutan, identifikasi kebut.

stakeholders

Faktor atau atribut berpengaruh

Faktor atau atribut penggerak Survei

lapangan kawasan perbatasan saat ini Kebijakan pembangunan

Reference (studi literatur) Penentuan dimensi keberlanjutan, atribut dan skala Identifikasi kebutuhan stakeholders Analisis keberlanjutan (RAP-COCOA SEBATIK) Analisis kebutuhan stakeholders (Prospektif) Faktor atau atribut kunci Indeks dan status

keberlanjutan

Faktor dominan atau penggerak

Faktor atau atribut kunci

Skenario I Skenario II Skenario III

Arahan Kebijakan Peningkatan Produktivitas Lahan Berkelanjutan untuk Perkebunan

Kakao Rakyat di Kawasan Perbatasan Pulau Sebatik

Perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik

Kesenjangan produktivitas

lahan

Analisis kesenjangan

Kondisi eksisting dan yang diharapkan

untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Pulau Sebatik, adalah berdasarkan skenario yang telah disusun yaitu Skenario I, II dan III. Skenario tersebut dilaksanakan secara bertahap dan disesuaikan dengan potensi, kendala dan ketersediaan sumberdaya. Masing-masing skenario dilakukan perbaikan terhadap faktor-faktor atau atribut dominan pada setiap dimensi keberlanjutan pada masing-masing kelas kesesuaian lahan (S2 dan S3).

Pada skenario I, peningkatan indeks keberlanjutan dilakukan melalui perbaikan atribut-atribut sensitif atau dominan, terutama pada dimensi yang tidak berkelanjutan. Atribut-atribut yang dinaikkan skoringnya adalah: sarana prasarana pertahanan dan keamanan, sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, sarana produksi pertanian, tindakan pemupukan, rata-rata umur tanaman, tingkat serangan hama penyakit, daya saing kakao dari Pulau Sebatik.

Pada skenario II, peningkatan indeks keberlanjutan dilakukan melalui perbaikan atribut-atribut sensitif atau dominan pada keenam dimensi, tetapi belum optimal. Atribut yang dinaikkan skoringnya adalah: sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan, sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, penguasaan dan penerapan teknologi budidaya dan pascapanen, sarana produksi pertanian, keberadaan lembaga keuangan mikro (LKM), tindakan pemupukan, umur tanaman kakao, tingkat serangan hama penyakit, daya saing kakao dari Pulau Sebatik, dan industri pengolahan.

Pada skenario III, peningkatan indeks keberlanjutan dilakukan melalui perbaikan atribut-atribut sensitif atau dominan pada keenam dimensi, yang terletak pada skala berikutnya setelah skenario II. Atribut yang dinaikkan skoringnya adalah: sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan, sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, penguasaan dan penerapan teknologi budidaya dan pascapanen, sarana produksi pertanian, keberadaan lembaga keuangan mikro (LKM), tindakan pemupukan, umur tanaman kakao, tingkat serangan hama penyakit, daya saing kakao dari Pulau Sebatik, dan industri pengolahan.

Sesuai dengan faktor dominan yang dihasilkan berdasarkan hasil analisis prospektif, penggabungan antara indeks keberlanjutan dan kebutuhan stakeholders, maka langkah-langkah operasional yang dapat dilakukan berdasarkan skala prioritas adalah sebagai berikut:

(a) Sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan (Hankam)

Masalah pertahanan dan keamanan menjadi sangat penting di Pulau Sebatik, karena berkaitan erat dengan kedaulatan dan keutuhan wilayah nasional yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Sebagai wilayah yang berbatasan darat dan laut, sarana dan prasarana pertahanan keamanan sangat dibutuhkan untuk menjaga keamanan dan kedaulatan Pulau Sebatik. Pos-pos pengawasan perbatasan (PAMTAS) di Pulau Sebatik saat ini telah disiapkan dan dibangun, namun jumlahnya terbatas (hanya 4 titik) dan belum sesuai dengan keperluan pertahanan keamanan dan belum didukung oleh alat pertahanan yang memadai. Selain itu batas atau patok perbatasan antar negara terutama di darat yang belum jelas akan bisa memicu perebutan tapal batas negara. Oleh karena itu sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan di kawasan perbatasan ini perlu diperhatikan kelayakannya melalui penambahan sarana dan prasarana, untuk memberikan suasana kondusif dan ketenangan kepada masyarakat dalam berusahatani di Pulau Sebatik sebagai pulau terluar dan beranda depan negara.

(b) Sikronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah

Kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk pengembangan kawasan perbatasan sampai saat ini belum dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, kondisi dan posisi strategis kawasan perbatasan. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah belum dikoordinasikan dengan baik, yang terlihat dari lambatnya perkembangan pembangunan di semua sektor, padahal pembangunan dan pengembangan kawasan perbatasan harus segera dilakukan dan bersifat mendesak. Pada tanggal 10 Desember 2009, DPR RI dan Pemprov Kalimantan Timur bersepakat tentang pentingnya sinkronisasi kebijakan di semua tingkatan dan semua departemen untuk pembangunan yang terarah di kawasan perbatasan negara (Pemprov Kaltim, 2009). Khusus untuk sektor pertanian, kebijakan pemerintah pusat dan daerah

belum berjalan dengan baik, karena kebijakan pertanian yang dilakukan oleh pemerintah pusat selama ini lebih bersifat umum dan belum sesuai dengan kebutuhan pengembangan pertanian di kawasan perbatasan. Oleh karena itu untuk meningkatkan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat, kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah perlu diselaraskan dan sesuai dengan kebutuhan wilayah, terintegrasi dan holistik dari berbagai aspek.

(c) Penguasaan dan penerapan teknologi budidaya dan pascapanen

Masalah utama yang sering dihadapi dalam pengembangan kakao di Indonesia termasuk perkebunan kakao rakyat di Pulau Sebatik adalah ketersediaan sumberdaya manusia yang terbatas atau kurang. Sekitar 90 persen petani kakao umumnya memiliki pengetahuan yang kurang tentang budidaya dan pascapanen kakao dan mereka hanya mendapatkan keahlian bercocok tanam kakao yang diwariskan dari pendahulu mereka atau dari pengalaman mereka bekerja di perkebunan kakao di Malaysia. Oleh karena itu agar perkebunan kakao rakyat di kawasan ini produktivitasnya tinggi dan ramah lingkungan, perlu dilakukan diseminasi inovasi teknologi melalui penyuluhan, pelatihan dan sekolah lapangan (konservasi lahan, pengendalian hama terpadu, pembuatan pupuk organik dan pakan ternak dari limbah kakao, integrasi tanaman ternak).

(d) Sarana produksi pertanian

Sarana produksi pertanian terutama pupuk dan obat-obatan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas lahan kakao rakyat. Di Pulau Sebatik sarana produksi pertanian relatif sulit diperoleh, terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah yang jauh dari ibu kota kecamatan dan yang akses jalannya belum baik. Hingga saat ini kios sarana produksi pertanian belum tersebar di wilayah-wilayah sentra pengembangan kakao, sehingga petani biasanya membeli pupuk atau sarana produksi lainnya ke distributor (lewat kelompok tani), ke ibu kota kecamatan (Sebatik), atau ke pasar Aji Kuning. Oleh karena itu agar produktivitas hasil kakao rakyat tetap tinggi, maka kios sarana produksi pertanian perlu dikembangkan pada wilayah-wilayah pengembangan kakao di Pulau Sebatik, terutama pada daerah yang lokasinya jauh dari ibu kota kecamatan atau pusat perdagangan/pasar kecamatan. Selain itu program penataan

supaya sasarannya bisa tepat (jumlah, waktu, jenis, harga dan mutu), sehingga petani tidak tergantung pada sarana produksi pertanian dari Tawau (Malaysia) yang harganya relatif lebih mahal.

(e) Lembaga Keuangan Mikro (LKM)

Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dapat membantu petani dalam usahatani kakao di kawasan ini belum berkembang, padahal keberadaan lembaga ini sangat dibutuhkan oleh petani untuk mendapatkan modal dan diharapkan akan bisa membantu menyalurkan kredit untuk keperluan usahatani kakao. Agar perkebunan kakao tetap berkembang dan berkelanjutan, maka lembaga keuangan mikro perlu dirintis dan dikembangkan di kawasan ini. Keterlibatan pemerintah daerah dan lembaga perbankan sangat diharapkan untuk merintis dan mendukung pengembangan LKM, supaya dapat membantu permodalan petani dalam mengembangkan perkebunan kakao di kawasan perbatasan Pulau Sebatik.

(f) Tindakan pemupukan

Berdasarkan hasil analisis sifat-sifat tanah dari Pulau Sebatik, secara umum dapat diketahui bahwa tingkat kesuburan tanah (kandungan hara) relatif rendah dan belum mampu mendukung pertumbuhan tanaman kakao yang optimal. Dengan demikian tambahan hara melalui pemupukan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas lahan perkebunan kakao rakyat. Pemupukan jarang dilakukan oleh petani (saat dilakukan penelitian) karena harga pupuk relatif mahal, pupuk sulit diperoleh, dan stok pupuk di distributor Pulau Sebatik terbatas serta belum sesuai dengan kebutuhan perkebunan kakao di kawasan tersebut. Pada masa yang akan datang yang perlu diperhatikan adalah: (i) distribusi pupuk ke kawasan Pulau Sebatik khususnya untuk tanaman kakao perlu diperbaiki, sehingga kebutuhan pupuk dapat tercukupi, (ii) perlu kebijakan khusus untuk memberikan subsidi agar harga pupuk di kawasan perbatasan ini terjangkau oleh masyarakat setempat, (iii) pemupukan dilakukan sesuai dengan tingkat kesuburan tanah, kebutuhan tanaman serta ramah lingkungan, dan (iv) pemantaatan limbah kakao sebagai pupuk organik untuk mengurangi pupuk anorganik.

(g) Umur tanaman kakao

Umur rata-rata tanaman kakao di Pulau Sebatik lebih dari 20 tahun, sehingga produktivitasnya mulai menurun dan perlu pemeliharaan yang optimal. Oleh karena itu agar produktivitas hasil kakao di Pulau Sebatik tetap tinggi perlu dilakukan peremajaan tanaman dan penggantian tanaman kakao unggul baru bagi tanaman yang rusak.

(h) Serangan hama dan penyakit

Hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman kakao di kawasan ini adalah Penggerek Buah Kakao (PBK, Conoppomorpha cramerella) dan penghisap buah (Helopeltis spp.) yang dapat menurunkan produksi antara 60 - 80 persen bila tidak dilakukan pengendalian. Hama lain yang sering menyerang tanaman kakao adakah belalang (Valanga nigricornis), ulat jengkal (Hypsidra talaka Walker), kutu putih (Planoccos lilaci), dan penggerek batang (Zeuzera sp). Penyakit yang sering ditemukan yaitu jamur upas dan jamur akar yang disebabkan oleh jamur Oncobasidium thebromae dan penyakit busuk buah yang disebabkan oleh Phytoptera palmivora. Oleh karena itu agar produktivitas hasil kakao optimal, perlu dilakukan pemberantasan dan pencegahan terhadap hama penyakit tersebut melalui cara-cara yang telah direkomendasikan dan ramah lingkungan, serta dilakukan penggantian varietas unggul baru secara bertahap yang tahan terhadap hama dan penyakit.

(i) Daya saing kakao

Hingga saat ini daya saing kakao Indonesia asal Pulau Sebatik di pasar luar negeri (Malaysia) relatif rendah. Rendahnya daya saing kakao dari kawasan ini antara lain karena belum didukung oleh mutu atau kualitas hasil biji kakao akibat kurang optimalnya perlakuan pascapanen. Mutu biji kakao yang dihasilkan petani sampai saat ini relatif rendah karena tidak ada insentif bagi petani untuk menghasilkan biji kakao berkualitas melalui proses fermentasi. Oleh karena itu pada masa yang akan datang daya saing kakao dari kawasan ini perlu ditingkatkan melalui perlakuan pascapanen yang memadai, dan perlu adanya perbedaan harga atau pemberian insentif bagi biji kakao yang difermentasi.

(j) Industri pengolahan

Hingga saat ini industri pengolahan kakao skala kecil dan menengah di Pulau Sebatik belum berkembang. Keadaan tersebut mengakibatkan ekspor biji kakao dari kawasan ini masih dilakukan dalam bentuk produk primer, sehingga petani belum memperoleh nilai tambah. Oleh karena itu pada masa yang akan datang peningkatan nilai tambah kakao rakyat di Pulau Sebatik perlu dilakukan agar ekspor biji kakao tidak lagi berupa bahan mentah (biji), tetapi sudah dalam bentuk hasil olahan (diversifikasi produk: kakao bubuk, pasta dll), antara lain melalui penyediaan industri pengolahan, baik dengan teknologi sederhana, sedang maupun teknologi tinggi.

1. Kelas kesesuaian lahan untuk tanaman kakao meliputi kelas cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3), sedangkan lahan sangat sesuai (S1) tidak ada karena kriteria lereng tanah yang sesuai dengan kelas S1 tidak ditemukan pada kawasan tersebut. Lahan kelas S2 produktivitas hasil kakao 45,19% dan kelas S3 sebesar 44% dari produktivitas hasil optimal.

2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kendala untuk meningkatkan produktivitas lahan: (a) perhatian pemerintah relatif rendah atau kurang, (b) lemahnya kerjasama antar sektor, (c) penyuluhan kurang, (d) terbatasnya infrastruktur, (e) terbatasnya sarana usahatani (f) masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia [pendidikan petani kakao mayoritas hanya SD], (g) produktivitas lahan rendah, (h) produktivitas hasil kakao rendah, (i) mutu hasil kakao rendah.

3. Faktor kunci kebutuhan stakeholders yang perlu diperhatikan pada masa yang akan datang: (a) umur petani kakao [mayoritas >50 thn], (b) sarana produksi pertanian, (c) tanaman kakao tua [umur >20 th], (d) tingkat ketergantungan terhadap pasar kakao Malaysia, (e) industri pengolahan kakao, (f) sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dan daerah, dan (g) status lahan usahatani kakao.

4. Analisis keberlanjutan menunjukkan bahwa pada kelas kesesuaian lahan cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3) umumnya kurang berkelanjutan terutama dimensi ekologi, ekonomi, infrastruktur dan teknologi, hukum dan kelembagaan serta pertahanan dan keamanan. Atribut sensitif atau pengungkit yang perlu diintervensi pada masing-masing dimensi tersebut adalah:

a. Ekologi: (i) rata-rata umur tanaman, (ii) serangan hama dan penyakit, (iii) pemanfaatan limbah kakao untuk pupuk organik, dan (iv) tindakan konservasi lahan.

b. Ekonomi: (i) daya saing kakao dari Pulau Sebatik, (ii) tempat menjual atau memasarkan kakao, (iii) tingkat ketergantungan terhadap pasar kakao Malaysia, dan (iv) akses pasar.

c. Infrastruktur dan teknologi: (i) tindakan pemupukan, (ii) tingkat penguasaan dan penerapan teknologi budidaya serta pascapanen, (iii) dukungan sarana dan prasarana jalan.

d. Hukum dan kelembagaan: (i) sarana produksi pertanian, (ii) sinkronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, (iii) keberadaan kelompok tani, dan (iv) keberadaan lembaga keuangan mikro [LKM].

e. Pertahanan dan keamanan: (i) sarana dan prasarana pertahanan keamanan, (ii) sarana dan prasarana lintas batas.

5. Arahan kebijakan berdasarkan skala prioritas, sesuai dengan faktor dominan dan kondisi spesifik kawasan perbatasan berturut-turut: (a) penambahan sarana dan prasarana pertahanan keamanan (hankam) untuk memberikan ketenangan dan suasana kondusif dalam berusahatani; (b) kebijakan pemerintah pusat dan daerah disesuaikan dengan kebutuhan wilayah, terintegrasi dan holistik dari berbagai aspek; (c) peningkatan penguasaan dan penerapan teknologi budidaya ramah lingkungan [terutama konservasi lahan dengan membuat drainase menurut kontur, terasering, membuat rorak, pemanfaatan serasah sebagai penutup tanah] dan teknologi pascapanen melalui pelatihan dan sekolah lapangan; (d) sarana produksi pertanian khususnya pupuk sasarannya agar tersedia tepat jumlah, waktu, tempat, jenis, harga dan tepat mutu; (e) lembaga keuangan mikro [LKM] didukung oleh pemerintah untuk membantu permodalan petani; (f) tindakan pemupukan disesuaikan dengan kebutuhan tanaman, kesuburan tanah, dan diupayakan mengurangi penggunaan pupuk anorganik dengan cara memanfaatkan limbah kakao sebagai pupuk organik; (g) peremajaan dan penggantian tanaman kakao tua dan rusak [ > 20 tahun]; (h) pengendalian dan pemberantasan hama penyakit ramah lingkungan, antara lain dengan cara pengendalian hama terpadu [PHT]; (i) perlakuan pascapanen yang memadai dan pemberian insentif bagi biji kakao yang difermentasi untuk meningkatkan daya saing kakao; (j) penyediaan industri pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah kakao rakyat dari Pulau Sebatik.

7.2. Saran

1. Perlu adanya implementasi arahan kebijakan peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk perkebunan kakao rakyat di kawasan Pulau Sebatik sesuai dengan skala prioritas yang telah dihasilkan.

2. Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman kakao perlu disempurnakan dengan memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan, serta melakukan penelitian khusus di berbagai daerah (spesifik lokasi) khususnya mengenai bahan induk tanah dan preferensi petani terhadap komoditas yang dibudidayakan. Dengan demikian kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian lahan tidak hanya berdasarkan syarat tumbuh tanaman kakao secara umum.

3. Perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan untuk meningkatkan produktivitas lahan dan meningkatkan pendapatan petani terutama melalui penyediaan sarana produksi pertanian, peremajaan tanaman, pemupukan sesuai kebutuhan tanaman dan kesuburan tanah serta pemanfaatan limbah kakao sebagai pupuk organik, pemberantasan hama dan penyakit ramah lingkungan, pemangkasan, serta integrasi tanaman dan ternak.

4. Produktivitas hasil kakao ditentukan oleh interaksi antara faktor genetis bahan tanam dan lingkungan, karena itu diperlukan klon baru yang lebih baik untuk penggantian tanaman pada masa peremajaan.

5. Perbaikan faktor atau atribut keberlanjutan seharusnya tidak hanya pada atribut sensitif atau pengungkit (sarana dan prasarana pertahanan keamanan, sikronisasi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, penguasaan dan penerapan teknologi usahatani, sarana produksi pertanian, lembaga keuangan mikro [LKM], tindakan pemupukan, umur tanaman kakao, serangan hama dan penyakit, daya saing kakao dan industri pengolahan), tetapi juga pada atribut lain agar status keberlanjutan dapat ditingkatkan lebih maksimal.

(Kasus Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur) [disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Adimihardja A, Mappaona dan A Saleh. 2002.Teknologi pengelolaan lahan kering menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Puslitbangtanak, Bogor.

Alder J, TJ Pitcher, D Preikshot, K Kaschner and B Feriss. 2000. How good is good? A Rapid appraisal technique for evaluation of the sustainability status of fisheries of the North Atlantic. In Pauly and Pitcher (eds).Methods for evaluationg the impacts of fisheries on the north atlantic ecosystem. Fisheries Center Research Reports, Vol (8) No.2

Amien LI. 1996. Karakterisasi dan analisis zona agroekologi. Pemantapan Metodologi Karakterisasi Zona Agroekologi. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Anantanyu S.2009. Partisipasi petani dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan kelompok petani [disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Anderson TH and KH Domsch. 1989. Ratio of microbial biomass carbon to total organic carbon in arable soil. Soil Biol Biochem. 21 (4):471-479.

Anonim. 1990. Scientific information for sustainable development. SCOPE Newsletter (33): 4-5

Aris W. 1995. Pengantar penyusunan rekomendasi pemupukan pada kopi dan kakao. Di dalam: Kumpulan Materi Pelatihan Pengambilan Contoh Tanah dan Daun Kopi dan Kakao. Puslitkoka, Jember.

[Balittanah] Balai Penelitian Tanah. 2004. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balittanah, Bogor.

Bambang DK, S Hastuti, Supriyanto dan S Handayani. 1998. Panduan analisis fisika tanah. Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Nunukan. 2003. Analisis

Potensi Sumberdaya Lahan untuk Mendukung Perencanaan Tata Ruang Kecamatan Nunukan dan Sebatik. Bappeda Nunukan, Nunukan.

[Bappeda] Badan Perencanaan Daerah Kalimantan Timur. 2006. Penyerasian program penelitian dan pengembangan dalam optimalisasi wilayah perbatasan. Bappeda Kaltim, Samarinda.

[Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2004. Kawasan Perbatasan, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan antar Negara di Indonesia. Bappenas, Jakarta.

[BBP2TP] Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008. Dosis pemupukan spesifik lokasi kakao.

http://www/balitbang_deptan.go.id/Pemupukan spesifik lokasi (diakses 28 Nopember 2008).

[BBPPTP] Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008. Budidaya Kakao. BBPPTP, Bogor.

Benjamin JG, DC Nielsen and MF Vigil. 2003. Quantifying effect of soil condition on plant growth and crop production. J Geoderma. 116:137-148. [BI] Bank Indonesia. 2009. Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha

Kecil. http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=20216&idrb=41701

Bindraban PS, JJ Stoorvogel, DM Jousen, J Vlaming, and JJR Groot. 2000. Land quality indicators for sustainable land management: proposed method for yield gap and soil nutrient balance. J Agric, Ecos and Environ.81:103-112. Bourgeois R. 2007. Bahan Pelatihan Analisis Prospektif Partisipatif. Training of

Trainer. ICASEPS, Bogor.

Bourgeois R and F Jesus.2004.Participatory Prospective Analysis, Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. Center for Alleviation of Poverly through Secondary Crops Development in Asia and The Pasific and French Agricultural Research Center for International Development. [BPKPPDT] Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Pedalamam dan Daerah

Tertinggal Kalimantan Timur. 2009. Rencana kerja kegiatan SKPD program pembangunan tahun 2010. Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan Pedalaman dan Daerah Terpencil. Pemda Kaltim, Samarinda. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Nunukan. 2008. Nunukan dalam Angka.

BPS Nunukan, Nunukan.

[BPTP] Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur. 2007. Pewilayahan komoditas pertanian berdasarkan zona agroekologi Skala 1:50.000. BPTP Kaltim, Samarinda (tidak dipublikasikan).

Carter MR. 1991. The influence of tillage on the proportion of organic carbon and nitrogen in the microbial biomass of medium-textured soils in a humid climate. Biol Fertil Soils. 11: 135-139.

[CGIAR] Consultative Group on International Agriculture Research.1978.