• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2. Pembahasan

4.2.5. Analisis Kecukupan Luasan Hutan Kota Menggunakan

4.2.5.2. Skenario Variasi Laju Pertambahan

Berikut ini disajikan skenario variasi laju pertambahan penduduk sebesar 1%, 2% dan 3,06%. Dengan menggunakan nilai laju pertambahan penduduk sebesar 3,06% per tahun, maka penduduk dengan skenario lahan terbangun 70

102 Tahun Kebutuhan Luasan H K (ha ) 2.020 2.040 2.060 2.080 2.100 200 300 400 500 600 700 Tahun Kebutuhan Luasan HK (ha) 2.020 2.040 2.060 2.080 2.100 200 300 400 500 600 700 Tahun Kebutuhan Luasan HK (ha) 2.020 2.040 2.060 2.080 2.100 200 300 400 500 600 700

m2/orang, dengan bangunan 1 lantai, maka pada tahun 2100 penduduk Kota Bogor menjadi 1,3 juta orang.

Jika laju pertambahan penduduk sebesar 3,06%, maka kebutuhan luasan hutan kota bervariasi seperti grafik yang terdapat pada Gambar 32c. Namun, jika laju pertambahan penduduk masing-masing 1% dan 2%, maka kebutuhan luasan lahan hutan kotanya seperti terlihat pada Gambar 32a dan 32b.

(a) (b)

(c)

Gambar 32. Kebutuhan luasan hutan kota pada skenario laju pertambahan penduduk (a). 1% per tahun. (b). 2% per tahun, dan (c) 3,06% per tahun.

Dari gambar ini dapat dikemukakan bahwa kebutuhan luasan hutan kota untuk laju pertambahan penduduk sebesar 1%, 2% dan 3,06% per tahun tidak berbeda. Oleh sebab itu, pengurangan laju pertambahan penduduk bukan merupa- kan prioritas yang perlu dilakukan untuk mengurangi kebutuhan luasan hutan kota.

4.2.5.3. Skenario Variasi Penghematan Bahan Bakar Minyak dan Gas

Penghematan bahan bakar minyak dan gas secara teoritis dapat memper- kecil kebutuhan luasan hutan kota, karena upaya ini dapat memperkecil jumlah

Tahun Kebutuhan HK (ha) 2.020 2.040 2.060 2.080 2.100 150 200 250 300 350 400 Tahun Kebutuhan HK (ha) 2.020 2.040 2.060 2.080 2.100 150 200 250 300 350 400 Tahun K ebutuhan HK (ha) 2.020 2.040 2.060 2.080 2.100 150 200 250 300 350

emisi gas CO2. Berikut ini disajikan hasil simulasi kebutuhan luasan hutan kota

pada berbagai upaya penghematan bahan bakar 10%, 20% dan 30%.

(a) (b) (c)

Gambar 33. Kebutuhan luasan hutan kota pada berbagai upaya penghematan bahan bakar. (a). Penghematan 10%, (b). Penghematan 20% dan (c). Penghematan 30%.

Dari Gambar 33 dapat dinyatakan bahwa pada skenario penghematan sebesar 10%, kebutuhan penambahan luasan hutan baru muncul tahun 2009 seluas 152,03 ha dan mencapai puncaknya tahun 2021 seluas 428,55 ha. Pada tahun 2100 kebutuhan luasan hutan kota sebesar 385,69 ha (Gambar 32a). Pada skenario penghematan sebanyak 20% menghasilkan simulasi kebutuhan penambahan luasan hutan baru muncul tahun 2012 seluas 164,30 ha dan mencapai puncaknya tahun 2023-2024 seluas 396,52 ha. Pada tahun 2100 kebutuhan luasan hutan kota sebesar 360,75 ha (Gambar 32 b). Sedangkan pada skenario penghematan sebesar 30%, kebutuhan penambahan luasan hutan baru muncul tahun 2014 seluas 153,08 ha dan mencapai puncaknya tahun 2026-2027 seluas 365,11 ha. Pada tahun 2100 kebutuhan luasan hutan kota sebesar 336,10 ha (Gambar 33c). Dari Gambar 33 dapat dinyatakan bahwa penghematan bahan bakar sebanyak lebih dari 30% dapat menekan kebutuhan luasan hutan kota.

104 Tahun Kebutuhan HK (ha) 2.020 2.040 2.060 2.080 2.100 145 150 155 Tahun Kebuituhan H K Gabun g an (ha ) 2.020 2.040 2.060 2.080 2.100 145 146 147 148

4.2.5.4. Skenario Pengkayaan pada Areal Bervegetasi Jarang dan Upaya Gabungan

Upaya lainnya yang dapat dilakukan untuk memperkecil kebutuhan pe- nambahan luasan hutan kota yang baru adalah dengan upaya pengkayaan pada areal bervegetasi jarang dan upaya gabungan yaitu berupa gabungan upaya peng- gunaan jenis tanaman berdaya sink sangat tinggi, laju pertambahan penduduk hanya 1% dan dilakukan penghematan bahan bakar sebesar 30% serta upaya pengkayaan pada areal bervegetasi jarang. Hasil simulasi berupa kebutuhan luasan hutan kota dapat dilihat pada Gambar 34.

(a) (b)

Gambar 34. Kebutuhan luasan hutan kota pada skenario: (a) Pengkayaan pada areal bervegetasi jarang (b). Upaya gabungan

Dari gambar ini terlihat bahwa pada skenario pengkayaan pada areal bervegetasi jarang kebutuhan luasan hutan kota baru muncul mulai tahun 2007 sebesar 151,00 ha yang kemudian agak mendatar sampai tahun 2090 sekitar 150 ha dan pada tahun 2091-2092 mengalami peningkatan menjadi sekitar 151,00 ha dan pada tahun 2093 sampai 2100 menjadi sekitar 158,00 ha. Pada skenario ini terlihat kebutuhan hutan kota walaupun naik turun namun kisarannya tidak terlalu lebar seperti skenario yang telah dipaparkan terdahulu. Pada skenario pengkayaan pada areal bervegetasi jarang kebutuhan luasan hutan kota berkisar antara 145 - 158 ha per tahun.

Simulasi pada skenario gabungan memperlihatkan kebutuhan hutan kota mulai muncul pada tahun 2014 dengan luasan 148,39 ha yang kemudian menurun dengan landai, akhirnya pada tahun 2100 menjadi 147,84 ha. Terlihat kebutuhan hutan kota pada skenario ini berkisar antara 145 - 148 ha per tahun. Walaupun

kisarannya agak sama dengan skenario pengkayaan, namun polanya berbeda (lihat Gambar 34).

4.2.6. Daya Dukung Kependudukan

Mengingat Kota Bogor jaraknya hanya 60 km dari DKI Jakarta, maka Kota Bogor merupakan tempat pilihan permukiman yang baik bagi para pekerja yang bekerja di DKI Jakarta. Telah dijelaskan pada Bab. 4.1.2. tentang kepen- dudukan yang menyatakan, jika laju pertambahan penduduk sampai tahun 2100 tetap sebesar 3,06% per tahun, maka jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2100 sebanyak 15 juta orang. Jika hal ini terjadi, maka perlu dikaji bagaimana dampaknya terhadap kebutuhan luasan hutan kota yang berfungsi sebagai sink gas CO2 antropogenik dari bahan bakar minyak dan gas.

Berikut ini disajikan simulasi kebutuhan luasan hutan kota yang berfungsi sebagai sink gas CO2 antropogenik yang bervariasi berdasarkan jumlah penduduk

yang dianalisis berdasarkan jumlah daya dukung lantai bangunan. Satu kali daya dukung artinya lahan terbangun per orang untuk permukiman, perkantoran dan lain sebagainya dengan bangunan 1 lantai yang kebutuhan luasnya 70 m2 per orang. Angka ini diperoleh dari keadaan penggunaan lahan terbangun dan jumlah penduduk pada tahun 2003 - 2005. Dua kali daya dukung nilainya sebesar 70/2 m2 per orang yang dicapai dengan bangunan 2 lantai dan tiga kali daya dukung sama dengan 70/3 m2 per orang dengan bangunan 3 lantai dan seterusnya. Nilai kebutuhan lahan terbangun sebesar itu dengan memperhatikan persentase ruang terbuka hijau tetap dipertahankan sekitar 32%, karena sebesar 68,00% diper- untukkan untuk lahan terbangun. Persentase luasan harus lebih dari 30% untuk mengikuti ketentuan UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa 30% lahan kota harus disediakan untuk ruang terbuka hijau. Dengan pendekatan ini, jika lahan terbangun dengan 1 lantai penduduknya telah menggunakan lahan sebesar 68%, maka pertambahan penduduk berikutnya meng- gunakan bangunan berlantai dua, demikian seterusnya. Dengan demikian, berapa pun jumlah penduduk Kota Bogor, ruang terbuka hijau tetap dapat disediakan seluas 32% sementara lahan terbangunnya sebesar 68% dari luasan Kota Bogor.

106 Tahun Jml P enduduk 2,020 2,040 2,060 2,080 2,100 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 Tahun Kebutuhan Luasan H K (ha ) 2,020 2,040 2,060 2,080 2,100 500 1,000 1,500

Bangunan baik perumahan maupun bangunan lainnya jika disediakan dua lantai, maka jumlah penduduk yang dapat ditampung serta luasan ruang terbuka hijau dan luasan hutan kota yang diperlukan sebagai sink gas CO2 antropogenik

dari bahan bakar minyak dan gas sebagai hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 35.

Gambar 35 . Skenario bangunan 2 lantai: (a). Perkembangan jumlah penduduk, (b). Kebutuhan luasan hutan kota.

Dari Gambar 35 dapat dikemukakan bahwa jika bangunan hanya dua lantai, maka jumlah penduduk yang dapat ditampung hanya sebanyak 2,5 juta orang. Sementara luasan hutan kota yang dibutuhkan bervariasi seperti terlihat pada Gambar 35b.

4.2.7. Implikasi Kebijakan

Setelah diketahui luasan hutan kota menurut kajian emisi dan sink gas CO2

sangat kurang, maka diperlukan penambahan luasan hutan kota. Guna membantu menekan kebutuhan luasan hutan kota, beberapa kebijakan yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor adalah sebagai berikut: (1). Upaya untuk memperke- cil jumlah emisi gas CO2 antara lain berupa: penghematan bahan bakar, peng-

gunaan bahan bakar minyak dan gas serta penggunaan mobil surya dan mobil hibrida dan upaya untuk memperbesar daya sink antara lain penambahan luasan hutan kota dengan jenis berdaya sink sangat tinggi, pengkayaan areal bervegetasi jarang dan juga penurunan nilai laju konversi luasan ruang terbuka hijau.

Beberapa upaya dan kelengkapan instrumen yang dapat disarankan kepada Pemerintah Daerah Kota Bogor adalah:

1. Pemerintah daerah perlu menaati UU Tata ruang No. 26 tahun 2007 yang menyatakan ruang terbuka hijau harus 30% dari luas kota. Pembangunan lahan terbangun disarankan bangunan secara vertikal berlantai dua untuk jumlah penduduk sebanyak 2,5 juta orang pada lahan terbangun seluas 8.032,11 ha. Sisanya untuk ruang terbuka hijau dan hutan kota. Luasan hutan kota yang dibutuhkan dari tahun 2017 sampai 2100 bervariasi sekitar 1.400 ha.

2. Pemerintah Daerah Kota Bogor perlu mengukuhkan areal kebun koleksi tanaman di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat di Cimanggu, Istana Presiden, Arboretum Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan serta Konservasi Alam Gunung Batu, karena secara fisik ekosistem telah berupa hutan kota.

3. Kelembagaan dengan pengaturan yang jelas serta diperlukan adanya perangkat perundangan yang dibuat oleh Pemerintah Kota Bogor yang dapat mendukung penyelenggaraan hutan kota lebih baik.

4. Guna menekan nilai kebutuhan luasan hutan kota Pemda Kota Bogor perlu melakukan kampanye dan usaha lainnya untuk penghematan bahan bakar sampai 30%, pengkayaan pada areal bervegetasi jarang dengan jenis pohon berdaya sink sangat tinggi.

5. Mengingat emisi gas CO2 dari LPG lebih rendah kadarnya dibandingkan

dengan bahan bakar minyak lainnya, maka penggunaan bahan bakar gas dapat disarankan untuk dikembangkan di Kota Bogor sebagai pengganti atau pelengkap penggunaan bahan bakar minyak. Jika alternatif ini ditempuh, maka pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) dan konversi penggunaan minyak tanah ke Epliji, harus sudah mulai dipikirkan teknis pelaksanaannya.

6. Penggunaan mobil hibrida yakni mobil dengan mesin penggerak berbahan bakar bensin atau solar yang dilengkapi dengan penggerak listrik.

108 4.2.8. Strategi Pembangunan Hutan Kota

Setelah diketahui perlu dilakukan penambahan luasan hutan kota, maka untuk mendapatkan hutan kota yang baik dan benar (Dahlan 2004), beberapa faktor yang harus dipertimbangkan adalah: (1). Tanaman harus dipilih cocok dengan keadaan iklim dan tanah setempat. Mengingat Kota Bogor merupakan kota dengan curah hujan yang tinggi dan kondisi tanahnya pun subur, maka keadaan tanah dan iklim bukan merupakan kendala yang berarti. Namun untuk tanaman yang lokasinya sangat dekat dengan sumber pencemar, maka tanaman harus dipilih yang memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pencemar. (2). Tanaman harus dipilih dan disesuaikan dengan fungsinya dalam pengelolaan lingkungan. Topik yang dibahas dalam penelitian ini adalah masalah gas CO2,

maka jenis tanaman yang akan dikembangkan selanjutnya adalah jenis tanaman yang mempunyai daya sink yang sangat tinggi. Dari hasil penelitian ini jenis tanaman yang termasuk ke dalam kategori berdaya sink yang sangat tinggi adalah: kasia (Cassia sp.) dan trembesi atau kihujan (S. saman). Kedua jenis tanaman ini sebaiknya ditanam di pinggir jalan yang sangat padat kendaraan, agar gas CO2

yang dihasilkan dari kendaraan bermotor dapat diserap dengan baik oleh tanaman tepi jalan. Untuk lokasi lainnya yang agak jauh dari jalan raya selain dengan jenis yang berdaya sink sangat tinggi juga ditanam jenis tanaman lainnya disesuaikan dengan tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk pelestarian keragaman hayati. Menurut kaidah ekologi lingkungan dengan keragaman yang tinggi jauh lebih stabil dibandingkan dengan lingkungan dengan indeks keragaman yang rendah (Soeriatmadja 1981). (3). Luasannya cukup. Topik penelitian ini sangat erat kaitannya dengan masalah ini. (4). Estetik. Faktor keindahan harus diperhatikan ketika akan membangun hutan kota, agar hutan kota dapat lebih mempercantik kota. Komposisi tanaman baik berbentuk pohon, semak dan perdu serta rumput diatur sedemikian rupa agar dapat memperindah bangunan rumah, kantor dan lain sebagainya. Dengan demikian tercipta perpaduan yang harmonis dan indah. (5). Jenis yang ditanam tidak menghasilkan getah atau lainnya yang akan mengganggu dan membahayakan manusia.

PP No. 63 tahun 2002 menyatakan: (1). Hutan kota dibangun pada suatu hamparan lahan yang kompak dan rapat, (2). Di dalam wilayah perkotaan, (3). Merupakan ruang terbuka hijau yang didominasi oleh pepohonan, (4). Luasan hutan kota minimal dari 0,25 ha. (5). Didominasi oleh jenis pohon. Selain dari persyaratan tersebut agar mampu membentuk atau memperbaiki iklim mikro, estetika, dan berfungsi sebagai resapan air seperti yang dinyatakan dalam PP no. 63 tahun 2002, maka hutan kota juga harus (6). Multi strata. Ada jenis pohon yang tingginya lebih dari 40 – 50 m dan ada juga yang tingginya 20 – 40 m serta jenis dengan ketinggian lebih kecil dari itu. Penyusunan tanaman boleh juga dilengkapi dengan semak dan rumput, namun peletakannya diatur sedemikian rupa, agar tetap indah dan tidak mengganggu. (7). Kepadatan tanaman cukup, artinya cukup padat namun sesuai degan jarak tanam yang disesuaikan dengan lebar tajuk. (8). hutan kota yang dibangun pada tanah negara atau badan usaha milik negara (BUMN) perlu dikukuhkan oleh Walikota; sedangkan hutan kota yang terdapat pada tanah hak perlu dibuatkan kontrak minimal 15 - 25 tahun dengan imbalan yang menarik dan memadai.

Dokumen terkait