• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.6 Skrining Fitokimia

Hasil skrining fitokimia yang telah dilakukan oleh Malinda (2015) terhadap serbuk dan ekstrak daun titanus memiliki kandungan metabolit sekunder yang sama yaitu alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid. Disebabkan telah adanya skirining fitokimia dari daun titanus

tersebut sehingga peneliti hanya melakukan skrining fitokima terhadap fraksi-fraksi saja. Skrining fitokimia dilakukan terhadap fraksi-fraksi n-heksana, fraksi-fraksi etilasetat dan fraksi air. Hasil skrining fitokimia dapat dilihat pada Tabel berikut: Tabel 4.1 Hasil skrining fitokimia fraksi-fraksi

No Skrining Hasil Fraksi n-heksana Fraksi etilasetat Fraksi Air 1. Alkaloid - + + 2. Flavonoid - + + 3. Glikosida - - + 4. Glikosida antrakinon - - - 5. Saponin - + + 6. Tanin - + + 7. Steroid/Triterpenoid + - -

Keterangan : (+) = mengandung golongan senyawa (-) = tidak mengandung golongan senyawa

Pengujian alkaloid tidak terbentuk endapan putih pada uji Mayer, tetapi terbentuk endapan pada uji Dragendorff dan Bourchardat berarti dalam fraksi terdapat alkaloid yaitu fraksi etilasetat dan fraksi air. Tujuan penambahan HCl sebelumditambahkan pereaksi adalah karena alkaloidbersifat basa sehingga diekstrak denganpelarut yang mengandung asam (Harborne, 1987). Hasil positif alkaloid pada uji Dragendorff ditandai dengan terbentuknya endapan berwarna merah. Hasil positif alkaloid pada uji Bourchardatditandai dengan terbentuknya endapan berwarna coklat. Uji Mayer menunjukkan hasil alkaloid negatifkarenatidak terbentuknya endapan putih.

Uji flavonoid menghasilkan larutan berwarna kuning sehingga dikatakan positif. Menurut Robinson (1995) warna kuning yang dihasilkan menandakan

adanya flavonoid akibat dari reduksi oleh asam klorida pekat dan magnesium.Skrining glikosida ditunjukkan dengan penambahan pereaksi Molisch dan asam sulfat pekat dimana terbentuk cincin ungu. Pereaksi Molisch merupakan pereaksi umum yang digunakan untuk identifikasi karbohidrat, dalam hal ini adalah gula (Kemala, 2012).

Saponin merupakan bentuk glikosida dari sapogenin sehingga akan bersifat polar. Saponin adalah senyawa yang bersifat aktif permukaan dan dapat menimbulkan busa jika dikocok dalam air (Kristanti dkk., 2008). Timbulnya busa pada uji saponin menunjukkan adanya glikosida yang mempunyai kemampuan untuk membentuk buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lainnya. Senyawa saponin tersebut akan cenderung tertarik oleh pelarut yang bersifat semi polar (Marliana, et al., 2005). Hasil skrining fitokimia positif saponin pada fraksi etilasetat dan fraksi air.

Identifikasi taninmenggunakan pereaksi besi(III)klorida. Hasilyang diperoleh pada fraksi etilasetat dan fraksi airadalah positif mengandung tanin denganmemberikan warna hijaukehitaman.Penambahan ekstrak dengan FeCl31%dalam air menimbulkan warna hijua, merah, ungu atau hitam yang kuat. Terbentuknyawarna hijau kehitaman pada ekstrak setelahditambahkan FeCl31%karena tanin akanbereaksi dengan ion Fe3+membentuksenyawa kompleks (Harborne, 1987).

Senyawa triterpenoid/steroid akan mengalami dehidrasi dengan penambahan asam kuat dalam pelarut asam asetat anhidratdan membentuk garam yang memberikan sejumlah reaksi warna (Sangi, 2008). Hasil yang diperoleh menunjukkan hasil positif dengan terbentuknya warna biru kehijauan yang menunjukkan adanya steroid dan tidak terbentuk warna merah, merah muda atau

ungu sehingga negatif mengandung triterpenoid. Menurut Harbone (1987) triterpenoid menunjukkan warna merah, merah muda atau ungu sedangkan steroid akan menghasilkan warna biru kehijauan.

4.7 Uji Toksisitas

Uji toksisitas dimaksudkan untuk memaparkan adanya efek toksik dalam kaitannya dengan penggunaan senyawa yang terdapat dalam tumbuhan tersebut (Widyastuti, 2008). Brine Shrimp Lethality Test merupakan salah satu metode untuk menguji bahan-bahan yang bersifat toksik dan digunakan sebagai uji hayati yang pertama untuk penelitian bahan alam karena cepat, murah, sederhana (tidak memerlukan teknik aseptik), untuk melakukannya tidak memerlukan peralatankhusus dan membutuhkan sampel yang relatif sedikit dalam pengujian BSLT ini.

Nilai LC50 nilai LC50. LC50 (LethalConcentration 50%) adalah tingkat konsentrasi ekstrak yang dibutuhkan untuk mematikan50% dari hewan yang diuji. Sehingga, apabila jumlah mortalitas lebih dari 50% dapatdipastikan nilai LC50 ˂

1000 μg/ml atau 1000 ppm. Metode ini menggunakan larva Artemia salina Leach

sebagai hewan uji. Uji toksisitas dengan metode ini merupakan uji toksisitas akut dimana efek toksik dari suatu senyawa ditentukan dalam waktu singkat, yaitu rentang waktu selama 24 jam setelah pemberian dosisi uji. Prosedurnya dengan menentukan nilai LC50 dari aktivitas komponen aktif tanaman terhadap larva

Artemia salina Leach (Kemala, 2012). Suatu ekstrak dikatakan toksik berdasarkan

metode BSLT jika harga LC50< 1000 µg/ml (Meyer, et al., 1982). Kematian larva

yang terkandung di dalam larutan uji yang telah kita teliti tersebut (Cahyadi, 2009; Mutia, 2010).

Berdasarkan hasil perhitungan regresi linier pengujian toksisitas larutan uji terhadap larva Artemia salina Leach dapat dilihat pada Tabelberikut:

Tabel 4.2 Hasil pengukuran LC50 dengan metode BSLT

Menurut Meyer, et al., (1982), jika ekstrak mempunyai nilai LC50< 1000 µg/ml maka ekstrak tersebut bersifat toksik pada larva Artemia salina Leach. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ekstrak dan fraksi memiliki aktivitas toksik terhadap larva Artemia salina Leach karena nilai LC50nya masih dibawah 1000 µg/ml.

Tabel 4.3 Tingkat nilai toksisitas LC50 (Anderson, 1991)

No Nilai LC50(µg/ml) Tingkat Toksisitas 1 2 3 4 0 – 250 250 – 500 500 – 750 750 – 1000 Sangat toksik Toksik Sedang Tidak toksik

Berdasarkan pembagian tingkat toksisitas LC50 menurut Anderson (1991) diatas, maka nilai LC50 yang diperoleh dari ekstrak dan fraksi termasuk kedalam tingkat sangat toksik dengan rentang nilai antara 0 – 250 µ g/ml. Perbedaan toksisitas antara ekstrak dan fraksi ini dapat disebabkan oleh senyawa yang terkandung pada masing-masing ekstrak dan fraksi. Pada ekstrak etanol nilai LC50 yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan fraksi n-heksana yaitu 24,7007 µg/ml, diduga karena senyawa yang terkandung di dalamnya yaitu flavonoid, steroid/triterpenoid, saponin, glikosida dan tanin yang apabila masuk kedalam

No Ektrak/Fraksi LC50µg/ml

1. Etanol 24,7007

2. n-Heksana 30,8936

3. Etilasetat 47,4319

saluran pencernaan larva dapat mengganggu proses fisiologis sel (Cahyadi, 2009). Pada fraksi n-heksana memiliki nilai LC5030,8936 µg/ml. Hal ini disebabkan karena pelarut n-heksana merupakan pelarut non polar sehingga dapat menarik enyawa-senyawa yang bersifat non polar seperti steroid/triterpenoid. Steroid/triterpenoid dalam kadar tertentu dapat menyebabkan kematian terhadap larva dengan cara menghambat daya makan (Cahyadi, 2009). Fraksi etilasetat memiliki nilai LC5047,4319 µg/ml. Aktivitas toksiknya diduga disebabkan oleh flavonoid, saponin, tanin dan alkaloid yang memiliki aktivitas toksik pada larva

Artemia salina Leach. Nilai LC50paling tinggi dibandingkan larutan uji lainnya adalah fraksi air yaitu 79,5144 µg/ml. Diduga karena adanya senyawa saponin yang memiliki efek menghemolisa darah. Walaupun demikian LC50nya masih dapat dikatakan toksik karena kurang dari 1000 µ g/ml. Suatu ekstrak memiliki aktivitas toksik yang kuat dapat dilihat dari rendahnya nilai LC50. Pada manusia, senyawa metabolit sekunder yang bersifat toksik pada kadar tertentu, dapat mengakibatkan gangguan pada sistem metabolisme tubuh, dimana senyawa aktif tersebut dapat menjadi inhibitor pada enzim sehingga mengganggu proses replikasi DNA. Menurut Cahyadi (2009) Apabila suatu ekstrak tanaman besifat toksik menurut nilai LC50dengan metode BSLT, maka tanaman tersebut dapat dikembangkan sebagai obat dan dilakukan isolasi terhadap zat aktif.

BAB V

Dokumen terkait