• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelas I I Kelas III

GAP KEBUTUHAN STANDAR

6.3. Solusi Gap oleh Perusahaan

Dengan adanya penolakan produk ekspor Indonesia di negara tujuan, maka digali lebih lanjut mengenai bagaimana pelaku usaha dalam menerapkan standar pada produk serta respon mereka dalam menghadapi keluhan maupun penolakan produk yang dialami. Hal-hal yang digali dari pelaku usaha meliputi :

• Kepedulian dan perhatian terhadap standar produk; • Pengetahuan tentang standar dan pemenuhannya; • Implementasi penerapan standar;

• Komitmen untuk memasarkan hanya produk yang memenuhi standar; • Langkah yang dilakukan jika terjadi ketidaksesuaian dengan standar.

a. Tuna dan cakalang beku

Pelaku usaha, baik eksportir maupun importir, untuk produk tuna dan cakalang menganggap standar itu sangat penting karena merupakan prasyarat untuk dapat memasarkan produk mereka. Penandaan atau pelabelan standar

juga penting sesuai dengan permintaan pembeli di negara tujuan ekspor. Namun demikian, belum ada pembeli yang mensyaratkan pelabelan Standar Nasional Indonesia (SNI) pada produk. Hal ini mengindikasikan bahwa belum ada international recognition terhadap SNI.

SNI untuk tuna dan cakalang beku diacu oleh seluruh responden dalam hal pengujian mutu produk, seperti uji cemaran mikroba, kimia, logam dan kadar histamine. Hal itu dimungkinkan karena SNI tuna beku sudah diberlakukan wajib sehingga seluruh parameter terkait standar pada produk tuna beku harus dipenuhi. Selanjutnya, dalam proses produksi, standar yang diacu adalah ISO 22000, Hazard Analysis & Critical Control Points (HACCP) dan Good Manufacturing Process (GMP). Kesesuaian standar yang dipenuhi oleh eksportir tersebut merupakan ketentuan utama dalam mengekspor produk ke negara tujuan. HACCP merupakan sistem manajemen yang menjamin prosedur keamanan pangan yang diadopsi dari Standar Nasional Indonesia (SNI) di bidang perikanan. Beberapa SNI yang dijadikan acuan dalam manual HACCP antara lain SNI 01-2733.1-2006 tentang Cakalang Beku, SNI 01-4485.1-2006 tentang Tuna steak beku, SNI 4104.1-2006 tentang Tuna loin beku, SNI 01-2710.1-2006 tentang Tuna beku, dan SNI 01-4104.1-2006 tentang Tuna loin beku. Dalam prosesnya, importir atau buyer mensyaratkan keharusan penerapan HACCP oleh eksportir yang dibuktikan dengan manual book yang sudah disertifikasi oleh Balai Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP) selaku perwakilan dari pemerintah. Dengan demikian, buyer memastikan bahwa eksportir sudah menyesuaikan standar internasional yang menjamin keamanan pangan (food safety requirement).

Ikan tuna dan cakalang beku produksi para responden diekspor ke Uni Eropa, Jepang, Timur Tengah, Amerika Serikat dan beberapa negara Asia seperti Jepang, Malaysia, Taiwan, Korea dan Vietnam. Pada umumnya negara tujuan ekspor menerapkan standar yang sesuai dengan CODEX yang dikeluarkan oleh FAO dan WHO. Dari seluruh negara tersebut, responden mengemukakan bahwa standar yang paling tinggi atau sulit adalah standar oleh Uni Eropa dan Jepang. Komponen standar yang harus dipenuhi antara lain traceability, keamanan pangan (cemaran dan kandungan zat tertentu), serta health certificate yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan

setempat. Sertifikat tersebut terkait dengan cara penangkapan dan ketertelusuran produk. Para eksportir ini berkomitmen untuk memenuhi berbagai persyaratan dan parameter dalam standar.

Tabel 6.7

Hasil Survey untuk Komoditas Ikan Tuna dan Cakalang

Komponen standar yang menjadi perhatian utama di negara-negara tujuan utama

1. Eropa : kadar antibiotik, traceability, uji

cemaran logam berat, kadar histamin, kandungan CO, kandungan Salmonela

2. AS : Uji mikrobiologi (salmonella), fisik ikan, kadar histamine, dan filthy (jorok)

3. Jepang : uji kadar merkuri, benda asing 4. Australia : sertifikat penangkapan 5. Timur tengah : harus bebas radiasi (uji di BATAN)

6. Rusia: ditambah uji radiasi Komponen utama standar

yang belum dipenuhi

• Kualitas bahan baku kadang kurang konsisten,

• Persyaratan kandungan mikrobiologi seperti Salmonela

• Persyaratan kandungan histamine Tindakan untuk memenuhi

komponen standar

• Penerapan HACCP untuk proses produksi, • Sortasi dan grading ulang bahan baku, • SNI digunakan sebagai pedoman untuk uji

organoleptik, cemaran kimia, mikrobiologi, • Kesegaran bahan baku harus selalu terjamin, • Memasukkan traceability ke dalam sistem

manajemen mutu,

• Selalu melakukan uji keamanan pangan, cemaran kimia, dll

• Memperbaiki produksi,

• Membatasi supplier yang bermasalah, • Menaruh alat data track untuk memantau

suhu selama perjalanan, • Inspeksi oleh FDA dari Amerika Alasan penolakan • Label informasi produk kurang detail

• kadar Histamin terlalu tinggi • kualitas tidak sesuai permintaan, • Penampakan (appearance) kurang baik, • Ada benda asing misalnya pembuluh darah

dan rambut pada produk (Jepang) • Salmonela dan Kandungan CO Tindakan untuk mengatasi

penolakan

• Memperbaiki kualitas sesuai dengan permintaan

perbaikan dalam penanganan pasca penangkapan ikan,

• memperketat seleksi bahan baku sebelum masuk pabrik, termasuk melakukan uji kadar logam,

• supplier diwajibkan memiliki sertifikat (health certificate)

• mencari pasar baru; Hambatan dalam

memenuhi standar di negara tujuan

Teknik penangkapan:

• Nelayan belum semuanya memiliki kapal yang bersertifikat;

• Pola penangkapan ikan masih tradisional sehingga handling belum konsisten • Kondisi alam kurang kondusif sehingga

waktu merapat kapal lebih lama menyebabkan kesegaran bahan baku berkurang;

• Penanganan pasca penangkapan kurang bagus karena pola masih tradisional;

Bahan baku:

• Untuk mengganti CO dengan bahan alami diperlukan penanganan yang relatif mahal ; • Kualitas bahan baku kurang konsisten

karena habitat yang tercemar;

Supplier:

• Pemilihan kualitas ikan masih sulit walaupun sudah melalui kontrak dengan nelayan; • proses handling tidak seragam antar

supplier;

• kontrol terhadap supplier butuh waktu utk proses auditing, monitoring karena semuanya belum terintegrasi;

• Kualitas bahan baku kurang konsisten karena habitat yang tercemar;

Perubahan regulasi:

• terjadinya perubahan regulasi di negara tujuan, seperti EU dan Rusia, walaupun sudah melalui konfirmasi pemerintah (Balai Karantina); terutama EU yang perubahannya terjadi cukup sering

Informasi Tambahan • menurut responden, SNI dan standar lain pada dasarnya sama. Namun, standar negara lain berkembang dan bertambah syaratnya sesuai perubahan selera konsumen dan perkembangan teknologi. Sedangkan SNI tidak, penerapan standar juga tidak disesuaikan dengan ketersediaan alat uji;

• menurut responden, standar produk agak ketinggalan di sisi hulu, untuk ikan tuna, resiko lebih besar karena resiko cemaran

logam berat sangat tinggi karena habitat tercemar limbah industri;

• standar yang diterapkan oleh

negara/pemerintah tujuan ekspor lebih ketat, sedangkan dari importir luar negeri lebih fleksibel dan biasanya barang yang sudah dikirim tersebut belum tentu dikembalikan tergantung penyebab

penolakan/komplainnya

• standar yang diterapkan Uni Eropa dianggap paling sulit dibandingkan negara lain; • selama ini perusahaan menerapkan standar

dari importir luar negeri yang merupakan gabungan dari beberapa standar seperti HACCP, BRC, IFS;

• Health certificate adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh dinas kelautan perikanan terkait kesehatan dan ketertelusuran hasil tangkapan ikan (online);

• bahan baku diperoleh dari nelayan maupun hasil tangkapan sendiri;

• tren permintaan terbaru dari Australia adalah tuna yang ditangkap dengan pancing, bukan dengan kapal. Kapal menangkap tuna dengan jaring besar, sedangkan yang menangkap dengan pancing adalah nelayan kecil yang sulit diperoleh sertifikasi dan penerapan standarnya

• SKP adalah surat kelayakan proses yang dikeluarkan oleh KKP;

• EU juga kadang mempermasalahkan soal dokumentasi administrasi misalnya profile number untuk EU yang menjelaskan perusahaan adalah produsen, dsb

• Perwakilan RI di luar negeri harus menjadi bagian dari solusi karena selama ini belum terlibat secara optimal

Responden eksportir dengan volume ekspor 10 – 40 ton per bulan menyebutkan setidaknya terdapat empat hal yang menjadi perhatian utama dalam pemenuhan standar, yaitu kandungan logam berat, zat kimia, mikrobiologi, dan kotoran (filthy). Ketidakmampuan eksportir dalam memenuhi komponen standar tersebut akan berdampak pada penolakan produk di pelabuhan. Sebagai contoh, hampir semua responden eksportir pernah mengalami penolakan produk di negara tujuan karena kandungan salmonella

pada Tuna dan Cakalang, zat kimia tertentu/histamine, dan kotoran seperti rambut atau pasir.

Selain itu, terdapat beberapa ketentuan khusus yang diberlakukan di negara tujuan ekspor seperti uji radiasi untuk pasar Rusia dan uji kandungan karbon monoksida (CO) untuk pasar UE. Kedua ketentuan tersebut merupakan penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas keamanan pangan dalam mengatasi kasus kebocoran radioaktif di Jepang dan isu pemanasan global. Namun demikian, peraturan tambahan tersebut tidak melekat pada ketentuan standar dan disampaikan melalui pemberitahuan secara resmi (notification) ke pemerintah.

Gambar 6.2.

Proses Kesesuaian Standar Eksportir – Importir Perikanan

Gambar 6.2 di atas menunjukkan proses kesesuaian standar antara eksportir dengan importir, dimana setelah eksportir menerapkan standar keamanan pangan sesuai dengan manual book HACCP, beberapa tahapan pengujian mutu dilakukan untuk menjamin bahwa kualitas produk ekspor sudah sesuai dengan standar negara tujuan. Beberapa tahapan yang dilakukan oleh eksportir adalah pengujian mutu yang terdiri dari uji organoleptik di penampungan ikan, uji internal di laboratorium eksportir, dan uji verifikasi oleh Balai Pembinaan Dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP) untuk mendapatkan Health Certificate (HC) sebagai ketentuan ekspor (Gambar 2). Selanjutnya, importir yang diwakili oleh badan karantina di pelabuhan (seperti FDA di Amerika atau CD di Uni Eropa) melakukan pengujian mutu sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan.

Langkah-langkah yang dilakukan perusahaan untuk memenuhi standar antara lain melakukan sortasi (grading) ulang terhadap bahan baku sebelum diolah, menguji keamanan bahan baku dan barang jadi di laboratorium yang terkareditasi, menjamin kesegaran (freshness) bahan baku, serta melengkapi persyaratan administrasi seperti sertifikasi dan dokumen lainnya. Di sisi lain, pelaku usaha masih menemui beberapa hambatan dalam memenuhi komponen standar yaitu nelayan masih banyak yang menggunakan metode tradisonal dalam melakukan penangkapan ikan sehingga sulit memenuhi syarat sertifikasi dalam hal penangkapan dan kelayakan kapal. Kemudian, cara penanganan (handling) ikan setelah ditangkap juga ada yang belum bisa memenuhi standar, sehingga ikan yang dipasok kadang kurang sesuai spesifikasi.

b. Manggis

Eksportir hortikultura khususnya produk manggis menganggap penerapan standar pada produk yang diekspor sangat penting karena untuk memenuhi permintaan pembeli. Dalam membeli produk, pembeli menentukan standar atas produk yang akan dibeli. Standar yang terkait ekspor manggis antara lain adalah ukuran, tingkat kematangan, warna, kesegaran dan kelengkapan kelopak. Dari beberapa standar tersebut, eksportir sudah bisa memenuhinya namun masih terkendala jumlah yang belum bisa dipenuhi oleh pemasok. Sama halnya dengan produk jagung, Pemerintah sebaiknya menertibkan eksportir yang

temporer yang minim pengalaman dan pengetahuan serta tidak mempunyai infrastruktur pendukung seperti gudang dan cold storage. Hal ini terkait kualitas yang tidak terjaga dan pandangan negara tujuan ekspor terhadap produk asal Indonesia. Informasi lain terkait preferensi konsumen adalah konsumen di Dubai lebih menyukai manggis yang ukuran kecil karena tidak ada bijinya.

Tabel 6.8.

Hasil Survey untuk Komoditas Manggis Komponen standar

yang menjadi perhatian utama di negara tujuan utama

• Kualitas : Grade A (90-100%) ,Grade B ( 80- 90%), Grade C (<80%)

• Ukuran

• Tingkat kematangan • Warna

• Kesegaran

• Kelengkapan kelopak buah

Hambatan untuk memenuhi standar

• Kesegaran dan suhu udara /temperatur pada saat pengiriman

• Tidak boleh ada semut dan pestisida

Informasi tambahan • Pemerintah sebaiknya menertibkan eksportir yang temporer yang minim pengalaman dan pengetahuan serta tidak mempunyai infrastruktur pendukung seperti gudang dan cold storage. Hal ini terkait kualitas yang tidak terjaga dan pandangan negara tujuan ekspor terhadap produk asal Indonesia

• Konsumen di Dubai lebih menyukai manggis yang ukuran kecil karena tidak ada bijinya

• Permintaan dari importir luar negeri lebih rumit dari SNI

• Perlu dilengkapi dokumen SOP gudang dan sertifikasi packing house atau lahan yang sudah di registasi oleh Kementan • Eksportir Indonesia saat ini sulit

melakukan ekspor langsung ke Cina (Cina membatasi/melarang impor produk buah dari Indonesia), sehingga eksportir untuk melakukan ekspor ke Cina melalui importir yang ada di Thailand atau Malaysia

• Alasan pemerintah Cina untuk penghentian impor manggis adalah penemuan hama dan logam berat yang

berulang kali pada impor manggis dari Indonesia (16 kasus penemuan hama dan 1 kali penemuan logam berat cadmium melampaui batas yang diperbolehkan sejak Nopember 2012)

c. Jagung

Eksportir hortikultura khususnya produk jagung menganggap penerapan standar pada produk yang diekspor sangat penting karena untuk memenuhi permintaan pembeli. Dalam membeli produk, pembeli menentukan standar atas produk yang akan dibeli. Eksportir sudah mengetahui Standar Nasional Indonesia (SNI) produk jagung tetapi belum mengelaborasi SNI tersebut karena lebih mengacu pada standar yang ditetapkan oleh pembeli. Negara tujuan ekspor produk jagung adalah Singapura dengan segmentasi konsumen supermarket. Standar yang terkait ekspor jagung antara lain adalah ukuran, tingkat kematangan, dan warna. Dari beberapa standar tersebut, eksportir sudah bisa memenuhinya namun masih terkendala jumlah yang belum bisa dipenuhi oleh pemasok.

Tabel 6.9.

Hasil Survey untuk Komoditas Jagung Komponen standar yang

menjadi perhatian utama di negara tujuan

• Ukuran;

• Tingkat Kematangan; dan • Warna

Hambatan dalam memenuhi standar di negara tujuan

• Menjaga kualitas pada pasca panen agar tidak timbul jamur

Informasi Tambahan • Kompetitor selain perusahaan lokal juga dari negara seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, China, Myanmar (diprediksi mulai meningkat);

• Kendala yang dihadapi adalah mempertahankan tingkat kemanisan dan bau;

• Kemasan harus Food Grade; • Segmentasi untuk Supermarket

Berdasarkan hasil wawancara dengan eksportir diharapkan adanya peran pemerintah terutama dalam menertibkan eksportir yang “temporer”. Alasannya adalah para eksportir temporer ini kurang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup serta tidak mempunyai infrastruktur pendukung seperti gudang dan cold storage. Hal ini menyebabkan kualitas yang tidak terjaga sehingga negara tujuan ekspor menganggap secara umum produk asal Indonesia kurang berkualitas yang dapat menyebabkan rendahnya harga dan daya saing dibandingkan dengan produk dari negara lain seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Cina, Myanmar (yang diprediksi mulai meningkat). Kendala yang dihadapi adalah mempertahankan tingkat kemanisan dan bau. Informasi dari eksportir saat ini Kementerian Pertanian mengeluarkan sertifikat "Rumah Kemas" kepada perusahaan hortikultura yang memiliki infrastruktur pendukung dalam pengemasan produk hortikultura seperti gudang dan cold storage yang telah sesuai untuk pengemasan produk hortikultura untuk makanan.

d. Kemeja batik

Seperti sebagian besar pelaku usaha lain, eksportir batik juga beranggapan bahwa standar penting karena terkait dengan mutu atau kualitas produk yang mereka jual. Seluruh responden setuju bahwa standar itu penting karena merupakan prasyarat bagi mereka untuk memasarkan produk mereka dan merupakan jaminan bahwa produk mereka berdaya saing. Namun, tidak semua responden merasa perlu untuk mencantumkan label standar pada produk mereka. Hal ini dikarenakan dalam memasarkan produk, mereka sudah melampirkan sertifikasi dan atau surta keterangan lolos uji standar tertentu sehingga label pada produk tidak lagi diperlukan.

Namun, mereka kurang mengetahui mengenai Standar Nasional Indonesia (SNI) terkait batik dan parameter yang ada di dalamnya. Standar mutu yang mereka terapkan diacu ke syarat yang diajukan oleh pembeli di negara tujuan, yang kemudian diterapkan dalam proses produksi. Sepertiga responden tidak memiliki pengetahuan mengenai SNI, sepertiga berikutnya mengetahui tentang SNI namun tidak menjadikan SNI sebagai acuan untuk standar mutu. Responden tersebut lebih mengutamakan standar mutu yang ditetapkan atau dipersyaratkan oleh pembeli (importir) dan atau standar mutu negara tujuan.

Sepertiga responden lainnya memiliki pengetahuan yang cukup mengenai SNI dan mensyaratkan pencantuman label pada bahan baku yang mereka gunakan, atau dengan kata lain pemasok bahan baku harus bisa memenuhi SNI.

Tabel 6.10

Hasil Survey untuk Komoditas Kemeja Batik

Komponen standar yang menjadi perhatian utama masing-masing negara

• Malaysia, Thailand, dan Vietnam: Ketahanan luntur, bahan nyaman dikulit, motif seragam harus sama untuk semua • Eropa: Kualitas kain dan kualitas jahitan • Amerika Serikat, Kanada, Singapura:

Pewarna tidak boleh mengandung klorin, tahan robek (strength) : sertifikasi dari Hongkong

• Amerika dan Kanada: Konstruksi kain, tingkat kelembutan kain, Color fastness, Flammability

• Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Korea Selatan (untuk butik): Spesifikasi kain/katun harus sesuai untuk 4 musim, pewarna tahan luntur

Tindakan untuk memenuhi komponen standar

• Monitoring proses pembuatan batik, pembatik harus ekstra hati-hati sehingga mengurangi resiko cacat atau pembatikan yang kurang rapi

• Memastikan bahan baku dari supplier memenuhi syarat mutu, monitoring proses produksi

• Bahan baku harus disesuaikan dengan permintaan, melakukan uji/tes yang dipersyaratkan

Hambatan dalam memenuhi standar di negara tujuan

• Tidak mudah mengontrol proses pembuatan batik, menyesuaikan desain atau motif dengan selera pasar di negara tujuan

• Bahan baku kain dengan syarat sertifikat tertentu kadang sulit dicari

• Teknik produksi untuk beberapa motif yang mengandalkan cuaca, sedangkan cuaca sering tidak kondusif

kompetitor seperti Cina dan Vietnam, • Harus menyesuaikan motif batik dengan

selera konsumen, karena batik dianggap terlalu "ramai”

Informasi Tambahan • Motif batik yang klasik tidak terlalu disukai;

• Untuk fabric, SNI masih cukup kompatibel, tapi untuk produk jadi sepertinya masih kurang;

• Sosialisasi SNI masih sangat kurang; • Standar mutu yang dipersyaratkan oleh

importir luar negeri sudah sesuai dengan standar negara tujuan; dan

• Cina dan Vietnam bisa menawarkan harga lebih murah karena pajak lebih rendah dan biaya buruh juga rendah

Produk batik ini dipasarkan ke Eropa, Amerika Serikat, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Komponen standar yang harus dipenuhi antara lain kualitas kain, kualitas jahitan, keseragaman ukuran serta kain yang tahan luntur. Motif batik tergantung selera pasar dan biasanya lebih menyukai motif batik yang kontemporer. Hambatan dalam memenuhi komponen standar ditemui ketika harus menyeragamkan ukuran dan kualitas batik tulis karena proses yang tradisional. Standar mutu yang diterapkan oleh para eksportir batik bersumber dari permintaan pembeli dan berdasarkan pengalaman standar tersebut sudah sesuai dengan standar yang berlaku di negara tujuan. Komponen standar yang menjadi perhatian utama antara lain konstruksi kain, kualitas pewarna (tidak boleh mengandung chlorine), ketahanan luntur, flammability, ketahanan robek (strength), serta pelabelan petunjuk perawatan pakaian (care instruction). Komponen-komponen standar tersebut sudah dapat dipenuhi oleh para responden.

Hal-hal yang dilakukan oleh para pelaku usaha untuk dapat memenuhi berbagai komponen standar tersebut antara lain :

- Melakukan kontrol mutu yang ketat terhadap bahan baku, seperti kain dan pewarna pakaian dari supplier ;

- Memastikan proses produksi sudah sesuai dengan standar yang dipersyaratkan.

e. Mebel rotan

Selanjutnya untuk produk kursi dan meja tamu rotan, eksportir mengemukakan bahwa standar itu sangat penting sebagai syarat utama untuk ekspor, terutama dalam hal kualitas dan workmanship. Mereka juga menganggap bahwa standar mutu produk itu sangat penting karena hal tersebut menjamin keberlangsungan usaha mereka. Produk-produk yang dapat memenuhi standar mutu yang tinggi pasti dapat bersaing di pasar domestik maupun ekspor. Pengetahuan responden mengenai SNI sudah cukup baik dan menganggap mereka sudah dapat memenuhi komponen standar yang terdapat dalam SNI. Dalam kaitannya dengan pasar ekspor, responden mengemukakan bahwa komponen standar yang disyaratkan oleh negara importir lebih tinggi atau ketat dari SNI.

Namun tidak semua produk harus ditandai atau dilabeli pemenuhan standar tertentu, tergantung permintaan pembeli kecuali label “Made in Indonesia”. Sebagian lagi belum menganggap label pada standar itu penting karena lebih mementingkan produknya laku. Produk rotan ini sebagian besar dipasarkan ke Amerika Serikat, lalu sebagian lainnya ke negara-negara Eropa, Timur Tengah, Australia dan negara Amerika Latin. Standar yang dipersyaratkan antara lain penerapan ISO, standar untuk produk hasil hutan dan standar terkait kualitas dan keamanan produk. Komponen standar tersebut meliputi syarat kualitas bahan baku, cat & sekrup (screw) yang digunakan, lolos uji durabilitas, serta lolos uji tahan api untuk cushion atau bantalan kursi.

Secara umum, standar yang dipersyaratkan terkait kualitas sama antara negara tujuan ekspor. Namun secara khusus, Amerika Serikat dan Eropa berbeda dalam hal ukuran meja dan kursi. Eropa mensyaratkan ukuran yang lebih besar sesuai dengan postur tubuh masyarakatnya, Sedangkan Australia mensyaratkan 2 kali fumigasi untuk menghilangkan cemaran makhluk hidup, baik mikrobiologi maupun serangga. Saat ini di Eropa juga sudah mulai menetapkan standar cat yang menggunakan sedikit bahan kimia. Eksportir belum menghadapi kendala dalam memenuhi standar dari pembeli selama

proses mengerjakan pesanan pembeli sesuai kontrak. Sebelum barang diekspor, pembeli atau perwakilannya di Indonesia datang ke bengkel kerja untuk melakukan quality control jadi belum pernah mengalami penolakan. Produsen juga mengirim sampel bahan/material yang akan digunakan untuk proses produksi. Selain itu, yang mereka lakukan adalah memonitor pemasok dalam memenuhi persyaratan kualitas bahan baku serta memonitor tiap tahap dalam proses produksi. Sehingga kesesuaian produk mereka dengan standar di negara tujuan berdampak positif yaitu kontinuitas atau keberlangsungan usaha dan meminimalkan sistem beli putus dari pembeli.

Dalam mengimplementasikan standar produk, perusahaan menerapkan prinsip-prinsip International Standard Organisation (ISO) dalam proses produksinya. Terkait bahan baku, yaitu rotan yang merupakan produk hasil kehutanan, perusahaan hanya menerima rotan atau bahan baku yang memiliki sertifikat tertentu dan sudah memiliki FO atau surat muat barang untuk perdagangan antar pulau. Perusahaan juga mensyaratkan kualitas tertentu untuk bahan baku rotan, seperti kadar kelembaban 14% dan diameter tertentu sesuai peruntukan, sehingga bahan baku tersebut siap pakai. Untuk barang jadi

Dokumen terkait