• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBUTUHAN STANDARD DALAM DIMENSI DAYA SAING DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBUTUHAN STANDARD DALAM DIMENSI DAYA SAING DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI

BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN

KEMENTERIAN PERDAGANGAN

2013

LAPORAN AKHIR

KAJIAN KEBUTUHAN STANDARD DALAM DIMENSI

DAYA SAING DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

(2)

LAPORAN AKHIR

KAJIAN KEBUTUHAN STANDARD DALAM DIMENSI DAYA SAING DAN

PERLINDUNGAN KONSUMEN

Heny Sukesi

Suminto

Ranni Resnia

Erizal Mahatama

Yudha Hadian Nur

Bagus Wicaksena

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI

BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN

KEMENTERIAN PERDAGANGAN

(3)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Latar Belakang

1. Makin beragamnya produk barang yang beredar di pasaran baik produk lokal maupun impor, maka diperlukan jaminan agar tidak merugikan pihak konsumen, baik konsumen dalam maupun luar negeri. Jaminan atas mutu barang diinformasikan dalam bentuk sertifikasi atau label standar pada produk barang yang dihasilkan dan dipasarkan.

2. Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, maka produk pangan yang diperdagangkan harus memenuhi persyaratan yang berlaku di negara tujuan ekspor, antara lain syarat mutu, keamanan, lingkungan, kesehatan dan lain-lain. Dalam upaya peningkatan ekspor, maka diharapkan produk-produk ekspor memiliki kesesuaian standar mutu dengan standar yang ditetapkan negara tujuan.

3. Namun demikian, ada beberapa produk andalan ekspor Indonesia yang mengalami penolakan di negara tujuan karena tidak memenuhi standar antara lain produk perikanan dan hortikultura. Di sisi lain, produk-produk khas Indonesia seperti mebel rotan dan batik memperoleh tantangan berupa banyaknya impor, padahal produk-produk ini berpotensi besar untuk dikembangkan ekspornya.

4. Dengan demikian perlu dikaji mengenai kebutuhan standar seperti apakah yang terkait produk pangan dan non pangan di pasar ekspor dan domestik. Selanjutnya, perlu diketahui apakah terdapat kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar ekspor maupun domestik.

Metodologi

5. Metode analisis yang dipakai dalam kajian ini adalah analisis deskriptif yaitu analisis gap untuk melihat komponen dasar yang diperlukan oleh suatu produk agar bisa memenuhi standar tertentu. Analisis gap akan dilakukan untuk melihat komponen dasar yang seharusnya ada dalam standar produk, apakah SNI yang ada (wajib/sukarela) sesuai dengan standar internasional

(4)

yang ada ataupun persyaratan tertentu lainnya (national standard yang diberlakukan oleh mitra dagang, juga kemungkinan adanya private standard). 6. Untuk mengetahui respon para pelaku usaha di Indonesia terkait bagaimana

mereka bertindak bila produk yang diekspor ditolak maupun dalam hal adanya gap antara SNI dengan standar yang ada, maka dilakukan indepth interview dengan para pelaku usaha tersebut mengenai hal-hal berikut: (1) Kepedulian (awareness), (2) Pengetahuan (knowledge), (3) Implementasi (implementation), dan (4) Komitmen (commitment).

Pembahasan dan Kesimpulan

7. Dalam kondisi yang ideal, standar mutu harus diterapkan mulai dari asal usul bahan baku, bahan baku, bahan setengah jadi, proses pengolahan, sampai produk tersebut sampai ke tangan konsumen. Namun, kondisi dan kebutuhan masyarakat juga harus dipertimbangkan sebelum menerapkan suatu standar menjadi standar yang berlaku wajib. Pertimbangan tersebut antara lain kondisi perekonomian, faktor sosial, serta kemampuan produsen khususnya UKM.

8. Untuk produk pangan, pemenuhan standar sulit dilakukan di sisi hulu. Bahan baku untuk produk perikanan dan hortikultura, dalam hal ini ikan dan buah-buahan itu sendiri, dipengaruhi oleh lingkungan. Jika lingkungan tempat hidup ikan dan buah tercemar dan tidak baik kualitasnya, maka akan mempengaruhi kualitas dan mutunya secara umum. Begitu pula dengan proses penanganan pasca panen. Keterampilan dan pengetahuan nelayan dan petani yang tidak seragam membuat kualitas bahan baku sulit untuk dipenuhi sesuai standar yang ada.

9. Untuk produk non pangan, kesulitan lebih banyak ditemui di sisi hilir. Hal tersebut dikarenakan proses pembuatan produk memerlukan ketrampilan khusus dan produk harus terus berkembang dan berinovasi sesuai kebutuhan dan selera pasar.

10. Gap negatif SNI dengan standar mitra dagang disebabkan antara lain : a. SNI umumnya hanya menggunakan standar internasional sebagai

acuan dasar dalam penyusunannya. Sementara, mitra dagang tidak hanya mengadopsi standar internasional seperti CODEX, ISO, IEC,

(5)

dan lain-lain namun juga mengadopsi ketentuan dan parameter yang ada pada standar swasta (private standards) dan standar lain.

b. Kesulitan memenuhi standar mutu dan keamanan pada sisi hulu untuk produk perikanan (tuna dan cakalang beku) dan hortikultura (manggis dan jagung). Bahan baku untuk produk tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Jika lingkungan tempat hidup ikan dan buah tercemar dan tidak baik kualitasnya, maka akan mempengaruhi mutunya seperti ikan tuna yang tercemar logam berat akibat cemaran limbah industri. Pada proses penanganan pasca penangkapan atau pasca panen, ketrampilan dan pengetahuan nelayan dan petani yang beragam/terbatas membuat kualitas bahan baku sulit untuk memenuhi SNI dan atau standar negara mitra dagang.

c. Kesulitan pemenuhan standar pada produk non pangan (mebel rotan dan kemeja batik) lebih banyak ditemui di sisi hilir. Hal tersebut dikarenakan proses pembuatan produk memerlukan ketrampilan khusus dan produk harus terus berkembang dan berinovasi sesuai kebutuhan dan selera pasar.

d. Kesulitan produk-produk usaha kecil menengah (UKM) dalam memenuhi persyaratan mutu dan keamanan produk yang dipersyaratkan negara mitra dagang. Kesulitan tersebut disebabkan oleh minimnya informasi yang diterima oleh UKM mengenai standar mutu dan keamanan di negara tujuan ekspor, proses sertifikasi standar produk ekspor menjadi beban biaya yang relatif besar bagi UKM, serta terbatasnya sumber daya yang terampil dalam penanganan pra dan pasca panen. Selain itu, keterbatasan insfrastruktur standar seperti alat uji di daerah belum optimal dalam mendukung proses penerapan standar.

11. Belum semua pelaku ekspor menjadikan SNI sebagai acuan atau panduan utama untuk standar mutu dan keamanan produk. Pelaku usaha mengacu pada kriteria mutu dan keamanan yang disyaratkan oleh importir di negara mitra dagang. Sebagian pelaku usaha juga menganggap bahwa SNI kurang kompatibel dengan standar yang diterapkan oleh mitra dagang.

(6)

Rekomendasi Kebijakan

12. Mengusulkan kepada Badan Standardisasi Nasional (BSN) untuk melakukan peninjauan, perubahan (amandemen) SNI khususnya produk eskpor ke negara tujuan sesuai perkembangan dan perubahan selera konsumen dan teknologi.

13. Untuk mengatasi gap negatif antara SNI dengan standar mitra dagang antara lain :

i. Di sisi hulu, perlu memperbaiki kualitas sesuai permintaan, memperketat seleksi bahan baku sebelum masuk pabrik dan perbaikan penanganan pasca panen. Sedangkan di sisi hilir, perlu memberikan pelatihan dan studi banding, dll kepada pelaku usaha agar meningkatkan kualitas produk ke pasaran.

ii. Melakukan bridging the gap: untuk UKM antara lain (i) memberikan kemudahan dalam proses sertifikasi, (ii) sosialisasi pentingnya pemenuhan standar mutu untuk produk ekspor; (iii) pembinaan teknis yang lebih luas terkait budidaya dan penanganan pasca panen yang tepat untuk menjamin kualitas produk; sementara untuk lembaga terkait seperti laboratorium uji, sertifikasi produk, dan teknologi pengujian dilakukan dengan peningkatan kemampuan sumber daya manusia, peningkatan teknologi, kelengkapan infrastruktur dan kualitas pelayanan yang terkait dengan standar.

14. Mendorong perwakilan dagang RI di luar negeri, untuk menjadi bagian solusi dari kasus-kasus penolakan produk ekspor Indonesia antara lain melakukan mediasi, konsultasi, dan menyediakan informasi terkait perkembangan standar dan selera pasar mitra dagang kepada para eksportir di Indonesia. 15. Edukasi tentang standar pada umumnya dan SNI pada khususnya kepada

masyarakat baik kepada produsen yang melakukan ekspor/eksportir, importir dan masyarakat konsumen harus terus dilakukan. Peran serta aktif masyarakat khususnya dalam mengawasi produk impor yang masuk (tidak memenuhi standar) harus ditingkatkan,

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayahNya, sehingga laporan analisis “Kajian Kebutuhan Standard Dalam Dimensi Daya Saing dan Perlindungan Konsumen” dapat diselesaikan. Kajian ini dilatarbelakangi bahwa peran standar mutu sangat penting, baik untuk produk ekspor dalam rangka meningkatkan daya saing untuk akselerasi ekspor, maupun untuk produk impor dalam rangka melindungi konsumen dalam negeri. Namun tidak semua produk yang dihasilkan oleh Indonesia bisa memenuhi standar, baik SNI maupun standar internasional dan standar yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor. Demikian juga, tidak semua produk yang masuk ke Indonesia sesuai dengan standar SNI.

Penolakan terhadap beberapa produk ekspor Indonesia (perikanan dan hortikultura) menunjukkan bahwa masih ada kelemahan atau ketidakmampuan dalam penerapan standar untuk memenuhi standar negara tujuan ekspor. Ketidakmampuan tersebut dikarenakan kurang siapnya/mampunya dalam pemenuhan standar dan adanya kesenjangan (gap) antara SNI dengan standar yang ada.

Kajian ini diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri dengan tim penelitian yaitu Heny Sukesi, Yudha Hadian Nur, Erizal Mahatama, Bagus Wicaksena, Ranni Resnia, dan Suminto.

Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan baik ditinjau dari aspek substansi, analisa, maupun data-data yang sifatnya pendukung. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dalam kesempatan ini tim peneliti mengucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai akhir kata semoga penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan di bidang standarisasi dan perlindungan konsumen.

Jakarta, Nopember 2013

(8)

DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF i

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR BAB I PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Tujuan Kajian 3 1.3. Keluaran Kajian 3 1.4. Manfaat Kajian 4 1.5. Ruang Lingkup 4 1.6. Sistematika Penulisan 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10

2.1. Standar 10

2.2. Penelitian Terdahulu 15

2.3. Penelitian Gap Analisis di Beberapa Negara 18

BAB III METODOLOGI 21

3.1. Kerangka Pemikiran 21

3.2. Metode Analisis 24

3.3. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data 31

BAB IV KONDISI DAN PERKEMBANGAN SNI PRODUK INDONESIA 34

4.1. Perkembangan Jumlah SNI 34

4.2. Penerapan SNI Wajib dan Kendalanya 38

BAB V KEBUTUHAN STANDAR PRODUK 43

5.1. Standar Produk Perikanan 43

5.2. Standar Produk Hortikultura 53

5.3. SNI Produk Non-Pangan 62

BAB VI GAP KEBUTUHAN STANDAR 72

6.1 Cakupan Standar Dalam Arus Barang : SNI dan Standar

Internasional 73

6.2. Analisis Gap Standar per Produk 74

6.3. Solusi Gap oleh Perusahaan 95

6.4. Pemenuhan Standar Untuk Perlindungan Konsumen dan

Peningkatan Daya Saing Melalui Zero Gap 110

(9)

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 117

7.1. Kesimpulan 118

7.2. Rekomendasi 119

DAFTAR PUSTAKA 120

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Pertumbuhan Produksi, Ekspor dan Impor Komoditi yang Dikaji 5 Tabel 1.2. Kontribusi Nilai Ekspor Impor Manggis dan Jagung Terhadap Total

Ekspor dan Impor Produk Hortikultura 2007 -2009 (%) 6 Tabel 1.3. Ekspor dan Impor Kemeja Batik dan Trennya Periode 2008 - 2012 (%) 6

Tabel 1.4. Daerah Survey 8

Tabel 3.1. Sisi Ekspor - Gap SNI dengan Standar Internasional, National

Standard Negara Importir dan Private Standards 26 Tabel 3.2. Sisi Impor - Gap SNI dengan National Standard Negara Eksportir 28 Tabel 3.3. Perilaku Perusahaan (Eksportir) Terhadap Standar Internasional 30

Tabel 3.4. Metodologi dan Analisis Data 32

Tabel 4.1. SNI yang Telah Diberlakukan Secara Wajib 35 Tabel 4.2. Jumlah Pelanggaran Produk yang Tidak Memenuhi Ketentuan 41

Tabel 4.3. Kepemilikan SPPT - SNI 42

Tabel 5.1. Syarat Mutu dan Keamanan Tuna Beku 43

Tabel 5.2. Syarat Mutu dan Keamanan Cakalang Beku 45 Tabel 5.3. Kandungan Bahan Tambahan Makanan yang Diperbolehkan Menurut

CODEX 47

Tabel 5.4. Beberapa Contoh Private Standards di Sektor Perikanan 48

Tabel 5.5. Syarat Mutu FDA Amerika Serikat 50

Tabel 5.6. Penggolongan Standar Mutu Produk Tuna di Filipina 51 Tabel 5.7. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Manggis 55

Tabel 5.8. Spesifikasi Persyaratan Mutu Jagung 55

Tabel 5.9. Kriteria Dalam CODEX Produk Jagung 57

Tabel 5.10. Persyaratan Mutu Jagung Dalam CODEX (Ekspor ke Filipina) 60

Tabel 5.11. Kriteria Mutu Jagung ke India 62

Tabel 5.12. Syarat Mutu Batik Berdasarkan SNI 62

Tabel 5.13. Standar Mutu Kemeja Menurut ISO 65

Tabel 5.14. Syarat Keamanan Cina Untuk Produk Tekstil 68 Tabel 5.15. Kriteria Mutu Kursi dan Meja Rotan ke Jepang 69 Tabel 5.16. Klasifikasi Rotan Berdasarkan Permukaan 70 Tabel 6.1. Analisis Gap Standar Produk Tuna Beku 74 Tabel 6.2. Analisis Gap Standar Produk Cakalang Beku 77

Tabel 6.3. Analisis Gap Standar Produk Manggis 81

Tabel 6.4. Analisis Gap Standar Produk Jagung 84

Tabel 6.5. Analisis Gap Standar Produk Kemeja (Batik) 90 Tabel 6.6. Analisis Gap Standar Produk Mebel Rotan 92 Tabel 6.7. Hasil Survey Untuk Komoditas Ikan Tuna dan Cakalang 97

(11)

Tabel 6.9. Hasil Survey Untuk Komoditas Jagung 104 Tabel 6.10. Hasil Survey Untuk Komoditas Kemeja Batik 105 Tabel 6.11. Hasil Survey Untuk Komoditas Mebel Rotan 109

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Alur Barang untuk Memenuhi Standar (Kualitas, Kesehatan, Keamanan, Keselamatan, dan Lingkungan

Hidup) 22

Gambar 3.2. Kerangka Pikir Kajian SNI dengan Gap Analisis 23 Gambar 6.1. Cakupan Standar Dalam SNI dan Standar Internasional

Lainnya 73

Gambar 6.2. Proses Kesesuaian Standar Eksportir - Importir Perikanan 100 Gambar 6.3. Manfaat Standar Dalam Dimensi Daya Saing dan

Perlindungan Konsumen 111

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Era perdagangan bebas memungkinkan arus barang dan/atau jasa dapat masuk ke suatu negara dengan atau tanpa hambatan perdagangan (trade barriers), sehingga berbagai jenis produk akan banyak beredar di pasaran. Dengan makin beragamnya produk barang yang beredar di pasaran baik produk lokal maupun impor, maka diperlukan jaminan agar tidak merugikan pihak konsumen, baik konsumen dalam maupun luar negeri. Jaminan atas mutu barang diinformasikan dalam bentuk sertifikasi atau label standar pada produk yang dihasilkan dan dipasarkan.

Pada dasarnya standar berfungsi untuk membantu menjembatani antara kepentingan konsumen dengan kepentingan pelaku usaha/produsen, karena dengan cara menerapkan standar terhadap suatu produk yang tepat dapat memenuhi kepentingan dari kedua belah pihak. Barang yang tidak memenuhi syarat mutu dapat menimbulkan kerugian pada konsumen karena standar berhubungan dengan keselamatan, keamanan, kesehatan dan pelestarian lingkungan hidup. Sedangkan bagi produsen, pemenuhan syarat mutu atau standar merupakan upaya peningkatan daya saing selain untuk meningkatkan efisiensi dalam proses produksi.

Saat ini, terdapat 259 SNI Wajib untuk produk yaitu SNI yang wajib diterapkan oleh para pelaku usaha pada produk akhirnya. Namun, SNI yang sifatnya sukarela berjumlah 7.261 untuk seluruh sektor, mayoritas SNI tersebut ada di sektor teknologi bahan yaitu sebesar 30% dan sektor pertanian dan teknologi pangan yaitu 19% (Asosiasi Lembaga Sertifikasi Indonesia, 2012). Agar dapat diterapkan secara luas, maka SNI harus memenuhi kriteria sebagai berikut (BSN, 2009): 1) harmonis dengan standar internasional dan dikembangkan berdasarkan kebutuhan nasional, termasuk industri; 2) SNI yang diberlakukan wajib harus didukung oleh infrastruktur penerapan yang kompeten; 3) infrastruktur penunjang tersebut harus diakui kompetensinya secara nasional/regional/internasional. Namun demikian, penerapan SNI menemui

(14)

kendala utama yaitu kemampuan serta kesiapan pelaku usaha atau industri yang terkait (BSN, 2012).

Seiring dengan peningkatan kebutuhan pangan, standar mutu untuk produk pangan menjadi penting. Dalam kaitannya dengan perdagangan internasional, maka produk pangan yang diperdagangkan harus memenuhi persyaratan yang berlaku di negara tujuan ekspor, antara lain syarat mutu, keamanan, lingkungan, kesehatan dan lain-lain. Hal yang sama juga berlaku untuk produk impor. Dalam upaya peningkatan ekspor, maka diharapkan produk-produk ekspor memiliki kesesuaian standar mutu dengan standar yang ditetapkan negara tujuan. Namun demikian, ada beberapa produk andalan ekspor Indonesia yang mengalami penolakan di negara tujuan karena tidak memenuhi standar.

Berdasarkan data dari Food and Drugs Administration (FDA) Amerika Serikat, pada periode tahun 2002 – 2010 produk pangan Indonesia mengalami penolakan di negara tersebut sebanyak 2.608 kasus. Produk yang paling banyak ditolak adalah produk perikanan yaitu ikan, udang dan kepiting yang mencapai 80% dari keseluruhan kasus penolakan (Saputra dan Hariyadi, 2012). Penolakan produk perikanan tersebut antara lain disebabkan alasan kotor, kandungan salmonela, veterinary drugs, dan kandungan histamine yang melebihi batas, padahal produk perikanan merupakan salah satu produk unggulan ekspor Indonesia yang menyumbang sekitar 1,6% dari total eskpor non migas selama periode 2007-2012 (BPS, 2013). Di sisi lain, nilai impor produk perikanan juga besar dan mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan tren sekitar 40% selama periode 2007 – 2011(BPS, 2013)1.

Selain produk perikanan, produk hortikultura juga mengalami permasalahan yang sama (BPOM, 2012). Mayoritas produk ekspor hortikultura Indonesia belum dapat memenuhi standar Sanitary and Phyto-Sanitary (SPS) di negara tujuan (Purwanto, 2010). Selain itu, ekspor hortikultura baru mencapai 5-20 % dari total produksi hortikultura nasional. Hal tersebut antara lain disebabkan karena produk hortikultura Indonesia tidak dapat memenuhi standar penanganan pasca panen (Good Agricultural Practices) di Uni Eropa, Amerika Serikat, China, Australia, dan Korsel (Harian Pelita, 2007). Di sisi impor, produk-produk khas

(15)

Indonesia seperti mebel rotan dan batik memperoleh tantangan berupa banyaknya impor, padahal produk-produk ini berpotensi besar untuk dikembangkan ekspornya. Impor batik dari China besar dengan nilai mencapai US$ 30 juta tahun 2012 dan diprediksi akan terus meningkat (Kemenperin, 2013). Lebih lanjut, impor mebel rotan tahun 2010 lebih dari US$ 386.000 (Kontan, 2011), padahal potensi ekspor besar. Pengusaha mengakui mebel rotan domestik kurang bersaing dalam hal standar kualitas dan harga (Bisnis, 2012)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dilihat bahwa peran standar mutu sangat penting baik bagi produk ekspor untuk akselerasi ekspor maupun produk impor untuk melindungi konsumen. Adanya kasus penolakan produk ekspor dan meningkatnya impor karena kurang bersaingnya standar kualitas mengindikasikan terjadinya gap standar antara produk dalam negeri dengan produk negara lain. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengkaji kesesuaian antara Standar Nasional Indonesia (SNI) dengan standar internasional, standar yang berlaku di negara tujuan ekspor dan negara asal, serta private standards. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, perumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

a. Kebutuhan standar seperti apakah yang terkait produk pangan dan non pangan di pasar ekspor dan domestik?

b. Apakah terdapat kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar ekspor maupun domestik?

1.2. Tujuan Kajian

a. Mengidentifikasi kebutuhan standar produk di pasar domestik dan internasional;

b. Menganalisis kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar domestik maupun internasional;

c. Menganalisis faktor-faktor penghambat dalam penerapan standar; d. Memberikan usulan kebijakan dalam mengatasi gap standar.

(16)

1.3. Keluaran Kajian

a. Kebutuhan standar produk di pasar domestik dan internasional;

b. Hasil analisis kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar domestik maupun internasional;

c. Hasil analisis faktor-faktor penghambat dalam penerapan standar; d. Usulan kebijakan untuk mengatasi gap standar.

1.4. Manfaat Kajian

a. Manfaat bagi pemerintah

Hasil kajian ini dapat digunakan oleh pemerintah sebagai bahan rumusan kebijakan pengawasan mutu atau standar pangan produk ekspor dalam rangka peningkatan daya saing dan perlindungan konsumen. Selain itu, pemerintah juga dapat merumuskan strategi pengembangan industri produk ekspor.

b. Manfaat bagi produsen dan industri produk terkait

Hasil kajian ini dapat berguna bagi produsen dan industri terkait sebagai bahan acuan dalam memperbaiki dan mengembangkan standar mutu produk untuk meningkatkan daya saing dan kinerja ekspor.

c. Manfaat bagi konsumen

Konsumen dapat memanfaatkan hasil kajian ini sebagai referensi jaminan mutu serta Keamanan, Kesehatan, Keselamatan dan pelestarian Lingkungan (K3L) atas produk-produk pangan dan non-pangan yang beredar di pasar.

1.5. Ruang Lingkup a. Komoditas

Kajian ini dilakukan pada beberapa kasus komoditas pangan dan non- pangan : i. Produk pangan

- Produk perikanan (ikan tuna sirip kuning dan ikan cakalang); - Produk hortikultura (manggis dan jagung);

ii. Produk non-pangan - Batik;

(17)

Pertimbangan pemilihan komoditas tersebut sebagai berikut : i. Pertimbangan umum

Pertimbangan umum pemilihan produk adalah besarnya nilai perdagangan dan potensi pertumbuhannya baik ekspor maupun impor. Kedua hal tersebut berpengaruh besar terhadap kemampuan daya saing produk Indonesia baik di pasar dalam negeri dan luar negeri; kelangsungan industri nasional (terutama UKM), konsumen (baik konsumen akhir maupun antara); juga berpengaruh pada neraca perdagangan Indonesia.

Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1., pertumbuhan ekspor ikan tuna sirip kuning cukup tinggi yaitu sebesar 35,1% selama periode 2008 – 2012 dengan potensi produksi 5,9% per tahun. Namun, volume impor juga sangat besar, pertumbuhan rata-ratanya mencapai 116,82%. Hal ini sangat disayangkan mengingat produk ini merupakan salah satu produk ekspor non migas andalan Indonesia.

Tabel 1.1

Pertumbuhan Produksi, Ekspor dan Impor Komoditi yang Dikaji

Komoditas Pertumbuhan rata-rata 2008 - 2012 (%) Pertumbuhan produksi rata-rata (%) Ekspor (volume) Impor (volume)

Tuna sirip kuning ^) 35,1 116,82 5,9 Ikan cakalang ^^) 17,5 117,41 5,67

Mebel rotan *) -9,67 5,60 302,96

^) data produksi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan periode 2005 - 2010

^^) data produksi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan periode 2008 - 2011

*) data ekspor impor dari BPS periode 2008 – 2012,

data produksi dari kementerian Kehutanan periode 2000–2006

Begitu pula halnya dengan ikan cakalang yang produksinya berpotensi untuk dapat ditingkatkan untuk dapat meningkatkan volume ekspor yang selama ini tumbuh sebesar 17,5% per tahun selama periode 2008 – 2012. Serupa dengan ikan tuna sirip kuning, impor ikan cakalang juga tumbuh pesat dari

(18)

tahun ke tahun sebesar 117,41%. Begitu pula dengan komoditas lainnya yang menghadapi kasus serupa (Tabel 1.2. dan 1.3.)

Tabel 1.2

Kontribusi Nilai Ekspor Impor Manggis dan Jagung Terhadap Total Ekspor dan Impor Produk Hortikultura 2007 – 2012 (%)

Komoditas Kontribusi Rata-rata Terhadap Ekspor (%) Impor (%)

Jagung 3,50 10,77

Manggis 2,02 0.00

Sumber : BPS (diolah)

Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.2., jagung dan manggis merupakan kontributor ekspor yang cukup baik diantara komoditas hortikultura lainnya. Selain itu, manggis merupakan buah khas negara tropis andalan Indonesia. Namun, impor jagung juga tinggi seiring dengan peningkatan kebutuhan jagung untuk keperluan pakan ternak. Lebih lanjut, produk andalan Indonesia lainnya yaitu batik, khususnya kemeja batik, mengalami tren ekspor yang makin menurun dan tren impor yang meningkat (Tabel 1.3). Menurut data dari BPS, mayoritas kemeja batik ini diekspor ke Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Sementara itu, sebagian besar kemeja batik yang masuk ke Indonesia berasal dari Cina.

Tabel 1.3

Perubahan Ekspor dan Impor Kemeja Batik dan Trennya Periode 2008 – 2012 (%) Keterangan Perubahan tahun 2012 thd 2011 (%) Tren tahun 2008 - 2012 (%) Ekspor

Kemeja batik pria dan anak

laki-laki -22,50 5,54

Kemeja/blus wanita dan anak

perempuan -45,30 -5,92

(19)

Kemeja batik pria dan anak

laki-laki 9,05 22,57

Kemeja/blus wanita dan anak

perempuan 7,60 10,25

Sumber : BPS, 2013 (diolah Pusdatin, Kementerian Perdagangan)

ii. Pertimbangan khusus

Pertimbangan khusus pemilihan produk yaitu adanya kasus-kasus tertentu yang terjadi pada produk ekspor nasional seperti penolakan di negara tujuan eskpor (produk makanan) dan membanjirnya barang impor (non makanan). Sementara di sisi lain, Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar dalam memenuhi pasar dalam negeri dan luar negeri.

- Produk perikanan (ikan tuna sirip kuning dan cakalang) merupakan salah satu produk ekspor non migas andalan Indonesia dengan potensi yang cukup besar. Produk perikanan paling banyak mengalami penolakan ekspor di negara tujuan karena alasan standar, yaitu 80% dari 2.608 kasus di Amerika Serikat. Ikan tuna sirip kuning dan cakalang juga memiliki pertumbuhan volume impor yang lebih besar daripada ekspornya - Produk hortikultura (manggis dan jagung) mengalami masalah penolakan ekspor karena alasan standar keamanan pangan antara lain mengandung kloramfenikol, formalin dan zat pewarna buatan (Tempo, 2012). Manggis khususnya mengalami penolakan di Cina karena mengandung organisme pengganggu tanaman dan logam berat di atas ambang toleransi (Detik Finance, 2013) .

- Batik produksinya menyumbang 20% produksi garmen nasional dan merupakan warisan budaya Indonesia yang sudah diakui dunia internasional. Selain itu, belum ada pedoman kualitas yang baku terkait batik sehingga belum ada jaminan daya saing dan pedoman syarat mutu batik (Tempo, 2013).

- Ekspor mebel rotan mengalami penurunan, sedangkan impor cenderung meningkat, padahal Indonesia adalah produsen terbesar rotan. Dengan adanya aturan pelarangan ekspor rotan mentah, seharusnya memberi peluang untuk meningkatkan ekspor produk rotan. Dengan demikian, diperlukan analisis kesesuaian standar mutu dalam rangka peningkatan

(20)

ekspor dan juga menyeleksi mebel rotan impor melalui standar mutu tersebut.

b. Aspek yang dikaji

SNI produk terkait, standar internasional, standar yang berlaku di negara tujuan ekspor dan negara asal, serta private standard.

c. Daerah Kajian

Daerah penelitian terdiri dari 4 (empat) daerah, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan daerah tersebut adalah daerah yang mempunyai sentra produksi dan industri, keberadaan insfrastruktur standar seperti pada Tabel 1.4.

Tabel 1.4. Daerah Survey Daerah Tuna Sirip

Kuning

Cakalang Manggis Jagung Batik Mebel Rotan Jawa Timur v v v v v v Jawa Barat v v v v Jawa Tengah v v v Sulawesi Selatan v v v v v 1.6. Sistematika Penulisan

Laporan dalam kajian ini terdiri dari beberapa bab: Bab I: Pendahuluan

Dalam bagian ini dijelaskan tentang latar belakang mengapa perlu dilakukan kajian ini, tujuan, output, manfaat, ruang lingkup, dan sistematika penulisan.

Bab II: Tinjauan Pustaka

Deskripsi mengenai standar (standar Indonesia, standar Internasional, standar negara tujuan ekspor dan asal impor, serta Private Standard), standar produk perikanan, standar produk hortikultura, standar batik dan

(21)

mebel rotan, hasil penelitian terdahulu dan hasil kajian dari beberapa negara (best practices)

Bab III: Metodologi

Memaparkan bagaimana kerangka pikir, metode analisis, pengambilan data dan pengolahannya, serta urutan tahapan kajian.

Bab IV: Kondisi dan Perkembangan SNI Produk di Indonesia

Perkembangan jumlah SNI, penerapan SNI dan kendalanya, serta pengawasan penerapannya untuk produk, baik yang wajib maupun bersifat sukarela.

Bab V: Kebutuhan Standar Produk

Identifikasi kebutuhan standar produk pangan dan non pangan di pasar ekspor dan domestik

Bab VI: Gap Kebutuhan Standar

Analisis kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar ekspor maupun domestik serta menganalisis faktor-faktor penghambat dalam penerapan standar produk pangan dan non pangan.

Bab VII: Kesimpulan dan Rekomendasi

Menyampaikan kesimpulan dari kajian ini, dan rekomendasi yang berkaitan dengan kebijakan standar.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Standar produk merupakan alat yang penting dan utama dalam upaya peningkatan daya saing produk ekspor dan perlindungan terhadap konsumen dalam negeri, terutama untuk produk-produk yang mudah rusak (perishable goods) seperti produk perikanan dan hortikultura. Peningkatan peradaban penduduk dunia merupakan salah satu sebab utama pentingnya jaminan mutu dan keamanan produk pangan (Rokhman, 2008 seperti dikutip oleh Yuwono, 2012). Penolakan yang dialami oleh beberapa komoditas ekspor Indonesia mengindikasikan bahwa ada ketidaksesuaian dalam hal standar, baik yang meliputi kualitas, keamanan, kesehatan dan lingkungan. Dengan demikian, penelitian ini menelaah apakah SNI sukarela pada produk perikanan dan hortikultura sudah sesuai dengan standar yang disyaratkan di negara-negara tujuan ekspor dan diterapkan oleh negara asal impor (national standards). Standar-standar yang dibahas antara lain SNI, standar internasional (CODEX Alimentarius), Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP), ISO 22000, standar negara tujuan ekspor dan asal impor, serta private standard untuk produk pangan dan non-pangan.

2.1. Standar

a. Standar Nasional Indonesia (SNI)

Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah ketentuan teknis berupa aturan, acuan atau kriteria dari sebuah kegiatan atau hasil dari kegiatan tersebut yang diperoleh melalui konsensus untuk kemudian ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) (BSN, 2011). Proses konsensus diperlukan agar standar disepakati oleh seluruh pemangku kepentingan. Lebih lanjut, terdapat beberapa kriteria agar penerapan standar memiliki jangkauan yang luas sebagai berikut (BSN, 2011):

i. SNI harus harmonis dengan standar internasional dan SNI dikembangkan berdasarkan pada kebutuhan nasional, termasuk juga kebutuhan industri.

(23)

ii. Pengembangan SNI yang bersifat wajib dalam rangka penerapan regulasi teknis harus didukung oleh infrastruktur yang memadai sehingga dapat melindungi kepentingan, keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup serta pertimbangan ekonomi secara efektif dan efisien.

iii. Kompetensi infrastruktur yang diperlukan dalam rangka mendukung penerapan SNI harus diakui di tingkat nasional, regional, maupun internasional.

Berikut adalah standar nasional Indonesia terkait produk-produk yang diteliti dalam kajian ini :

• Tuna beku

1. SNI No. 01-2710.1-2006 : spesifikasi

2. SNI No. 01-2710.2-2006 : persyaratan bahan baku 3. SNI No. 01-2710.3-2006 : penanganan dan pengolahan • Cakalang beku

1. SNI No. 01-2733.1-2006 : spesifikasi

2. SNI No. 01-2733.2-2006 : persyaratan bahan baku 3. SNI No. 01-2733.3-2006 : penanganan dan pengolahan • Manggis : SNI No. 3211:2009

• Jagung : SNI No. 01-3920-1995 • Batik : SNI No. 08.3540.1994 • Mebel rotan

1. SNI No. 7555.24:2011 : Kursi tamu rotan 2. SNI No. 7555.25:2011 : Meja tamu rotan

b. Standar Internasional i. CODEX

CODEX Alimentarius Commission (CAC) merupakan lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk melindungi kesehatan konsumen dan menjamin terjadinya perdagangan yang adil, selain berkoordinasi dengan institusi standarisasi lainnya untuk mengkampanyekan pentingnya keamanan pangan atau food safety (WHO dan FAO, 2009 seperti dikutip

(24)

oleh Salim, 2012). Lebih lanjut, lembaga yang berada di bawah naungan World Health Organisation (WHO) dan Food and Agricultural Organisation (FAO) ini menghasilkan rekomendasi internasional yang terangkum dalam CODEX tentang prinsip umum dalam praktek kesehatan dan keamanan pangan (Simangunsong, 2006). Dengan demikian, regulasi ini mendukung para pelaku usaha di sektor perikanan dalam rangka menyediakan produk yang terjamin keamanan dan kesehatannya kepada konsumen, baik di pasar domestik maupun pasar internasional (Salim, 2012).

ii. HACCP

HACCP merupakan sistem pengawasan mutu untuk menjamin keamanan dan mutu produk perikanan. Penerapan pengawasan ini dimulai dari penangkapan ikan, pengangkutan, pengolahan dan pendistribusian produk ke tempat penjualan atau sampai ke konsumen akhir (Deboyser, 2005 seperti dikutip oleh Simangunsong, 2006). Penerapan HACCP adalah upaya pencegahan dan pendeteksian berbagai permasalahan yang mungkin terjadi selama proses produksi berlangsung sehingga terbentuk suatu rangkaian pengawasan mutu dan keamanan (Simangunsong, 2006).

iii. ISO 22000

Standar ini menetapkan persyaratan sistem manajemen kemanan pangan yang mengkombinasikan unsur-unsur kunci umum berikut untuk memastikan keamanan pangan sepanjang rantai pangan hingga konsumsi akhir (BSN, 2012):

- Komunikasi interaktif; - Manajemen sistem;

- Program Persyaratan Dasar (PPD); dan - Prinsip HACCP.

iv. Private Standard

Istilah Private Standard sudah berlangsung sejak tahun 1990-an, seiring dengan peningkatan peran perdagangan internasional dalam

(25)

kegiatan ekonomi dunia. ISO (2010) mendefinisikan private standard sebagai segala jenis standar yang dikembangkan oleh institusi non-pemerintah yang memiliki karakteristik tertentu yang terkait dengan aspek tatakelola (governance), pengembangan (development), dan keterkaitan berbagai pihak (stakeholder engagement). Liu (2009) menjelaskan bahwa munculnya semangat menggunakan private standard didominasi oleh globalisasi, liberalisasi perdagangan, perubahan preferensi konsumen, dan kemajuan informasi dan teknologi (IT). Dalam penerapannya, jenis dan kategori private standard sangat beragam, tergantung pada sasaran, cakupan, kelebihan, serta kekurangannya. Oleh karena itu, private standard tidak bisa dikategorikan sebagai jenis standar yang homogen.

Lebih lanjut, Liu (2009) dan Shepherd dan Wilson (2010) juga mengemukakan bahwa private standard di satu sisi dapat memberikan keuntungan dalam hal akses pasar, efisiensi manajemen, peningkatan kualitas produk sekaligus citra perusahaan, dan bahkan penurunan biaya usaha. Namun di sisi lain, penerapan private standard dapat menjadi masalah terkait dengan kepemilikan dan kewenangan oleh otoritas tertentu yang terkadang tidak transparan dan belum tentu berdasar pada alasan ilmiah (scientific-based reason). Selain itu, penerapan private standard juga dapat membebani produsen tertentu, seperti small-holders dan produsen yang berada di luar area diberlakukannya private standard. Selain itu, private standard juga dapat memiliki peran yang tumpang tindih dengan standar yang sudah ada, seperti standar nasional yang diterapkan pemerintah ataupun standar internasional.

1) Tujuan dan Cakupan Private Standard

Serupa dengan tujuan standardisasi seperti yang tertulis dalam ISO (2010), private standards bertujuan untuk menjamin bahwa bahan baku, produk, proses, serta proses pelayanannya sesuai dengan tujuannya. Lebih detil, standar memiliki tingkatan tujuan antara lain: tujuan utama (ultimate objectives), tujuan yang mendesak (immediate objectives), dan tujuan operasional (operational objectives). Ultimate objectives mensyaratkan ketentuan yang lebih umum, seperti ketentuan produksi, produk diferensiasi, dan sebagainya. Sementara immediate objectives

(26)

lebih menekankan pada aspek traceability yang mensyaratkan informasi asal suatu produk. Penerapan standar dalam rangka immediate objectives banyak dijumpai pada standar di sektor pangan. Sedangkan operational objectives lebih menekankan pada hasil dari penerapan standar (operation) yang telah ditentukan, seperti misalnya penerapan standar keamanan pangan yang sesuai dengan ketentuan Good Agricultural Practices (GAP) dan ketertelusuran atau traceability. 2) Institusi yang Menerapkan Private Standard

Pada umumnya private standard ditentukan oleh perusahaan, asosiasi bisnis, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memfokuskan pada persyaratan produksi dan diferensiasi produk. Dengan perkataan lain, produk yang dijual kepada perusahaan atau pasar konsumen tertentu harus menerapkan standar yang sudah ditentukan oleh institusi tersebut. Beberapa contoh private standard yang sudah diterapkan antara lain:

- COLEACP, private standard yang ditetapkan oleh asosiasi produsen hortikultura di Florida.

- Tesco’s Nature Choice, British Retail Consortium (BRC), dan Carrefour’s Filière Qualité, private standard yang ditetapkan oleh perusahan ritel.

- GlobalGAP, private standard yang diinisiasi oleh konsumen melalui LSM yang berkaitan dengan Good Agricultural Practices yang meliputi sektor perikanan dan hortikultura. Standar tersebut juga telah diadopsi oleh pelaku ritel modern di Eropa.

- The International Confederation of Free Trade Union (ICFTU), private standard yang diinisiasi oleh LSM yang berkaitan dengan ketentuan jaminan terhadap hak-hak pekerja. Standar ini serupa dengan Fair-Trade Labeling Organisation (FLO) dan The Sustainable Agricultural Network (SAN) yang menentukan standar keadilan bagi petani, pekerja, dan lingkungan hidup.

3) Cakupan Geografi

Seiring dengan meningkatnya aktivitas perdagangan internasional, cakupan wilayah penerapan private standard pun sudah bersifat global.

(27)

Artinya, produsen baik eksportir maupun importir dari berbagai negara disyaratkan memenuhi ketentuan sesuai dengan private standard yang berlaku. Namun demikian, beberapa private standard hanya diterapkan di wilayah tertentu, seperti FLO yang berlaku bagi negara berkembang dan Rainforest Alliance yang berlaku bagi negara yang memilik hutan tropis.

2.2. Penelitian Terdahulu

Standar produk perikanan telah menjadi fokus studi dalam beberapa tahun terakhir. Dari sisi ekspor, produk perikanan Indonesia masih mengalami hambatan terutama di pasar negara maju. Di samping itu, kinerja ekspor produk perikanan Indonesia masih belum optimal. Sementara untuk pasar dalam negeri, beberapa kajian menitikberatkan pada penerapan standar oleh pelaku usaha dimana kesadaran pelaku usaha dalam menerapkan standar mutu dan keamanan produk masih rendah.

Lambaga (2009) menganalisis tentang kinerja ekspor produk perikanan Indonesia di beberapa pasar tujuan ekspor terkait dengan penerapan standar, baik yang bersifat wajib (mandatory) maupun sukarela (voluntary). Dalam mengukur kinerja ekspor, digunakan variabel antara lain harga produk perikanan di Indonesia, produksi, nilai tukar, dan hambatan non-tariff. Analisis dilakukan terhadap tiga blok utama, yaitu: (1) Jenis komoditas ekspor utama yaitu tuna dan udang, (2) Pasar ekspor utama yang dibagi dalam empat kelompok yaitu Jepang, Uni Eropa, Amerika, dan pasar prospektif yang diisi oleh negara-negara ASEAN dan Asia Timur, serta (3) Komoditas per pasar dengan menggunakan data periode 2002-2007.

Hasil dari analisis dengan metode Regresi Linier Berganda (Ordinary Least Square) menjelaskan bahwa kenaikan harga ikan dari Indonesia cenderung akan menurunkan volume ekspor produk perikanan. Namun hal tersebut tidak berlaku untuk pasar Jepang, terutama untuk produk udang. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa udang Indonesia merupakan produk yang diminati oleh konsumen Jepang dimana harga rata-rata produk udang Indonesia yang diekspor ke Jepang mencapai US$ 8,18/kg selama periode 2002-2007, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pasar Uni Eropa dan Amerika yang hanya berada pada tingkat US$ 1,80/kg dan US$ 5,60/kg.

(28)

Sementara itu, volume ekspor produk perikanan Indonesia sangat dipengaruhi oleh nilai tukar, dimana semakin tinggi nilai tukar rupiah maka semakin rendah volume ekspornya. Hal ini dikarenakan hampir sebagian besar transaksi ekspor perikanan dilakukan dengan mata uang dollar Amerika. Terkait dengan volume produksi, jika terjadi peningkatan volume produksi, maka ekspor produk perikanan dan udang akan mengalami peningkatan. Pengecualian terdapat pada pasar Jepang, Uni Eropa, dan pasar prospektif dimana peningkatan produksi tidak sera merta diikuti dengan peningkatan ekspor. Beberapa hal seperti pengkelasan atau grading, persyaratan mutu, dan jenis produk merupakan faktor yang menyebabkan ekspor tidak berbanding lurus dengan peningkatan produksi.

Terkait dengan hambatan non-tarif, ekspor udang ke Jepang, udang dan tuna ke pasar prospektif akan menurun jika dilakukan penerapan standar di negara tujuan ekspor. Yang menarik, penerapan standar di Amerika dan Uni Eropa belum berpengaruh menurunkan ekspor produk perikanan. Hal ini diduga karena prosedur ekspor ke AS dan UE sangat ketat namun mendapat pengawasan langsung dari otoritas kompeten di Indonesia sehingga ekspor ke negara tersebut tidak terlalu berpengaruh.

Peluang untuk meningkatkan ekspor produk perikanan semakin terbuka di masa mendatang. Hal ini terkait dengan kebijakan negara-negara di Eropa untuk mengurangi kegiatan penangkapan ikan. Selama ini impor produk perikanan Eropa berasal dari negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara yang didominasi oleh Thailand, Indonesia, dan Vietnam. Kesempatan ini dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk meningkatkan kinerja ekspornya. Data menunjukkan bahwa ekspor Indonesia masih kurang dari separuh ekspor Thailand padahal produksi perikanan tangkap Indonesia lebih besar daripada Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa produk perikanan Indonesia masih berorientasi memenuhi kebutuhan domestik dan jenis dan mutu produk perikanan Indonesia masih banyak yang belum memenuhi standar ekspor. Oleh karena itu untuk meningkatkan kinerja ekspor dapat dilakukan melalui beberapa langkah seperti peningkatan kualitas produk, penanganan pasca panen yang baik, pengembangan industri bioteknologi, pembenahan jasa angkutan, dan

(29)

penyebaran informasi terkait standar mutu di negara tujuan ekspor (Fahrudin, 2003).

Riyadi et a.l (2007) menemukan bahwa terdapat penanganan produk yang tidak memenuhi kaidah keamanan dengan penggunaan bahan tambahan makanan ilegal (formalin dan peroksida) pada produk ikan segar dan ikan asin di Pantura dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian dilakukan terhadap aspek teknis (pengambilan bahan baku dan pengolahan), ekonomi, sosial budaya yang meliputi pedagang dan konsumen, kelembagaan, dan kebijakan keamanan pangan. Hasil analisis secara deskriptif menemukan bahwa penanganan produk perikanan masih kurang memperhatikan faktor sanitasi dan higienis. Malahan, beberapa produk perikanan menggunakan bahan pengawet formalin yang bertujuan untuk memenuhi segmen pasar tertentu yang menginginkan ikan yang bertekstur kenyal dan lebih tahan lama. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran produsen dan konsumen domestik terhadap mutu produk perikanan masih rendah. Beberapa faktor yang menyebabkan kurangnya kesadaran produsen dalam menerapkan keamanan mutu antara lain faktor sosial budaya rendahnya tingkat pendidikan baik para pengolah maupun masyarakat konsumen. Sementara dari aspek kelembagaan dikarenakan kurangnya penyuluhan dan pengawasan oleh pemerintah.

Sementara itu Yuwono, Zakaria, dan Panjaitan (2012) menyebutkan bahwa dalam upaya meningkatkan jaminan mutu dan keamanan produk perikanan, khususnya fillet ikan, Kementerian Kelautan dan perikanan memperkenalkan Good Manufacturing Practises (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP). Namun dalam prakteknya penerapan GMP dan SSOP masih belum dapat diterapkan secara maksimal. Penelitian ini dilakukan pada pabrik pengolahan fillet ikan yang berhenti menerapkan GMP dan SSOP dengan tujuan untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan proses penerapan tersebut. Pengolahan dan analisis data menggunakan metode deskripsi dan analisis pra syarat. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan penerapan GMP dan SSOP pengolahan fillet ikan antara lain disebabkan faktor internal seperti rendahnya tingkat pengetahuan dan kurangnya pemahaman, faktor eksternal seperti kurangnya sosisalisasi, kurangnya fasilitas air bersih, es dan rantai dingin, kurangnya pembinaan,

(30)

lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, dan faktor karakteristik inovasi seperti rendahnya permintaan pasar, rendahnya keuntungan yang diperoleh, dan rumitnya penerapan GMP dan SSOP.

Pemahaman pelaku usaha terhadap materi SNI (sukarela) keberadaan lembaga penunjang (lembaga sertifikasi produk, supervisi/pengawas mutu) menjadi faktor penentu utama bagi perusahaan dalam menerapkan SNI yang ada. Dengan menerapkan SNI sebenarnya perusahaan memperoleh manfaat atau benefit yaitu adanya image atau anggapan bahwa produk yang dihasilkan perusahaan yang bersangkutan merupakan produk berkualitas. Sehinga secara tidak langsung, kualitas yang baik dari produk yang dihasilkannya akan mampu meningkatkan daya saing produk tersebut di pasar (Puska Dagri, 2012).

Penerapan suatu standar, termasuk SNI seringkali dianggap sebagai suatu biaya tambahan (extra costs) bagi perusahaan. Hal ini karena mereka melihat bahwa dengan SNI mereka harus menambah biaya untuk proses pengujian, laboratorium yang tersertifikasi. Biaya untuk peralatan dan dan sertifikasi ini dianggap sebagai biaya terbesar dalam menerapkan SNI. Perlu adanya insentif dari pemerintah dalam bentuk sarana dan prasarana Laboratorium Uji dan Sumber Daya Manusia di bidang standardisasi yang terkareditasi secara nasional dan internasional (Puska Dagri, 2012).

2.3. Penelitian Gap Analisis di Beberapa Negara

Pemerintah Australia melalui Departemen Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (Department of Agriculture, Fisheries and Forestry) melakukan kajian terhadap sistem kualitas manajemen (quality management systems) dalam hubungannya dengan supply chain management untuk komoditas dan produk olahan Genetically Modified (GM) dan non-GM products dalam upaya untuk memenuhi persyaratan domestik dan internasional (Lovell, Clark, dan Jeffries, 2003). Produk-produk yang menjadi kajian adalah kanola (canola), katun (cotton), susu dan poppies. Kajian ini, bertujuan, salah satunya untuk melihat adanya gap yang terjadi pada sistem supply chain. Studi ini juga melakukan penilaian terhadap resiko yang muncul bila terjadi gap dalam sistem yang ada.

(31)

Beberapa hal yang dikaji adalah bagaimana produk tertentu sepeti susu, kanola dan lainnya bergerak dari pergudangan (areal pemanenan) sampai ke penyalur. Permasalahan yang mungkin muncul dan penyebabnya juga dikaji, termasuk di dalamnya adalah apakah suatu permasalahan yang timbul memberikan efek negatif secara komersial atau tidak. Resiko akan kemungkinan adanya keluhan dari konsumen juga menjadi perhatian tersendiri dalam kajian ini.

Beberapa negara seperti Chili, Kenya, Malaysia dan Meksiko berupaya untuk melihat adanya gap standar yang terjadi dengan melakukan benchmarking dengan GlobalGAP khususnya untuk produk-produk pertanian (Valk dan Roest, 2009). Beberapa negara tersebut melakukan benchmarking standar nasional mereka dengan GlobalGAP dalam upaya untuk meningkatkan akses pasar ekspor khususnya di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Beberapa hal yang dikaji adalah bagaimana karakteristik dari standar nasional mereka dan quality sistem dari produk makanan dan proses benchmarking dengan GlobalGAP.

Di negara-negara tersebut skema National Gap dimotori oleh pihak pemerintah dan juga swasta. Untuk Malaysia dan Mexico, National Gap Scheme dimotori oleh pemerintah (Malaysia's Best and Mexico Calidad Suprema). Sementara itu di Kenya dan Chili, inisiatif untuk melakukan benchmarking justru dilakukan oleh swasta dengan nama ChileGAP dan KenyaGAP. Untuk Kenya, inisiatif pembentukan GAP tersebut dilakukan oleh perusahaan besar di negara tersebut kemudian disetujui oleh pemerintah. Pembentukan benchmarking di negara-negara tersebut dibentuk sebagai instrumen pasar dalam mengembangkan pasar ekspornya. Benchmarking digunakan untuk meningkatkan kredibiltas produk mereka di pasar ekspor.

Negara ASEAN lain yang melakukan benchmarking terhadap GlobalGAP adalah Thailand. Di Thailand ide pembentukan gap ini adalah datang dari pemerintah dengan Thai Q-Gap dan ThaiGAP yang diusulkan oleh pihak eksportir swasta. Tujuan dari benchmarking yang dilakukan Thailand adalah sama seperti negara lainnya, terutama untuk meningkatkan market share dari buah-buahan segar dan sayuran, khususnya di pasar Eropa. Langkah bersama yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta ini adalah upaya bersama untuk

(32)

mencapai kesesuaian dengan standar internasional yang ada (Valk dan Roest, 2009). Meskipun, pada dasarnya upaya pemenuhan gap ini bersifat sukarela seperti halnya pemenuhan standarisasi pada umumnya.

(33)

BAB III METODOLOGI

Standar produk menjadi suatu kebutuhan masyarakat sekarang ini, baik bagi produsen maupun konsumen. Bagi produsen dengan adanya standar berarti mereka bisa memperoleh jaminan bahwa produk yang bersangkutan mempunyai kualitas yang baik dan memenuhi standar keselamatan, keamanan, kesehatan dan pelestarian lingkungan hidup. Bagi produsen, standar berimplikasi pada meningkatnya daya saing produk baik di pasar dalam negeri maupun pasar global. Dengan demikian upaya penerapan standar mempunyai dua keuntungan baik bagi produsen, konsumen maupun perekonomian nasional secara umum. Ada kecenderungan sekarang ini bahwa banyak negara yang mulai memperhatikan dan peduli pada arti pentingnya standar internasional dan sistem sertifikasi sebagai alat untuk memastikan adanya jaminan terhadap kualitas, efisiensi produk, kesehatan dan kelangsungan lingkungan hidup (Khan, Ali dan Tanveer, 2005).

3.1 Kerangka Pemikiran

Dalam rangka mewujudkan produk dengan kualitas yang baik, memenuhi standar keselamatan, keamanan, kesehatan dan pelestarian lingkungan hidup, maka suatu produk harus dipastikan bahwa dalam seluruh proses produksinya (mulai dari bahan baku sampai produk akhir) harus memenuhi standar tertentu yang dipersyaratkan. Untuk memastikannya maka keseluruhan supply chain yang ada termasuk para pelakunya bertanggung jawab untuk mewujudkannya dari produk dasar/bahan baku dan asal usulnya (raw materials) sampai konsumsi akhir (final consumption) (CODEX Alimentarius Commision, 2003; Faergemand and Jespersen, 2004; Khan, Ali, Tanveer, 2005; Will and Guenther, 2007).

Gambar 2.1 berikut menampilkan proses aliran barang dalam upaya untuk memperoleh produk yang memenuhi standar (Kualitas, Kesehatan, Keamanan, Keselamatan dan Lingkungan Hidup). Jaminan produk yang berkualitas dan memenuhi standar yang diinginkan harus dimulai dari bahan baku termasuk asal usul dari bahan baku tersebut, sampai barang tersebut berada di tangan konsumen akhir. Jaminan ini melibatkan tanggung jawab berbagai pemangku kepentingan yang

(34)

terlibat dalam upaya untuk melakukan kegiatan (practices) yang baik dalam memproduksi bahan baku, penjualan/distribusi bahan baku, proses produksi (manufacturing), dan distribusi barang jadi. Dalam semua rantai itu harus bisa memastikan adanya higinitas melalui, diantaranya, praktek Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP).

Gambar 3.1

Alur Barang untuk Memenuhi Standar (Kualitas, Kesehatan, Keamanan, Keselamatan dan Lingkungan Hidup)

Sumber: Diadopsi dari Will and Guenther (2007).

Kondisi ideal yang ditunjukkan dalam Gambar 3.1 menjadi sesuatu yang diinginkan oleh konsumen secara umum. Namun demikian, dalam kondisi tertentu yang ada di dalam suatu perekonomian, dimana konsumen dan produsennya sangat beragam, upaya untuk mewujudkan kondisi ideal tersebut tidaklah mudah. Ada berbagai pertimbangan baik itu pertimbangan ekonomi, sosial, lingkungan dan lainnya yang terlibat dalam aliran barang tersebut, sehingga pemerintah harus bijak

(35)

dalam membuat suatu peraturan terkait standar ini. Beberapa pertimbangan tersebut adalah perlindungan konsumen, produsen (perbedaan kemampuan, khususnya usaha kecil dan menengah), dunia industri dan perekonomian secara umum. Hal ini pulalah, untuk kasus Indonesia, yang mendasari adanya Standar Nasional Indonesia (SNI) yang sukarela dan wajib. SNI sukarela yang ada tidak serta merta bisa dijadikan menjadi SNI wajib, diantaranya, dengan pertimbangan tersebut di atas.

Gambar 3.2

Kerangka Pikir Kajian SNI dengan Gap Analisis

Catatan: + Gap adalah adanya perbedaan SNI dengan standar internasional, dimana SNI mempunyai unsur lebih; - Gap adalah kekurangan yang ada dalam SNI.

Dalam penelitian tentang kebutuhan standar dalam dimensi perlindungan konsumen dan penguatan daya saing, akan dilihat ada tidaknya gap dalam kebutuhan standar di Indonesia. Kerangka pikir dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 2.2. SNI (khususnya produk makanan) merujuk pada standar internasional yang ada seperti CODEX Alimentarius, HACCP dan juga ISO (khususnya ISO

Standar Internasional (CODEX, HACCP, ISO, Private Standards) Standar nasional (SNI, regulasi teknis) Pertimbangan kebutuhan (perlindungan konsumen, peningkatan daya saing) Kesesuaian atau ketidaksesuaian (gap

positif dan negatif)

Solusi (bridging the gap)

(36)

22000 yang terkait dengan food safety). Namun demikian, dalam kenyataannya, ada kemungkinan terjadi gap antara SNI dengan standar internasional yang ada, baik positif maupun negatif. Yang dimaksudkan dengan gap positif adalah bahwa apabila SNI yang ada mempersyaratkan sesuatu pada produk tertentu dengan standar yang lebih tinggi (kualitas yang lebih baik) dari pada yang dipersyaratkan dalam standar internasional. Sementara gap negatif adalah apabila SNI yang ada terdapat kekurangan atau tidak mempersyaratkan sesuatu yang seharusnya (idealnya). Untuk perusahaan/importir dari negara-negara tertentu seperti dari Uni Eropa (UE), ada juga yang menerapkan private standard yang dikeluarkan oleh swasta (perusahaan). Bagi negara atau produsen untuk produk tertentu yang ingin melakukan ekspor ke negara tujuan juga harus memenuhi private standard. Gap analisis juga akan diterapkan pada SNI dan private standard.

Dengan diketahuinya gap diharapkan bisa ditemukan solusi (bridging) sehingga standar yang ada (SNI) bisa memenuhi kebutuhan konsumen dan produsen di pasar domestik maupun internasional. Perbaikan standar ini diharapkan bisa diarahkan untuk perlindungan konsumen yang lebih baik dan peningkatan kemampuan daya saing produk Indonesia di pasar baik dalam negeri maupun luar negeri, sekaligus juga memperkuat daya industri khususnya usaha kecil dan menengah (UKM).

3.2. Metode Analisis

Metode analisis yang dipakai adalah analisis deskriptif yaitu analisis gap untuk melihat komponen dasar yang diperlukan oleh suatu produk untuk bisa memenuhi standar tertentu. Kebutuhan standar ini akan dibandingkan antara SNI dengan standar internasional yang ada yang mengacu pada CODEX Alimentarius, HACCP, dan ISO (ISO 22000).

a. Analisis Gap

Analisis gap dalam standardisasi ini bisa dilihat sebagai upaya untuk melihat adanya kesesuaian atau ketidaksesuaian (Compliance Gap Analysis). Analisis compliance gap ini bisa dilakukan dengan membandingkan antara kondisi yang sekarang ada ada (real situation) dengan kondisi yang dibutuhkan (desired situation). Di samping itu juga pengukuran terhadap gap yang terjadi (measuring the

(37)

gap) dan juga upaya untuk menutup atau mengatasi gap (closing/bridging the gap) yang juga penting untuk dilakukan (Khan, Ali dan Tanveer, 2005). Dengan adanya analisis gap, diharapkan bisa ditemukan solusi untuk mencapai kondisi yang diharapkan (sesuai persyaratan yang ada).

Analisis gap akan dilakukan untuk melihat komponen dasar yang seharusnya ada dalam standar produk, apakah SNI yang ada (wajib/sukarela) sesuai dengan standar internasional yang ada ataupun persyaratan tertentu lainya (national standard yang diberlakukan oleh mitra dagang, juga kemungkinan adanya private standard).

Dalam upaya untuk mengetahui bahwa produk makanan memperolah jaminan sesuai standar, maka pemenuhan persyaratan dalam proses (produksi) dan persyaratan yang ditentukan oleh konsumen harus diketahui secara menyeluruh. Adanya komitmen dari semua pihak yang terlibat dalam jaringan produk terhadap sistem, konsumen, pasar dan juga persyaratan teknis menjadi sangat penting. Analisis gap untuk melihat adanya gap yang mungkin terjadi dalam rantai nilai dalam proses produksi (termasuk bahan baku) produk perikanan di Indonesia. Dalam melakukan kajian ini, gap yang ada akan dilihat dari dua sisi, yaitu sisi ekspor dan impor:

- Sisi ekspor

Dari sisi ekspor, kajian ini dilakukan untuk mencari gap antara SNI dan standar internasional yang berlaku (CODEX Alimentarius, HACCP, dan ISO (ISO 22000), national standard dari mitra dagang dan private standard). Kajian gap dari sisi ekspor ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional dan meningkatkan akses dan penetrasi di pasar internasional.

- Sisi impor

Masuknya barang impor yang terkadang tidak memenuhi standar yang ada bisa merugikan konsumen dan produsen. Jenis produk impor tersebut cenderung mempunyai kualitas yang rendah dan harga yang murah, sehingga mengancam produk lokal di pasar dalam negeri. Gap analisis akan dilakukan terhadap produk impor yang masuk ke pasar domestik. Hal ini dilakukan untuk memastikan apakah produk impor tersebut memiliki standar tertentu atau tidak dan bagaimana gap yang ada antara SNI dengan standar produk yang masuk.

(38)

Berikut disajikan analisis gap SNI dengan standar yang ada baik dari sisi ekspor (Tabel 3.1) maupun dari sisi impor (Tabel 3.2)

Tabel 3.1

Sisi Ekspor - Gap SNI* dengan Standar Internasional (CODEX, HACCP, ISO),

National Standard Negara Importir dan Private Standard

Unsur Rincian + Gap -Gap Solusi

Bahan baku a) Bentuk b) Asal c) Mutu d) Peyimpanan Bahan tambahan makanan sesuai SNI 01-0222-1995) Penanganan dan Pengolahan a) Penerimaan b) Pencucian c) Sortasi d) Penimbangan e) Pembekuan f) Pengepakan a) Bahan penolong b) Peralatan (jenis dan persyaratan) Sanitasi dan higiene ditangani, disimpan, didistribusikan dan dipasarkan dengan menggunakan wadah, cara dan alat yang sesuai dengan persyaratan sanitasi dan higiene

Syarat mutu dan keamanan pangan a) Organoleptik b) Cemaran Mikroba c) Cemaran Kimia d) Fisika e) Parasit Pengambilan contoh SNI 01-2326-1991, Standar metode pengambilan contoh (produk perikanan).

(39)

Cara uji a) Organoleptik b) Mikrobiologi c) Kimia d) Fisika e) Parasit Pengemasan/ Packing a) Bahan kemasan b) Teknik pengemasan Penandaan/ Labelling a) jenis produk b) berat bersih produk c) nama dan alamat

unit pengolahan secara lengkap d) bila ada bahan

tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut e) tanggal, bulan dan

tahun produksi f) tanggal, bulan dan

tahun kadaluarsa. Penyimpanan

Catatan: Tabel kesesuaian ini adalah untuk produk perikanan, sebagai contoh analisis gap.

Dalam SNI, khususnya yang terkait dengan produk perikanan, arti penting standar sebagai upaya untuk menghilangkan potensi bahaya. Dengan diketahuinya gap dan upaya mengatasinya dalam penerapan SNI sebagai upaya untuk melindungi konsumen, memperkuat industri dan pasar domestik, diharapkan tidak terjadi gangguan terhadap keamanan (food safety), mutu produk/keutuhan pengolahan (wholesomeness) dan ekonomi (economic fraud). Dalam kaitannya dengan adanya penolakan produk (perikanan), analisis gap bisa diterapkan untuk melihat standar dalam proses (produksi). Pada dasarnya standar proses mempunyai cakupan yang luas yang tidak hanya terkait dengan upaya untuk mewujudkan kesehatan dan sanitasi dalam proses produksi tetapi juga terkait ke belakang (backward linkage) dengan bahan baku, praktek penangkapan (dengan menggunakan kapal atau lainnya), transportasi dan lainnya (Khan, Ali dan Tanveer, 2005).

(40)

Tabel 3.2

Sisi Impor - Gap SNI dengan National Standard Negara Eksportir

Unsur Rincian + Gap -Gap Solusi

Bahan baku a. Bentuk b. Asal c. Mutu d. Peyimpanan Bahan tambahan makanan sesuai SNI 01-0222-1995) Penanganan dan Pengolahan a. Penerimaan b. Pencucian c. Sortasi d. Penimbangan e. Pembekuan f. Pengepakan a. Bahan penolong b. Peralatan (jenis dan persyaratan) Sanitasi dan higiene ditangani, disimpan, didistribusikan dan dipasarkan dengan menggunakan wadah, cara dan alat yang sesuai dengan persyaratan sanitasi dan higiene

Syarat mutu dan keamanan pangan a. Organoleptik b. Cemaran Mikroba c. Cemaran Kimia d. Fisika e. Parasit Pengambilan contoh SNI 01-2326-1991, Standar metode pengambilan contoh (produk perikanan). Cara uji a. Organoleptik

b. Mikrobiologi c. Kimia d. Fisika

(41)

e. Parasit Pengemasan /Packing a. Bahan kemasan b. Teknik pengemasan Penandaan /Labelling a. jenis produk b. berat bersih produk

c. nama dan alamat unit pengolahan secara lengkap d. bila ada bahan

tambahan lain diberi keterangan bahan tersebut e. tanggal, bulan dan

tahun produksi f. tanggal, bulan dan

tahun kadaluarsa. Penyimpanan

Catatan: National standard adalah standar nasional yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor.

Dengan adanya penolakan yang sering terjadi terhadap produk makanan yang diekspor, maka penting untuk mengetahui respon perusahaan di Indonesia. Bagaimana mereka bertindak bila produk yang diekspor ditolak; maupun dalam hal adanya gap antara SNI dengan standar yang ada. Beberapa hal mendasar terkait dengan perilaku perusahaan/produsen yang dikaji dengan menggunakan analisis gap adalah sebagai berikut (Gomm, 2009): (1) Kepedulian (awareness), (2) Pengetahuan (knowledge), (3) Implementasi (implementation), dan (4) Komitmen (commitment).

Beberapa pertanyaan yang bisa diajukan kepada perusahaan (eksportir) terkait dengan perilaku mereka terhadap standar internasional yang ada diuraikan dalam Tabel 3.3. Pertanyaan dalam Tabel 3.3 ini terutama untuk mengkaji bagaimana respon mereka bila produk yang mereka ekspor ditolak di pasar internasional, apa yang dilakukannya dan bagaimana mengatasi gap yang ada. Sementara itu, Tabel 3.4 mengkaji perilaku perusahaan (importir) terhadap SNI yang berlaku. Pertanyaan dalam Tabel 3.4 untuk mengkaji bagaimana respon mereka bila mendapatkan

(42)

produk yang diimpor tidak sesuai dengan standar yang berlaku (SNI), bagaimana mereka meresponnya dan langkah apa yang diambil untuk mengatasinya.

Tabel 3.3

Perilaku Perusahaan (Eksportir) Terhadap Standar Internasional

Gap Solusi Kepedulian (awareness) a) Adanya kepedulian terhadap Standar b) Memperhatikan

ada atau tidaknya label standar Pengetahuan (knowledge) a) Mengetahui tentang Standar dan SNI b) Mengetahui bahwa produk memenuhi standar negara tujuan Implementasi (implementation) Mengekspor produk yang memenuhi standar Komitmen (commitment) Hanya mengekspor produk ber-standar Langkah yang dilakukan a) Adanya penolakan produk b) Ketidaksesuaian dengan standar b. Mapping SNI

Mapping ini dilakukan untuk mengidentifikasi SNI yang ada dan pengelompokkannya berdasarkan SNI wajib dan sukarela. Mapping SNI dilakukan terutama untuk melihat jumlah SNI yang ada untuk produk perikanan, hortikultura, batik dan mebel rotan.

3.3. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang diperlukan terdiri dari data sekunder dan data primer. Data sekunder meliputi hasil studi sebelumnya serta literatur lainnya terkait dengan standardisasi dan perlindungan konsumen. Data yang dipakai dalam studi ini adalah data yang diperoleh dari studi pustaka dan penelitian lapangan. Data dari studi pustaka

(43)

meliputi CODEX Alimentarius, HACCP, ISO terkait, national standard mitra dagang, private standard, SNI dan data lainnya. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam (indepth interview) untuk mengetahui respon perusahaan bila terjadi penolakan atau komplain karena adanya ketidaksesuaian dengan standar (SNI).

Untuk menentukan jumlah perusahaan yang akan dikunjungi di daerah penelitian digunakan metode pengambilan sampel dengan purposive sampling. Dengan jumlah industri dan produk yang sangat banyak, maka dalam kajian ini kunjungan lapangan akan ditujukan pada industri produk-produk pilhan dengan melakukan wawancara (dengan pertanyaan terstruktur) dengan perusahaan/produsen (eksportir/importir), dan atau asosiasi serta dinas teknis di daerah.

Selain dari penelitian di daerah, untuk mendapatkan informasi yang lebih komprehensif dan untuk pemantapan hasil kajian maka akan dilakukan diskusi terbatas di Jakarta. Tabel 2.5. berikut ini memperlihatkan bagaimana data akan dianalisis di setiap tahap, yang disusun berdasarkan tujuan dan output kajian.

Tabel 3.4.

Metodologi dan Analisis Data Tujuan Kajian Metode

analisis

Data Sumber Output

Mengidentifikasi kebutuhan standar produk di pasar domestik dan internasional Standard mapping Sekunder dan primer: laporan regular, pustaka, hasil wawancara BSN, lembaga/inst ansi terkait, stakeholders Identifikasi kebutuhan standar produk di pasar domestik dan internasional Menganalisis kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar domestik maupun internasional Gap Analysis SNI, CODEX Alimentarius, ISO 22000, Private Standard BSN, , CODEX Alimentarius, ISO, Global Gap Hasil analisis kesesuaian atau ketidaksesuaian antara SNI dengan standar yang dibutuhkan oleh pasar domestik maupun internasional

(44)

Menganalisis faktor- faktor penghambat dalam penerapan standar Gap Analysis Primer; hasil indept interview Pelaku usaha (eksportir dan importer), instansi teknis Hasil analisis faktor-faktor penghambat dalam penerapan standar produk pangan Memberikan usulan kebijakan dalam mengatasi gap standar Sintesa 1, 2, 3, dan 4 serta hasil diskusi Data primer dan sekunder (1, 2, 3) Hasil analisis gap dan faktor-faktor penghambat serta dari hasil diskusi dengan steakholders Usulan kebijakan mengatasi gap standar dalam rangka peningkatan daya saing dan perlindungan konsumen

(45)

BAB IV

KONDISI DAN PERKEMBANGAN SNI PRODUK INDONESIA

Standar Nasional Indonesia (SNI) merupakan ketentuan teknis yang diperoleh melalui konsensus dan ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN, 2011). Perumusan SNI dilakukan secara konsensus dengan melibatkan berbagai stakeholders sesuai dengan jenis produknya sudah menggunakan standar internasional yang ada sebagai acuannya. Namun demikian, tidak semua aturan teknis standar internasional tersebut dipakai atau diaplikasikan.

Penerapan SNI dari SNI sukarela menjadi wajib memerlukan berbagai infrastruktur pendukung yang memadai (BSN, 2011). Dukungan infrastruktur diperlukan sehingga SNI produk yang bersangkutan bisa diterima tidak hanya di tingkat nasional tapi juga internasional. Penerapan SNI oleh perusahaan pada dasarnya bersifat sukarela. Namun, pemerintah dengan tujuan untuk melindungi kepentingan kesehatan, keselamatan, keamanan, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup (K3L), atau atas dasar pertimbangan tertentu dapat memberlakukannya menjadi SNI wajib.

Penerapan SNI sudah berlangsung selama tiga belas tahun sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Berdasarkan data tahun 2011, jumlah penerapan SNI pada sektor industri baru mencapai sekitar 20%. Masih rendahnya tingkat penerapan SNI di dunia industri dikarenakan ketidaktahuan produsen maupun konsumen atas penerapan SNI pada produk tertentu, sulitnya proses sertifikasi dan mahalnya biaya pengujian untuk mendapatkan sertifikasi SNI (Kementerian Perindustrian, 2011).

4.1 Perkembangan Jumlah SNI

Pengembangan SNI tidak hanya menyangkut jumlah SNI tetapi juga bisa berupa revisi atau perbaikan dari SNI yang sudah ada, maupun abolisi atau penghapusan SNI. Kementrian Perindustrian juga melakukan revisi terhadap SNI produk industri. Hal ini dimungkinkan karena pada dasarnya dalam kurun waktu 5 tahun, SNI bisa ditinjau ulang untuk bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan

Gambar

Tabel 4.3   Kepemilikan SPPT-SNI
Gambar 6.4  Pemenuhan Gap Standar

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui dan Menganalisis peraturan perundang-undangan yang terkait dengan jual beli online terutama aspek perlindungan konsumen dan juga pelaku usaha

- Asas Kepastian Hukum : Baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh. keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan

Pelaku usaha periklanan, yang menuntut keahlian profesional Pasal 17 Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan kepada pelaku

Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen 

Menjawab tantangan globalisasi sekaligus mewujudkan pencapaian perlindungan konsumen dan pengamanan pasar dalam negeri, pada tahun 2010 Kementerian Perdagangan Republik Indonesia

8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang termuat dalam Pasal 2 huruf e yaitu “Perlindungan konsumen bertujuan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

Untuk mewujudkan perlindungan bagi konsumen, maka perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional penjelasan

Ringkasan kegiatan dari program kerja Kementerian Perdagangan untuk meningkatkan daya saing pelaku