• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONDISI MASYARAKAT TURKI AWAL ABAD 20

A. Sosial-Politik

Republik Turki yang baru dibentuk lebih bersifat homogen dalam kebangsaan, bahasa dan agama. Karena itu dalam perjanjian Laussane tahun 1923, bangsa Turki pimpinan Atatürk melepaskan diri dari sisa-sisa warisan Dinasti Usmani yang dahulunya berkuasa di sepanjang wilayah Balkan, Anatolia, Mesopotamia, Syria, Lebanon, Palestina, semenanjung Arabia hingga Afrika Utara, dan membatasi diri dalam wilayah yang mayoritas penduduknya berbahasa Turki. Negara yang baru dibentuk ini kemudian menghadapi problem baru dalam bidang pendidikan, institusi sosial dan modal dibandingkan dengan kekurangan sumber daya alam. Terjadinya migrasi dari wilayah timur Anatolia yang kondisi ekonominya lebih terbelakang menyebabkan terjadinya perubahan sosial yang masif di kota-kota sebelah barat Turki dan kemudian menyebar di wilayah-wilayah sekitarnya.1

1Irene B. Taeuber, “Population dan Modernization in Turkey”, Population Index, Vol. 24, No. 2, (April, 1958), h. 101

Menurut Lapidus, sejarah Turki modern dibedakan menjadi dua fase. Periode pertama antara 1921 hingga 1950, dan periode kedua dari 1950 hingga sekarang.2 Periode pertama ditandai dengan fase kediktatoran presidensial, reformasi agama, dan tahap program industrialisasi. Setelah perubahan dari Kesultanan menjadi Republik, Turki menerapkan sistem satu partai yaitu Partai Republik (RPP). Partai ini berkomitmen untuk sejalan dengan prinsip-prinsip revolusi yang dikobarkan oleh Atatürk yang bertujuan membangkitkan kehidupan nasional Turki ke puncak tertinggi peradaban sebuah bangsa.3 Pada awal kebijakannya, Partai tidak menghendaki adanya oposisi dalam pemerintahan. Rezim Republik menggunakan lembaga negara sebagai alat untuk menyebarkan informasi tentang kemajuan pertanian, mengorganisir program pendidikan baru, serta mengajarkan ideologi nasional dan sekuler kepada masyarakat. Dalam setiap propagandanya rezim Republik selalu berbicara atas nama rakyat Turki, namun tidak berupaya untuk menjalin hubungan dekat dengan mereka.

Golongan Kemalis adalah sebutan bagi pendukung setia Mustafa Kemal Atatürk. Mereka memiliki tujuan utama untuk menciptakan pembangunan ekonomi nasional dan modernisasi kultural. Mereka berusaha meningkatkan produksi pertanian dengan mereduksi pajak dan berinvestasi dalam proyek jalan dan lintasan kereta api. Pembangunan di segala bidang dimantapkan sehingga dalam tempo sepuluh tahun rezim yang berkuasa telah menyiapkan dasar-dasar bagi kelahiran ekonomi industri modern. Adapun kebijakan paling penting dari kaum Kemalis dengan Partai Republik sebagai corongnya adalah revolusi kultural

2

Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, (terj) Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), h. 88

3 Donald E. Webster, “State Control of Social Change in Republican Turkey”, American Sociologi Review, Vol. 4, No. 2, (April 1939), h. 247

yang merenggangkan hubungan antara masyarakat dengan agama serta nilai-nilai tradisional dengan jargon kemajuan dan kemoderenan.4

Untuk tujuan tersebut, Lembaga Desa (Village Institute) kemudian didirikan untuk memudahkan pengembangan loyalitas masyarakat dan untuk berkomunikasi dengan warga negara agar sesuai dengan misi dan nilai yang telah diformulasikan oleh rezim Republik Turki. Meskipun begitu, lembaga ini secara luas dibenci oleh rakyat. Mereka menduga dalang di balik pendirian lembaga-lembaga tersebut adalah pendukung Komunis dan Ateis. Mereka juga meyakini bahwa lembaga tersebut hanya sebagai kontrol negara dan telah gagal mewujudkan retribusi tanah serta melepaskan rakyat dari kekuasaan tuan tanah.5 Sekalipun beberapa kebijakan ekonomi dan kultural rezim Kemalis bersifat radikal, rezim ini bukanlah rezim revolusioner. Tidak ada upaya untuk memobilisasi kaum petani seperti halnya rezim Komunis. Perpaduan antara kebijakan kultural yang radikal dengan kebijakan sosial politik yang konservatif menjadikan Republik Turki sebagai model baru Negara-Bangsa yang pertama di Asia.6

Fase kedua yang dimulai dari tahun 1950 hingga sekarang ditandai dengan kekuasaan multi partai, berkembangnya perbedaan sosial, perubahan ekonomi yang pesat dan berkecamuknya konflik ideologis. Pada tahun 1945, Partai Republik memperkenalkan sistem multi partai dengan memperbolehkan berdirinya Partai Demokrat. Sejak itu kekuasaan pemerintahan beralih dari kediktatoran ke sebuah pemerintahan demokrasi yang terpilih dengan banyak

4

Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, h. 89 5

Muhammed Çetin, Pencerahan Gülen: Gerakan Sosial Tanpa Batas. (terj) Pipin Sophian dkk, (Jakarta: UI-Press, 2013), h. 22

6

partai di dalamnya. Partai Demokrat memenangkan pemilihan umum dan melancarkan kebijakan-kebijakan ekonomi baru. Salah satu kebijakan Partai Demokrat tentang mekanisasi di bidang pertanian menyebabkan banyak pengangguran dan memaksa buruh di bidang tersebut berimigrasi ke kota untuk mencari pekerjaan. Pedagang dan usahawan mengakumulasi kekayaan dan dengan pengaruh politik yang kuat menyerukan stabilitas ekonomi mereka. Asal-usul konglomerat industri berskala besar di Turki sekarang berasal dari masa ini.

Kendati demikian, pertumbuhan ekonomi yang cepat menimbulkan konsekuensi sosial yang tinggi. Bergabungnya para pedagang dalam aktivitas politik bersama dengan Partai Demokrat menimbulkan kecemburuan politik dari pihak-pihak yang merasa terancam. Kekacauan ini menimbulkan kebencian dari kalangan birokrasi dan elite intelektual “Rezim Republik” terhadap pemerintah. Hal ini disebabkan karena kebijakan Partai Demokrat yang berorientasi demokratis serta toleran terhadap Islam dianggap mencederai semangat revolusi Atatürk. Kemudian akibat kondisi ekonomi yang sulit, usahawan dan akademisi yang tidak puas memutuskan untuk menarik dukungan terhadap Partai Demokrat, mengakibatkan mobilisasi mahasiswa untuk melakukan demonstrasi di jalan-jalan.

Selain itu ketidakpuasan terhadap pemerintah juga datang dari dalam tubuh militer. Sejak berakhirnya perang dunia kedua, prestise karir militer di Turki menurun drastis. Demokratisasi telah memarginalkan peran mereka yang biasa memainkan kontrol utama dalam masalah-masalah negara, sehingga sejumlah perwira militer membentuk gerakan oposisi terhadap pemerintah dan

memasukkan ideologi revolusioner ke dalam pelatihan taruna dan perwira junior. 7 Kemudian dengan alasan kemerosotan ekonomi, sebuah kudeta militer yang dilancarkan pada tanggal 27 Mei 1960 berhasil menggulingkan pemerintahan Demokrat. Kudeta ini didalangi oleh kubu militer yang bersekutu dengan elite birokrat dan pelajar. Rezim militer kemudian membentuk National Unity Committee yang bertahan hanya satu tahun, namun berhasil membubarkan Partai Demokrat, menangkap pemimpinnya, dan memberlakukan sebuah konstitusi dan parlemen baru.8

Setelah kudeta militer tahun 1960, Zürcher membagi periode Republik menjadi dua yaitu periode Republik Turki kedua (1960-1979), dan periode Republik Turki ketiga yang bermula sejak tahun 1980.9 Periode Republik Turki kedua ditandai dengan terbentuknya partai-partai sayap kanan maupun kiri, bangkitnya kembali sistem demokrasi, dan kudeta militer. Instabilitas politik yang terjadi mampu diredam sebentar ketika Suleyman Demirel berkuasa dari tahun 1965, namun memburuknya ekonomi, perubahan sosial dan hilangnya kepercayaan publik terhadap negara menggoyahkan pemerintahan. Disamping itu pertentangan antara golongan kiri dan kanan semakin menajam. Partai Nasional Republik Petani (RPNP) mewakili golongan kanan yang radikal, sedangkan golongan kiri membentuk Confederation of Revolutionary Workers’ Unions (DISK). Aktifitas dan kegiatan kelompok ekstremis dan fundamentalis ini menarik para mahasiswa dan pemuda untuk bergabung sehingga memperparah kondisi dalam negeri Turki. Salah satu kelompok ekstremis kiri paling terkenal

7

Muhammed Çetin, Pencerahan Gülen, h. 27-29 8

Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, h. 96

9 Eric J. Zürcher, Sejarah Modern Turki, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 318-370

yang muncul dari kegiatan diskusi kampus adalah Revolutionary Youth ( Dev-Genç). Kelompok ini berada di bawah pengaruh paham Marxis dan menyerukan masyarakat untuk menjatuhkan pemerintahan dengan cara kekerasan. Mereka pada umumnya anti pada imperialisme Barat khususnya Amerika Serikat. Sedangkan kelompok kanan yang bersatu dalam sikap anti-komunisme tidak menyukai kelompok kiri. Mereka mendukung nilai-nilai kesalehan Islam konservatif sebagai norma masyarakat Turki meskipun kerap dimanipulasi demi kepentingan politik semata. Kerusuhan ini terjadi sehingga Demirel terpaksa mengundurkan diri pada tahun 1970 dan militer segera mengambil alih negara pada 12 Maret 1971. Kudeta ini dilancarkan dengan alasan krisis di parlemen dan kurang kompetennya pemerintahan yang menyebabkan bentrokan di jalan-jalan dan di kampus antara kelompok komunis dan ultranasionalis yang melibatkan pasukan keamanan. Alasan ini berulang kali dikatakan ketika pihak militer mengambil alih kekuasaan untuk membenarkan tindakan tersebut.10

Militer kemudian memberlakukan kembali sebuah pemerintahan sipil. Namun, koalisi pemerintahan yang bergantian berkuasa umumnya lemah dan mengalami jalan buntu akibat bergantungnya industri baru terhadap barang impor dan turunnya nilai investasi dalam negeri, hal ini mempengaruhi kegelisahan sosial dan melumpuhkan pemerintahan di akhir tahun 70-an. sehingga konflik yang terjadi sepanjang tahun 70-an seakan meneruskan konflik yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Akhirnya militer kembali mendapatkan kesempatan untuk melakukan kudeta yang mengakhiri periode Republik kedua.11

10 Muhammed Çetin, Pencerahan Gülen, h. 38-41 11

Kembalinya militer ke tampuk kekuasaan untuk ketiga kalinya pada September 1980 disebut sebagai awal periode Republik ketiga. Ketakutan akan ancaman fundamentalisme pada umumnya dipandang sebagai penyebab utama kembalinya intervensi militer yang mengakhiri Republik kedua. Perbedaan kudeta ini dengan dua kudeta yang terjadi sebelumnya adalah, militer tidak saja mengambil alih pemerintahan namun membubarkan semua partai politik, menangkap para pemimpin politik, menyita aset mereka dan memusnahkan segala sesuatu termasuk arsip-arsip yang terkait dengan masa lalu partai-partai di Turki. Jenderal Kenan Evren yang berkuasa menjelaskan bahwa kelak di Turki sama sekali tidak ada tempat bagi mantan politikus terdahulu. Semua struktur pemerintahan diisi dan dikendalikan penuh oleh rezim militer. Rezim militer mempunyai kekuasaan luas dan menangani urusan pendidikan, pers, kamar dagang, dan serikat kerja, dan kemudian mengarah kepada penutupan sejumlah surat kabar terkemuka. Junta militer juga memberangus kalangan fundamentalis sehingga keberadaan mereka selama masa tersebut menjadi berkurang.12

Tiga kudeta militer dan pertikaian-pertikaian antara berbagai partai politik di Turki mempengaruhi kehidupan masyarakat secara signifikan. Kekerasan dan demonstrasi di jalan-jalan menjadi hal yang biasa. Kekayaan yang meningkat di tahun 1960-an dan awal 1970-an, diikuti dengan kekurangan bahan pangan serta kenaikan harga setelah masa itu, industrialisasi serta kurangnya peluang pertanian dan daya pikat industri-industri baru yang telah dimulai sejak tahun 1950-an menjadi penyebab perpindahan orang-orang dari desa ke kota-kota besar. Perpindahan ini menimbulkan pembangunan pemukiman padat di pinggiran kota

12

yang disebut gecekondu, rumah yang dibangun sangat kecil dan bergaya lama, mirip dengan kebanyakan rumah umumnya di desa yang dilengkapi dengan kebun atau taman kecil. Meskipun terkesan kumuh, penduduk gecekondu sebenarnya masih terhubung erat dengan desa asal mereka dan sering kembali untuk sekedar merayakan hasil panen di desa.

Pembangunan gecekondu lama-kelamaan semakin bertambah banyak, hingga mencapai separuh pemukiman yang dibangun di Ankara dan kurang lebih separuh dari penduduk Turki adalah penghuni gecekondu. Pada mulanya

gecekondu tidak dilengkapi dengan infrastruktur seperti listrik, bus dan pos. Namun lambat laun akibat perebutan suara dari kalangan parlemen yang bertumpu pada masyarakat yang tinggal di daerah gecekondu, pemukiman pinggiran tersebut secara bertahap dihubungkan dengan jalur listrik, suplai air, sistem jalan dan saluran pembuangan air. Penduduk yang berpindah ini umumnya sulit mendapatkan pekerjaan reguler di industri baru yang sedang berkembang, namun dapat bekerja secara temporer sebagai buruh harian, pembantu rumah tangga, pedagang keliling, pembersih kantor dan terkadang beberapa anggota dalam satu keluarga berkontribusi dalam pendapatan keluarga.13 Hingga dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Turki modern sangat berkaitan dengan dinamika politik yang terjadi pada rentang masa tersebut.

Dokumen terkait