• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sosial Politik Masa al Māwardīy

Zaman yang dijalani seorang manusia itu berpengaruh secara signifikan dalam perilakunya dan pola fikiranya pada masa mendatang.Dengan peran yang dimilikinya, seseorang bisa saja menjadi orang berpengaruh pada masanya. Juga tidak diragukan lagi, bahwa sistem pemerintahanitu mempuyai pengaruh besar dalam kehidupan dan perilaku individu. Begitu juga yang terjadi di masyarakat seperti, kemakmuran, kemiskinan, arus pemikiran, penyebaran ilmu, menjamurnya jumlah ulama, banyaknya produktivitas buku-buku mereka, kemajuan dan kemunduran dunia ilmu pengetahuan. Itu semua sangat mempengaruhi kehidupan individu seseorang seperti al-Māwardīy.

Berkat keahlianya dalam bidang hukum Islam,al-Māwardīy dipercaya untuk memegang jabatan sebagai hakim dibeberapa kota, seperti di Utsuwa (daerah Iran) dan di Baghdad. Dalam kaitan ini al-Māwardīy pernah diminta oleh penguasa pada saat itu untuk menyusun kompilasihukum dalam madzhab Syafi‟i, yang selanjutnya dinamai al-Iqra‟. Karir al-Māwardīy selanjutnya dicapai pada masa Kholifah Al Qoim (1031-1074 M). Pada masa ini pula al-Māwardīy mendapat gelar sebagai Afḍal al-Quḍat (Hakim Agung)(Nata, 2001: 45).Pada zamannya al-Māwardīy adalah tokoh profil tinggi. Dan akhirnya ditunjuk sebagai kepala Qadi dari Baghdad dan kemudian dipercayakan dengan berbagai tanggung jawab atas nama Khilafah. Empat kali ia menjabat sebagai diplomat atas nama Khalifah al-Qa'im (422- 1031, 428/1037, 434/1042 dan 435/1043), penggantinya al-Qadir juga

25

dipercayakan kepada al-Māwardīysebagai diplomat dalam bernegosiasi dengan para pemimpin Bani Buwaih (http://en.wikipedia.org/wiki/al-Māwardīy).

Kondisi dunia Islam saat itu terbagi kedalam tiga negara yang tidak akur dan saling mendendam terhadap yang lain. Di mesir terdapat Negara Fathimiyah, di Andalusia terdapat negara Bani Umaiyah, dan di Irak terdapat negara Bani Abbasiyah. Hubungan di antara Khalifah-khalifah tersebut didasari dengan permusuhan sengit, sebab masing-masing dari keduaanya berambisi untuk menghancurkan satu sama lain. Adapun kondisi internal Khalifah di Baghdad dan sekitarnya, sesungguhnya pemegang kekuasaan sepenuhnya adalah bani Buwaihi. Khalifah sendiri tidak mempunyaai peran penting, bahkan ia adalah barang mainan ditangan mereka (Al-Māwardīy, 2006: xxiv).

Dalam kajian sosial politik, secara pasti al-Māwardīy hidup pada masa kemunduran dinasti Abasiyah.Pada masa ini kekhalifahan yang berpusat di Baghdad sedang mengalami degradasi yang berakibat melemahnya sistem pemerintahan yang berakhir pada jatuhnya Daulah Abasyiyah pada 21 Muharram tahun 656 H/10 Pebruari 1258 pada pasukan Hulagu Khan (Tim Karya Ilmiah,2008:287).Indikatornya antara lain banyak dinasti yang lahir melepaskan diri dari kekuasaan Abasyiyah dan mendirikan kerajaan-kerajaan kecil diluar wilayah Abbasyiyah.

Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu dicatat, bahwa ketika dinasti ini mengalami kemunduran dibidang politik, bidang filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang dan juga banyak melahirkan ilmuan-ilmuan

26

besar seperti al-Māwardīy, al-Ghazali dan berdirinya madrasah yang terkenal dengan namaNizamiyah.

Yangterlihatdalam kajian ilmiah, kondisi pada abad keempat dan abad kelima hijriah adalah munculnya fenomena taklid (fanatik buta) terhadap Imam-imam madzhab: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi‟i dan Imam Ahmad bin Hambal. Sebab langka sekali ada diantara pengikut madzhab-madzhab di atas yang keluar dari madzhab Imamnya dan metodologi ijtihad Imamnya. Kendati taklid (fanatik buta) madzhab muncul pada abad tersebut, namun abad tersebut terasa istimewa dengan munculnya banyak sekali ulama‟ dalam berbagai disiplin ilmu dan banyak sekali buku-buku dalam berbagai disiplin ilmu dikarang.

27

BAB III

DESKRIPSI KITAB ADAB AL-DUNYA WA AL-DIN

A. Kitab Adab Al-dunya Wa Al-din

Kitab Adab al-Dunya wa al-Din merupakan sebuah kitab yang berisi tentang konsep pendidikan Islam. Dalam kitab ini dibahas tentang akhlak manusia dalam membangun kehidupan di dunia, baik yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan maupun urusan agama, dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akherat.

Dalam konteks ini al-Māwardīy tampaknya menghendaki bahwa dalam melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan ataupun sosial kemasyarakatan, manusia harus disertai dengan prilaku sosial yang santun (al-akhlak al- karimah). Kesantunan prilaku sosial ini menurut al-Māwardīyakan terbentuk ketika manusia mampu memaksimalkan potensi akalnya dalam mermbaca fenomena alam dan ayat-ayat Allah yang ada dilingkungan sekitarnya.

Al-Māwardīy dalam membahas setiap detail dari kajian kitab ini menggunakan pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan rasional dan pendekatan nash-nash Al-Qur‟an dan Hadits. Hal ini bisa dipahami dengan posisi al-Māwardīy sebagai seorang Ahli Fiqih bermazhab Syafi‟i (Hudlori Bik, 1995:140-142).

Sebagaimana diketahui, bahwa as-Syafi‟i adalah seorang tokoh pemikir fikih yang menggabungkan dua metode dalam menentukan pemikiran

28

mazhabnya. Metode tersebut adalah metode istidlal dengan nash-nash Al- Qur‟an dan Hadits dan metode berpikir rasional.

Sebagai seorang Ahli Hadits dengan pola pikirnya ini, as-Syafi‟i sebenarnya dipengaruhi oleh pola pikir gurunya yaitu imam Malik bin Anas (Hudlori Bik, 1995:131-133). Sedangkan pola pikir rasionalnya dipengaruhi oleh pola pikir dari madzhab Hanafiyah. (Hudlori Bik, 1995:127-129 dan 141)

Selain itu as-Syafi‟i hidup pada masa kejayaan Mu‟tazilah (Nasution, 2002: 40) sehingga pada waktu itu teologi Mu‟tazilah ini menjadi ideologi negara dan pola pikir rasional menjadi berkembang pada masa itu, dengan ditandai munculnya para filosof dan ahli sains. Pergumulannya dengan penganut Mu‟tazilah ini juga dimungkinkan memberikan sumbangsih pemikiran dalam diri beliau yang membuatnya menerima pola pikir rasional dalam metode berfikirnya. Disini agaknya al-Māwardīy benar-benar seorang Penganut Madzhab Syafi‟i yang setia.

Kitab Adab al-Dunya wa al-Din dinilai sebagai kitab yang amat bermanfaat. Kitab ini pernah ditetapkan oleh kementrian pendidikan di Mesir sebagai buku pegangan di sekolah-sekolah tsanawiyah selama lebih dari 30 tahun. Selain di Mesir, kitab ini diterbitkan pula beberapa kali di Eropa, sementara itu ulama Turki bernama Hawais Wafa Ibn Muhammad Ibn Hammad Ibn Halil Ibn Dawud al-Zarjany pernah menjelaskan kitab ini dan diterbitkan pada tahun 1328.

Menurut perkiraan sejarah, al-Māwardīy memberi judul kitab ini dengan judul al-Bughyah al-Ulya. Tetapi kemudian Kitab ini dikenalkan

29

dengan namaAdab al-Dunya wa al-Din ketika dicetak dieropa oleh para pencetak buku.

Secara keseluruhan kitab Adab al-Dunya wa al-Din terdiri dari lima bab yang sebagian membahas tentang akhlak dan kualitas keberagaman serta kiat-kiat dalam usaha mewujudkan hal tersebut, dan sebagian membahas tentang akhlak kehidupan sosial kemasyarakatan. Pembahasan Tersebut dibahas dengan pendekatan ilmiyah falsafi dan pendekatan nash-nash Al- Qur‟an dan Hadits (As-saqo‟,1995: 12-16). Gaya penulisannya ini menurut Hawais mempunyai karakteristik yang sama dengan model pemikiran Ibn Khaldun dalam kitab Muqoddimahnya.

Kitab Adab al-Dunya wa al-Din berisi tentang konsep kekinian di dalam muhakaamat (kebijakan) untuk melakukan atau merubah sutu hukum, tidak terkecuali di dalam pembaharuan pendidikan akhlak pada agama Islam waima juga pada antar kelompok dan sub agama dalam rangka mencapai sinergitas, kebahagiaan dan hubungan rububbiyah dan ijtima‟iyyah baik untuk kemaslahatan dunia maupun akhirat. Dalam konteks yang dijelaskan di atas, Syaikh Abu Hasanal-Māwardīymenjelaskan bahwa menyaksikan suatu kemanfaatan dan suatu kemuliaan adalah latihan terhadap hati dan menghiasi suatu kepentingan (Al-Māwardīy, 2006: 22). Jadi yang dimaksudkan disini adalah suatu manfaat dan wacana yang baik serta berguna adalah bagaimana cara dengan melatih diri dan mendahulukan serta menepati perkara yang penting dalam urusan di dunia dan yang terpenting bagaimanakah untuk membuat suatu jalan bagi menghadapi urusan-urusan di akhirat kelak.

30

Tambahan lagi dari paragraf yang disebut oleh Syaikh Abu Hasan al- Māwardīy berkata bahwa makna muru‟ah dipandang kepada beberapa halnya yang mana menjadi kemanfaatannya tersebut sehingga tidak timbul dan tampak maksud keburukannya dengan adanya persetaraan hak bagi kedua pernyataan tersebut

Syaikh Abu Hasanal-Māwardīy dalam membahas setiap detail dari kajian kitab ini menggunakan pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan yang sama dengan imam syafi‟i yakni keakurasian dalam rasionalisasi istidlaliyyah li uluhiyyah zhananah berbasiskan pengalaman beliau sewaktu pergeseran pemerintahan dinasti fatimiyyah yang mengalami disintregasi ke baylik (kerajaan kecil). Panggilan atau nama mu‟tazilah yang perkembangan pemikiran tersebut sangat berkembang luas sehingga masyarakat menjuluki mereka dengan sebutan ahli keadilan (Bailiff) yakni memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah, maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan kodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini dianggap satu keadilan dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan (Zaini, 1983:56). Sedangkan di dalam kitab al-Hawi al-Kabir, telah berkata Syaikh Abu Hasan al-Māwardīybahwa apa yang disebut dengan ijma‟ adalah sesiapa yang mengetahui tentang ijma‟ yakni ada 4 rukun yang tidak diakadkan secara syara‟ tetapi dianalisis yaitu dengan perkara empat rukun.

Kitab ini adalah sebuah hasil pemikiran al-Māwardīy yang menjelaskan tentang arti secara Khissi dan Maknawi pada pokok permasalahan

31

yang terkait pada mu‟amalah syar‟iyyah terlebih lagi pada pembahasan yang terkait pembinaan karakter akhlak yang dimana pengarang kitab tersebut sangat ingin merefleksikan pemikirannya pada kemaslahatan umat Islam. Dan harapannya agar penulis dan pembaca kelak dapat mengambil i‟tibar atas apa yang telah ditulis oleh beliau beberapa abad yang lalu. Kecenderungan Syaikh Abu Hasanal-Māwardīy dalam kajiannya ini dengan berbagai penjelasannya, beliau ingin sekali agar sistem pemikiran syari‟ah sejajar dengan hukum serta kapasitas masyarakat sendiri dalam melakukan Muhakkamat (kebijaksanaan) kesehariannya. Artinya bahwa manusia itu adalah sebuah potensi maha dahsyat yang diciptakan oleh Allah SWT. Maka ketika membicarakan manusia, harus didasarkan pada sisi kemanusiannya itu sendiri.

Kecenderungan ini dapat terlihat dalam gagasan-gagasannya, misalnya dalam akhlak seorang guru yang menurut al-Māwardīy seorang guru dalam mendidik tidak boleh berorientai pada hal-hal yang bersifat ekonomi, karena mendidik itu tidak dapat disejajarkan dengan kegiatan-kegiatan tersebut, oleh karena itu seorang guru dalam kegiatan pembelajarannya harus mendedikasikan untuk tujuan Lillahita‟ala.

Konsep kunci akhlak menurut Syaikh Abu Hasanal-Māwardīy dikemas dalam teorinya tentang al-Muru‟ah (harga diri) selain menekankan manusia agar melakukan sesuatu yang paling bermanfaat, juga memerintahkan manusia agar melakukan sesuatu yang paling indah. Konsep muru‟ah seperti itu dapat ditarik garis penghubung dengan konsep keimanan Imamiyyah berbasiskan

32

ide-ide Aristoteles dan madzhab Syi‟ah Istna Asyariah (syi‟ah 12) berujung pada keadilan yang sempurna.

Konsep akhlak al-Māwardīy dalam kitab Adab al-Dunya wa al-Din terbagi menjadi tiga tema pokok yaitu, akhlak agama, akhlak dunia dan akhlak individu. Tema pertama akhlak agama ini, al-Māwardīy memberikan analisis yang seimbang terhadap tiga hal; tentang akal, pengetahuan dan agama. Kebaikan utama yang dilahirkan oleh pengetahuan adalah kemampuan untuk menjaga diri (Syianah) dan pertahanan moral (Ni‟zhahah). Kebahagiaan (Musa‟adah) di dunia maupun di akherat hanya dicapai melalui konsep syari‟at. Pelaksanaan syari‟at harus bertumpu pada akal dan pengetahuan yang luas khususnya pengetahuan agama. Konsep Syar‟iyyah dalam perilaku agama ini adalah amar ma‟ruf nahi munkar baik pada dirinya sendiri ataupun orang lain. Model ini diwakili oleh Ibn Hazm dengan karyanya At-Taj fi Akhlak Al- Muluk. Ketiga, corak pemikiran pendidikan filosofis. Contohnya adalah corak pemikiran pendidikan yang dikembangkan oleh aliran Mu‟tazilah, Ikhwan Asshafa dan para filsuf. Keempat, pemikiran Akhlakul Islam itu sendiri berdiri sendiri dan berlainan dengan beberapa corak pemikiran di atas.

Konsep yang diterangkan berkaitan dengan mencegah dari perkara- perkara Takabbur dan „Ujub sebuah haluan bagi perkara yang bisa terdapat fadhilah dan kejelekan, bukan sekedar terhadap siapa yang mewakilkan pada perkara tersebut. Hal ini merujuk kepada barang siapa yang melakukan kebaikan dan keburukan akan mendapat kesan yang sama pada perkara yang dilakukannya juga buruk (Al-Māwardīy, 2006: 209).

33

Dokumen terkait