• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKHLAK GURU MENURUT AL-MĀWARDĪY DALAM KITAB ADAB AL-DUNYA WA AL-DIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "AKHLAK GURU MENURUT AL-MĀWARDĪY DALAM KITAB ADAB AL-DUNYA WA AL-DIN"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

i

AKHLAK GURU MENURUT AL-

MĀWARDĪY

DALAM KITAB ADAB AL-DUNYA WA AL-DIN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

NURUL HIDAYAH NIM: 111-13-290

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu proses pembelajaran yang terdiri dari tiga komponen yaitu guru, peserta didik dan materi. Ketiga komponen tersebut mempunyai posisi tertentu dimana semuanya akan berjalan saling keterkaitan. Adanya guru tentunya dengan kehadiran seorang peserta didik dan materi atau sebaliknya seorang peserta didik tidak akan sempurna dengan tanpa adanya seorang guru. Ini memberikan sebuah ketergantungan terhadap kebersamaan dan hubungan yang baik antara tiga komponen tersebut. Sehingga untuk menghasilkan output yang unggul tentunya ketiga komponen tersebut juga memiliki kualitas yang bagus terutama seorang guru dan peserta didik.

Bila ditelusuri lebih dalam, proses belajar mengajar yang merupakan inti dari proses pendidikan formal di sekolah, di dalamnya terjadi interaksi antar berbagai komponen pengajaran. Komponen-komponen itu dapat dikelompokan ke dalam tiga kategori utama, yaitu: Guru, isi atau materi pelajaran dan Peserta didik.

(14)

undang-2

undang Guru dan Dosen adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Kalau dijadikan kata benda, Guru adalah sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pengarah, pelatih, dan penilai (Sadulloh, 2014: 202).

Keberhasilan pendidikan sangat banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya, kualitas guru, peserta didik, lingkungan (sekolah, keluarga, maupun masyarakat) dan proses pembelajaranya. Namun keberhasilan pendidikan sebagian besar bergantung pada kualitas guru baik dari segi penguasaan materi yang akan diajarkan maupun cara penyampaian pelajaran tersebut serta kepribadian guru yang baik. Sehingga siapapun peserta didiknya, bagaimana lingkungannya serta seperti apa proses pembelajaranya, guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengantarkan keberhasilan peserta didik.

Dalam proses pendidikan tidaklah berorientasi pada peserta didik yang mampu bersifat produktif dalam hal ekonomi seperti cepat dapat pekerjaan, mempunyai bakat keterampilan atau mampu berprestasi. Akan tetapi seorang peserta didik juga harus disiapkan menjadi pribadi yang berakhlak mulia dan berbudi luhur, seperti tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 dijelaskan tentang fungsi dan tujuan pendidikan sebagai berikut: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

(15)

3

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Sadulloh, 2014: 74-75).

Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah sebuah janji yang harus dilunasi untuk setiap anak bangsa Indonesia. Pendidikan dapat dipandang sebagai proses penting untuk memenuhi janji kemerdekaan. Pendidikan yang berkualitas akan mencetak generasi masa depan yang juga berkualitas (Chotif, 2012: xiii). Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari peran guru. Guru adalah ujung tombak proses pendidikan. Tanpa guru, tidak mungkin bangsa Indonesia bisa membuat konversi tingkat melek huruf dari 5% menjadi 92%. Tanpa guru, tidak mungkin program pendirian sekolah dan universitas dapat berhasil. Tanpa guru tidak mungkin muncul generasi yang berkualitas (Chotif, 2012: xiv).

Sebenarnya banyak para tokoh pendidikan atau pemikir Islam dan sudah benar-benar terbukti keberhasilanya dalam proses pendidikanya. Tokoh abad klasik seperti Imam al-Ghozali, Ibnu Maskawih, Imam al-Mawardi, Ibnu Sina, dari abad pertengahan seperti Burhanudin al-Zarnuji, Ibnu Jamaah, sedang di abad sekarang ada seperti Imam Zarkasi, Zakiah Darajat. Mereka mengkaji bidang pendidikan mulai dari tujuan pendidikan, kurikulum, konsep atau etika guru dan peserta didik dalam belajar serta berbagai metode pembelajaran yang ditawarkannya.

(16)

4

tanda jasa, dengan tugas yang berat mendidik peserta didiknya beliau digaji dengan upah yang sangat minim. Guru adalah seorang yang sangat mulia mempunyai derajat yang luhur di masyarakat, dengan menyampaikan ilmu yang merupakan amanat untuk disampaikan.

Dengan berjalanya waktu kini profesi guru tidak lagi seperti dulu yang dianggap sangat berwibawa punya jasa besar. Sekarang guru hanyalah sebatas nama atau jabatan yang tertulis dalam lembaran putih. Nilai guru tidak lagi di dalam jiwa diri seorang guru. Hal ini tidak terlepas dari orientasi dari seorang guru itu sendiri. Profesi guru sekarang dijadikan sebagai lahan penghasilan, tempat bekerja. Peserta didik diwajibkan membeli buku pelajaran dari gurunya tanpa terkecuali. Para guru selalu menuntut hak-hak mereka lebih dulu tanpa memperhatikan kewajiban-kewajiban mereka. Mereka menuntut gaji tinggi, peserta didik harus pandai, harus lulus semua, mampu mengerjakan semua soal, menghormati guru. Padahal mereka apakah sudah melakukan tugasnya sebagai guru mengajarkan ilmu dengan benar?.

(17)

5

guru yang tidak segan-segan minta belikan rokok kepada peserta didiknya (Isjoni, 2006:166).

Ketika terjadi kemerosotan nilai peserta didik, baik kognitif, afektik, maupun psikomotorik, banyak yang sering disoroti adalah peserta didiknya. Semestinya tidaklah peserta didik yang selalu disalahkan, cobalah lihat bagaimana proses pembelajaran yang terjadi dalam kelas.

Bangsa dan masyarakat kita membutuhkan para guru yang mampu mengangkat citra dan arwah pendidikan yang terkesan sudah carut marut ini. Sehingga muncul kesulitan bagaimana harus dimulai, kapan dan siapa yang memulainya, serta dari mana harus dimulai. Kalaulah kita masing-masing menyadari, masih memilki rasa kepedulian dan mau berbagi rasa, carut marut pendidikan tentu akan dapat dianulir. Oleh sebab itu, kita harus memiliki satu persepsi, satu langkah dan satu tujuan bagaimana mengangkat “batang terendam” tersebut menjadi pendidikan bermutu. Tentunya diharapkan mampu

mengangkat peringkat dan citra pendidikan yang termasuk terendah di asia (Isjoni, 2006:23).

(18)

6

Kewibawaan merupakan pancaran batin yang dapat menimbulkan pada pihak lain sikap untuk mengakui, menerima dan menuruti dengan penuh pengertian atas kekuasaan tersebut. Kewibawaan mendidik hanya dimiliki oleh mereka yang sudah dewasa rohani yang ditopang kedewasaan jasmani (Isjoni, 2006:163). Bila pendidik tidak memiliki sikap kewibawaan, maka akan berdampak pada kualitas pendidikan. Pendidik akan dipandang sebelah mata oleh peserta didik dan mereka bisa berbuat sesuka hati dan segala perintah pendidik tidak lagi didengar (Isjoni, 2006:165-166).

Profesi guru itu merupakan peran yang mulya dihadapan Allah dan Rasul-Nya. Ditangan gurulah aset bangsa, yang bernama generasi itu, ditentukan seperti apa akhlak hingga membawa keselamatan dunia dan akhirat kelak. Oleh karenanya dibutuhkan seorang guru yang profesional, guru yang memiliki kompetensi yang disyaratkan untuk melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu, membedah aspek profesionalisme guru berarti mengkaji kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru.

(19)

7

tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28, disebutkan guru yang berkualitas harus memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial (Ashdiqoh, 2015:22).

Oleh karena itulah, setiap orang yang menggeluti guru sebagai profesinya, harus melakukan berbagai hal terkait dengan ketentuan pokok atau kode etik guru. Kode etik guru diartikan sebagai aturan tata susila keguruan. Sebab kode etik guru ini sebagai salah satu ciri yang harus ada pada profesi guru itu sendiri (Ashdiqoh, 2015:3).

Dalam hal ini untuk menciptakan pendidikan yang lebih bermutu, pemerintah juga ikut serta turun tangan salah satunya dengan cara mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

(20)

8

lebih baik dan profesional. Pemikiran beliau banyak terkonsentrasi pada masalah kepribadian seorang guru. Kepribadian inilah yang tampaknya diutamakan. Selain memiliki latar belakang ilmu keguruan dan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran yang diajarkanya, seorang guru juga harus memiliki kepribadian yang baik. Hal ini dapat dipahami karena penguasaan terhadap ilmu dan latar belakang pendidikan keguruan dapat dipelajari, sedangkan kepribadian merupakan hal yang sangat sulit dibentuk. Seperti pentingnya seorang guru mempunyai sikap tawadlu‟, ikhlas mengamalkan ilmunya untuk di sebarkan tanpa begitu mengharapkan materi, kasih sayang terhadap peserta didik tanpa kekerasan, tidak merendahkan atas kebodohan peserta didiknya. Dengan sikap-sikap tersebut akan mendorong guru untuk menjadi seorang guru yang profesional.

Dari uraian di atas, begitu penting pendekatan dalam proses belajar mengajar, terutama seorang guru dalam mendidik peserta didiknya yang merupakan sebuah tanggung jawab besar untuk mencetak generasi bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia. Maka penulis terdorong untuk mengadakan penelitian dengan judul “Akhlak Guru Menurut al-Māwardīy Dalam Kitab

Adab Al-Dunya Wa Al-Din”.

B.Rumusan masalah

(21)

9

C.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Akhlak Guru menurut al-Māwardīy dalam kitab Adab al-Dunya waal-Din.

D.Kegunaan Penelitian

Hasil kajian yang diperoleh dari penelitian ini memiliki beberapa manfaat di antaranya:

1. Bagi pribadi penulis, diharapkan akan mampu memotivasi dalam menuntut ilmu serta mempersiapkan untuk menjadi sang guru.

2. Bagi mahasiswa IAIN Salatiga, semoga penelitian ini bisa menjadi inspirasi yang menumbuhkan semangat menulis dan menelaah lebih dalam karya-karya orang islam baik klasik maupun kontemporer.

3. Bagi dunia pendidikan, terutama para guru dan calon guru, penelitian ini biasa dijadikan sebagai rujukan atau acuan dalam meningkatkan profesionalisme guru yang nantinya diharapkan mampu mencetak peserta didik yang berakhlak dan berbudi luhur.

E.Metodologi Penelitian

(22)

10

terarah. Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis kualitatif dan bersifat library research. Penulis mengggunakan beberapa jenis metode yaitu:

1. Jenis penelitian

Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kepustakaan (library research). Juga bisa disebut dengan istilah studi pustaka, ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian (Mestika Zed, 2004:3).

2. Sumber data

Sumber data dalam penelitian adalah subyek dimana data diperoleh. Bila dilihat dari sumber datanya maka sumber data dalam penelitian ini adalah:

a. Sumber primer atau data tangan pertama yaitu data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari, yaitu kitab Adab al-Dunya wa al-Din.

b. Sumber sekunder yang merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, yaitu lewat dokumen (Azwar,1998:91) diantaranya adalah :

1) Al-Māwardīy, Abu al-Hasan „Ali ibn Muhammad ibn Habib, “Kitab Al-Ahkam Al-Sulṭhoniyah”

(23)

11

4) Munif Chatib, “Gurunya Manusia”

5) Moh. Uzer Usman, “Menjadi Guru Profesional” 6) Suharsimi Arikunto, “Prosedur Penelitian” 7) dan buku-buku pendukung lainnya.

3. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini sebagai studi kepustakaan (library research). Penulis menggunakan metode dokumentasi. Metode Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2010:274).

4. Metode Analisis Data

Data yang terkumpul, selanjutnya akan penulis analisis dengan mengemukakan teknik analisa data dengan cara:

a. Reduksi Data

Menurut Miles dan Huberman (1992 : 16), reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan

-catatan tertulis di lapangan. b. Penyajian Data

(24)

12 c. Menarik Kesimpulan

Kegiatan analisa yang terakhir adalah menarik kesimpulan. Dari permulaan pengumpulan data, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari arti benda-benda mencatat keteraturan,pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proposisi (Miles dan Huberman, 1992: 16-19).

Dari komponen analisis di atas, prosesnya saling berhubungan dan berlangsung terus-menerus selama penelitian berlangsung.

F. Penegasan Istilah

1. Akhlak Guru

Akhlak dari segi bahasa berasal dari bahasa arab, yang berarti perangai, tabiat, watak dasar kebiasaan, sopan dan santun agama. Kata akhlak adalah jamak dari kata khulqun atau khuluq yang artinya sama dengan arti akhlak sebagaimana telah disebutkan di atas. Baik kata akhlak atau khuluq kedua-duanya dijumpai pemakaiannya di dalam al-Qur‟an maupun al-Hadist (Ardani, 2005:25).

Secara terminologi, akhlak adalah suatu sikap yang mengakar yang darinya lahir sebagai perbuatan yang mudah dan gampang, tanpa perlu kepada

pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik atau

terpuji, baik dari segi akal syara, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika dia lahir

darinya perbuatan tercel, maka sikap tersebut disebut akhlak buruk

(25)

13

profesinya) mengajar. Sedangkan guru dalam pengertian sederhana menurut Djamarah adalah “orang yang memeberikan ilmu pengetahuan kepada peserta didik”. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, di surau atau dimushola, di rumah dan sebagainya ( Djamarah, 2000: 31). Dalam undang-undang tentang guru dan dosen dijelaskan, bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia didik jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Jadi dalam pembahasan disini, akhlak guru yang dimaksudkan adalah sikap yang berkaitan dengan perilaku seorang pendidik atau guru yang dipandang baik atau buruk berdasarkan akal pikiran.

2. Al-Māwardīy

Adalah seorang tokoh ulama‟ terkemuka yang ahli dalam berbagai

(26)

14

Serta reputasiya yang bagus mulai menjadi kepala hakim hingga sebagai diplomat untuk khalifah Abbasiyahal-Qa'im dan al-Qadir selama empat kali. 3. Kitab Adab al-Dunya wa al-Din

Ini adalah diantara karya tulis imam al-Māwardīy mengenai masalah akhlak dan keutamaan-keutamaan dalam ritual keagamaan. Buku ini pernah ditetapkan oleh Kementrian Pendidikan di Mesir sebagai buku khusus pelajar Tsanawiyah selama lebih dari 30 tahun. (Al-Saqa, 1955:14).

G.Telaah Pustaka

Dari hasil pencarian yang dilakukan melalui fasilitas pencarian di katalog digital perpustakaan IAIN Salatiga, untuk karya tulis dalam bentuk skripsi hingga tahun 2017 di IAIN Salatiga belum ada. Yang ada hanyalah buku yang ditulis sendiri oleh al-Māwardīy yakni Adab al-Dunya wa al-Din. Dan juga karya beliau yang banyak mengupas tentang masalah sosial-politik, seperti kitab al-Ahkam al-Sulthoniyah.

Namun jika ditelusuri melalui jaringan internet, yang penulis temukan, ada beberapa karya ilmiah yang membahas tentang pemikiran pendidikan al-Mawardi, yaitu satu skripsi karya dari M. Bahrul ulum mahapeserta didik IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang sekarang menjadi UIN. Tema yang diangkat adalah “Analisis Konsep Pendidikan Islam al-Māwardīy

(27)

al-15

Din. Menurut al-Māwardīyi pendidikan harus dilakukan dalam rangka mengembangkan dan memberdayakan potensi akal manusia untuk mewujudkan sebuah prilaku yang baik dalam rangka mewujudkan kebahagiaan yang paripurna. Untuk itu pendidikan harus dilakukan dalam rangka melatih pola kerja akal secara terus menerus dalam merespon lingkungan.Bentuk kegiatannya bisa dilakukan dengan mengisi akal dengan pengetahuan kognitif serta memperteguh keimanan.Selain itu, proses pendidikan ini harus dilakukan dalam upaya bagaimana pendidikan memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menjadi mandiri dan menjadi dirinya sendiri.

Yang kedua, jurnal yang ditulis oleh, saudara Mahmud Arif, dengan judul “Konsep Pendidikan Moral Dalam Khazanah Islam Klasik Telaah

Pemikiran al-Māwardīy Dan Relevansi Kekiniannya”. Dijelaskan bahwa, pendidikan moral menurut al-Māwardīy bercorak religius-rasional, yaitu: secara intensif mendialektik-fungsionalkan akal dan syara' („aql matbu‟ wa syar‟ masmu‟ ) untuk menumbuhkan kesadaran moral, konformitas terhadap

norma atau nilai, dan otonomi diri, serta bercorak sosialisasi, yaitu: secara intensif mengakrabkan peserta didik dengan nilai dan norma sosial yang ada, dan memberikan keteladanan moral. Dalam interaksi edukatif, pendidikan moral berorientasi pada produk dan proses sekaligus, disertai penciptaan enviromental input positif.

(28)

16

mengembangkan dan memberdayakan potensi akal manusia untuk mewujudkan sebuah prilaku yang baik. Kedua, jurnalnya saudara Mahmud arif, menerangkancorak pemikiran al-Māwardīy tentang pendidikan moral yang dikaitkan dengan kekinian. Dengan demikian, menurut pengamatan penulis, penelitian yang yang memfokuskan pada kajian mendalam tentang etika guru menurut al-Māwardīy dalam kitab Adab al-Dunya wa al-Din dan Relevansinya dengan Profesionalisme Guru belum pernah dilakukan. Terutama di lingkungan IAIN Salatiga.

H.Sistematika Penulisan Skripsi

Untuk memberikan arah yang tepat dan tidak memperluas obyek penelitian,maka perumusan sistematika pembahasan disusun sebagaimana berikut:

Bab pertama, merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari pembahasan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, penegasan judul, telaah pustaka, dan sistematika pembahasan. Hal ini dilakukan sebagai upaya pijakan dasar dalam melakukan penelitian.

(29)

17

Bab ketiga, deskripsi kitab adab al-dunya wa al-din. Bab ini menerangkan tentang gambaran umum kitab adab al-dunya wa al-din dan sistematika kitab adab al-dunya wa al-din.

Bab keempat, deskripsi pemikiran al-Māwardīy. Bab ini menguraikan pengertian dan penjelasan masalah akhlak guru, akhlak guru perspektif al-Māwardīy.

Bab kelima, yaitu penutup yang berisi kesimpulan dari pembahasan bab-bab sebelumnya yang mengacu pada tercapainya tujuan penelitian. Kemudian berdasarkan kesimpulan, diberikan saran-saran yang kontruktif.

(30)

18

BAB II

BIOGRAFI AL-MĀWARDĪY

A. Identitas al-Māwardīy

Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan „Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Māwardīy al-Barīy.Abu al-Hasan adalah nama paggilanya (nama kinayah), sedang al-Barīy karena beliau lahir di tanah Bashrah. Beliau dilahirkan pada tahun 364 H di Bashrah bertepatan tahun 974 M. (Al-Saqa, 1995: 3).Nama al-Māwardīy dinisbatkan pada air mawar (mā‟ul wardi) karena bapaknya adalah penjual air mawar. Dalam bahasa latin dikenal dengan sebutan Alboacen (972-1058 M)(http://en.wikipedia.org/wiki/Al-Mawardi).

al-Māwardīy hidup pada masa pemerintahan dua Kholifah Abbasiyah II yaitu, al-Qodir (381-422 H/991-1031 M) dan al-Qoim (422-467 H/1031-1074 M)yaitu masa dimana ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat islam mengalami kejayaan.al-Māwardīy melahirkan banyak ulama hebat dengan pemikiran-pemikiranya dalam bidang ilmu pengetahuan. Maka tidak mengherankan jika al-Māwardīy tumbuh sebagai pemikir Islam yang ahli dalam bidang fiqh, sastrawan serta sebagai politikus (Nata, 2001: 43).

(31)

-19

Khatib, bahwa dalam bidang hadits al-Māwardīytermasuk Thiqah (Al-Saqa,1995: 4).

Kendati al-Māwardīytergolong penganut madzhab Syafi‟i, akan tetapi dalam bidang teologi ia juga memiliki beberapa corak pemikiran yang rasional. Hal ini tidak terlepas dari kondisi sosial masa itu, dimana saat itu dinasti Abbasiyah sejak masa al-Makmun pernah menganut paham Mu‟tazilah yang di jadikan sebagai aqidah resmi negara. Meski setelah

zamannya al-Mutawakil telah berganti paham Asy‟ariyah, namunketika Bani Buwaihi menguasai pemerintahan Abbasiyah, paham Mu‟tazilah kembali lagi

ke dalam pemerintahan (Tim Karya Ilmiah, 2008: 227).

Namun itu semua belum menjamin bahwa al-Māwardīy sebagai penganut mu‟tazilah. Meskipun terlihat juga dalam pernyataan Ibnu al-Ṣalah

yang menyatakan bahwa dalam beberapa persoalan tafsir yang dipertentangkan antara Ahli al-Sunah dan Mu‟tazilah, al-Māwardīy lebih cenderung kepada Mu‟tazilah. Akan tetapi masih ada beberapa pemikiran al-Māwardīy yang tidak sesuai dengan pemikiran Mu‟tazilah. Diketahui

Mu‟tazilah berpendapat bahwa Al-Qur‟an sebagai mahluk, sedangkan al-Māwardīy berpendapat bahwa al-Qur‟an adalah al-Qadīm(Al-Saqa, 1995: 5).

Al-Māwardīy juga termasuk seorang ulama yang mempunyai sifat wara‟,(menjahui maksiat dan shubhat), ketaqwaan dan keikhlasan kepada

(32)

20

meninggal karya ilmiahnya mendapatkan izin untuk dipublikasikan. Karena kaitanya ini berhubungan dengan keikhlasan (Al-Māwardīy, 2006: xxvii).

Al-Māwardīy wafat hari selasa akhir bulan Rabiul Awal tahun 450 H bertepatan dengan tanggal 26 Mei tahun 1058 M (Al-Māwardīy, 2006:

15).Ketika itu beliau berumur 86 tahun. Jenazah al-Māwardīy dimakamkan diperkuburan Bābarb di Baghdad. Bertindak sebagai imam pada sholat jenazah beliau al-Khatib al-Baghdādi(Al-Saqa, 1995: 5).

B. Pendidikan al-Māwardīy

Al-Māwardīy adalah seorang yang alim dari beberapa pemikir islam. Dengan pemikiranya yang cemerlang, karya-karyanya sangat mudah dicerna dan dipahami. Beliau mewariskan beberapa karya ilmiah untuk umat islam dalam peradaban Islamiyah. Dia juga ahli fiqh dari beberapa pembesar fiqh madzhab Syafi‟i. al-Māwardīy adalah seorang tokoh politik terkenal dimasa

bani Abbasiyah (Al-Saqa, 1995: 3).

Pada awalnya al-Māwardīy menempuh pendidikan di negeri kelahiranyasendiri, yaitu Bashrah. Di kota tersebut al-Māwardīy sempat mempelajari Hadits dari beberapa ulama terkenal seperti al-asan ibn „Ali

(33)

al-21

amid (Amad ibn Abi ohir al-Isfirayinī) (al-Saqa, 1995: 3).Selain itu a l-Māwardīyjuga pernah berguru pada Ibn Ishaq al-Isfirayinī, Imam al-Ṣaimirīy

dan Imam al-Khawarizimīy(Al-Māwardīy, 2006: 13).

Diantara muridnya yang paling masyhur adalah Amad ibn ʻAli ibn Thābit al-Khatib (392-463 H), seorang ulamaahli hadits yang terkenal dan

Abu al-ʻIzz Amad ibn ʻUbaidillah ibn Kādishi (Al-Saqa, 1995: 4).Selain itu diantara murid-muridnya adalah:

1. Abu al-Faḍl ʻAbdullah bin Ibrahim bin Amad al-Hamdani terkenal dengan sebutaan al-Maqdisi, wafat tahun 488 H.

2. Abu al-FaḍlAmad bin Ḥasan bin Khoirun al-Baghdadi, terkenal dengan sebutan Ibnu Baqilani. Wafat tahun 488 H.

3. Amad bin ʻAbdullah bin Muhammad bin Amadal-Baghdadi, masyhur dengan sebutanibn kadish al- ʻAkbari. Wafat tahun 526 H.

4. al-QoḍiAbu al-ʻAbbas Amadbin Muhammad al-Jurjani.

5. Abu al-Qasim ʻAli bin al-Ḥusain binʻAbdullah al-Rabi‟i, terkenal dengan sebutan ibnu ʻArabiyyah. Wafat tahun 5032 H.

6. ʻAbdul Waḥid bin ʻAbdul Karim bin Hauzan al-Qusyairīy. Terkenal dengan sebutan Rukun al-Islām, wafat tahun494 H.

7. Abu Muhammad ʻAbdul Ghani bin Bāzl bin Yaḥya, wafat tahun 483 H. 8. Muhammad bin ʻAbdullah bin Abi al-Baqa‟ Abu al-Farḥ, wafat tahun

499 H.

(34)

22

10.ʻAbdul al-Raman bin ʻAbdul al-Karim bin Hauzanal-Qusyairīy Abu Manṣur, wafat tahun 482 H.

11.Mahdi bin „Ali al-Isfirayinī Abu ʻAbdullah.

12.„Ali bin Sa‟id bin ʻAbdul al-Raman al-„Abdarīy Abu al-Ḥasan, wafat tahun 493 H (Al-Māwardīy, 2006: 6).

Al-Māwardīy juga tercatat sebagai ulama yang banyak melahirkan karya-karya tulis. Jumlahnya tidak kurang dari 12 judul, yang secara keseluruhan dapat dibagi dalam 3 kelompok(Al-Māwardīy, 2006: 5).

Pertama, kelompok pengetahuan agama. Yang termasuk diantaranya adalah kitab tafsir yang berjudul al-Nukat wal „Uyūn. Namun buku ini belum pernah diterbitkan dan naskahnya masih tersimpan di Perpustakaan Qallīj „Ali di konstantinopel, Perpustakaan Kūbaryali dan Rāmbūr di India. Kemudian kitab al-awī Kabīr, buku fiqh yang jumlahnya 20 juz dengan 4000 halaman. Imam al-Isnawi seorang ahli hukum dari kalangan madzhab Syafi‟i yang hidup pada abad ke-8 H berkomentar, tidak sebuah kitab pun dalam madzhab Syafii yang bisa menandingi kitab al-Hawi (Tim Penulis IAIN Syarif

Hidayatullah, 1992: 636).Kitab „Iqna‟ berupa ringkasan dari kitab al-Ḥawī Kabīr yang jumlahnya 40 halaman. Kitab Adab al-Qāi, kitab ini tidak diterbitkan dan naskahnya masih tersimpan di Perpustakaan Sulāimanīyah Qastantinīyah.

(35)

23

khusus dan detail tentang sosial politik. Hanya beberapa kitab fan Fiqh yang menyelipkan sedikit permasalahan sosial poitik. Kitab ini banyak dicetak di Mesir dan berbagai penjuru dunia. Kitab Naīat al-Mulūk, berisi nasihat-nasihat seorang pemimpin, belum diterbitkan dan masih tersimpan di Paris. Kitab Tashīl al-Naar wa Ta‟jīl al- afar berisi masalah politik dan pemerintahan. Kitab Qawānīn al-Wizārah wa Siyāsah al-Muluk, berisi tentang uraian mengenai ketentuan kementrian dan politik raja.

Ketiga, kelompok pengetahuan bidang akhlak. Diantaranya kitab al-Nawu dan al-Amthal wa al- ikam berisi 300 Hadits, 300 hikmah, 300 syair. Kemudian kitab al-Bughyah al-„Ulya fi Adab al-Din wa al-Dunya yang sekarang dikenal dengan kitab Adab al-Dunya wa al-Din.

Kitab Adab al-Dunya wa al-Din sangat bermanfaat bagi semua orang khususnya bagi pelajar di Madrasah TsanawiyahAl Azhar, karena buku ini pernah ditetapkan oleh Kementrian Pendidikan di Mesir sebagai buku pegangan disekolah-sekolah selama lebih dari 30 tahun (Al-Saqa, 1995: 14).

(36)

24

C. Sosial Politik Masa al-Māwardīy

Zaman yang dijalani seorang manusia itu berpengaruh secara signifikan dalam perilakunya dan pola fikiranya pada masa mendatang.Dengan peran yang dimilikinya, seseorang bisa saja menjadi orang berpengaruh pada masanya. Juga tidak diragukan lagi, bahwa sistem pemerintahanitu mempuyai pengaruh besar dalam kehidupan dan perilaku individu. Begitu juga yang terjadi di masyarakat seperti, kemakmuran, kemiskinan, arus pemikiran, penyebaran ilmu, menjamurnya jumlah ulama, banyaknya produktivitas buku-buku mereka, kemajuan dan kemunduran dunia ilmu pengetahuan. Itu semua sangat mempengaruhi kehidupan individu seseorang seperti al-Māwardīy.

(37)

25

dipercayakan kepada al-Māwardīysebagai diplomat dalam bernegosiasi dengan para pemimpin Bani Buwaih (http://en.wikipedia.org/wiki/al-Māwardīy).

Kondisi dunia Islam saat itu terbagi kedalam tiga negara yang tidak akur dan saling mendendam terhadap yang lain. Di mesir terdapat Negara Fathimiyah, di Andalusia terdapat negara Bani Umaiyah, dan di Irak terdapat negara Bani Abbasiyah. Hubungan di antara Khalifah-khalifah tersebut didasari dengan permusuhan sengit, sebab masing-masing dari keduaanya berambisi untuk menghancurkan satu sama lain. Adapun kondisi internal Khalifah di Baghdad dan sekitarnya, sesungguhnya pemegang kekuasaan sepenuhnya adalah bani Buwaihi. Khalifah sendiri tidak mempunyaai peran penting, bahkan ia adalah barang mainan ditangan mereka (Al-Māwardīy, 2006: xxiv).

Dalam kajian sosial politik, secara pasti al-Māwardīy hidup pada masa kemunduran dinasti Abasiyah.Pada masa ini kekhalifahan yang berpusat di Baghdad sedang mengalami degradasi yang berakibat melemahnya sistem pemerintahan yang berakhir pada jatuhnya Daulah Abasyiyah pada 21 Muharram tahun 656 H/10 Pebruari 1258 pada pasukan Hulagu Khan (Tim Karya Ilmiah,2008:287).Indikatornya antara lain banyak dinasti yang lahir melepaskan diri dari kekuasaan Abasyiyah dan mendirikan kerajaan-kerajaan kecil diluar wilayah Abbasyiyah.

(38)

26

besar seperti al-Māwardīy, al-Ghazali dan berdirinya madrasah yang terkenal dengan namaNizamiyah.

Yangterlihatdalam kajian ilmiah, kondisi pada abad keempat dan abad kelima hijriah adalah munculnya fenomena taklid (fanatik buta) terhadap Imam-imam madzhab: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi‟i dan Imam Ahmad bin Hambal. Sebab langka sekali ada

(39)

27

BAB III

DESKRIPSI KITAB ADAB AL-DUNYA WA AL-DIN

A. Kitab Adab Al-dunya Wa Al-din

Kitab Adab al-Dunya wa al-Din merupakan sebuah kitab yang berisi tentang konsep pendidikan Islam. Dalam kitab ini dibahas tentang akhlak manusia dalam membangun kehidupan di dunia, baik yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan maupun urusan agama, dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akherat.

Dalam konteks ini al-Māwardīy tampaknya menghendaki bahwa dalam melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan ataupun sosial kemasyarakatan, manusia harus disertai dengan prilaku sosial yang santun (akhlak al-karimah). Kesantunan prilaku sosial ini menurut al-Māwardīyakan terbentuk ketika manusia mampu memaksimalkan potensi akalnya dalam mermbaca fenomena alam dan ayat-ayat Allah yang ada dilingkungan sekitarnya.

Al-Māwardīy dalam membahas setiap detail dari kajian kitab ini menggunakan pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan rasional dan pendekatan nash-nash Al-Qur‟an dan Hadits. Hal ini bisa dipahami dengan posisi al-Māwardīy sebagai seorang Ahli Fiqih bermazhab Syafi‟i (Hudlori Bik, 1995:140-142).

(40)

28

mazhabnya. Metode tersebut adalah metode istidlal dengan nash-nash Al-Qur‟an dan Hadits dan metode berpikir rasional.

Sebagai seorang Ahli Hadits dengan pola pikirnya ini, as-Syafi‟i sebenarnya dipengaruhi oleh pola pikir gurunya yaitu imam Malik bin Anas (Hudlori Bik, 1995:131-133). Sedangkan pola pikir rasionalnya dipengaruhi oleh pola pikir dari madzhab Hanafiyah. (Hudlori Bik, 1995:127-129 dan 141)

Selain itu as-Syafi‟i hidup pada masa kejayaan Mu‟tazilah (Nasution, 2002: 40) sehingga pada waktu itu teologi Mu‟tazilah ini menjadi ideologi

negara dan pola pikir rasional menjadi berkembang pada masa itu, dengan ditandai munculnya para filosof dan ahli sains. Pergumulannya dengan penganut Mu‟tazilah ini juga dimungkinkan memberikan sumbangsih

pemikiran dalam diri beliau yang membuatnya menerima pola pikir rasional dalam metode berfikirnya. Disini agaknya al-Māwardīy benar-benar seorang Penganut Madzhab Syafi‟i yang setia.

Kitab Adab al-Dunya wa al-Din dinilai sebagai kitab yang amat bermanfaat. Kitab ini pernah ditetapkan oleh kementrian pendidikan di Mesir sebagai buku pegangan di sekolah-sekolah tsanawiyah selama lebih dari 30 tahun. Selain di Mesir, kitab ini diterbitkan pula beberapa kali di Eropa, sementara itu ulama Turki bernama Hawais Wafa Ibn Muhammad Ibn Hammad Ibn Halil Ibn Dawud al-Zarjany pernah menjelaskan kitab ini dan diterbitkan pada tahun 1328.

(41)

29

dengan namaAdab al-Dunya wa al-Din ketika dicetak dieropa oleh para pencetak buku.

Secara keseluruhan kitab Adab al-Dunya wa al-Din terdiri dari lima bab yang sebagian membahas tentang akhlak dan kualitas keberagaman serta kiat-kiat dalam usaha mewujudkan hal tersebut, dan sebagian membahas tentang akhlak kehidupan sosial kemasyarakatan. Pembahasan Tersebut dibahas dengan pendekatan ilmiyah falsafi dan pendekatan nash-nash Al-Qur‟an dan Hadits (As-saqo‟,1995: 12-16). Gaya penulisannya ini menurut

Hawais mempunyai karakteristik yang sama dengan model pemikiran Ibn Khaldun dalam kitab Muqoddimahnya.

(42)

30

Tambahan lagi dari paragraf yang disebut oleh Syaikh Abu Hasan al-Māwardīy berkata bahwa makna muru‟ah dipandang kepada beberapa halnya

yang mana menjadi kemanfaatannya tersebut sehingga tidak timbul dan tampak maksud keburukannya dengan adanya persetaraan hak bagi kedua pernyataan tersebut

Syaikh Abu Hasanal-Māwardīy dalam membahas setiap detail dari kajian kitab ini menggunakan pendekatan yang menggabungkan antara pendekatan yang sama dengan imam syafi‟i yakni keakurasian dalam rasionalisasi istidlaliyyah li uluhiyyah zhananah berbasiskan pengalaman beliau sewaktu pergeseran pemerintahan dinasti fatimiyyah yang mengalami disintregasi ke baylik (kerajaan kecil). Panggilan atau nama mu‟tazilah yang perkembangan pemikiran tersebut sangat berkembang luas sehingga masyarakat menjuluki mereka dengan sebutan ahli keadilan (Bailiff) yakni memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan eksistensi dari sifat-sifat Allah, maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan manusia memiliki kekuasaan kodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini dianggap satu keadilan dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi kekuasaan (Zaini, 1983:56). Sedangkan di dalam kitab al-Hawi al-Kabir, telah berkata Syaikh Abu Hasan al-Māwardīybahwa apa yang disebut dengan ijma‟ adalah sesiapa yang mengetahui tentang ijma‟ yakni ada 4 rukun yang tidak diakadkan secara syara‟ tetapi dianalisis yaitu dengan perkara empat rukun.

(43)

31

yang terkait pada mu‟amalah syar‟iyyah terlebih lagi pada pembahasan yang terkait pembinaan karakter akhlak yang dimana pengarang kitab tersebut sangat ingin merefleksikan pemikirannya pada kemaslahatan umat Islam. Dan harapannya agar penulis dan pembaca kelak dapat mengambil i‟tibar atas apa yang telah ditulis oleh beliau beberapa abad yang lalu. Kecenderungan Syaikh Abu Hasanal-Māwardīy dalam kajiannya ini dengan berbagai penjelasannya, beliau ingin sekali agar sistem pemikiran syari‟ah sejajar dengan hukum serta kapasitas masyarakat sendiri dalam melakukan Muhakkamat (kebijaksanaan) kesehariannya. Artinya bahwa manusia itu adalah sebuah potensi maha dahsyat yang diciptakan oleh Allah SWT. Maka ketika membicarakan manusia, harus didasarkan pada sisi kemanusiannya itu sendiri.

Kecenderungan ini dapat terlihat dalam gagasan-gagasannya, misalnya dalam akhlak seorang guru yang menurut al-Māwardīy seorang guru dalam mendidik tidak boleh berorientai pada hal-hal yang bersifat ekonomi, karena mendidik itu tidak dapat disejajarkan dengan kegiatan-kegiatan tersebut, oleh karena itu seorang guru dalam kegiatan pembelajarannya harus mendedikasikan untuk tujuan Lillahita‟ala.

Konsep kunci akhlak menurut Syaikh Abu Hasanal-Māwardīy dikemas dalam teorinya tentang al-Muru‟ah (harga diri) selain menekankan manusia agar melakukan sesuatu yang paling bermanfaat, juga memerintahkan manusia agar melakukan sesuatu yang paling indah. Konsep muru‟ah seperti itu dapat

(44)

32

ide-ide Aristoteles dan madzhab Syi‟ah Istna Asyariah (syi‟ah 12) berujung pada keadilan yang sempurna.

Konsep akhlak al-Māwardīy dalam kitab Adab al-Dunya wa al-Din terbagi menjadi tiga tema pokok yaitu, akhlak agama, akhlak dunia dan akhlak individu. Tema pertama akhlak agama ini, al-Māwardīy memberikan analisis yang seimbang terhadap tiga hal; tentang akal, pengetahuan dan agama. Kebaikan utama yang dilahirkan oleh pengetahuan adalah kemampuan untuk menjaga diri (Syianah) dan pertahanan moral (Ni‟zhahah). Kebahagiaan (Musa‟adah) di dunia maupun di akherat hanya dicapai melalui konsep syari‟at. Pelaksanaan syari‟at harus bertumpu pada akal dan pengetahuan yang

luas khususnya pengetahuan agama. Konsep Syar‟iyyah dalam perilaku agama ini adalah amar ma‟ruf nahi munkar baik pada dirinya sendiri ataupun orang

lain. Model ini diwakili oleh Ibn Hazm dengan karyanya At-Taj fi Akhlak Al-Muluk. Ketiga, corak pemikiran pendidikan filosofis. Contohnya adalah corak pemikiran pendidikan yang dikembangkan oleh aliran Mu‟tazilah, Ikhwan Asshafa dan para filsuf. Keempat, pemikiran Akhlakul Islam itu sendiri berdiri sendiri dan berlainan dengan beberapa corak pemikiran di atas.

(45)

33

B. Sistematika Kitab Adab al-Dunya wa al-Din

Bab pertama, tentang keutamaan akal. Bab ini tidak terlepas dari teori-teori filsafat kuno, yang menerangkan tentang pentingnya peranan akal dalam kehidupan manusia. Akal merupakan tanda adanya keutamaan-keutamaan pada diri manusia, hal ini bisa terjadi karena satu di antara dua kemungkinan, yaitu karena tabi‟at (alami) ataupun karena diperoleh dengan suatu usaha.

Kemudian dalam bab ini ia membandingkan antara akal dan hawa nafsu, serta antara hawa nafsu dengan syahwat.

Bab kedua, tentang akhlak ilmu. Bab ini menjelaskan tentang kemuliaan ilmu dan keutamaannya. Lalu ia menjelaskan rincian tentang sesuatu yang dapat mendukung seseorang dalam memahami dan mempelajari ilmu, yang akan melahirkan sebab-sebab baru yang menghambat manusia dalam memahami ilmu yang hendak diketahui, kemudian bab ini diakhiri dengan merinci tentang akhlak seseorang yang sedang menuntut ilmu dan tentang moral para ulama.

Bab ketiga, tentang akhlak dalam beragama. Dalam bab ini al-Māwardīy berbicara tentang hikmah dari adanya tugas yang dibebankan oleh

(46)

34

ditutup dengan mengajak untuk mengambil pelajaran dari mereka yang telah tertipu oleh kehidupan duniawi, bahwa kehidupan dunia akan cepat binasa. Untuk itu manusia harus melatih dirinya dalam meninggalkan kenikmatan duniawi.

Bab keempat, tentang akhlak dalam kehidupan dunia. Bab ini diawali dengan bahwa manusia tidak akan terlepas dari pengaruh kehidupan disekitarnya, berdasarkan pada lingkungan sekitarnya ia mendapatkan bagian dari dunia ini. Ada beberapa kaedah umum yang dengan semua kaedah itu akan memberi dampak baik pada keadaan kehidupan dunia berupa agama, pemerintahan, keadilan, keamanan, kesuburan dan harapan. Juga terdapat kaedah-kaedah umum yang dengannya akan memberi dampak baik pada keadaan kehidupan manusia meliputi jiwa yang rapuh, kasih sayang yang universal serta materi yang cukup. Dalam bab ini juga dibahas tentang persaudaraan dan kasih sayang, perbuatan baik serta macam-macamnya, dan pasal inilah yang paling menarik, karena pada pasal ini al-Māwardīymemotivasi manusia untuk bekerja, ia membagi kerja itu menjadi

empat bagian, yaitu pertanian, pengkaryaan, perniagaan dan kepemimpinan. Pengkaryaan itu ada tiga macam, yaitu karya dan pikiran, karya dan tenaga (bekerja), dan karya yang memadukan antara tenaga dan pikiran.

(47)

35

tentang menjauhkan diri dari sombong dan takabur, kedua tentang akhlak yang baik, ketiga tentang malu, keempat tentang sikap sopan santun dan marah, kelima tentang kejujuran dan dusta, keenam tentang dengki dan berlomba.

(48)

36

BAB IV

DESKRIPSI PEMIKIRAN AL-MĀWARDĪY TENTANG AKHLAK GURU

DALAM KITAB ADAB AL-DUNYA WA AL-DIN

A. Pengertian Akhlak Guru

Akhlak dari segi bahasa berasal dari bahasa arab, yang berarti perangai, tabiat, watak dasar kebiasaan, sopan dan santun agama. Kata akhlak adalah jamak dari kata khulqun atau khuluq yang artinya sama dengan arti akhlak sebagaimana telah disebutkan di atas. Baik kata akhlak atau khuluq kedua-duanya dijumpai pemakaiannya di dalam Al-Qur‟an maupun Al-Hadist (Ardani, 2005:25).

Sedangkan menurut pendekatan terminologi, berikut ini beberapa pakar yang mengemukakan pengetian Akhlak sebagai berikut :

1. Ibnu Miskawih

Bahwa akhlak adalah keadaan jiwa seorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu (Mustaqim, 2007:2)

2. Imam al-Ghazali

(49)

37

Dan jika dia lahir darinya perbuatan tercel, maka sikap tersebut disebut akhlak buruk (Zainudin,dkk, 2005:104)

3. Ahmad Amin

Sementara orang mengetahui bahwa yang disebut akhlak yaitu kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bisa membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakn akahlak atau perilaku. Menurut kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah imbang, sedang kebiasaan merupaka perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah melakukannya, masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan lebih besar, kekuatan inilah yang bernama akhlak.

Secara umum pengertian guru diartikan sebagai orang yang pekerjaanya (mata pencaharianya) mengajar (Depdikbud, 1990: 330). Kata guru berasal dalam bahasa Indonesia yang berarti orang yang mengajar, dalam bahasa Inggris, dijumpai kata teacher yang artinya pengajar, selain itu juga terdapat kata tutor yang berarti guru pribadi yang mengajar dirumah, mengajar ekstra, yang memberikan les tambahan (Drajat & Effendi, 2014: 117).

(50)

38

kegiatan mendidik lebih luas dari area kegiatan mengajar (Djamarah, 2002: 74).

Guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan sebagai guru, walaupun kenyataanya masih ada yang dilakukan orang di luar pendidikan. Itulah sebabnya jenis profesi ini paling mudah terkena pencemaran. Orang yang pandai berbicara dalam bidang-bidang tertentu, belum dapat disebut sebagai guru. Untuk menjadi guru diperlukan syarat-syarat khusus, apalagi sebagai guru yang profesional yang harus menguasai betul seluk beluk pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainya yang perlu dibina dan dikembangkan melalui masa pendidikan tertentu atau pendidikan prajabatan (Usman, 1991: 1-2).

Sejak dulu dan mudah-mudahan sampai sekarang guru menjadi panutan masyarakat. Guru tidak hanya diperlukan oleh para peserta didik di ruang-ruang kelas, tetapi juga diperlukan oleh masyarakat lingkunganya dalam menyelesaikan aneka ragam permasalahan yang dihadapi masyarakat.

(51)

39

pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan–keterampilan pada peserta didik (Usman, 1991: 4).

Tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para peserta didiknya. Pelajaran apapun yang diberikan, hendaknya dapat menjadi motivasi bagi peserta didiknya dalam belajar. Bila seorang guru dalam penampilanya sudah tidak dapat menarik, maka kegagalan pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pelajarannya itu kepada para peserta didiknya. Para peserta didik akan enggan menghadapi guru yang tidak menarik (Usman, 1991: 4).

Dalam masyarakat, guru adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak harus di lembaga formal, tetapi bisa juga di masjid, di surau atau di mushala, di rumah dan sebagainya ) Djamarah, 2000: 31(. Masyarakat menempatkan guru pada tempat yang lebih terhormat di lingkunganya karena dari seorang guru diharapkan masyarakat dapat memperoleh ilmu pengetahuan. Yakni di depan memberi teladan, di tengah-tengah membangun dan di belakang memberi dorongan dan motivasi. Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa tut wuri handayani.

(52)

40

teruji dari setiap guru. Bukan saja di depan kelas tidak juga di pagar-pagar sekolah, tetapi juga di tengah-tengah masyarakat.

Semakin akurat para guru melaksanakan fungsinya, semakin terjamin tercipta dan terbinanya kesiapan dan kehandalan seseorang sebagai manusia pembangunan. Dengan kata lain, potret dan wajah diri bangsa di masa depan tercermin dari potret diri para guru masa kini dan gerak maju dinamik kehidupan bangsa berbanding lurus dengan citra para guru di tengah-tengah masyarakat (Usman, 1991: 5).

Guru memilki peran yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran yang dilaksanakan. Guru berperan sebagai pengelola proses belajar mengajar, bertindak selaku fasilitator yang berusaha menciptakan kondisi belajar mengajar yang efektif sehingga memungkinkan proses belajar mengajar, mengembangkan bahan pelajaran dengan baik dan meningkatkan kemampuan siswa untuk menyimak pelajaran dan menguasai tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai. Oleh sebab itu, guru harus memikirkan dan membuat perencanaan secara seksama dalam meningkatkan kesempatan belajar bagi peserta didiknya dan memperbaiki kualitas mengajarnya (Usman, 1991: 16).

(53)

41

Guru adalah pendidik profesional, karena secara implisit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak para orang tua. Para orang tua tatkala menyerahkan anaknya ke sekolah, berarti telah menyerahkan anaknya ke sekolah, berarti telah melimpahkan pendidikan anaknya kepada guru. Hal ini mengisyaratkan bahwa mereka tidak mungkin menyerahkan anaknya kepada sembarang guru, karena tidak sembarang orang menjadi guru (Nurdin, 2010: 127). Hal ini senada dengan pengertian guru dalam undang-undang tentang guru dan dosen, bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia didik jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen, 2012: 2).

Jadi akhlak guru adalah ilmu yang berkaitan dengan perilaku seorang pendidik atau guru yang dipandang baik atau buruk berdasarkan akal pikiran.

B. Akhlak Guru Perspektif Al-Māwardīy

(54)

42

diajarkan maupun cara menyampaikan pelajaran tersebut serta kepribadian yang baik, yakni pribadi yang terpadu antara ucapan dan perbuatanya secara harmonis. Beberapa akhlak guru menurut al-Māwardīy adalah:

1. Tawadlu’ (Rendah Hati)

Bagi seorang guru harus memiliki sikap yang patut dan sesuai bagi dirinya yaitu sikap tawadlu atau rendah hati dan menjahui sikap ujub atau besar kepala. Karena sesungguhnya sikap tawadlu akan menimbulkan rasa senang, sedangkan sikap ujub akan mendatang rasa benci atau kurang disukai orang. Sikap ujub merupakan sikap yang buruk, terlebih bagi seorang guru tidaklah patut memilki sikap ujub karena semua murid akan patuh terhadap guru yang tawadlu‟ (Al-Māwardīy, 2006: 80).

Seandainya seorang guru berfikir dengan benar dan mengamalkan ilmunya tentu baginya tawadlu‟ itu yang utama dan lebih utama lagi

baginya untuk menjahui sifat ujub. Ulama salaf mengatakan bahwa seseorang yang takabur terhadap ilmunya dan merasa tinggi, maka Allah akan merendahkanya, dan barang siapa yang tawadlu‟ terhadap ilmunya

maka Allah akan mengangkatnya (Al-Māwardīy, 2006: 80).

Diantara sebab ta‟ajubnya seseorang guru adalah memandang

(55)

43

ٌىْيِهَع ٍىْهِع يِذ ِّمُك َقْىَفَو ُءآشََ ٍَّْي ٍتَجَزَد ُعَفْسَـَ

)

٧٦

(

Artinya : Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha mengetahui. (QS. yusuf: 76(.

Artinya bahwa janganlah seseorang yang berilmu merasa dirinya paling hebat. Ketahuilah sesungguhnya sepandai-pandainya seseorang pasti ada yang lebih pandai dan lebih Maha mengetahui.

Bagi seorang guru hendaknya selalu mengintrospeksi diri akan kekuranganya terhadap ilmu, supaya selamat dari sifat ujub atas ilmu yang dimilikinya. Janganlah selalu memandang orang yang sebawahnya, akan tetapi lihatlah orang-orang yang lebih pandai.

Guru merupakan sebuah profesi yang bermartabat tinggi dalam masyarakat. Dengan martabat yang tinggi dan terkenal seseorang bisa saja disuapi rasa bangga dan tinggi hati. Menurut Ibnu Abbas yang dikutip al-Duwaesy mengatakan, “Setiap kali seorang guru punya kedudukan tinggi,

maka sikap ujub akan lebih cepat menyusupi dirinya, kecuali orang yang dijaga oleh Allah dengan taufik-Nya dan ia membuang ambisi berkuasa dari dirinya” (Al-Duweisy, 2010: 85).

Yang dimaksud sikap tawadlu‟ disini bukanlah sikap yang

(56)

44

dengan orang lain serta menghargai dan menghormati orang lain. Jika seorang manusia muslim sangat membutuhkan sifat tawadlu‟ ini agar

dapat sukses berhubungan dengan Allah dan masyarakat, maka kebutuhan akan sifat ini pada diri seorang guru lebih sangat dibutuhkan. Hal ini karena tugasnya dalam menyampaikan ilmu, mengajar, menasihati, berinteraksi langsung dengan para peserta didik dan kedekatanya dengan mereka. Dengan sikap tawadlu‟, guru akan menghargai peserta didiknya

sebagai manusia yang mempunyai potensi untuk berkembang dan melibatkannya dalam proses belajar mengajar.

Lebih lanjut sikap tawadlu‟ akan menjadikan guru bersikap

demokratis terhadap peserta didiknya. Pelaksanaan prinsip demokratis di dalam kegiatan KBM dapat diwujudkan dalam bentuk timbal balik antara peserta didik satu dan peserta didik yang lainnya dan antara peserta didik dan guru (Tabrani, 1994: 117). Dalam interaksinya guru akan lebih banyak memberikan motivasi sehingga peserta didik menjadi semangat dan bergairah karena potensi, harga diri, kemauan, karya dan kreatifitasnya merasa dihargai.

(57)

45

ditandai dengan munculnya felling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Motivasi merupakan faktor menentukan dan berfungsi menimbulkan, mendasari dan mengarahkan perbuatan belajar. Motivasi dapat menentukan baik tidaknya dalam mencapai tujuan sehingga semakin besar motivasinya akan semakin besar kesuksesan, tampak gigih, tidak mau menyerah giat membaca buku untuk meningkatkan prestasinya dalam belajar (Djamarah, 2002: 62).

Biar bagaimanapun juga, jiwa itu tidak akan merasa nyaman dihadapan orang yang sombong, pemaksa dan sewenag-wenang dalam berbuat. Sifat tawadlu‟ adalah lawan dari sifat takabbur. Sifat takabbur

adalah sifat yang tercela yang tidak akan mendapatka manfaat apapun bagi pelakunya. Dampak sifat takabur pada guru bagi masyarakat islam adalah:

a. Pengingkaran terhadap kebenaran dan tidak tunduk pada kebenaran tersebut.

b. Terperdaya terhadap ilmu yang dimiliki, padahal ilmu yang dikuasai tersebut sangatlah sedikit.

c. Enggan lebih mendalami ilmu pengetahuan karena merasa dirinya telah mengetahui dan memahami segala sesuatu (Al-Syalhub, 2006: 28).

(58)

46

dari para peserta didiknya. Padahal dengan pendekatan tersebut, ia dapat mengetahui problem dan permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi mereka dan hal-hal apa saja yang menghambat tercapainya tujuan pendidikan sebagaimana yang telah digariskan. Mereka juga tidak akan mau menceritakan perasaan dan permasalahan yang sedang mereka hadapi. Hal inilah yang menyebabkan faedah yang mereka dapat dari guru seperti ini sangatlah sedikit.

2. Mengamalkan Ilmunya

Seorang guru merupakan suri tauladan yang baik bagi peserta didiknya. Oleh karena itu guru harus bisa mengamalkan ilmunya, ilmu yang didapatkan ataupun ilmu yang disampaikan. Jadi perbuatan guru harus sesuai dengan ucapannya. Ini adalah salah satu tanda dari seorang guru yang menjadi suri tauladan peserta didiknya (Al-Māwardīy, 2006: 84). Sehingga apa yang diperintahkan kepada muridnya akan sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh guru terlebih dulu.

Guru merupakan sorotan peserta didiknya bagaimana gerakanya selalu dipantau, peserta didik cenderung untuk meniru tingkah laku guru, baik ucapan maupun tindakan. Ada pepatah mengatakan guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Ini mengisyaratkan adanya sifat peserta didik yang menirukan sifat guru dengan bentuk yang lebih parah.

(59)

47

dilakukan. Jika sampai mengatakan apa yang tidak pernah dilakukan maka hal ini termasuk tipu daya dan jika memerintahkan apa yang belum pernah dilakukan maka hal ini sama saja dengan membujuk. Bahkan jika sampai terjadi demikian maka, akan menyebabkan perintahnya tidak dianggap dan tidak dihiraukan serta justru peserta didik melakukan apa yang dicegah (Al-Māwardīy, 2006: 86).

Seorang guru adalah orang pertama yang harus menegakan manhaj dalam kehidupan keseharian. Sebab guru adalah sosok panutan yang akan diikuti. Para peserta didik akan menirukan perilaku moral darinya. Begitu pula dengan sopan santun dan ilmu pengetahuan. Tidak ada manfaat apapun yang dapat diambil dari seorang guru yang ucapanya berlawanan dengan apa yang ia kerjakan. Ketidakkonsistenan sikap guru seperti itu, jika dilihat seorang peserta didik hanya akan menimbulkan kebingungan besar baginya (Al-Syalhub, 2006:13). Allah berfirman:

ّ ٌَىُهَعْفَت َلَ اَي ٌَىُنىُمَت َىِن اْىَُُياَء ٍَْيِرَّنا اَهُّيَؤَي

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan ( QS. ash-Shaff :2-3).

(60)

pohon-48

pohon dari biji busuk yang satu, yaitu ilmu yang tidak diamalkan. Sementara yang diharapkan dari seorang guru adalah peranan aktif untuk menghilangkan biji busuk, yakni dengan mengamalkan ilmu-ilmunya.

Wasiat Imam syafi‟i kepada Khalifah Harun ar-Rasyid yang dikutip

oleh al-Duwaesy, “Mulailah dalam mendidik anak-anak Amirul Mu‟minin dengan mendidik dirimu sendiri. Karena mata mereka tertambat kepada matamu. Baik, menurut mereka adalah apa yang kamu anggap baik. Dan buruk adalah apa yang kamu benci” (Al-Duweisy, 2010: 70).

Secara keseluruhan guru adalah figur yang menarik perhatian semua orang, entah dalam keluarga, masyarakat atau di sekolah. Tidak ada seorangpun yang tidak mengenal figur guru. Apapun istilah yang dikedepankan tentang figur guru, yang pasti semua itu merupakan penghargaan yang diberikan terhadap jasa guru yang banyak mendidik umat manusia dari dulu hingga sekarang. Manusia melihat figur guru sebagai manusia serba bisa tanpa cela dan nista. Mereka melihat guru sebagai figur yang kharismatik. Kemuliaan seorang guru tercermin dari kepribadian sebagai manifestasi dari sikap dan perilaku dari kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu sedikit cela dan nista dari pribadi guru, maka masyarakat akan mencaci makinya habis-habisan dan hilanglah wibawa guru (Djamarah, 2002: 70).

(61)

49

Artinya orang yang masih belum bisa lebih diutamakan untuk terus dan selalu menuntut ilmu sedang guru diutamakan untuk mengamalkan ilmunya sekaligus sebagai contoh bagi peserta didiknya (Al-Māwardīy, 2006: 87).

Bila guru telah mampu menyesuaikan antara perkataan dan perbuatan, tenti ia akan mempunyai kepribadian yang menimbulkan rasa percaya bagi peserta didiknya. Bahkan bisa menimbulkan kekaguman dalam diri peserta didik. Inilah sesungguhnya yang membuat peserta didik terkesan dan mencintainya. Bila sudah demikian, otomatis sangat terkait erat dengan keberhasilan dalam proses belajar mengajar (Azzet, 2011: 57).

Oleh karenanya guru tidak hanya sebagai komunikator saja, akan tetapi guru dituntut kejujuranya menerapkan apa yang diajarkan dalam kehidupan pribadinya. Dengan kata lain guru harus konsekuen serta konsisten dengan apa yang diucapkan, dilarang dan diperintah sesuai dengan amal perbuatanya sendiri.

3. Dermawan Atas Ilmunya

(62)

50

diberikan orang lain akan bertambah banyak, sedang jika disimpan akan semakin berkurang dan lemah. Jika demikian terjadi tentunya ilmu tidak akan sampai pada guru saat ini (Azzet, 2011: 57). Allah berfirman:

َلََو ِساَُّهِن ُهَُُُِّّيَبُتن ِباَتِكنا اىُتوُأ ٍَْيِرّنا َكَثْيِي ُالله َرَخَأ ْذإَو

ُهََىًُُتْكَت

(

۱۸۷ )

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya (QS. Ali Imron: 187).

Dan Nabi Muhammad bersabda:

اًًْهِع َىَتَك ٍَْي َلاَل َىَّهَسَو ِهْيَهَع ُ َّالله ًَّهَص ِّيِبَُّنا ٍَْعَةَسْيَسُه يِبَأ ٍَْع

ٍزاََ ٍِْي ٍواَ ِهِب اًًَّ َهُي ِتَياَيِمْنا َوْىَي َءاَج ُهًَُهْعَي

Artinya : Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Barangsiapa menyembunyikan ilmu yang ia ketahui, maka pada hari kiamat ia akan datang dalam keadaan dicambuk dengan cabuk dari api" (Ahmad: 10082).

(63)

51

memperingatkan kepada guru akan ilmu yang belum dikuasai dan harus dikuasai. Setidaknya ada 2 manfaat bagi guru dalam mengajarkan ilmunya kepada peserta didiknya: )Al-Māwardīy, 2006: 88)

a. Harapan pahala dari Allah Nabi Muhammad bersabda:

وِسًَْع ٍَْعٌسَعْسِي اََُثَّدَح َلَاَل ٌٍْىَع ٍُْب ُسَفْعَجَو ٍىْيَعَُ ىُبَأ اَََسَبْخَأ

َمْبَل اىًَُّهَعَت ِءاَدْزَّدنا ىُبَأ َلاَل َلاَل ِدْعَ ْنا يِبَأ ٍِْب ِىِناَس ٍَْعةَّسُي ٍِْب

ٌَِّإَو ِءاًََهُعْنا ُضْبَل ِىْهِعْنا َضْبَل ٌَِّإَف ُىْهِعْنا َضَبْمُي ٌَْأ

ٌءاَىَس ِسْجَ ْاا يِف َىِّهَعَتًُْناَو َىِناَعْنا

Artinya : Telah mengabarkan kepada kami Abu Nu'aim dan telah mengabarkan kepada kami Ja'far bin 'Aun berkata: telah menceritakan kepada kami Mis'ar dari 'Amr bin Murrah dari Salim bin Abu Al Ja'd ia berkata: berkata Abu Darda` radliallahu 'anhu: "Belajarlah kalian sebelum ilmu dicabut, sesungguhnya dicabutnya ilmu dengan diwafatkan ulama. Sesungguhnya orang alim (yang mengajarkan ilmu) dan manusia terpelajar (yang berburu ilmu) memperoleh pahala sama" (Al-Darimi, (t.tp.: al-Hadith al-Sharif, t.t.): 329).

b. Bertambahnya ilmu dan menguatkan ingatan atau hafalan

(64)

52

4. Membimbing Peserta Didiknya

Selain menyampaikan materi yang telah diajarkan, seorang guru juga harus membimbing peserta didiknya. Dalam hal ini guru selalu memantau perkembangan peserta didik, sehingga bisa mengetahui sebatas mana pemahaman yang diterima peserta didiknya, mengetahui kekuatan dan kecerdasan peserta didik dalam menerima pelajaran. Karena dengan pantauan serta bimbingan, akan mempermudah bagi guru untuk menjalankan tugasnya dan lebih mudah untuk mencapai keberhasilan peserta didiknya (Al-Māwardīy, 2006: 89).

Sebagai pribadi yang selalu digugu dan ditiru, tidaklah berlebihan bila peserta didik selalu mengharapkan figur guru yang senantiasa memperhatikan kepentingan mereka. Figur guru yang selalu memperhatikan kepentingan peserta didik biasanya mendapatkan ekstra perhatian dari peserta didik. Peserta didik senang dengan sikap dan perilaku yang baik yang diperlihatkan oleh guru (Djamarah, 2002: 71).

(65)

53

belajar mengajar maka akan membosankan bagi peserta didik yang cerdas dan melemahkan bagi peserta didik yang kurang cerdas(Al-Māwardīy, 2006: 90).

Bahwa perhatian terhadap perbedaan-perbedaan perilaku pribadi bukanlah temuan pendidikan modern, akan tetapi hal itu telah diisyaratkan oleh para Salaf terdahulu (Al-Duweisy, 2010: 44). peserta didik selain ada perbedaan juga ada persamaan. Paling tidak ada beberapa persamaan dan perbedaan yang harus mendapatkan perhatian seperti pada aspek kecerdasan (intelegensi), kecakapan, prestasi, bakat, sikap, kebiasaan, ciri-ciri jasmaniah, minat, cita-cita, kebutuhan, kepribadian dan pola-pola dan tempo perkembangan, serta latar belakang perkembangan.

Menurut Imam Nawawi, yang dikutip oleh Muhama Abdullah al-Duweisy mengatakan:Seorang guru harus mengarahkan segala usaha untuk memahamkan mereka, mendekatkan faedah ke akal mereka, memahami setiap peserta didik berdasarkan pemahaman dan hafalanya. Maka guru tidak memberi apa yang peserta didik tidak mampu memikulnya dan melalaikan apa yang dia mampu memikulnya tanpa kesulitan. Ia berbicara kepada masing-masing menurut kadar derajatnya, menurut pemahaman dan semangatnya, cukup isyarat bagi yang memahaminya (Al-Duweisy, 2010: 44).

(66)

54

maksimal. Hal ini sebagai indikator bahwa penguasaan bahan pelajaran oleh peserta didik bermacam-macam. Untuk meminimalkan tingkat perbedaan yang eksterm ini, maka seorang guru harus bisa memberikan waktu yang bervariasi dalam belajar peserta didik. Dengan begitu, setiap peserta didik dapat menguasai bahan pelajaran seluruhnya. Dan kesan ada peserta didik pandai dan ada peserta didik bodoh dapat dinetralisir (Djamarah, 2002: 49).

Maka pengetahuan guru terhadap peserta didiknya berguna bagi guru dalam mengajar dan mendidik. Guru yang mengenal peserta didiknya dengan cermat, maka dialah yang mampu mengajarkan kepada mereka apa yang mereka perlukan sesuai dengan diri mereka. Dialah yang mampu mengarahkan untuk mengambil spesialisasi yang sesuai. Dia mampu memberi jawaban yang cermat atas pertanyaan-pertanyaan mereka. Dia juga mampu bersikap adil dan teliti dalam menilai dan memberikan nilai materi pelajaran yang menjadi hak-hak peserta didiknya (Al-Duweisy, 2010: 43).

5. Membersihkan Diri Dari Pekerjaan-Pekerjaan Shubhat

(67)

55

Pahala adalah lebih baik dari pada dosa dan kemuliaan lebih pantas dari pada kehinaan (Al-Mawardi, 2006: 91).

Bahwa sesungguhnya ilmu adalah pengganti dari semua kenikmatan dan pemuas dari semua keinginan (Al-Mawardi, 2006: 91). Oleh karena itu sebagai guru seyogyanya merasa senang dengan profesinya karena akan mendapatkan balasan pahala yang lebih dari Allah dan merasa cukup dengan penghasilan yang didapat. Seorang peserta didik jika senang dengan pelajaran maka ia akan cepat memahaminya, begitu juga seorang guru yang senang profesinya maka akan lebih semangat dalam mengajarkan pelajaran dengan berbagai cara atau metode agar peserta didiknya bisa menerima dan memahami apa yang disampaikan. Tugas guru adalah tugas yang mulia, jangan sampai kemuliaan ini tergangu oleh kehinaan berupa mencari penghasilan dengan penuh susah payah. Dengan ketenangan hati ini maka guru akan selalu terkonsentrasi pada bidangnya yang selanjutnya akan memperlancar proses dalam pendidikan dan meningkatan mutu pengajarannya.

6. Bertujuan Mengharap Ridlo Allah

(68)

56

merupakan tugas yang luhur dan mulia. Itulah sebabnya dalam mendidik dan mengajar seseorang harus semata-mata mengharapkan keridlaan Allah.Allah berfirman :

َ ْيِهَل ًاًََُث ِالله ِتَيَؤِب ٌَوُسَتْشَي َلَ

(

۱۹۹

(

Artinya: Janganlah kamu menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. (QS. Ali Imron: 199).

Menurut Imam Nawawi yang dikutip oleh al-Duwaesy, mengatakan:Seorang guru wajib mengajar dengan tujuan mecari ridla Allah. Ia tidak menjadikan sebagai sarana utuk meraih tujuan duniawi. Hendaknya seorang mu‟allim selalu merasa bahwa mengajar merupakan ibadah yang paling muakkad (ditekankan) agar hal itu sebagai pemicunya untuk memperbaiki niat dan sebagai pendorong agar selalu menjaganya dari noda-noda yang tidak diinginkan, karena ditakutkan akan hilangnya keutamaan dan kebaikan yang besar ini (Al-Duweisy, 2010: 61).

(69)

57

Kadang diawal seorang mengajar didorong oleh motif-motif tertentu seperti, motif ekonomi, paksaan, teman dan kewibawaan. Namun itu semua tetaplah terus untuk mengharap ridlo Allah swt. dan berusaha untuk ikhlas, karena seorang hamba yang mau mendekat sang Kholiq dalam hal ini mau mengajarkan ilmunya dengan ikhlas maka Allah akan mencukupinya seperti ekonomi. Seorang guru cukup konsentrasi dalam bidang mengajar dan mendidiknya, maka sudah barang tentu masalah gaji sudah ada yang mengatur seperti instansi atau pemerintah. Gaji adalah hak yang diterima guru atau dosen atas pekerjaannya dari penyelenggaraan pendidikan atau satuan pendidikan dalam bentuk finansial secara berkala sesuai peraturan perundang undangan dan dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak: memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen , 2012: 4-9). Jika guru semakin tekun atau profesional dalam mendidik bisa jadi ia diangkat jabatanya tanpa harus mencari-cari. Hal ini seperti perumpamaan seorang yang bekerja dalam sebuah perusahaan. Pekerja yang menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan tanpa mengharapkan gaji sudah tentu pasti ia akan digaji oleh bosnya. Semakin rajin dan semakin bagus hasil kerjaanya bisa jadi ia diangkat jabatanya atau dinaikan gajinya.

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan penelitian mengenai Sistem Akuntansi Pemerintah pada SKPKD DPPKAD Kabupaten Kepulauan Talaud bahwa: DPPKAD telah melakukan pencatatan akuntansi keuangan

Uji Efektivitas Trichoderma harzianum dan Pemberian Arang Batok Kelapa Sebagai Pengendalian Hayati Penyakit Lanas ( Phytophtora Nicotianae de Hann ) Pada Tanaman

yang optimal dengan cara memproduksi 2 jenis produk yaitu kaos lengan panjang dan celana panjang untuk dapat menghasilkan keuntungan atau laba yang paling

Proses pembuatan biodiesel secara konvensional memiliki beberapa kelemahan, yaitu sensitif terhadap kandungan free fatty acid (FFA) yang terdapat dalam minyak,

LKS eksperimen merupakan suatu media pembelajaran yang tersusun secara kronologis yang berisi prosedur kerja, hasil pengamatan, soal- soal yang berkaitan dengan kegiatan praktikum

Berdasarkan hasil uji normalitas dan lineritas data penelitian menunjukkan bahwa data minat menulis, intensitas latihan, ketersediaan sumber belajar, dan kemampuan menulis

Penelitian ini akan membandingkan antara output yang diberikan oleh jaringan syaraf tiruan metode Boltzmann Machine dengan metode Kohonen Self- Organizing Maps