• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2.1. Sound velocity profile

Kecepatan gelombang suara dalam air laut dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu suhu, salinitas, dan tekanan. SVP di lokasi penelitian (Gambar 27) termasuk ke dalam wilayah surface layer. Permukaan merupakan bagian yang sangat

bervariasi dengan kedalaman berkisar 0 sampai 100 meter (Mike, 2008), sehingga dengan peningkatan suhu maka akan meningkatkan cepat rambat gelombang akustik. SVP pada wilayah surface layer sangat dipengaruhi oleh perubahan diurnal harian air dan perubahan lokal seperti pemanasan, pendinginan, dan pergerakan angin (Urick, 1967). Panas dari sinar matahari menyebabkan air lapisan atas lebih hangat dibandingkan bagian bawah. Kondisi tersebut

menyebabkan terbentuknya mixed layer yang terus berlangsung sampai sore hari hingga gradient SVP tersebut menjadi negatif (afternoon effect).

Nilai positif dari gradient SVP di lokasi penelitian disebabkan kuatnya pengaruh arus sehingga terbentuk mixed layer yang dapat menyebabkan kondisi

isothermal atau kondisi suhu perairan hampir sama, sehingga tekanan air merupakan faktor yang berpengaruh (disamping salinitas) terhadap cepat rambat gelombang akustik. Menurut Mike (2008) peningkatan suhu 10 C akan

meningkatkan cepat rambat gelombang akustik sebesar 4 m/s, peningkatan tekanan air laut setiap 1 km meningkatkan cepat rambat gelombang akustik sebesar 17 m/s dan peningkatan salinitas 1 psu meningkatkan cepat rambat gelombang akustik sebesar 1,4 m/s.

Kecepatan suara sangat penting dalam survei batimetri karena dapat digunakan untuk meramalkan arah penjalaran gelombang akustik. Prinsip dasar pengukuran kedalaman dengan metode hidroakustik adalah melakukan

penghitungan terhadap cepat rambat gelombang akustik dibagi dua, kemudian dikali dengan waktu tempuhnya. Special publication No. 44 (S.44)-IHO menyebutkan bahwa salah satu koreksi yang penting dalam survei batimetri adalah koreksi kecepatan gelombang suara dari lokasi penelitian.

4.2.2.Pengukuran arus sungai Mahakam

Salah satu ketentuan dalam survei hidrografi adalah dengan melakukan pengamatan arus di lokasi penelitian, pengamatan dilakukan dengan

menggunakan Current meter pada kedalaman 3 hingga 10 meter atau sesuai dengan kebutuhan. Kecepatan dan arah arus diukur dengan satuan ketelitian bacaan 0,1 knot dan 10 derajat. Pengukuran ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh arus terhadap navigasi permukaan (PPDKK BAKOSURTANAL, 2010).

Pengukuran arus di lokasi survei pada pukul 7:50, 10:55, dan 16:14 waktu setempat diperoleh hasil kecepatan arus lebih tinggi berada di bagian dalam (kedalaman 15 m) dengan kecepatan arus berkisar 0,648 m/s dan 0,706 m/s. Sedangkan nilai terendahnya adalah sebesar 0,301 m/s hingga 0,590 m/s yang berada di permukaan, serta memiliki arah yang tidak jauh berbeda di tiap kedalaman pengukuran. Sehingga dengan informasi tersebut navigasi dan kecepatan survei kapal dapat ditentukan dengan tepat dan memperkecil tingkat kesalahan atau error saat pengambilan data batimetri.

4.2.3. Topografi dasar perairan survei

Data kedalaman hasil akuisisi diolah dengan menggunakan 2 software yaitu

PDS 2000 dan CarisHIPS&SIPS 6.1 dengan hasil yang diperoleh berupa topografi dasar daerah penelitian yang memiliki rentang nilai kedalaman yang hampir sama, yaitu hasil pengolahan data multibeam di Caris diperoleh nilai rentang kedalaman 4,071936 meter hingga 56,19515 meter dan hasil pengolahan data di PDS 2000 diperoleh rentang kedalaman 4,18 meter hingga 58,15 meter. Perbedaan hasil dari kedua software tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan dalam filtrasi manual atau manual reject saat proses pengolahan data atau dapat juga disebabkan oleh tingkat akurasi dari kedua software tersebut dalam mengolah data multibeam hasil pemeruman.

Proses akuisisi data dilakukan dengan menggunakan software PDS 2000

yang merupakan software bawaan langsung dari alatnya yaitu multibeamsonar Reson Hydrobat, sehingga kualitas data yang dihasilkan dari pengolahan data

multibeam pada softwarePDS 2000 lebih baik dibanding dengan softwareCaris HIPS&SIPS 6.1 yang digunakan sebagai pembanding. Dalam pemrosesan data

multibeam di PDS 2000 hanya digunakan interpolasi circular saja, karena untuk membandingkan hasil pengolahan di CarisHIPS&SIPS 6.1 yang hanya

menggunakan interpolasi bentuk matriks (3x3 atau 5x5).

Kedua interpolasi ini memiliki kesamaan dalam penggunaan yaitu untuk membangkitkan data akibat adanya lubang-lubang kecil (small holes) yang

nampak di area data, lubang-lubang kecil (gaps) ini dapat disebabkan oleh sebagai contoh beam terluar dari multibeam survei sepanjang ujung terluar dari area survei, di mana hanya ada sedikit atau tidak ada cakupan yang menutupinya (no

overlapping coverage). Perbedaannya terdapat pada maksimum gap atau jarak terjauh di mana interpolasi masih valid atau dapat dilakukan interpolasi (Gambar 32). Pada interpolasi matrik di CarisHIPS&SIPS 6.1 maksimum gap yang dapat dilakukan interpolasi hanya dalam ukuran matrik 3x3 dan 5x5, sebagai contoh jika kita memilih ukuran matrik 3x3 maka akan ditentukan nilai dari piksel yang kosong tersebut dengan menggunakan nilai pixel dari tetangganya (neighbours) dengan jumlah minimum neighbours 3 dan maksimum 9. Sedangkan, interpolasi

circular pada PDS 2000 nilaimaksimun range-nya dapat ditentukan sendiri dan dapat dipilih jenis interpolasi circular yang akan digunakan, yaitu kedalaman rata-rata (Z average), kedalaman minimum (Z min), kedalaman maksimum (Z

max ), atau kedalaman standar deviasi (Z stand dev) yang ada disekelilingnya.

(a) (b)

Gambar 32. Perbedaan maksimum interpolasi pada interpolasi circular (a) dan interpolasi matrix (b).

Pada Gambar 28 dan 29 terlihat, bahwa topografi dasar perairan lokasi penelitian di sungai Mahakam memiliki nilai kedalaman yang berkisar di antara kedalaman 4,07 meter hingga 58,15 meter. Bentuk variasi dari topografinya secara umum ialah membentuk cekungan di bagian tengah, dengan gambaran kedalaman dari sebelah utara 5,506 meter hingga 10 meter, 11 meter hingga 20 meter, 21

meter hingga 36 meter, 37 meter hingga 43 meter, 44 meter hingga 52 meter, 53 meter hingga 58,15 meter, dan kedalaman semakin berkurang hingga menuju ke bagian selatan dari bagian cekungan dasar perairan dengan kedalaman hingga 4,07 meter. Bagian cekungan merupakan bagian kedalaman yang berada di sekitar posisi bawah jembatan dengan kedalaman berkisar dari 20 meter hingga 58 meter. Gambar 33 merupakan tampilan cekungan bagian tengah dari topografi dasar perairan di lokasi penelitian.

4.2.4. Hasil pendeteksian target dasar perairan

Hasil pengolahan data side scan sonar dengan menggunakan software Caris HIPS&SIPS 6.1 (Tabel 2) dan SonarWeb (Tabel 3) diperoleh gambar target dasar berupa rangka jembatan, target berbentuk kotak/persegi, berbentuk tali, benda bertali, dan berbentuk gundukan kecil, dengan menggunakan bantuan software ArcGIS 9.3, maka dapat dilakukan overlay data batimetri dari Multibeam sonar

dan data posisi (koordinat) target dari Side scan sonar untuk menghasilkan peta lokasi target hasil survei di lokasi penelitian (Gambar 34).

Pada Gambar 30 terlihat, bahwa intensitas dari pantulan dasar perairan hasil pendeteksian dengan menggunakan Side Scan Sonar (SSS)diinterpretasikan dalam bentuk warna, semakin merah berarti nilai pantulan gelombang suaranya semakin besar. Hal ini terkait dengan sifat benda atau kekasaran objek dasar perairan dalam memantukan energi akustik (backscattering). Material seperti besi, bongkahan, kerikil, atau batuan vulkanik sangat efisien dalam merefleksikan pulsa akustik (backscatter kuat). Sedangkan sedimen halus seperti tanah liat, lumpur, tidak merefleksikan pulsa suara dengan baik (lemah). Reflektor kuat akan menghasilkan pantulan backscatter yang kuat sedangkan reflektor lemah menghasilkan backscatter yang lemah (Tritech International Limited, 2008), sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat dominansi dari pemantulan gelombang suara di dasar perairan lokasi penelitian adalah cenderung lemah.

Gambar 31 merupakan mosaik hasil pendeteksian SSS dari beberapa line

yang telah digabung atau merge. Terlihat tanda reruntuhan dari rangka jembatan yang memotong mosaik di bagian tengah. Tingkat kekeruhan yang tinggi pada Sungai Mahakam sangat mempengaruhi energi gelombang suara yang

ditransmisikan oleh transduser. Gelombang suara dapat mengalami pengurangan energi (teratenuasi) akibat adanya proses penyerapan (absorption) dan

penghamburan (scattering) oleh partikel terlarut dalam kolom air atau karena kebocoran dari alat (sound channels) (Urick, 1967).

Kegiatan tambang emas dan batu bara dapat dijumpai di bagian hulu Sungai Mahakam. Kegiatan ini membuat kerusakan pada DAS Mahakam. Sejumlah perusahaan tambang batu bara diketahui membuang limbahnya langsung ke Sungai Mahakam sehingga terjadi pencemaran dengan bahan partikel terlarut

(suspended particulate matter/SPM) yang tinggi dengan konsentrasi 80

miligram/liter. Tingkat sedimentasi lumpur di sepanjang Sungai Mahakam sudah sangat tinggi, mencapai 60 sentimeter per bulan. Ini disebabkan tingginya erosi akibat rusaknya hutan pada daerah aliran sungai sepanjang 900 kilometer itu (Watiningsih, 2009). Gambar 35 merupakan citra hasil pendeteksian SSS 6 hari setelah kejadian runtuh, terlihat rangka jembatan yang terbenam dalam lumpur.

Gambar 35. Hasil pendeteksian SSS pada tanggal 2 Desember 2011 (6 hari setelah runtuh).

4.2.5. Pendugaan nilai amplitudo target di SSS

Nilai amplitudo dari target yang ditemukan, ditentukan dengan bantuan

Microsoft Excel, dengan memplotkan nilai amplitudo dan waktu yang berasal dari

trace di mana target diduga berada, sehingga dengan melihat bentuk grafik dan frekuensi nilai dari amplitudo yang pantulkan oleh permukaan dasar serta

190 meter Port Starboard Rangka jembatan N N N E E E Blindzone

mengasumsikan pada selang waktu 0 hingga 30 millisecond atau 40 ms sebagai

noise, maka dapat ditentukan dugaan nilai amplitudo dari target yang diamati. Gambar 36 merupakan grafik hubungan antara waktu dan amplitudo dari masing- masing target.

Gambar 36. Grafik hubungan waktu dan amplitudo dari target rangka jembatan, gundukan kecil, bentuk kotak/persegi, benda bertali, dan target bentuk tali.

Pada Tabel 4 dapat dilihat besarnya nilai amplitudo dari target yang

ditemukan adalah nilai amplitudo tertinggi dari target rangka jembatan yaitu 7.200 – 7.974 dan terendah dari substrat di sekitar target bentuk tali yaitu 258 – 454. Hal ini dikarenakan besarnya intensitas pantulan suara dari dasar laut umumnya tergantung pada sudut datang gelombang suara, tingkat kekerasan (hardness), tingkat kekasaran (roughness) dasar laut, komposisi sedimen dasar laut, dan

frekuensi suara yang digunakan (Jaya, 2011). Ukuran butiran sedimen yang lebih besar memiliki pantulan (backscattering) yang lebih kuat pula, tingkat kepadatan sedimen (bulk density) yang lebih tinggi akan memiliki nilai backscattering yang lebih besar pula (Manik, 2011). Oleh karena itu, semakin keras benda yang ada di dasar perairan maka semakin kuat pula pantulan gelombang suara yang mengenai benda tersebut.

Dokumen terkait