• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

2.8 Identifikasi

2.8.2 Spektrofotometri

Spektrofotometri merupakan pengukuran suatu interaksi antara radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektrofotometri serapan ultraviolet, cahaya tampak, infamerah dan serapan atom (Departemen Kesehatan, 1995).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

a. Spektrofotometri IR

Spektrofotometri inframerah merupakan alat untuk merekam spektrum di daerah inframerah terdiri dari suatu sistem optik dengan kemampuan menghasilkan cahaya monokromatik di daerah 4000 cm-1 hingga 625 cm-1 (lebih kurang 2,5 πm hingga 16πm) dan suatu metode untuk mengukur perbandingan intensitas perbandingan cahaya yang ditransmisikan cahaya datang (Departemen Kesehatan, 1995).

Setiap molekul memiliki karakteristik spektrum inframereah yang berbeda-beda baik dalam posisi maupun intensitas pita absorbsinya. Spektrum yang diperoleh merupakan hubungan antara bilangan gelombang (cm-1) dan persen transmitan. Spektrum IR digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi (Departemen Kesehatan, 1995).

Absorpsi molekul pada inframerah terjadi ketika molekul tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Suatu molekul hanya menyerap frekuensi (energi) tertentu dari radiasi inframerah. Kegunaan spektroskopi IR adalah sebagai sidik jari suatu molekul dan untuk menentukan informasi struktural dari suatu molekul. Absorpsi dari tiap tipe ikatan (N-H, C-H, O-H, C-X, C=O, C-O, C-C, C=C, dan sebagainya) umumnya ditemukan hanya dalam porsi yang sedikit dari area vibrasi inframerah. Rentang kecil dari absorpsi dapat didefinisikan untuk tiap ikatan (Pavia et al., 2001).

b. Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri serap merupakan pengukuran interaksi antara radiasi elektromagnetik panjang geombang tertentu yang sempit dan mendekati monokromatik, dengan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa molekul selalu mengabsorpsi cahaya elektromagnetik jika frekuensi cahaya tersebut sama dengan frekuensi getaran dari molekul tersebut. Elektron yang terikat dan elektron yang tidak terikat akan tereksitasi pada suatu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

daerah frekuensi yang sesuai dengan cahaya ultraviolet dan cahaya tampak (UV-Vis) (Roth et al., 1994).

Spektrum absorpsi daerah ini adalah sekitar 220 nm sampai 880 nm dan dinyatakan sebagai spektrum elektron. Suatu spektrum ultraviolet meliputi daerah bagian ultraviolet (190-380 nm), spektrum Vis (Visible) bagian sinat tampak (380-780 nm).

Prinsip spektroskopi absorpsi adalah semakin besar angka meolekul yang mampu menyerap cahaya dari panjang gelombang yang diberikan, semakin besar perluasan absorpsi cahaya. Selan itu, semakin efektif suatu molekul menyerap cahaya dari panjang gelombang yang diberikan, semakin besar perluasan absorpsi (Pavia et al., 2001).

Pengukuran dengan alat spektrofotometer UV-Vis didasarkan pada hubungan antara berkas radiasi elektromagnetik yang ditransmisikan (diteruskan) atau yang diabsorpsi dengan tebalnya cuplikan dengan konsentrasi dari komponen penyerap. Hubungan tersebut diyatakan dalam Hukum Lambert-Beer (Sastroamidjojo, 1985): A = a . b . c Keterangan : A= Serapan a = Daya serap b = Tebal kuvet c = Konsentrasi larutan

Instrumentasi dari spektrofotometer UV-Vis ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Sumber energi cahaya yang berkesinambungan yang meliputi daerah spektrum yang mana alat tersebut dirancang untuk beroperasi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Monokromator, yakni sebuah piranti untuk memencilkan pita sempit panjang gelombang dari spektrum lebar yang dipancarkan oleh sumber cahaya.

3. Wadah untuk sampel (dalam hal ini digunakan kuvet).

4. Detektor, yang berupa transduser yang merubah energi cahaya menjadi suatu sinyal listrik.

5. Amplifier (pengganda) dan rangkaian yang perubah energi

cahaya menjadi suatu sinyal listrik.

6. Suatu sistem baca dimana diperagakan besarnya sinyal listrik yang ditangkap.

c. Spektrofotometri Resonansi Magnetik

Resonansi magnetik nuklir (Nuclear Magnetic Resonance) adalah metode spektrofotometri yang bahkan lebih penting bagi ahli kimia organik dari spektrofotometri inframerah. Banyak inti dapat dipelajari dengan teknik NMR, tetapi hidrogen dan karbon yang paling umum tersedia. Jika spektrofotometri inframerah (IR) digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi, NMR memberikan informasi mengenai jumlah atom magnetis yang berbeda dari jenis yang dipelajari (Mufidah, 2014).

NMR dapat menentukan jumlah masing-masing jenis yang berbeda dari inti hidrogen serta memperoleh informasi mengenai sifat dasar dari lingkungan terdekat dari masing-masing jenis. Informasi yang sama dapat ditentukan untuk inti karbon. Kombinasi IR dan data NMR seringkali cukup untuk menentukan secara benar struktur molekul yang tidak diketahui (Pavia et al., 2008).

Prinsip dasar spektroskopi NMR yakni inti dari setiap isotop tertentu memiliki gerakan berputar di sekililing sumbunya. Perputaran patrikel berenergi atau sirkulasinya, menimbulkan kejadian megnetis sepanjang sumbu magnetisnya dapat sejajar atau melawan medan magnet (Willard at al., 1988).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Instrumen NMR terdiri atas komponen-komponen sebagai berikut (Willard et al., 1988):

a. Magnet

Merupakan suatu alat tambahan yang berguna untuk menstabilkan medan magnet.

b. Probe sampel

Tempat meletakkan sampel dan tempat terjadinya resonansi. c. Sumber dan detektor radiasi radioaktif

Merekam perubahan magnetisasi sampel dan peluruhannya yang disebabkan oleh pengaruh waktu.

d. Rekorder data

Memberikan informasi berupa sinyal yang dikirim ke suatu komputer untuk diproses, diakumulasi lalu ditransformasikan secara otomatis (Atta-ur-Rahman, 1986., Willards et al., 1988).

2.9 Inflamasi

2.9.1 Definisi Inflamasi

Inflamasi adalah reaksi kompleks dalam jaringan ikat vaskular yang terjadi karena rangasangan eksogen dan endogen. Inflamasi merupakan respon normal, pelindung terhadap cedera jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, bahan kimia berbahaya atau agen mikrobiologis, yang berupaya menonaktifkan atau menghancurkan organisme asing, menghilangkan iritasi yang merupakan tahap pertama perbaikan jaringan (Sen et al., 2010).

Proses inflamasi biasanya mereda pada proses penyelesaian atau penyembuhan, tetapi kadang-kadang berubah menjadi radang yang parah, yang mungkin jauh lebih buruk dari penyakit ini dan dalam kasus ekstrim juga dapat berakibat fatal. Kemerahan, suhu yang meningkat, pembengkakan, nyeri, dan hilangnya fungsi adalah tanda klasik dari inflamasi. Inflamasi dapat diprovokasi oleh berbagai agen berbahaya, bahan asing, toksin, infeksi, bahan kimia, patogen, reaksi kekebalan tubuh, dan luka fisik (Sen et al., 2010).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.9.2 Mekanisme Inflamasi

Proses inflamasi dimulai dari stimulus yang akan mengakibatkan kerusakan sel, sebagai reaksi terhadap kerusakan sel, maka sel tersebut akan melepaskan beberapa fosfolipid yang diantaranya adalah asam arakidonat. Setelah asam arakidonat tersebut bebas, kemudian akan diaktifkan oleh beberapa enzim, diantaranya siklooksigenase dan lipooksigenase. Enzim tersebut merubah asam arakidonat ke dalam bentuk yang tidak stabil (hidroperoksid dan endoperoksid) yang selanjutnya dimetabolisme menajdi leukotrien, prostaglandin, prostasiklin, dan tromboksan. Bagian prostaglandin dan leukotrien bertanggung jawab terhadap gejala-gejala peradangan (Katzung, 2006).

Gambar 2.13 Mekanisme Inflamasi (Katzung, 2006) LTB4 LTC4/D4/E4 Aktivasi/atraksi fagosit Modulasi leukosit Inflamasi Lipooksigenase Siklooksigenase

Prostaglandin Prostasiklin Tromboksan Leukotrien

Rangsangan

Gangguan membran sel

Fosfolipid

Asam arakhidonat

Fosfolipase Kortikosteroid

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.9.3 Obat-Obat Antiinflamasi

Obat-obat antiinflamasi adalah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat dicapai melalui berbagai cara. Salah satunya ialah menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya. Obat antiinflamasi sangat efektif menghilangkan rasa nyeri dan dan pembengkakan akibat adanya inflamasi dengan menekan produksi prostaglandin dan metabolisme asam arakidonat dengan cara penghambatan siklooksigenase dan lipooksigenase pada kaskade inflamasi sehingga fungsi otot dan sendi membaik (Setyarini, 2009).

Berdasarkan mekanisme kerjanya obat-obatan antiinflamasi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

a. Antiinflamasi Steroid

Obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat fosfolipase, suatu enzim yang bertanggung jawab terhadap pelepasan asam arakidonat dari membran lipid. Termasuk golongan obat ini adalah: prednison, hidrokortison, deksametason, dan betametason (Katzung, 2006).

b. Antiinflamasi Non Steroid (AINS)

Obat AINS bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin menjadi terganggu. Termasuk golongan obat ini adalah: aspirin, ibuprofen, indometasin, diklofenak, fenil butazon, dan piroksikam (Katzung, 2006).

Efek samping utama yang dimiliki oleh obat antiinflamasi non steroid (AINS) adalah iritasi lambung yang mengarah pada pembentukan ulkus lambung (Chatterjee et al., 2012).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.9.4 Natrium Diklofenak

Natrium dikofenak merupakan obat antiinflamasi non steroid yang termasuk ke dalam kelompok preverencially selective COX

inhibitor. Obat ini bekerja menghambat aktivitas enzim

siklooksigenase yang berperan dalam metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin yang merupakan salah satu mediator inflamasi (Kertia, 2009). Natrium diklofenak merupakan turunan fenilasetat yang daya antiradangnya paling kuat dengan efek samping yang kurang dibandingkan dengan obat lainnya (seperti indometasin, piroksikam) (Tjay, 2002). Absorpsi obat ini melalui saluran cerna berlangsung cepat dan terikat 99% pada protein plasma dengan jumlah obat yang mengalami efek lintas pertama sebesar 40-50%. Walaupun waktu paruh singkat yakni 1-3 jam, Na diklofenak diakumulasi di cairan sinovilia yang menjelaskan efek terapi di sendi jauh lebih panjang dari waktu paruh obat tersebut. Efek samping yang lazim terjadi ialah mual, gastritis, eritema kulit, dan sakit kepala. Dosis orang dewasa 100-500 mg sehari terbagi dua atau tiga dosis (Gunawan, 2008).

Dokumen terkait