• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ada dua model dalam penelitian ini, yaitu model Jawa, yang sama bentuknya dengan model Luar Jawa. Model yang kedua adalah model gabungan (Indonesia). Pada bab 3 ini, peneliti hanya mencantumkan model untuk di Jawa dan Luar Jawa. Sedangkan untuk model gabungan tidak dicantumkan karena tidak dapat ditentukan di awal penelitian, tapi tergantung pada hasil uji beda koefisien. Model pada penelitian ini mengacu pada penelitian Laabas dan Limam (2004) yang telah dimodifikasi.

LN PDRBit = α0+ α1 LN_ JLNit+ α2 LN_LISTRIKit+ α3 LN_ABit + α4 LN_PUSKESMASit + α5 LN_TK it + DD it+ ε it…. (3.4) LN_MISKIN it= 0 + 1 LN_ PDRB it + 2 LN_PENGANGGURAN it + 3 LN_RATA-RATA SKLH it + μ it ……….… (γ.5) Keterangan: I : Provinsi T : Tahun LN : Logaritma natural

PDRB : Agregat output yang dihasilkan oleh suatu provinsi dalam satu tahun (satuan juta rupiah).

JLN : Rasio panjang jalan kondisi baik dan sedang terhadap banyaknya kendaraan

LISTRIK : Rasio antara energi listrik terjual terhadap banyaknya rumah tangga (satuan GWh/rumahtangga).

AB : Rasio volume air yang disalurkan oleh PDAM

terhadap banyaknya rumahtangga (satuan m3/rumahtangga). PUSKESMAS TK MISKIN PENGANGGURAN RATA-RATA SKLH DD ε,µ : : : : : : :

Rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk (unit/orang).

Jumlah tenaga kerja (satuan orang). Jumlah penduduk miskin (satuan orang) Jumlah pengangguran (satuan orang).

Rata-rata lama sekolah pekerja (satuan tahun) Dummy desentralisasi

Komponen error 3.3 Definisi Operasional

Definisi Operasional masing-masing variabel yang digunakan dalam model dari penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. PDRBit merupakan output yang didekati dengan PDRB atas dasar harga

konstan 1993 pada provinsi i dan tahun t (satuan juta rupiah).

2. JLNit adalah rasio panjang jalan kondisi baik dan sedang terhadap jumlah

kendaraan bermotor di provinsi i dan tahun t. Panjang jalan merupakan gabungan jalan negara, provinsi, dan kabupaten/kota yang berada di provinsi tersebut.

3. LISTRIKit adalah rasio energi listrik terjual terhadap jumlah rumahtangga di

provinsi i dan tahun t (satuan GWh/rumahtangga). Energi listrik terjual merupakan total energi listrik yang dikonsumsi seluruh kelompok pelanggan di provinsi tersebut.

4. ABit adalah rasio jumlah air bersih yang disalurkan oleh PDAM terhadap

Jumlah air bersih yang disalurkan merupakan total air bersih yang dikonsumsi seluruh kelompok pelanggan.

5. PUSKESMASit adalah rasio jumlah puskesmas terhadap jumlah penduduk

provinsi i dan tahun t (satuan unit/rumahtangga).

6. TKit merupakan jumlah tenaga kerja di provinsi i dan tahun t (satuan orang).

7. MISKINit merupakan jumlah penduduk miskin di provinsi i dan tahun t

(satuan ribu orang).

8. PENGANGGURANit merupakan jumlah pengangguran di provinsi i dan

tahun t (satuan orang).

9. RATA-RATA SKLH it merupakan rata-rata lama sekolah pekerja di provinsi i

dan tahun t (satuan tahun).

10. DDit merupakan dummy desentralisasi fiskal yang digunakan untuk melihat

dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan. Variabel dummy akan bernilai 0 untuk waktu sebelum desentralisasi dan bernilai 1 untuk masa setelah desentralisasi.

4.

GAMBARAN UMUM

4.1 Pertumbuhan Ekonomi

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah tertentu. PDRB sering dianggap sebagai ukuran terbaik untuk kinerja perekonomian. Tujuan dari penghitungan PDRB adalah meringkas aktivitas ekonomi di suatu wilayah dalam suatu nilai uang tertentu selama periode waktu tertentu. Ada tiga pendekatan untuk menghitung statistik ini. Pertama, pendekatan produksi, yaitu dengan menghitung jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi. Kedua, pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi. Ketiga, pendekatan pengeluaran, dengan menghitung semua komponen permintaan akhir.

Ukuran yang dihitung dari PDRB atas dasar harga konstan yang menunjukkan peningkatan volume output ekonomi dari tahun ke tahun setelah menghilangkan unsur inflasi (kenaikan harga secara terus-menerus) yaitu pertumbuhan ekonomi. Ukuran ini masih digunakan sampai sekarang sebagai ukuran kinerja pembangunan.

Sumber: BPS (diolah), Tahun 1994-2009

Gambar 9 Pertumbuhan ekonomi di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1994-2009 Pada kurun waktu 1994-2009 rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi di pulau Jawa dan Luar Jawa cukup berfluktuatif. Penurunan aktivitas ekonomi

terjadi pada kurun waktu 1997-1999, dimana pada kurun waktu tersebut Indonesia mengalami krisis ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tertinggi baik di Jawa maupun Luar Jawa tercatat di Tahun 1994. Hal ini cukup menarik mengingat pada tahun tersebut belum dilaksanakan desentralisasi fiskal, sehingga kondisi ini memberikan dugaan awal bahwa proses desentralisasi kiranya tidak memberikan pengaruh terhadap membaiknya aktifitas perekonomian.

Mengamati kontribusi PDRB per sektor selama periode 2000-2009, ternyata sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang paling banyak memberikan kontribusi terhadap PDRB di Jawa. Hal yang berbeda terjadi di Luar Jawa, dimana sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian yang berkontribusi paling besar terhadap PDRB di Luar Jawa. Sektor industri memberikan kontribusi sekitar 29,93 persen dan sektor perdagangan, hotel dan restoran sekitar 22,66 persen terhadap PDRB Pulau Jawa. Sedangkan sektor pertanian memberikan kontribusi sekitar 21,93 persen, dan untuk sektor pertambangan dan penggalian sekitar 20,78 persen terhadap PDRB Luar Jawa.

Sumber: BPS (diolah), Tahun 2000-2009

Gambar 10 Kontribusi PDRB Per Sektor di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 2000 – 2009

4.2 Perkembangan Infrastruktur 4.2.1 Infrastruktur Listrik

Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat diperlukan bagi jalannya roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan bagi pemerintah untuk mendorong terciptanya kesejahteraan

masyarakat. Keperluan tersebut meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi, karena banyaknya kegiatan produksi dan penggunaan sarana kehidupan berteknologi tinggi yang menggunakan listrik. Ketersediaan pasokan listrik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya kegiatan ekonomi karena hampir semua aktivitas masyarakat bergantung pada tenaga listrik. Sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia dipenuhi oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) walaupun masih belum menjangkau seluruh wilayah nusantara karena belum semua wilayah di Indonesia tersambung dalam jaringan PLN.

Sumber: PLN (diolah), Tahun 1993-2009

Gambar 11 Banyaknya Energi Listrik Terjual di Jawa dan Luar Jawa, 1993-2009 Banyaknya energi listrik yang terjual di Jawa lebih banyak dibandingkan di Luar Jawa. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk, rumahtangga dan industri memang lebih banyak di Pulau Jawa. Berdasarkan kelompok pelanggan PLN, kelompok industri merupakan yang paling banyak mengkonsumsi energi listrik baik di Jawa maupun Luar Jawa. Gambar 12 menunjukkan bahwa banyaknya energi listrik yang terjual di Jawa melebihi dari dua kalinya energi listrik yang terjual di Luar Jawa. Kondisi ini seharusnya menjadi concern pemerintah mengingat kondisi perekonomian Luar Jawa yang selama ini tidak lebih maju dari Jawa. Dengan demikian, diperlukan upaya pemerintah untuk lebih memperhatikan infrastruktur listrik di Luar Jawa.

Berdasarkan kelompok pelanggan, rumahtangga merupakan pelanggan yang mendominasi pembelian listrik PLN. Pada tahun 2009, ada sekitar 92,48

persen pelanggan rumahtangga di seluruh Indonesia.Namun, tidak berarti bahwa rumahtangga pula yang mengkonsumsi energi listrik paling banyak. Justru pelanggan industri yang jumlahnya sangat sedikit tapi mengkonsumsi energi liatrik paling banyak. Hal ini disebabkan karena pelanggan industri menggunakan energi listrik lebih banyak, terutama untuk proses produksi yang menggunakan mesin-mesin.

Sumber: PLN dan BPS (diolah), Tahun 1993-2009

Gambar 12 Perbandingan Jumlah Produksi Listrik per Rumahtangga antara Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009

Gambar 13 menunjukkan bahwa kualitas infrastruktur listrik Pulau Jawa jauh di atas Luar Jawa. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya capaian jumlah produksi listrik per rumah tangga di Pulau Jawa yang jauh mengungguli Luar Jawa. Tercatat pada tahun 2009 jumlah produksi listrik per rumah tangga di Jawa mencapai 2,86 Gwh per rumah tangga sedangkan di Luar Jawa hanya mencapai 1,44 Gwh per rumah tangga.

4.2.2 Infrastruktur Air Bersih

Penyediaan infrastruktur air bersih berkaitan dengan aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam aspek ekonomi, sektor air bersih dituntut menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah ekonomi dalam rangka memandu alokasi sumber daya air dan mendorong terselenggaranya sektor usaha selayaknya corporate yang profesional, berperilaku efisien, dan menghasilkan manfaat bagi sektor ekonomi lainnya. Dalam aspek sosial, sektor air bersih berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang harus diaspirasikan dalam pembangunan serta

kedudukannya sebagai sektor publik yang paling mendasar. Sedangkan dalam aspek lingkungan, sektor air bersih berhadapan dengan implikasi yang bernuansa sosial dan memengaruhi alokasi sumber daya air. Sinergi antara aspek lingkungan dan sosial dapat menentukan perilaku pengelolaan sumber daya air dan permintaan air bersih (Nugroho, 2003).

Sumber: BPS (diolah), Tahun 1993-2009

Gambar 13 Banyaknya Volume Air Bersih yang Disalurkan PDAM, 1993-2009 Banyaknya volume air bersih yang disalurkan PDAM di Jawa lebih banyak daripada Luar Jawa. Gambar 14 menunjukkan bahwa pada periode 1993- 2001, perbedaan volume air yang disalurkan PDAM di Jawa dan Luar Jawa tidak sebesar perbedaan yang terjadi pada periode 2002-2009. Kondisi tersebut terkait erat dengan melonjaknya peningkatan volume air yang disalurkan PDAM di Jawa.

Sumber: BPS (diolah), Tahun 1993-2009

Gambar 14 Perbandingan Air Bersih yang Disalurkan PDAM per Rumahtangga Di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009

m3

Pada periode 1993-2009, akses rumahtangga terhadap air bersih di Jawa sebelum tahun 2002 lebih buruk daripada akses rumahtangga di Luar Jawa. Mulai tahun 2002 akses rumahtangga di Jawa terhadap air bersih membaik bahkan lebih baik di Jawa pada tahun 2002 yaitu sebesar 47,52 persen dibandingkan tahun sebelumya. Oleh karena itu, terdapat perubahan pola akses rumhatangga terhadap air bersih mulai tahun 2002 (gambar 15).

4.2.3 Infrastruktur Jalan

Infrastruktur jalan sangat penting dalam perekonomian karena angkutan darat sampai saat ini masih menjadi sistem transportasi yang utama. Pelayanan dan kapasitas jalan berkaitan dengan terselenggaranya mobilitas penduduk maupun barang dan jasa, menunjang aktivitas ekonomi dalam pembangunan dan menjadi penghubung antar wilayah yang menjadi pusat produksi dengan daerah pemasarannya. Ketersediaan jalan yang efektif memungkinkan

”penularan” pertumbuhan ekonomi ke daerah lainnya. Penularan disini

memiliki arti bahwa prasarana jalan turut berperan dalam merangsang tumbuhnya wilayah-wilayah baru yang akhirnya akan menimbulkan trip generation baru yang akan meningkatkan volume lalu lintas yang terjadi.

Sumber: BPS (diolah), 1993-2009

Gambar 15 Panjang Jalan Kondisi Baik dan Sedang di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009

Panjang jalan di Jawa dengan kondisi baik dan sedang lebih pendek dibandingkan di Luar Jawa. Kondisi ini disebabkan karena luas wilayah Pulau

Jawa jauh lebih kecil yaitu sekitar 6,4 persen dibandingkan Luar Jawa. Pertumbuhan panjang jalan baik dan sedang di Jawa dan Luar Jawa pada periode 1993-2009 masing-masing sebesar 6 persen dan 6,84 persen per tahunnya. Dan ketika dilihat pertumbuhan jumlah kendaraan pada periode yang sama, di Jawa tumbuh sebesar 16,34 persen per tahun dan di Luar Jawa sebesar 19, 54 persen per tahun. Namun, lebih tingginya jumlah kendaraan di Luar Jawa ternyata tidak menyebabkabkan akses di Luar Jawa lebih buruk dibandingkan Jawa. Hal ini disebabkan lebih panjangnya jalan di Luar Jawa. Pulau Jawa yang panjang jalannya lebih pendek dengan jumlah kendaraan yang lebih banyak menyebabkan kemacetan sehingga mobilitas akan terganggu. Selain itu, kemacetan juga menyebabkan biaya transportasi tinggi dan terganggunya sistem distribusi.

Sumber: BPS (diolah), Tahun 1993-2009

Gambar 16 Rasio Panjang Jalan terhadap Jumlah Kendaraan di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009

Tingkat mobilitas merupakan rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan. Semakin rendah nilai ini menggambarkan semakin padat kendaraan dan semakin menuju kemacetan. Gambar 16 menunjukkan bahwa rasio jalan per kendaraan di Luar Jawa masih sangat tinggi dan sebaliknya di Pulau Jawa rasio jalan per kendaraan sangat rendah. Hal ini tidak mengherankan mengingat kepadatan lalulintas di Jawa sudah cukup tinggi sehingga akses kendaraan terhadap jalan menjadi sangat rendah. Apabila dibandingkan tiap tahunnya, rasio jalan per kendaraan baik di Jawa maupun di Luar Jawa menunjukkan tren penurunan, artinya tiap tahunnya terjadi tren penurunan akses kendaraan terhadap jalan (semakin padat lalulintasnya).

Keunggulan bagi suatu negara untuk bersaing secara kompetitif dalam memasarkan produknya harus didukung dengan sistem jalan yang baik. Disisi lain, sistem jalan yang berkualitas juga dapat meningkatkan pengembangan industri, mendistribusikan populasi dan meningkatkan pendapatan. Sebaliknya, prasarana jalan yang minim dan buruk menjadi hambatan dalam mengembangkan perekonomian. Sistem jalan yang tidak memadai dapat menghambat aktivitas ekonomi.

4.2.4 Infrastruktur Kesehatan

Sarana dan prasarana kesehatan yang memadai mencerminkan kualitas sumber daya manusia dalam wilayah tersebut. Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan sebagai infrastruktur kesehatan adalah puskesmas. Puskesmas pada saat ini tidak hanya berfungsi untuk memberikan layanan kesehatan, akan tetapi berperan pula untuk memberikan perbaikan gizi keluarga. Semakin tinggi jumlah penduduk yang tidak mendapatkan fasilitas akses kesehatan, maka akan semakin tinggi resiko penularan penyakit ataupun gizi buruk, yang selanjutnya kualitas kesehatan masyarakat akan menurun. Kualitas kesehatan yang buruk akan berdampak pada produktifitas yang dihasilkan. Peningkatan modal manusia, peningkatan produktifitas, kemampuan mengadaptasi dan menggunakan teknologi dalam produksi dan kemampuan mengadaptasi perubahan kapasitas dan teknologi tersebut pada akhirnya akan mendorong perekonomian suatu negara serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Sumber: Departemen Kesehatan (diolah), 1993-2009

Gambar 17 Jumlah Puskesmas di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009

Selama periode 1993-2009, jumlah puskesmas di Luar Jawa selalu lebih banyak dibandingkan Jawa (gambar 17). Hal ini dapat dipahami mengingat pembangunan puskesmas yang dilakukan di setiap kecamatan, dimana jumlah kecamatan di Luar Jawa lebih banyak daripada di Jawa.

Sumber : Departemen Kesehatan dan BPS

Gambar 18 Perbandingan Rasio Puskesmas per Penduduk antara Jawa dan Luar Jawa, 1993-2009

Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan yang terinstitusionalisasi mempunyai kewenangan yang besar dalam mencipta inovasi model pelayanan kesehatan. Untuk itu dibutuhkan komitmen dan kemauan untuk meningkatkan/meratakan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan. Kualitas infrastruktur kesehatan diukur dengan nilai rasio puskesmas per penduduk. Gambar 18 menunjukkan bahwa akses infrastruktur kesehatan di Luar Jawa masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan Pulau Jawa. Hal ini tercermin dari tingginya nilai rasio puskesmas per penduduk di Luar Jawa. Rendahnya nilai rasio ini juga menunjukkan bahwa akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan (dalam hal ini adalah puskesmas) di Luar Jawa masih lebih tinggi dari Pulau Jawa.

Nilai rasio puskesmas per penduduk di Luar Jawa berfluktuatif tiap tahunnya. Meskipun demikian pada kurun waktu 1993-2009 nilai rasio ini menunjukkan tren yang meningkat. Nilai rasio puskesmas per penduduk di Pulau Jawa, sebaliknya menunjukkan tren penurunan tiap tahunnya. Tercatat pada tahun 2009 rasio puskesmas per penduduk di Pulau Jawa mencapai nilai terendah yaitu sebesar 25,75 puskesmas per 1 juta penduduk. Angka yang cukup

mengkhawatirkan mengingat 1 puskesmas harus melayani sebanyak 38.831 penduduk.

4.3 Kemiskinan

Dinamika kemiskinan per provinsi antara Pulau Jawa dan Luar Jawa cukup berfluktuatif pada kurun waktu 1993-2009. Jumlah penduduk miskin di Pulau Jawa tiap tahunnya jauh melebihi jumlah penduduk miskin di Luar Jawa, hal ini dipicu oleh jumlah penduduk di Pulau Jawa yang melebihi penduduk di Luar Jawa.

Sumber: BPS (diolah) , Tahun 1993-2009

Gambar 19 Perbandingan Persentase Jumlah Penduduk Miskin di Pulau Jawa dan Luar Jawa, Periode 1993-2009

Persentase penduduk miskin tertinggi di Pulau Jawa tercatat terjadi di tahun 1999 yaitu sebesar 59,62 persen. Tingginya jumlah penduduk miskin di tahun ini merupakan imbas dari adanya krisis ekonomi tahun 1997-1998. Sebaliknya Jumlah penduduk miskin di Luar Jawa pada tahun 1999 justru menurun. Hal ini terkait erat dengan kondisi masyarakat di Luar Jawa yang bergantung terhadap hasil pertanian (agricultural base economic) sehingga penduduk di Luar Jawa tidak terimbas terhadap krisis ekonomi 1997-1998. Selama periode 1993-2009, persentase penduduk miskin tertinggi di Luar Jawa terjadi pada tahun 2001, yaitu sebesar 44,52 persen.

5. PEMBAHASAN HASIL

Model yang digunakan adalah model double log sehingga parameter α yang di dapat melambangkan elastisitas. Nilai α tersebut bisa bernilai positif atau negatif, jika nilai α bertanda positif artinya peningkatan variabel bebas sebesar 1 persen akan meningkatkan variabel tak bebas sebesar α persen. Jika nilai α bertanda negatif, artinya peningkatan variabel bebas sebesar 1 persen akan menurunkan variabel tak bebas sebesar αpersen.

Ada tiga model yang diestimasi dalam penelitian ini, yaitu model untuk Jawa, Luar Jawa, dan gabungan (Indonesia). Model Indonesia dibangun setelah mendapatkan hasil tentang uji beda dua koefisien antara Jawa dan Luar Jawa. Analisis data panel pada penelitian ini menggunakan data 26 provinsi di Indonesia dan pada kurun waktu 1993 sampai 2009. Sebelum melakukan estimasi maka perlu dilakukan pemilihan metode regresi, yaitu membandingkan fixed effects model dengan random effect model dengan menggunakan uji Hausman.

Pengujian dengan uji Hausman pada ketiga model menyimpulkan bahwa fixed effect lebih baik daripada random effect. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi Square dengan derajat bebas sebanyak jumlah variabel bebas dalam persamaan. Hasil uji Hausman (lihat Lampiran) menunjukkan nilai p- value (prob.) < 0,10, yang berarti fixed effects model lebih sesuai digunakan.

Setelah melakukan uji Hausman, lalu dilakukan uji asumsi autokorelasi dengan menggunakan Wooldridge Test. Selain itu juga dilakukan pendeteksian adanya heteroskedastisitas. Berdasarkan pengamatan hasil estimasi, ternyata pada ketiga model tersebut ditemukan adanya autokorelasi dan heteroskedastisitas, sehingga untuk mengatasinya digunakan pendekatan panel corrected standard errors. Model terakhir yang didapatkan adalah model terbaik, karena telah dilakukan langkah-langkah untuk mengatasi adanya autokorelasi dan heteroskedastisitas.

Selanjutnya dilakukan uji beda dua koefisien untuk memastikan apakah koefisien hasil estimasi di Jawa dan Luar Jawa memang berbeda secara statistik. Koefisien yang berbeda secara statistik lalu diinteraksikan dengan dummy Jawa- Luar Jawa, sehingga didapatkan model gabungan untuk Indonesia.

LN PDRBit = α0+ α1 LN_ JLNit+ α2 LN_LISTRIKit+ α3 LN_ABit +α4 LN_PUSKESMASit + α5 LN_TK it+ α6 DDit

+ α7 (LN_AB it DWit)+ εit……….. (5.1)

LN_MISKIN it= 0 + 1 LN_ PDRB it + 2 LN_PENGANGGURAN it + 3 LN_RATA2 SKLH it + 4 LN_PDRBit DWit

+ 5 LN_PENGANGGURAN it DWit+ 6 LN_RATA2

SKLH itDWit+μ it ……….…(5.β)

Dokumen terkait