• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PANGGILAN SEBAGAI KATEKIS DAN KETERLIBATAN

C. Spiritualitas Katekis

Setiap kegiatan akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh daya dorong yang mendasarinya. Daya dorong tersebut adalah spiritualitas. Spiritualitas bagi para katekis bersumber dari panggilan dan tugas perutusan mereka yang mencakup suatu motivasi dan panggilan kepada kesucian hidup. Spiritualitas katekis terkait erat dengan status mereka sebagai kaum awam Kristiani yang berperan serta dalam tugas kenabian, imamat, dan rajawi Kristus. Dalam buku yang berjudul Pedoman untuk Katekis (Komkat KWI, 1997: 23-30) diuraikan tentang spiritualitas katekis yang dikondisikan sesuai panggilan kerasulan mereka dan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: terbuka terhadap sabda Tuhan, terhadap Gereja, dan terhadap dunia; mempunyai kehidupan yang autentik, semangat missioner, dan devosi kepada Bunda Maria.

1. Keterbukaan terhadap Tuhan, Gereja dan Dunia

Tugas katekis adalah menyampaikan sabda Tuhan. Sikap rohani yang paling dasar adalah keterbukaan terhadap sabda, yang terkandung dalam wahyu, diwartakan oleh Gereja, dirayakan dalam liturgi, dan dihayati dalam kehidupan para santo (Komkat KWI, 1997: 23). Sikap ini berarti perjumpaan dengan Kristus, yang bersemayam dalam sabda, dalam ekaristi, dan dalam saudara-saudari kita. Keterbukaan terhadap sabda berarti terbuka terhadap Tuhan, Gereja, dan dunia.

a. Keterbukaan terhadap Allah Tritunggal

Para katekis harus membiarkan dirinya ditarik ke dalam lingkungan Bapa, yang menyampaikan sabda. Putra pengejawantahan Sabda, yang berbicara hanya tentang sabda yang didengar-Nya dari Bapa (bdk. Yoh 8:26; 12:49), dan Roh Kudus yang menerangi pikiran untuk membantunya memahami sabda Tuhan dan membuka hati untuk menerima sabda dengan cinta dan mempraktekkannya (bdk. Yoh 16:12-14) (Komkat KWI, 1997: 24).

Maka spiritualitas katekis harus bersumber pada sabda Tuhan yang menjadi sikap batin dalam tugasnya dengan penuh ketaatan dan tanggung jawab terhadap tugas panggilan dan perutusannya mewartakan karya keselamatan Allah dalam terang dan kekuatan Roh Kudus. Dengan demikian, seorang katekis dalam menghayati tugasnya diselaraskan dengan sabda Tuhan yang diwujudnyatakan dalam kasih kepada sesama agar semua orang mengenal kebenaran Allah dan diselamatkan.

b. Keterbukaan terhadap Gereja

Keterbukaan katekis terhadap Gereja terungkap dalam cinta, pengabdian terhadap pelayanannya, dan kesediaan untuk menderita. Lebih khusus lagi,

keterbukaan ini terungkap dalam keterikatan dan ketaatan terhadap Paus, pusat persatuan dan ikatan persekutuan universal, dan juga terhadap uskup, bapak dan pimpinan Gereja lokal (Komkat KWI, 1997: 24-25). Para katekis harus ikut secara bertanggung jawab dalam perubahan-perubahan duniawi sepanjang perziarahan Gereja, yang pada hakikatnya bersifat misioner dan bersama dengan Gereja mendambakan persekutuan akhir dengan Kristus sang mempelai.

Para katekis adalah anggota Gereja yang ingin mereka bangun, dan dari Gereja inilah mereka memperoleh amanat untuk menjadi katekis. Hanya dengan sikap keterbukaan seorang katekis terhadap Gereja yang harus mereka layani dengan penuh cinta, pengabdian dan ikut memanggul salib-Nya (ikut menderita) bersama Kristus maka spiritualitas seorang katekis dalam pemahaman Gereja yang harus tetap memperjuangkan terwujudnya karya keselamatan Allah akan semakin dipahami dan diwujudnyatakan dalam keterikatan dan ketaatannya terhadap Paus sebagai pemimpin Gereja.

c. Keterbukaan terhadap Dunia

Para katekis dipanggil untuk bekerja di dunia dan untuk dunia ini, tanpa sepenuhnya menjadi milik dunia ini (bdk. Yoh 17:14-21). Ini berarti bahwa mereka harus sepenuhnya terlibat dalam kehidupan masyarakat di sekitar mereka, tanpa mundur karena takut akan kesulitan-kesulitan yang dihadapi atau menarik diri karena lebih senang diam dan tidak berbuat apa-apa. Keterbukaan terhadap dunia merupakan salah satu spiritualitas katekis atas dasar cinta rasuli Kristus

Gembala yang Baik, yang datang untuk “mengumpulkan dan menyatukan anak-

anak Allah yang terceraiberai” (Yoh 11:52). Para katekis harus dipenuhi dengan cinta kepada saudara-saudarinya ketika mereka mewartakan bahwa Tuhan

mencintai dan memberikan keselamatan-Nya kepada semua orang (Komkat KWI, 1997: 25).

2. Keutuhan dan Keaslian Hidup

Seorang katekis sebelum mewartakan sabda harus menjadikan dan menghayati sabda itu sebagai miliknya. Apa yang diajarkan oleh katekis bukan semata-mata ilmu atau teori belaka melainkan iman yang dihidupinya dan dipraktekkan secara nyata dalam hidup sehari-hari. Oleh karena itu, dibutuhkan keutuhan dan keaslian hidup. Seorang katekis hidup dalam doa, peka terhadap pengalaman akan Tuhan, setia terhadap tindakan Roh Kudus dan keteraturan batin dan lahiriah, yang disesuaikan dengan berbagai situasi pribadi maupun keluarga dari setiap orang (Komkat KWI, 1997: 26).

3. Semangat Misioner

Seorang katekis dalam tugas perutusan-Nya mewartakan Kerajaan Allah dan Injil (Mrk 16:15) serta membimbing dan menuntun sesamanya agar mengenal Injil tersebut. Seorang katekis harus mempunyai semangat kerasulan yang tinggi, berani dan semangat mewartakan Injil walaupun resikonya ditolak dan tidak didengarkan. Walaupun demikian, seorang katekis mempunyai keyakinan bahwa Kristus yang diwartakan selalu menyertainya. Seperti yang tertulis dalam Kitab Suci pekerja sedikit dan tuaian banyak, katekis menjalankan tugas Allahlah yang bertanggungjawab atas hasil yang dijalankan pekerja-Nya (Komkat KWI, 1997: 27-29).

4. Devosi Kepada Bunda Maria

Spiritualitas katekis akan diperkaya oleh devosi yang mendalam kepada bunda Tuhan. Sebelum menjelaskan kepada orang lain tempat Maria dalam misteri Kristus dan Gereja, mereka harus merasakan kehadirannya dalam hati mereka dan harus memberi kesaksian akan kesucian yang tulus dari Bunda Maria, yang akan mereka sampaikan kepada umat. Mereka akan menemukan dalam diri Bunda Maria suatu model yang sederhana dan efektif bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Perawan Maria dalam hidupnya telah memberi contoh mengenai kasih ibu yang harus membangkitkan semangat semua orang yang ikut ambil bagian dalam misi kerasulan Gereja demi kelahiran kembali umat manusia karena pewartaan sabda selalu dikaitkan dengan doa, perayaan ekaristi, dan pembangunan komunitas Kristiani (Komkat KWI, 1997: 29-30).

Dokumen terkait