• Tidak ada hasil yang ditemukan

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN

2.13 Stabilisasi Harga

David dan Huang (1996) menyebutkan bahwa peranan ekonomi dan politis perberasan di Asia, menyebabkan pemerintah tidak membiarkan sektor perberasan domestiknya bebas dipengaruhi permintaan pasar serta kekuatan penawaran. Kecuali Thailand, sebagian besar pemerintah Asia mengendalikan harga beras melalui monopoli terhadap perdagangan beras internasional dan operasi pasar domestik dalam jangka pendek. Tindakan yang dilakukan pemerintah dalam jangka panjang yaitu melakukan investasi terhadap pengembangan irigasi, penelitian dan kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan produktifitas, dan pemberian incentif kepada petani.

David dan Huang (1996) menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap harga beras yang diukur oleh angka proteksi nominal (nominal protection rate/NPR) yang didefisinikan sebagai persentase kelebihan harga beras domestik (Pd) terhadap harga beras dunia (Pw) yang dikonversi dengani nilai

tukar. Harga domestik merepresentasikan biaya marginal memproduksi beras, sedangkan Pw merepresentasikan biaya kesempatan memproduksi beras secara domestik.

Perbedaan harga beras dunia dengan domestik tersebut, karena: (1) keinginan pemerintah yang kuat untuk menstabilisasi harga beras dari ketidakstabilan harga beras dunia yang ekstrim dan penyesuaian terhadap kurs valuta asing, (2) tindakan pemerintah untuk meningkatkan daya saing beras domestik, dan (3) posisi perdagangan beras dari suatu negara, apakah sebagai negara pengimpor atau pengekspor beras.

Data pada Tabel 12 diestimasi dari persentase perbedaan harga domestik dengan harga beras di luar negeri. Harga beras domestik adalah rata-rata harga beras pedagang besar pada setiap negara. Harga beras luar negeri Thailand dan Pakistan ditentukan dari nilai ekspor sedangkan negara lainnya ditentukan berdasarkan harga dunia. Tabel 12 menunjukkan terdapat perbedaan yang tajam terhadap angka perlindungan nominal diantara sembilan negara Asia.

Pertama, di negara dengan pendapatan tinggi seperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan, terjadi tingkat proteksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara dengan pendapatan rendah di bagian Asia Selatan dan Asia Tenggara. Pada tahun 1960-1988 tingkat proteksi di negara pendapatan tinggi seperti Jepang terus menunjukkan trend yang naik secara tajam dari 70 tahun 1960-1970 menjadi 443 tahun 1980-1988, tertinggi dibandingkan negara Asia lainnya.

Kedua, negara pengekspor beras memiliki angka proteksi yang negatif, sementara negara importir beras memiliki angka proteksi yang negatif dan positip. Ketiga, sepanjang tahun 1960-1988, angka proteksi nominal meningkat dengan

tajam di negara Asia Timur yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pada tahun 1980-an, angka proteksi nominal kelihatan meningkat di Indonesia, Thailand dan Pakistan, sebaliknya angka proteksi nominal di India, Bangladesh dan Philippina mengalami penurunan dalam kurun waktu 1960-1988.

Tabel 12. Angka Proteksi Nominal untuk Beras di Sembilan Negara Asia, Tahun 1960-1988 Negara 1960-1970* 1970-1980** 1980-1988 Bangladesh 68 51 32 India 19 - 5 - 3 Pakistan*** 1 -42 -17 IRRI 18 - 42 -13 Basmati - 40 - 38 -27 Indonesia 3 27 Fhilippina 31 - 3 6 Thailand - 28 - 28 11 Korea Selatan 17 65 243 Taiwan - 12 6 101 Jepang 70 146 443

Sumber : David dan Huang (1996)

Ket: * 1960-69 untuk Pakistan; ** : 1973-75, 1978-80 untuk Pakistan

Pal et al. (1993) mengemukakan ada tiga pandangan yang berbeda terhadap intervensi pemerintah dalam pangan biji-bijian (gandum dan beras). Pandangan pertama, dari penganut pasar bebas, yang menyebutkan bahwa intervensi pemerintah menstabilkan harga menyebabkan inefisiensi skala besar terhadap penggunaan sumberdaya seperti harga pasar terdistorsi sehingga tidak merefleksikan biaya kesempatan, sebagaimana direfleksikan oleh harga internasional. Pandangan kedua, penganut struktural, yang mengatakan bahwa bagi negara maju, harga internasional merupakan harga yang terdistorsi karena tidak merefleksikan biaya oportuniti. Pandangan ketiga, pendukung campur tangan pemerintah, yang mendukung stabilisasi harga domestik.

Chambers dan Quiggin (2003) melakukan analisis stabilisasi harga terhadap perusahaan penghindar resiko dalam kondisi yang stokastik. Kondisi stokastik yang dimaksud adanya harga-harga dan lingkungan produksi yang stokastik. Studi tersebut mempelajari dampak lingkungan stokastik terhadap tingkat kesejahteraan perusahaan. Perusahaan penghindar resiko berusaha menyeimbangkan ketidak pastian harga terhadap ketidakpastian produksi untuk memperoleh pendapatan dengan melakukan self insurance.

Newbery dan Stiglitz (1981), Williams dan Wright (1991), Jha dan Srinivasan (1999) mengemukakan bahwa kegiatan distribusi dapat mempengaruhi fluktuasi harga dan menciptakan ekonomi yang tidak efisien tetapi tujuan stabilisasi harga tidak tercapai. Sedangkan (Mc Gregor, 1998; Timmer, 2000; Dawe, 2001) berpendapat bahwa stabilisasi harga pangan dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan ketahanan pangan.

Myers (2006) dalam studinya menguji kembali pendekatan Newbery dan Stiglitz (1981) tentang standar biaya kesejahteraan fluktuasi harga pangan dengan menggunakan pendekatan kegunaan second-order Taylor, yang mendefinisikan ukuran equivalent variation dari biaya kesejahteraan fluktuasi harga pangan. Fokus studi Newbery dan Stiglitz (1981) mengukur kesejahteraan terhadap konsumen dan produsen, sedangkan studi Myers (2006) mengevaluasi dampak kesejahteraan terhadap rumah tangga sebagai produsen dan konsumen pangan.

Timmer (1996) menyebutkan keuntungan stabilisasi harga: (1) menurunkan tingkat resiko yang dihadapi petani sehingga investasi semakin produktif dan mendorong petani melakukan investasi yang lebih besar melalui inovasi dan teknologi baru yang meningkatkan produktifitas usahatani beras, dan

(2) konsumen diuntungkan melalui harga yang stabil. Keuntungan konsumen melalui stabilisasi harga berpengaruh nyata dari sisi keadilan, dan (3) mengurangi kemiskinan.

Menurut Timer (1996) ada dua fakta penting dari Tabel 13, yaitu : (1) Bulog telah menunjukkan kontribusi yang besar terhadap proses pertumbuhan ekonomi dalam 25 tahun melalui stabilisasi harga beras. Kontribusi stabilisasi harga beras oleh Bulog pada periode 1969-74 sangat besar, mencapai 0.98 persen atau hampir mencapai seperenam dari peningkatan output total dalam periode tersebut, dan (2) peranan Bulog melalui stabilisasi harga beras terhadap pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan sepanjang tahun. Pada pertengahan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) ke Lima pada tahun 1991, kontribusi stabilisasi harga beras tinggal 0.19 persen terhadap pertumbuhan ekonomi atau 3.8 persen terhadap kenaikan total dalam pendapatan per kapita. Penurunan tersebut disebabkan kontribusi beras terhadap perekonomian terus menurun setiap tahun. Dengan kata lain, dampak stabilisasi harga beras terhadap investasi dan pertumbuhan ekonomi menurun sedangkan pendapatan per kapita naik.

Tabel 13 Kontribusi Stabilisasi Harga oleh Bulog terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia

(%/Tahun) Periode Pertumbuhan GDP

per Kapita

Pertumbuhan GDP per Kapita oleh

Bulog

Pangsa Pertumbuhan GDP per Kapita oleh

Bulog 1969-74 5.96 0.96 16.4 1974-79 4.51 0.61 13.5 1979-84 4.17 0.28 6.7 1984-89 3.42 0.27 7.9 1989-91 5.01 0.19 3.8 Sumber: Timer (1996)

Pengalaman Bulog yang dianggap sukses dalam melaksanakan stabilisasi harga beras, mendorong Poulton, C et al. (2006) menyarankan model Bulog Indonesia sebagai model untuk melaksanakan stabilisasi harga pangan di Afrika. Bagi Pearson, S.et al. (1997), kebijakan stabilisasi harga yang membutuhkan pembiayaan besar diimplementasikan oleh Bulog. Ellis (1993) mengemukakan bahwa pada musim surplus produksi (bulan Februari-Mei), Bulog melakukan pembelian gabah/beras sekitar 1.3 juta ton dengan menggunakan kebijakan harga dasar gabah. Disisi lain, Yonekura (2005) melakukan studi tentang tahapan reformasi kelembagaan Bulog menjadi perusahaan publik.

Cummings Jr et al. (2006) mempelajari pengalaman negara-negara di Asia tentang stabilisasi harga biji-bijian. Studi tersebut menunjukkan bahwa stabilisasi harga biji-bijian berdampak positip terhadap pertumbuhan sektor pertanian, pembangunan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Cummings Jr et al. (2006) menunjukkan dengan data empiris bahwa pengalaman beberapa negara di Asia, khususnya Indonesia, Pakistan, Fhilippina dan India berbeda dalam menghadapi stabilisasi harga biji-bijian. Timmer (2000) memandang bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan dimensi ”makro” dari ketahanan pangan. Smith, L. D (1997) mengemukakan bahwa stabilisasi harga yang dilakukan pemerintah akan berimplikasi terhadap kestabilan makroekonomi.

Dokumen terkait