• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR LAMPIRAN

C. Standar Mutu Ubi Jalar

Standar mutu ubi jalar diperlukan dalam rangka menjaga mutu ubi jalar yang sampai pada konsumen. Standar mutu bagi ubi jalar terdapat pada Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-4493-1998. Dalam SNI 01-4493-1998 disebutkan bahwa standar mutu ubi jalar sangat diperlukan agar baik konsumen dan produsen mempunyai kepastian terhadap mutu yang diinginkan. Dengan begitu, konsumen akan memperoleh mutu ubi jalar sesuai dengan daya belinya dan produsen akan mendapat harga sesuai dengan produknya. Keuntungan lain dengan adanya standar mutu ubi jalar yaitu dapat digunakan untuk pembinaan perbaikan mutu ubi jalar.

Definisi ubi jalar dalam SNI 01-4493-1998 yaitu ubi jalar merupakan umbi dari tanaman ubi jalar (Ipomoea batatas L.) dalam keadaan utuh, segar, bersih, dan aman dikonsumsi serta bebas dari organisme pengganggu tumbuhan. Disebutkan pula bahwa terdapat beberapa istilah terkait dengan mutu ubi jalar. Istilah-istilah tersebut diantaranya yaitu keseragaman warna, keseragaman bentuk umbi, keseragaman berat umbi, umbi cacat, dan kotoran.

1. Keseragaman warna

Keseragaman warna kulit umbi seperti warna merah atau putih atau warna lainnya dan keseragaman warna daging umbi, seperti putih, kuning, orange, dan ungu sesuai dengan varietasnya.

2. Keseragaman bentuk umbi

Keseragaan bentuk umbi adalah keseragaman ratio panjang (P)/lebar (L) dari ubi jalar, seperti bulat (P/L berkisar 1-1,5), elip (P/L berkisar 1,6-2,0), panjang (P/L > 2,0) sesuai dengan varietasnya.

3. Keseragaman berat umbi

Keseragaman berat umbi adalah keseragaman sesuai dengan 3 macam penggolongan berat yaitu:

a. golongan A mempunyai berat > 200 gram per umbi, b. golongan B mempunyai berat 100-200 gram per umbi,

c. golongan C mempunyai berat < 100 gram per umbi, dan toleransi di atas dan di bawah ukuran berat masing-masing 5% (biji) maks.

4. Umbi cacat

Umbi cacat adalah umbi yang rusak karena mekanis dan fisik seperti pecah, teriris, tergores, memar, fisiologis karena bertunas, lunak, keriput, dan biologis karena hama dan penyakit seperti berlubang, busuk, dan sebagainya.

5. Kotoran

Kotoran adalah benda-benda asing bukan umbi seperti tanah, pasir, batang, daun, dan benda lainnya yang menempel pada umbi atau berada di dalam kemasan sedangkan sekat atau pembungkus dalam kemasan tidak termasuk kotoran.

Disebutkan pula dalam SNI 01-4493-1998 mengenai klasifikasi serta syarat mutu ubi jalar. Mutu ubi jalar dapat digolongkan ke dalam 3 kelas mutu yaitu mutu I, II, dan III sementara syarat mutu ubi jalar terbagi menjadi syarat umum dan syarat khusus. Syarat khusus mutu ubi jalar tercantum dalam Tabel 2 sedangkan syarat umum mutu ubi jalar adalah sebagai berikut.

1. Ubi jalar tidak boleh mempunyai bau asing. 2. Ubi jalar harus bebas dari hama dan penyakit.

3. Ubi jalar harus bebas dari bahan kimia seperti insektisida dan fungisida.

4. Ubi jalar harus memiliki keseragaman warna, bentuk, maupun ukuran umbinya. 5. Ubi jalar harus sudah mencapai masak fisiologis optimal.

6. Ubi jalar harus dalam kondisi bersih.

Untuk pengemasan, dalam SNI 01-4493-1998 disebutkan bahwa pengemasan dengan kotak kayu atau karton gelombang atau keranjang anyaman

bambu yang dilapisi karton dengan berat netto ubi jalar maksimum 10 kg dan tahan mengalami handling, baik dalam waktu pemuatan dan pembongkaran. Kotak pengemas harus berlubang-lubang, untuk sirkulasi udara. Sementara itu, rekomendasi yang terdapat dalam SNI 01-4493-1998 diantaranya yaitu bahwa umbi yang dikemas harus dicuci dan sebelumnya diangin-anginkan.

Tabel 2. Spesifikasi persyaratan khusus mutu ubi jalar

Mutu

No. Komponen Mutu

I II III

1 Berat umbi (gram/umbi) > 200 110 - 200 75 – 100 2 Umbi cacat (per 50 biji) maks Tidak ada 3 biji 5 biji

3 Kadar air (% bb min) 65 60 60

4 Kadar serat (% bb maks) 2 2,5 > 3,0

5 Kadar pati (% bb min) 30 25 25

(Sumber: SNI 01-4493-1998) D. Kemasan Plastik

Nurminah (2002) mengungkapkan bahwa pengemasan komoditi hortikultura merupakan suatu usaha menempatkan komoditi segar ke dalam suatu wadah yang memenuhi syarat sehingga mutunya tetap atau hanya mengalami sedikit penurunan pada saat diterima oleh konsumen akhir dengan nilai pasar yang tetap tinggi. Disebutkan pula bahwa dengan pengemasan, komoditi dapat dilindungi dari kerusakan, benturan mekanis, fisik, kimia, dan mikrobiologis selama pengangkutan, penyimpanan dan pemasaran (Sacharow dan Griffin, 1980

dalam Nurminah, 2002). Levy (2000) dalam Hariyanti (2006) menyebutkan bahwa pengemasan juga dapat dijadikan pengawet produk pangan di dalamnya. Nurminah (2002) menyebutkan bahwa beberapa faktor yang penting diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan, keadaan lingkungan, dan sifat bahan pengemas.

Nurminah (2002) mengatakan bahwa banyak ragam kemasan plastik yang digunakan untuk makanan dan minuman, misalnya polietilen, polipropilen, polistiren, poliamida, polisulfon, poliester, poliuretan, polikarbonat, polivinilklorida, polifenilinoksida, polivinilasetat, poliakrilonitril dan melamin formaldehid. Hafriyanti et al. (2008) menyebutkan bahwa polietilen (PE) dan polipropilen (PP) merupakan jenis plastik yang harganya murah, mudah

ditemukan di pasaran, juga memiliki sifat umum yang hampir sama. Menurut Wheaton dan Lawson (1985) dalam Hafriyanti et al. (2008) bahan kemasan plastik yang paling banyak digunakan adalah plastik PE karena mempunyai harga relatif murah, mempunyai komposisi kimia yang baik, resisten terhadap lemak dan minyak, tidak menimbulkan reaksi kimia terhadap makanan, mempunyai kekuatan yang baik dan cukup kuat untuk melindungi produk dari perlakuan kasar selama penyimpanan, mempunyai daya serap yang rendah terhadap uap air, serta tersedia dalam berbagai bentuk. Plastik jenis LDPE dan HDPE merupakan varian dari polietilen. Sementara dalam Hafriyantiet al. (2008) disebutkan bahwa plastik PP memiliki daya lindung yang lebih baik terhadap produk yang dikemas serta mempunyai daya tembus uap air yang lebih rendah dibanding plastik PE. Robertson (1993) menyebutkan bahwa plastik LDPE memiliki densitas 915-939 kg/m3, HDPE memiliki densitas 941-965 kg/m3, sementara densitas PP adalah sekitar 900 kg/m3. Dalam Tabel 3 diberikan karakteristik-karakteristik untuk plastik jenis LDPE, HDPE, dan PP.

Tabel 3. Karakteristik jenis plastik LDPE, HDPE, dan PP Jenis plastik Karakteristik

LDPE HDPE PP

Titik leleh (oC) 105-115 128-138 160-175

Tensile modulus (GPa) 0.2-0.5 0.6-1.1 1.1-1.5

Tensile strength (MPa) 8-31 17-45 31-43

Elongation (%) 100-965 10-1200 500-650

WVTR*)(gμm/m2d) 375-500 125 100-300

Permeabilitas O2**)

(103cm3μm/m2d atm) 160-210 40-73 50-94

*) Water vapour transmission rate, pada 37.8oC dan 90% RH (d =day, 24 jam) **) Pada 25oC

(Sumber: Abdel-Bary, 2003)

Karakteristik masing-masing jenis plastik juga disebutkan dalam

Nurminah (2002) sebagai berikut. 1. Polietilen

Polietilen merupakan film yang lunak, transparan dan fleksibel, mempunyai kekuatan benturan serta kekuatan sobek yang baik. Dengan pemanasan akan menjadi lunak dan mencair pada suhu 110oC. Berdasarkan sifat permeabilitasnya

yang rendah serta sifat-sifat mekaniknya yang baik, polietilen mempunyai ketebalan 0.001 sampai 0.01 inchi, yang banyak digunakan sebagai pengemas makanan, karena sifatnya yang termoplastik, polietilen mudah dibuat kantung dengan derajat kerapatan yang baik (Sacharow dan Griffin, 1970).

2.Low Density Polyethylene(LDPE)

Sifat mekanis jenis plastik LDPE adalah kuat, agak tembus cahaya, fleksibel dan permukaan agak berlemak. Pada suhu di bawah 60oC sangat resisten terhadap senyawa kimia, daya proteksi terhadap uap air tergolong baik, akan tetapi kurang baik bagi gas-gas yang lain seperti oksigen.

3.High Density Polyethylene(HDPE)

Plastik HDPE memiliki sifat bahan yang lebih kuat, keras, buram dan lebih tahan terhadap suhu tinggi. Jenis plastik HDPE mempunyai sifat lebih kaku, lebih keras, kurang tembus cahaya dan kurang terasa berlemak.

4. Polipropilen (PP)

Polipropilen sangat mirip dengan polietilen dan sifat-sifat penggunaannya juga serupa (Brody, 1972). Polipropilen lebih kuat dan ringan dengan daya tembus uap yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi dan cukup mengkilap (Winarno dan Jenie, 1983).

E. Penyimpanan

Tujuan utama penyimpanan adalah pengendalian laju transpirasi, respirasi, infeksi, penyakit, dan mempertahankan produk dalam bentuk yang paling berguna bagi konsumen. Umur simpan produk dapat diperpanjang dengan pengendalian penyakit-penyakit pascapanen, pengaturan atmosfer, perlakuan kimiawi, penyinaran, dan pendinginan. Suhu penyimpanan merupakan faktor lingkungan yang terpenting karena suhu merupakan faktor yang mengatur laju semua proses- proses fisiologi dan biokimia (Pantastico, 1986).

Pantastico (1986) mengatakan bahwa proses penyimpanan dilakukan untuk menekan laju proses-proses kehidupan pada produk sampai sekecil-kecilnya Oleh karena itu, produk harus diberikan kondisi penyimpanan yang sesuai dan yang mencukupi. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi proses-proses yang tidak dikehendaki, seperti pertunasan, pertumbuhan akar, dan perkecambahan biji.

Pengendalian berupa pengendalian transpirasi dan pengendalian respirasi dapat dilakukan.

Pengendalian transpirasi dapat dilakukan melalui pengendalian faktor- faktor lingkungan yang penting bagi transpirasi, yaitu suhu, RH, dan perbedaan tekanan uap. Suhu rendah, RH tinggi, dan perbedaan tekanan uap yang kecil diperlukan untuk menekan pengeriputan komoditi menjadi sekecil mungkin. Pengeriputan timbul akibat kehilangan berat dan menjadikan produk tidak menarik saat penjualan. Sementara itu, saat penggunaan RH tinggi pada penyimpanan, harus diusahakan agar tidak terjadi pertumbuhan jamur dan organisme-organisme pembusuk lainnya, yang disebabkan oleh pengembunan uap pada permukaan komoditi. Faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan antara lain dengan pengemasan yang tepat, penggunaan lapisan pelindung, dan pendekatan suhu pendingin sedekat mungkin dengan suhu udara yang diinginkan (Pantastico, 1986).

Tabel 4. Masa simpan sayuranprepacked(eceran) pada lima suhu yang berbeda Masa simpan dalam hari pada suhu Komoditi 28oC 21oC 10oC 5oC 0oC Asparagus 1 2 – 3 3 – 6 7 – 14 14 – 21 Brokoli 1 2 – 3 3 – 5 7 – 14 14 – 21 Buncis 2 – 3 4 – 5 6 – 8 7 – 9 14 – 21 Brussel sprout 1 2 – 3 4 – 5 5 – 10 14 – 21 Wortel 4 4 – 6 14 – 21 21 21 – 30 Cauliflower, head 2 2 – 4 5 – 7 6 – 12 14 – 21 Seledri 2 – 5 5 – 8 7 – 10 9 – 14 14 – 30 Ketimun 3 – 5 7 – 10 7 – 14 - - Selada (head) 1 – 3 2 – 4 6 – 7 7 – 10 15 – 25 Selada (daun) 1 2 – 3 5 – 7 7 – 10 14 – 25

Karo (dengan kulit) 1 – 2 2 – 4 5 – 7 5 – 10 -5 – 10

Jamur 1 2 – 3 4 – 5 6 – 8 -8 – 12

Daun bawang 1 1 – 2 3 – 5 7 – 10 -14 – 25

Green peas 3 – 5 4 – 6 14 – 21 14 -

Tomat 1 – 3 2 – 5 4 – 12 - -

Ubi jalar 3 – 7 7 – 14 14 – 28 - -

Jagung manis (dalam kloht) 1 1 – 2 3 – 5 5 – 7 10 – 14

Bayam 1 1 – 2 2 – 3 5 – 6 10 – 20

Kentang 7 7 – 14 30 – 60 - -

Berbagai kondisi lingkungan selama produk pertanian disimpan sangat berpengaruh terhadap mutu produk, atau perubahan Fisiologi Lepas Panen. Dari semua faktor lingkungan, yang paling berpengaruh adalah suhu (Winarno, 2002). Pada Tabel 3, disajikan masa simpan berbagai komoditi pada lima suhu yang berbeda. Winarno (2002) juga menyatakan bahwa sifat-sifat penyimpanan sangat dipengaruhi oleh varietas, keadaan udara, musim, tanah, keadaan kultural, tingkat kematangan, serta cara-cara penanganan sebelum disimpan.

III. METODOLOGI