Elemen dasar ke empat adalah SOP, yang diperlukan diberbagai bidang kegiatan termasuk kegiatan pengembangan perpustakaan digital. SOP diperlukan
agar proses operasional kegiatan berlangsung secara teratur. Proses yang sudah berlangsung teratur dapat tetap berjalan walaupun orang yang bertanggung jawab pada proses tersebut tidak hadir, karena perannya dapat digantikan orang lain.
SOP merupakan suatu rangkaian instruksi tertulis yang mendokumentasikan
kegiatan atau proses rutin yang terdapat pada suatu bidang kegiatan. Menurut Mustafa dan Yulia (2005) SOP atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah prosedur baku mutu adalah suatu panduan tertulis dalam menjalankan kegiatan sehari-hari di suatu lembaga untuk menjamin standar mutu hasil pekerjaan. Sedangkan Aries dan Saleh, (2004) mendefinisikan SOP sebagai dokumen tertulis yang memuat prosedur kerja secara rinci, tahap demi tahap dan sistematis. Dengan adanya SOP, maka standar mutu layanan yang akan dihasilkan oleh suatu pekerjaan dapat diukur sebelumnya. Demikian juga mutu layanan yang diharapkan diberikan kepada pengguna dapat ditentukan. Selanjutnya dengan SOP akan mudah melaksanakan pekerjaan, karena ada pedoman yang diikuti dan kontrol terhadap pekerjaan dapat dilakukan dengan mudah.
Perpustakaan digital yang koleksinya berformat digital tersimpan dalam suatu komputer server harus dapat diakses dengan komputer secara cepat dan mudah melalui jaringan komputer. Oleh karena itu maka SOP sangat diperlukan untuk menjalankan operasional sebuah perpustakaan digital agar memberikan manfaat lebih bagi pengguna dan yang menjalankan tugas-tugas sebagai pustakawan. Dalam grand design perpustakaan digital Pustaka Litbangtan, pembuatan SOP terdiri dari:
a) SOP untuk digitalisasi bahan perpustakaan
b) SOP untuk penanganan dokumen digital
c) SOP untuk sistem layanan perpustakaan digital
d) SOP untuk pemeliharaan jaringan
e) SOP untuk pemeliharaan web
Biasanya SOP disusun berbentuk modul-modul, setiap kegiatan dibuat SOP yang berdiri sendiri atau ada keterkaitan dengan modul lainnya. Modul kegiatan perpustakaan terdiri dari nomor kode modul, judul modul, cakupan, tujuan, standar yang digunakan, tahapan kegiatan, alur kerja dalam bentuk diagram, serta
formulir-formulir yang mungkin digunakan dan biaya atau keterangan lain yang diperlukan terkait langsung dengan isi modul tersebut (Mustafa dan Yulia, 2005). Contoh SOP yang diperlukan dalam pengembangan perpustakaan digital antara lain SOP digitalisasi bahan perpustakaan dan penanganan dokumen digital (Lampiran 1 s.d 2)
2.4.5 Manajemen
Elemen dasar kelima adalah manajemen yang secara umum adalah merupakan proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan, usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan (Stoner dalam Daryono, 2008). Oleh karena itu, apabila proses dan sistem perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan tidak baik, maka proses manajemen secara keseluruhan tidak lancar, dan proses pencapaian tujuan akan terganggu dan mengalami kegagalan.
Berdasarkan Standard National Information Standards Organisation (NISO, 2007) pengembangan koleksi digital sebaiknya berpedoman pada kriteria four
core types of entities sebagaimana diuraikan dalam komponen utama
pengembangan perpustakaan digital tersebut diatas, yaitu: a. Collection (organized groups of object)
b. Object (digital materials)
c. Metadata (information about objects and collections)
d. Initiatives (program or projects to create and manage collection)
Adapun manajemen perpustakaan digital menurut Arif (2003) adalah penerapan teknologi informasi (TI) sebagai sarana untuk menyimpan, mendapatkan dan menyebarluaskan informasi ilmu pengetahuan dalam format digital. Manajemen pengembangan perpustakaan digital tersebut antara lain melalui proses digitization sebagaimana menurut Suryandari (2007) manajemen perpustakaan di era digital salah satunya dibatasi pada proses digitalisasi.
Selanjutnya menurut Cleveland (1998) dari IFLA sebagaimana diuraikan diatas, selain proses digitization membangun koleksi digital dapat dilakukan dengan metoda lainnya yaitu Acquisition of original digital works dan Acces to
external materials. Proses digitalisasi (digitization ) menurut Suryandari (2007)
adalah proses yang mengubah dokumen tercetak menjadi dokumen digital. Proses tersebut (Gambar 4) dibedakan menjadi tiga kegiatan utama, yaitu:
a. Scanning, yaitu proses memindai dokumen dari bentuk cetak dan
mengubahnya ke dalam bentuk berkas digital. Berkas yang dihasilkan adalah berkas PDF. Salah satu alat yang dapat digunakan adalah canon IR2200. b. Editing, adalah proses mengolah berkas PDF di dalam komputer dengan cara
memberikan password, watermark, catatan kaki, daftar isi, hyperlink, dan sebagainya, dengan software adobe acrobat, termasuk proses OCR (Optical
Character Recognition). Proses OCR adalah sebuah proses yang mengubah
gambar menjadi teks.
c. Uploading, adalah proses pengisian (input) metadata dan meng-upload berkas
dokumen tersebut ke digital library. Berkas yang di-upload adalah berkas PDF yang berisi full text karya tulis dari mulai halaman judul hingga lampiran, yang telah melalui proses editing.
Dibagian akhir diagram pada Gambar 4 terdapat dua server, yaitu : sebuah
server yang terhubung ke intranet dan server yang terhubung ke intranet, server
pertama berisi seluruh metadata dan full text karya akhir yang dapat diakses oleh seluruh pengguna di dalam Local Area Network (LAN). Sedangkan server yang kedua adalah yang terhubung ke internet, berisi metadata dan abstrak karya akhir tersebut.
Sedangkan menurut Rufaidah (2007) pengolahan mencakup proses
digitalisasi, pembuatan metadata dan uploading. Pembuatan metadata untuk
keperluan penelusuran berbasis web dan uploading adalah memindahkan data atau dokumen ke server web untuk akses dokumen digital melalui jaringan internet, sedangkan penyimpanan dokumen digital di server lokal untuk akses di perpustakaan setempat atau penyimpanan di CD-ROM. Proses terakhir pendistribusian dokumen yaitu proses penyebarluasan hasil penyimpanan dokumen ke masyarakat pengguna sesuai bentuk penyimpanannya. Proses lainnya adalah konversi dilakukan jika dokumen sudah dalam bentuk softcopy untuk menyamakan format dan mengatur penamaan file.
Gambar 4 Alur Kerja Digitalisasi (Sumber: Modifikasi Alur Kerja Digitalisasi Suryandari,2007)
2.4.6 Anggaran
Elemen dasar keenam adalah anggaran, yaitu rencana penjatahan sumber daya yang dinyatakan dengan angka, biasanya dalam satuan uang (Depdikbud, 1988). Secara garis besar anggaran yang diperlukan dalam pengembangan perpustakaan digital terbagi dua yaitu anggaran untuk investasi awal dan
operasional. Besarnya anggaran yang diperlukan tergantung faktor-faktor pendukung perpustakaan digital yang tersedia dalam sebuah perpustakaan.
Siregar (1999) menyatakan bahwa penyediaan layanan digital memerlukan pendanaan baik untuk investasi awal maupun operasionalnya. Dana investasi digunakan untuk perangkat keras dan lunak, dana operasional antara lain digunakan untuk proses digitalisasi. Besarnya biaya yang diperlukan tergantung pada berbagai faktor diantaranya infrastruktur dan prasarana yang tersedia, jumlah terminal layanan akses yang akan disediakan, jenis server yang akan digunakan dan tenaga pengembang yang tersedia.
Sementara itu Suryandari (2007) berdasarkan hasil pengalaman lapangan membedakan struktur pembiayaan proses digitalisasi pada jumlah anggaran yang tersedia menjadi perpustakaan besar, menengah dan kecil, dengan rincian sebagai berikut:
a. Perpustakaan besar memiliki dana sekitar Rp 57.000.000 (lima puluh tujuh juta rupiah) untuk investasi awal, yaitu biaya peralatan dan jasa yang sifatnya tidak rutin dan Rp 4.500.000 (empat juta lima ratus ribu rupiah) untuk biaya operasional proses digitalisasi 400 tesis per bulan (total 1.600 tesis/4 bulan). b. Perpustakaan menengah memiliki dana sekitar Rp 30.000.000 (tiga puluh juta
rupiah) untuk investasi awal, yaitu biaya peralatan dan jasa yang sifatnya tidak rutin dan Rp 3.000.000 (tiga juta lima ratus ribu rupiah) untuk biaya operasional proses digitalisasi 400 tesis per bulan (total 1.600 tesis/4 bulan). c. Perpustakaan kecil memiliki dana sekitar Rp 11.000.000 (sebelas juta rupiah)
untuk investasi awal, yaitu biaya peralatan dan jasa yang sifatnya tidak rutin dan Rp 400.000 (empat ratus ribu rupiah) per bulan untuk biaya operasional proses digitalisasi (400 tesis/4 bulan).
Struktur pembiayaan digitalisasi tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu biaya rutin (bulanan) dan biaya investasi (tidak rutin, dikeluarkan hanya satu kali pada saat proyek akan dimulai). Rincian anggaran dapat dilihat pada Lampiran 3 sampai 11. Sementara itu di Pustaka Bogor selain anggaran pembiayaan investasi dan operasional proses digitization anggaran terbesar lainnya adalah anggaran operasional acquisition of original digital work yaitu pengadaan karya digital asli (born digital).
Berdasarkan uraian anggaran investasi dan operasional, struktur pembiayaan proses digitalisasi di atas dan acquisition of original digital work di Pustaka Bogor serta penelusuran harga pada literatur online diperlukan anggaran pengembangan perpustakaan digital berbasis web sebagai tercantum dalam Lampiran 12. Pada lampiran tersebut untuk tahun pertama dibutuhkan anggaran standar biaya investasi sebesar Rp 123.309.000,- dan biaya opersional Rp 495.666.311,- Total anggaran yang dibutuhkan untuk tahun pertama sebesar Rp 618.975.311,-
Struktur pembiayaan pengembangan perpustakaan digital tersebut masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan struktur pembiayaan pengembangan perpustakaan digital di perpustakaan perguruan tinggi di negara maju. Sebagai contoh struktur pembiayaan pengembangan perpustakaan digital di dalam
Proposal for a University of Tennessee Digital Library Center tahun 2001, yang
merencanakan anggaran sebesar $ 471.008 atau sama dengan Rp 4.710.080.000 (kurs Rp 10.000 per 1 USD) pada tahun pertama, dengan rincian anggaran pada Lampiran 13.