• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Metode

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. Standarisasi Proses Pembuatan Kalio untuk Proses Pengalengan

Setelah dilakukan standarisasi formula kalio, selanjutnya dilakukan standarisasi proses pembuatan rendang dalam kaleng, yang meliputi penyesuaian tingkat kematangan bumbu dan daging pada saat filling, perbandingan jumlah bumbu dan daging (filled weight), serta lama waktu blansir daging dan exhausting. Penyesuaian kondisi proses pengalengan dilakukan untuk memperoleh produk kalio dalam kaleng yang memiliki karakteristik sensori mendekati kalio dengan pemasakan konvensional.

30 Tabel 5. Proporsi bumbu kalio standar yang digunakan

Komponen Bumbu Jumlah (%)

Cabe merah 8.0 Bawang merah 16.0 Bawang putih 8.0 Kunyit 0.4 Lengkuas 3.4 Jahe 1.7 Sereh 1.7 Daun jeruk 0.4 Daun kunyit 1.2

Kulit jeruk limau 0.4

Kapulaga 0.2 Kayumanis 0.2 Cengkih 0.2 Pekak 0.2 Pala 0.2 Jinten 0.2 Merica 0.6 Santan 50.0 Serundeng 5.0 Garam 2.0 Total 100

Mula-mula dilakukan penentuan tingkat kematangan daging pada saat pengisian ke dalam kaleng. Dilakukan dua perlakuan percobaan tingkat kematangan daging, yaitu mentah dan tanpa proses blansir (a) dan dimasak setengah matang bersama bumbu selama 30 menit (b). Skema dari kedua perlakuan tersebut disajikan dalam Gambar 10 dan 11. Bumbu I meliputi rempah-rempah yang dihaluskan, yaitu cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, lengkuas, jahe, kapulaga, pala, jinten, dan merica. Sedangkan bumbu II meliputi rempah-rempah yang tidak dihaluskan.

Proses blansir tidak diikutsertakan pada perlakuan (a) dengan pertimbangan bahwa proses exhausting dengan suhu 80° C selama 5 menit yang dilakukan mampu menghilangkan udara yang terperangkap dalam daging. Selain itu dihawatirkan proses blansir yang dilakukan dengan suhu minimum 80° C akan menyebabkan denaturasi protein daging. Denaturasi protein ini, selain menyebabkan keluarnya sebagian cairan daging bersama komponen gizi larut air, juga dihawatirkan akan merubah struktur daging dan menghambat pentrasi bumbu ke dalam daging selama pemanasan di dalam retort. Sedangkan perlakuan (b) dilakukan dengan tujuan meresapkan bumbu ke dalam daging sebelum dilakukan proses pemanasan di dalam retort, sehingga diharapkan bumbu akan lebih meresap ke dalam daging. Selain itu juga menghindari kehilangan kehilangan komponen gizi larut air.

31 Gambar 10. Diagram alir pengalengan kalio langsung dari daging mentah

(perlakuan a)

Pemasakan bumbu bertujuan membentuk warna dan aroma rendang sebelum dimasukkan ke dalam kaleng. Lama waktu pemasakan sangat bergantung pada banyaknya bahan yang dimasak. Sebanyak 500 g bumbu mentah memerlukan waktu pendidihan santan selama 5 menit, pemasakan I selama 15 menit, dan pemasakan II selama 10 menit. Pemasakan II dihentikan saat mulai tercium aroma rendang dan fraksi minyak dari santan mulai terpisah. Demikian pula untuk pemasakan bumbu yang disertakan daging di dalamnya. Hasil pengamatan terhadap kedua perlakuan tersebut disajikan dalam Tabel 6.

Retort Double seamer Exhaust Box Alat masak

Produk rendang daging sapi dalam kaleng Daging

Pemasakan sampai mendidih

Pendinginan Pengisian ke dalam kaleng

Pemasakan I Sterilisasi (121o C, t P 60 menit) Exhausting (80o, ± 5 menit) Double seaming Blender Bumbu I Penghancuran dan pencampuran Bumbu II Santan Pemasakan II Serundeng

32 Gambar 11. Diagram alir pengalengan kalio dari daging yang dimasak terlebih dahulu

bersama bumbu (perlakuan b) Retort Double Exhaust Box Alat masak

Produk rendang daging sapi dalam kaleng

Pemasakan sampai mendidih

Pendinginan Pengisian ke dalam kaleng

Pemasakan sampai daging setengah Pemasakan I Sterilisasi (121o C, t P 60 menit) Exhausting (80o, ± 5 menit) Double seaming Blender Bumbu I Penghancuran dan pencampuran Daging Bumbu II Santan Pemasakan II Serundeng

33 Tabel 6. Hasil Pengamatan Terhadap Percobaan Standarisasi Pengalengan (Tahap 1)

No. Atribut Sensori

Deskripsi Sensori Perlakuan a

(dari daging mentah)

Perlakuan b (dari daging setengah matang) 1 Tekstur daging

Keempukan tidak berbeda secara signifikan, tetapi lebih “juicy”

Keempukan tidak berbeda secara signifikan, tetapi daging terkesan lebih “kering”

2 Konsistensi

bumbu Sangat encer

Sedikit lebih kental, tetapi masih belum mendekati konsistensi bumbu kalio komersil

3 Rasa Lebih ringan dibanding (b) Lebih gurih 4 Warna Kuning kecoklatan, agak pucat

5 Aroma Khas kalio, tetapi terlalu “ringan” 6 Penyerapan

bumbu Cukup baik, bumbu sedikit terasa di bagian dalam daging

Perlakuan (a) menghasilkan konsistensi bumbu yang sangat encer, karena air dari dalam daging keluar selama sterilisasi. Hal ini juga berakibat pada “pengenceran” rasa bumbu, sehingga menjadi lebih “ringan” dibanding perlakuan (b). Berdasarkan penilaian secara subjektif, dari segi keempukan daging, warna, aroma, serta secara keseluruhan, keduanya tidak berbeda, tetapi belum diperoleh karakteristik produk yang diinginkan. Pengukuran terhadap konsistensi bumbu, warna daging, dan kekerasan daging tidak dilakukan secara objektif menggunakan instrumen karena secara visual telah tampak sangat jauh berbeda dengan produk acuan.

Dengan pertimbangan bahwa proses pengalengan kalio langsung dari daging mentah akan lebih sederhana, baik dalam hal persiapan bahan sebelum filling maupun penentuan perbandingan bahan saat filling, maka digunakan prosedur tersebut untuk tahap selanjutnya.

Memperhatikan konsistensi bumbu yang masih sangat encer, maka dilakukan percobaan berikutnya untuk memperoleh konsistensi bumbu yang diinginkan, yaitu dengan menyertakan proses blansir pada daging dan menyesuaian perbandingan jumlah daging dan bumbu saat filling. Proses blansir dalam hal ini terutama bertujuan untuk mengurangi air dari dalam daging yang dapat keluar saat sterilisasi dan berakibat pada pengenceran bumbu. Perlakuan selengkapnya disajikan dalam Tabel 8. Pemasakan bumbu dilakukan dengan basis seperti pada tahap pertama, yaitu 500 g bumbu mentah.

Penggembungan yang mengakibatkan terjadinya buckling pada perlakuan a2 diduga akibat masih terdapatnya udara dalam daging mentah yang tidak keluar secara sempurna oleh proses exhausting, sehingga saat sterilisasi keluar dan memenuhi headspace, kemudian memuai karena panas dan mendesak volume kaleng sehingga terjadi penggembungan. Nilai viskositas bumbu produk acuan adalah 1,518.33 ± 52.39 cP, dengan demikian perlakuan a1 lebih mendekati produk acuan dibanding perlakuan a2.

34 Tabel 7. Perlakuan dan Hasil Pengamatan Terhadap Percobaan Standarisasi Pengalengan

(Tahap 2)

Keterangan Perlakuan a1 Perlakuan a2

P er lak u an Pemasakan I (sebelum

penambahan serundeng) 100° C, 15 menit 100° C, 15 menit Pemasakan II (setelah

penambahan serundeng 100° C, 10 menit 100° C, 20 menit Blansir pada daging sebelum

filling

5 menit dengan medium uap jenuh pada suhu 90° C,

Tidak dilakukan Perbandingan jumlah daging :

bumbu saat filling 5 : 6 8 : 3

H

as

il

Buckling Tidak Ya

Konsistensi Bumbu Lebih kental, 1,770.00

cP Lebih encer, 885.00 cP Karakteristik sensori (warna,

aroma, dan rasa) Khas kalio, tidak berbeda

Proses blansir dengan uap jenuh pada suhu 90° C menyebabkan denaturasi protein dalam daging sehingga menyebabkan perubahan struktur dan secara tidak langsung menyebabkan perubahan tingkat kekerasan daging. Perubahan struktur daging pada kisaran suhu 70-80° C terutama terkait dengan denaturasi termal protein miosin (40-60° C), aktin (66-73° C), dan penyusutan kolagen (56-62° C). Kontraksi protein ini menyebabkan pengeluaran air dari dalam daging, yang lazim disebut dengan susut masak (cooking loss) (Martens 1982 dalam Palka dan Daun 1999). Susut masak akibat proses blansir yang dilakukan pada penelitian ini berkisar antara 39.9% sampai 40.3%.

Denaturasi protein daging yang semula dihawatirkan akan menghambat penetrasi bumbu ke dalam daging, ternyata tidak terlalu berpengaruh. Berdasarkan penilaian secara subjektif, tingkat peresapan bumbu ke dalam daging pada keduanya tidak berbeda. Secara keseluruhan, perlakuan a1 memberikan karakter produk yang lebih baik dibanding perlakuan a2, tidak menyebabkan penggembungan kaleng dan timbulnya buckling. Karena itu standar proses pengalengan yang diberlakukan untuk tahap berikutnya mengacu pada perlakuan a1 tersebut. Diagram alir standar proses pengalengan yang dimaksud disajikan dalam Gambar 12.

Waktu yang diperlukan untuk setiap tahap pemasakan pada Gambar 12 berbeda untuk jumlah bumbu yang berbeda. Sebanyak 500 g bumbu mentah memerlukan waktu pemasakan I dan II masing-masing selama 15 dan 10 menit, sedangkan untuk 2 kg bumbu mentah memerlukan waktu pemasakan I dan II masing-masing selama 30 dan 25 menit. Selama pemasakan I dan II, rata-rata air yang menguap dari bumbu sebanyak 39.1-41.9%. Standardisasi konsistensi bumbu dilakukan dengan menambahkan air ke dalam bumbu jika air menguap terlalu banyak, dan dengan menguapkan kembali jika air masih terlalu banyak. Hal ini dilakukan karena di dalam bumbu hampir tidak terdapat komponen yang dapat mengakibatkan perubahan konsistensi bumbu akibat perubahan strukturnya selama pemanasan, seperti pati. Konsistensi bumbu hanya dipengaruhi oleh proporsi air dan padatan yang terdapat di dalamnya.

35 Gambar 12. Standar proses pembuatan kalio dalam kaleng

Air mengalir Retort Double seamer Exhaust Box Blancher Blender Alat Masak Santan Pendidihan Pemasakan I Pemasakan II Potongan daging @30-50 g Blansir 90° C, 5 menit Pengisian ke dalam kaleng

100 g daging dan 120 g bumbu

Exhausting 80° C, 5 menit Double seaming Sterilisasi Pendinginan Bumbu II Serundeng Bumbu I Penghancuran dan pencampuran

Produk kalio daging sapi dalam kaleng siap makan

36

Dokumen terkait