True Color
2.2. Kajian Indeks 1. Pengertian Indeks
Indeks menurut pengertian yang tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka (2003) adalah rasio antara dua unsur kebahasaan tertentu yang mungkin menjadi ukuran suatu cirri tertentu atau petunjuk. Sedangkan berdasarkan teori yang dikembangkan Spiegel (1961), indeks adalah sebuah disain pengukuran statistik untuk melihat perubahan sebuah variabel atau hubungan antara kelompok variabel dengan fungsi waktu, lokasi geografi atau karakteristik lain.
2.2.2. Indeks Kekeringan
Indeks kekeringan masih dikembangkan oleh berbagai ahli antara lain : Indeks Kekeringan Meteorologi Bert H. Borger, Indeks Suplai Air Permukaan (SWSI), Indeks Keparahan Kekeringan Palmer (PDSI), dan masih banyak lagi. Indeks-indeks ini diciptakan tergantung dari gambaran umum yang melatarbelakangi daerah tertentu, pengguna, proses, input dan hasil masing-masing klasifikasi. Namun belum ada indeks yang dapat digunakan untuk menilai kekeringan hidrologis dan pertanian. Untuk itu diperlukan kajian dalam menentukan indeks kekeringan hidrologi dan pertanian.
Indeks Kekeringan Meteorologis Bert H. Borger
Tingkat kekeringan meteorologi dibatasi sebagai suatu periode dengan tiga atau bulan kering berturut-turut atau lebih yaitu bulan dengan curah hujan kurang dari 100 mm per bulannya dan kurang dari 200 mm per tiga bulannya (Borger, 2001). Perhitungan tingkat kekeringan meteorologi untuk setiap wilayah stasiun hujan diperoleh dengan cara menambahkan skor panjang periode kering (drought length) dan skor jumlah curah hujan per tiga bulan (rainfall for the three month
period), yakni dengan mengambil jumlah curah hujan per tiga bulan yang terkecil jika panjang periode kering lebih dari tiga bulan secara berurutan. Kelas indeks kekeringan Bert H. Borger disajikan (Tabel 1) sebagai berikut :
Tabel 1. Kelas Indeks Kekeringan Bert H. Borger Nilai
Kekeringan Kemungkinan Kelas Kering
0 (0+0) Basah 1 (1+0) Normal 2 (1+1) Normal 3 (1+2) Sedikit Kering (3+0) 4 (1+3) Sedikit Kering (3+1) 5 (1+4) Kering (3+2) (5+0) 6 (1+5) Kering (3+3) (5+1) 7 (3+4) Sangat Kering (5+2) 8 (3+5) Sangat Kering (5+3) 9 (5+4) Ekstrim Kering 10 (5+5) Ekstrim Kering Sumber : Effendy, 2011
Indeks Suplai Air Permukaan (SWSI)
Indeks Suplai air Permukaan telah diterbitkan oleh Shafer dan Dezman (1982) untuk melengkapkan kelemahan yang terdapat dalam PDSI. PDSI didasarkan pada algoritma kelembaban tanah yang dikalibrasi untuk suatu kawasan yang homogen tetapi tidak sesuai untuk kawasan yang bertopografi luas serta tidak mengambil rata-rata curah hujan.
Penilaian SWSI adalah untuk menggabungkan cirri-ciri hidrologi dan meteorologi dalam satu indeks yang menyerupai PDSI bagi setiap sungai utama (Sharef dan Dezman, 1982). Nilai ini adalah piawai dan boleh dibandingkan antara tadahan yang berbeda. Seperti PDSI, nilai SWSI berada di range – 4.2 hingga +4.2. Nilai SWSI adalah unit untuk tadahan tertentu,sehingga sulit untuk membandingkan nilai SWSI antara kawasan tadahan yang berlainan.
Indeks Keparahan Kekeringan Palmer (PDSI)
Indeks kekeringan palmer dapat menunjukkan indeks terlalu basah atau terlalu kering dari keadaan normalnya suatu daerah. Metode Indeks Kekeringan Palmer berguna untuk mengetahui kekeringan yang telah terjadi terutama di daerah-daerah semiarid dan yang beriklim sub-humid kering. Kapasitas air tersedia diperlukan dalam pengolahan data Palmer. Selain dari itu koordinat lintang juga diperlukan dalam perhitungannya agar dapat mengetahui panjang hari dilokasi tersebut. Menurut National Drought Mitigation Center (2006), Indeks Palmer lebih baik digunakan pada area yang luas dan topografi yang seragam. Berikut ini disajikan pada Tabel 3 kelas dan sifat cuaca dalam Indeks Kekeringan Palmer (Hounam et al.1975).
Metode ini mempertimbangkan faktor iklim, tanah dan tanaman serta didasarkan pada prinsip neraca air. Curah hujan, suhu dan faktor lengas tanah sebagai parameter utama dalam menurunkan nilai Indeks Palmer.
Tabel 2. Kelas Indeks Kekeringan Palmer dan Kriterianya Klasifikasi Palmer
Indeks Kekeringan Kriteria
≥ 4.00 Ekstrim basah 3.00 - 3.99 Sangat basah 2.00 - 2.99 Agak basah 1.00 - 1.99 Sedikit basah 0.50 - 0.99 Awal selang basah 0.49 - (-0.49) Normal
- 0.5 - (-0.99) Awal selang kering - 1 - (-1.99) Sedikit kering - 2.00 - (-2.99) Agak kering - 3.00 - (-3.99) Sangat kering ≤ -4.00 Ekstrim kering 2.3. Model Simulasi
2.3.1. Definisi Model Simulasi
Model diartikan sebagai penyederhanaan suatu sistem (Hall dan Day, 1977; Handoko, 1994). Sedangkan sistem didefinisikan sebagai fenomena, baik struktural maupun fungsional yang memiliki paling sedikit dua komponen yang berinteraksi (Dahuri, 1995).
Ada dua pendekatan dalam pemodelan ekosistem yaitu model analitik (mathematical programming) yakni menggunakan persamaan matematika yang kompleks untuk mendapatkan solusi yang relatif akurat. Model simulasi (simulation modeling) dapat digunakan untuk mensimulasikan suatu proses dalam suatu sistem.
2.3.2. Klasifikasi Model
Jorgensen (1988) membuat klasifikasi model-model simulasi yang dipakai dalam menganalisis ekosistem. Dari beberapa model yang paling banyak digunakan adalah model empirik yaitu model yang dibuat berdasarkan pengamatan empirik, menggunakan hubungan sebab-akibat tanpa menjelaskan proses. Sebaliknya model mekanistik menjelaskan mekanisme proses yang terjadi dalam suatu system. Model deskriptif merupakan model yang menggambarkan bentuk-bentuk hubungan secara konseptual (kualitatif), sebaliknya model numerik menggambarkan hubungan tersebut secara kuantitaf.
Model dinamik merupakan model yang menggambarkan unsur waktu, sebaiknya model statik tidak menjelaskan peubah-peubah yang ada sebagai fungsi waktu. Sementara model deterministik adalah model yang keluarnya bersifat mutlak, tidak mengandung toleransi kesalahan perhitungan. Sedangkan model stokastik keluarannya mengandung toleransi kesalahan hitungan berupa ragam, simpangan baku, kesalahan baku, koefisien keragaman atau berupa peluang dari 0% hingga 100%.
2.3.3. Kegunaan Model
Menurut Jorgensen (1988) kegunaan model sebagai alat bantu dalam ekologi dapat dikelompokkan ke dalam empat kegunaan :
1. Model merupakan instrumen yang berguna untuk memahami sistem yang kompleks.
2. Model dapat dipakai untuk menggambarkan karakteristik sistem secara sederhana.
3. Model dapat dipakai untuk menyusun prioritas-prioritas penelitian.
4. Model dapat dipakai untuk menguji hipotesis ilmiah dengan jalan mensimulasikan reaksi ekosistem dan dibandingkan dengan hasil observasi.
Model simulasi lebih berguna dan dapat diandalkan bila memenuhi ketiga. syarat berikut :
1. Model merupakan gambaran sistem yang rill, harus realistis dan inovatif. 2. Model harus sederhana agar mudah dikelola.
3. Model merupakan distorsi dari sistem, karena itu dalam aplikasi harus seksama dan waspada.
2.3.4. Tahap-tahap Pembuatan Model Simulasi
Ada 10 tahap dalam pemodelan (Dahuri, 1995; Hall dan Day 1977; Jorgensen 1988) meliputi :
1. Pendefinisian masalah : menentukan masalah yang akan dicari solusinya sekaligus menetapkan tujuan yang akan dicapai.
2. Pembatasan masalah berdasarkan waktu, ruang dan komponen dari model. 3. Penyusunan model konseptual/verbal : menjelaskan variabel keadaan
(state variables) dan variabel luar (exogenous variables) yang penting serta kaitan keduanya secara konseptual.
4. Penyusunan model diagram.
5. Penyusunan model persamaan matematika untuk setiap fungsi transfer melalui tiga tahap. Pertama, menentukan nilai awal (initial value) untuk setiap variabel keadaan berdasarkan hasil riset atau informasi lain. Kedua, menentukan variabel luar yang dapat mengubah nilai variabel keadaan. Ketiga, merumuskan setiap hubungan fungsional antar variabel menjadi persamaan matematika serta penentuan nilai koefisien dan konstanta. 6. Penerjemahan persamaan matematika kedalam bahasa komputer.
7. Melakukan simulasi komputer dengan cara menentukan nilai awal kemudian membatasi skenario simulasi lalu dieksperimentasikan sesuai dengan batas waktu yang akan diestimasi.
8. Verifikasi, untuk melihat logika internal model, yaitu keluaran model hasil simulasi sesuai dengan logika ilmiah.
9. Analisis kepekaan (sensitivity analysis), dilakukan dengan merubah nilai setiap peubah/parameter ke atas dan ke bawah, sehingga dapat dilihat respon model terhadap perubahan tersebut. Bila respon model kecil maka
dikatakan bahwa model tidak sensitif terhadap peubah dan parameter tersebut, sebaiknya bila respon model besar terhadap perubahan dikatakan bahwa model peka terhadap peubah/parameter tersebut.
10.Validasi model : membandingkan keluaran model dengan hasil observasi untuk melihat kelayakan model.
2.4. Risiko Bencana
Risiko bencana (risk disaster) adalah kemungkinan dari satu bencana yang terjadi sehingga menyebabkan tingkat kerugian yang khusus. Risiko perlu dikaji sehingga dapat menetapkan besarnya kerugian yang sudah diestimasi dan itu dapat diantisipasi di suatu wilayah. Banyak ahli telah mengembangkan formulasi dalam menilai risiko bencana. Secara umum risiko bencana merupakan kombinasi dari bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Namun selain faktor tersebut, eksposur (exposure) dan kemampuan (capacity) individu maupun kelompok juga menjadi penentu dalam penilaian risiko (Carter, 1992; Davidson, 1997; Bollin, 2003; Wisner et al. 2004).
Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah manusia (man-made disaster). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana antara lain :
Bahaya (Hazard)
Bahaya alam adalah suatu peristiwa fisik yang berdampak pada masyarakat dan lingkungan mereka (Blaikie et al. 1994). Kekeringan merupakan bahaya berdasarkan parameter iklim regional. Dampak kekeringan bisa sama kerugiannya dengan bencana lainnya, namun kejadiannya lambat. Kekeringan sering menyebabkan bahaya sekunder seperti badai kelaparan, kebakaran hutan dan konflik sosial. Pengaruh kekeringan seringkali dirasakan oleh mereka yang memiliki kerentanan yang tinggi. Kekeringan adalah lebih mungkin terjadi di tempat yang semi kering. Pengelolaan kondisi kekeringan mencerminkan kebutuhan pengetahuan yang lebih besar ketika kekeringan mendekati. Kekeringan disebabkan oleh kondisi iklim yang menghasilkan "kekeringan abnormal pada suatu wilayah saat musim hujan biasa tidak turun" (Abbott, 1979.) Ada sistem iklim global yang mempengaruhi kapan dan di mana kekeringan
terjadi. El Nino Southern Oscillation (ENSO) adalah yang paling menonjol. ENSO adalah sistem yang berkala.
Kerentanan (Vulnerability)
Kerentanan adalah tingkat dimana sebuah masyarakat, struktur, layanan atau daerah geografis yang berpotensi terganggu oleh dampak bahaya tertentu. Tingkat kerentanan dapat ditinjau dari kerentanan fisik (infrastruktur), sosial dan ekonomi (Carter, 1992). Kerentanan fisik berhubungan erat dengan lingkungan infrastruktur buatan manusia serta lingkungan pertanian. Kerentanan sosial berkaitan dengan unsur-unsur atau faktor kerentanan secara demografis seperti kepadatan penduduk dan tingkat kewaspadaan. Sedangkan kerentanan ekonomi berkaitan erat dengan cara orang mencari nafkah dan mata pencaharian mereka atau keluarga miskin. Kegiatan sumber daya alam dan manusia tergantung pada curah hujan dan kelembaban tanah, seperti lahan kering pertanian, peternakan, dan beberapa penggunaan air lingkungan adalah yang paling berisiko dari kekeringan. Kegiatan ini dapat mengalami dampak kekeringan yang berlangsung singkat.
Eksposur (Eksposure)
Eksposur dapat didefinisikan sebagai total nilai elemen berisiko. Elemen resiko didefinisikan adalah populasi, perumahan, transportasi, kesehatan dan infrastruktur pendidikan, tenaga air dan pertanian yang terkena bahaya di daerah tertentu. Hal ini dinyatakan sebagai jumlah nyawa manusia dan nilai properti atau aset yang berpotensi dapat dipengaruhi oleh bahaya. Eksposur adalah fungsi dari lokasi geografis dari unsur-unsur beresiko. Penilaian ekposur adalah tahap peralihan dari penilaian risiko, yang menghubungkan penilaian bahaya dengan aset yang dipertimbangkan untuk penilaian risiko (ADPC, 2010).
Kapasitas (capacity)
Menurut Bollin et al. (2003) kapasitas adalah kekuatan dan sumber daya yang tersedia dalam suatu masyarakat atau organisasi yang dapat mengurangi tingkat risiko atau dampak dari bencana. Adaptasi pada dasarnya berkaitan dengan tingkat sistem ketahanan yang didefinisikan sebagai kapasitas sistem untuk menyerap gangguan dan mereorganisasi saat menjalani perubahan sehingga
tetap mempertahankan dasar fungsi yang sama, struktur, identitas, dan masukan (Folke et al. 2005). Dalam proses ini, terdiri dari desain dan implementasi manajemen risiko lembaga dan organisasi seperti rencana kesiapan bencana, sistem peringatan bencana dan bantuan darurat yang berpotensi dapat mengurangi dampak yang paling cepat dan mengerikan dampak terkait iklim. Kapasitas merupakan penilaian untuk mengukur tindakan pencegahan, persiapan, respon dalam tanggap darurat serta upaya rehabilitasi dan rekonstruksi dalam menghadapi bencana. Selain kapasitas pemerintah, populasi, sektor swasta, media organisasi masyarakat dan perguruan tinggi juga sangat penting dalam penilaian risiko.
Pengurangan risiko bencana adalah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi, menilai dan mengurangi risiko bencana. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kerentanan sosial ekonomi terhadap bencana serta berurusan dengan bahaya lingkungan dan lainnya yang memicu. Menurut Yan (2010), Pemetaan risiko adalah proses pembentukan batas spasial dan temporal risiko (menggabungkan informasi tentang probabilitas dan konsekuensi). Pemetaan risiko menggabungkan peta bahaya, eksposur, dan fungsi kerentanan. Hasil pemetaan risiko biasanya disajikan dalam bentuk peta yang menunjukkan besar dan sifat risiko.
2.4. Mitigasi Bencana
Mitigasi berarti mengambil tindakan-tindakan untuk mengurangi pengaruh-pengaruh dari suatu bahaya dan kerentanan yang mengancam sebelum bahaya itu terjadi. Istilah mitigasi berlaku untuk cakupan yang luas dari aktivitas-aktivitas dan tindakan-tindakan perlindungan yang mungkin diawali, dari yang fisik, sampai dengan prosedural.
Di negara besar seperti USA dan India salah satu dari daerah tersebut mengalami kekeringan hampir setiap tahun. Namun, dampaknya dapat diminimalkan melalui pengembangan teknik manajemen yang lebih baik. Oleh karena itu, pengembangan strategi manajemen kekeringan yang tepat sangat penting dan saat ini ditangani oleh sektor pemerintah, lembaga swadaya dan lembaga penelitian pengembangan (SAARC, 2009).
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan di DAS Kariango Sulawesi Selatan, secara administrasi terletak di 3 Kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Pinrang, Sidrap, dan Enrekang seluas 63.769,30
ha
. Lokasi studi disajikan pada Gambar 1.Gambar 1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai September dimulai dari tahap pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data. Penyusunan Tesis dimulai dari Oktober hingga Desember 2012.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi literatur yang berkaitan lokasi dan kajian berupa peta tematik, citra satelit, kuesioner serta bahan lain yang menunjang penelitian. Adapun alat yang digunakan berupa seperangkat komputer dengan perangkat lunak ArcGis 9.3, ER Mapper 7.0, ERDAS Imagine
SULAWESI DAS KARIANGO
9.2, IDL 7.0, Microsoft Office Word dan Excel, serta peralatan lain seperti Global Positioning System (GPS), kamera dijital dan alat tulis menulis.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap yaitu 1) pengumpulan data, 2) pengolahan data awal 3) analisis data. Penelitian ini dilakukan secara sistematis yang disajikan pada diagram alir penelitian. Untuk mempermudah memahami langkah-langkah penelitian ini, maka pada setiap tahapan disajikan bentuk diagram alir pada Gambar 2.
3.3.1. Pengumpulan Data
Untuk mendukung analisis risiko dan mitigasi kekeringan maka data yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa data yang diperoleh melalui survei dan wawancara penduduk dengan menggunakan kuesioner, sedangkan data sekunder terdiri dari data spasial dan data tabular. Jenis data yang dibutuhkan termasuk metode pengumpulan dan sumber data disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis, metode pengumpulan, dan sumber data serta tujuan penelitian
Jenis Data Metode Sumber Data Tujuan
Pengumpulan Data Curah Hujan (2011) Stasiun Pengamat Iklim
BMKG Maros Sulawesi Selatan
Indeks & analisis Bahaya Kekeringan Kab. Pinrang, Sidrap
Enrekang Peta Administrasi dan DAS
Kariango
Digitasi On-screen BPDAS Saddang Sulsel Skala 1: 50.000
Kedalaman sumur Survey & wawancara Individu
Sungai Digitasi on-screen Peta RBI 1:50.000 Tanah NDVI, WSVI, Temperatur Permukaan Lahan Penggunaan Lahan Validasi Kekeringan Digitasi on-screen Analsis Citra LandsatETM7 akuisisi Musim Kering 2011 (Juli - September) Digitasi on-screen Survey & wawancara
Pusat Penelitian Tanah Bogor Skala 1 :250.000 USGS
Citra Landsat & Peta Landuse Kehutanan Masyarakat & Pemerintah Jumlah Penduduk Tingkat Kemiskinan Jumlah Petani Kelembagaan terlibat Kemampuan/respon penanggulangan Bantuan Analisis Spasial BPS Sulsel BKKBN Sulsel BAKORLUH Sulsel Wawancara dan kuesioner kepada masyarakat dan pemerintah dan Instansi terkait
Analisis Kerentanan Kekeringan
Bahaya Kekeringan
Kerentanan Kekeringan Analisis Spasial Hasil Analisis
Risiko Kekeringan & Mitigasinya
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
Adapun tahapan penelitian ini disajikan secara rinci sebagai berikut : 3.3.2. Pengolahan Data Awal
Langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan daerah studi penelitian dengan melakukan clip antara batas administrasi dan batas DAS Kariango. Pemilihan citra Landsat yang digunakan dalam analisis berdasarkan Koreksi geometrik WSVI Peta Risiko Kekeringan Mitigasi Kekeringan Peta Bahaya Kekeringan
(Indeks kekeringan) 1.Kerentanan Penduduk Jumlah Penduduk Tingkat Kemiskinan 2.Eksposur Jumlah Petani 3.Kapasitas Kelembagaan Kemampuan Bantuan Standarisasi Kriteria Pembobotan Overlay Standarisasi kriteria Overlay Peta Kerentanan Kekeringan Overlay Tanah Sumber Air Ked air tanah
Validasi
Curah Hujan Musim Kering (Juli-Sept 2011) Citra Landsat ETM 7(BK) Peta Penggunaan Lahan Pan-Sharpening &Interpretasi Citra Penambalan
Sebaran Bahaya dan Risiko Kekeringan pada
perekaman pada hasil analisis data curah hujan musim kering (Juli-September 2011) di mana terdapat bulan kering yang sangat ekstrim dan
kemudian dilakukan koreksi geometrik. Citra Landsat ETM 7 tahun 2003 sampai sekarang mengalami striping sehingga diperlukan penambalan dengan menggunakan software IDL 7.0 (Lampiran 1). Citra yang digunakan akuisisi Musim Kering (Juli-September) yaitu akuisisi 21 September 2011 sebagai citra utama yang ditambal dan akuisisi 03 Juli dan 05 September 2011 sebagai citra pengisi atau penambal citra utama.
Peta penggunaan lahan diperoleh dari hasil interpretasi langsung Citra Landsat. Citra Landsat dilakukan penajaman dari cell size 30 x 30 band 321, 543, 432 menjadi resolusi 15 x 15 dengan melakukan analisis pan-sharpening band 8 yang secara otomatis dilakukan di software ER Mapper (Lampiran 2). Pansharpening adalah dengan menggabungkan data citra multispectral yang mempunyai resolusi rendah dengan citra pankromatik yang mempunyai resolusi tinggi (Sitanggang, 2008).
3.3.3. Analisa Data
3.3.3.1Perumusan Indeks Bahaya Kekeringan Agro-Hidrologi Pemilihan dan Standarisasi Faktor Indeks Bahaya Kekeringan
Konsep awal dari perumusan model indeks kekeringan dalam penelitian ini adalah adanya suatu nilai yang menggambarkan karakteristik kekeringan pertanian dan hidrologi. Pembuatan indeks ini mengacu pada rumusan Effendy (2011) dengan memasukkan parameter unsur meteorologi (curah hujan, suhu udara, evaporasi, kelembaban) dan unsur lain berupa sumber air, tanah, vegetasi dan populasi. Konsep yang dikembangkan oleh peneliti untuk nilai indeks kekeringan yaitu gabungan dari beberapa variabel yaitu curah hujan musim kering (Juli - September 2011), kedalaman air tanah, jaringan sungai, tekstur tanah dan indeks ketersediaan air tanaman (Water Supplying Vegetation Index). Selanjutnya parameter yang dipakai sebagai berikut :
1. Water Supplying Vegetation Index (WSVI)
Indeks Ketersediaan Air Tanaman (Water Supplying Vegetation Index) adalah metode baru untuk mendeteksi informasi kekeringan dengan menggunakan data satelit meteorologi. WSVI dapat menggambarkan kekeringan pertanian,
ketika vegetasi mengalami kekeringan NDVI menurun dan suhu kanopi meningkat sehingga nilai WSVI menurun yang menunjukkan gambaran kekeringan . Pada penelitian ini citra yang digunakan adalah citra Landsat ETM7 karena citra Landsat memenuhi persyaratan dengan adanya band 6 (Thermal). Metode ini didasarkan pada kenyataan bahwa vegetasi yang tumbuh situasi tergantung erat pada kondisi ketersediaan air, yang dihitung dengan rumus (Zhao et al. 2005 dalam Sivakumar et al. 2005) sebagai berikut :
WSVI = NDVI/Ts ………. (1)
Dimana NDVI adalah index kehijauan vegetasi dan Ts adalah temperatur permukaan saluran 6 citra Landsat.
Nilai NDVI diperoleh dari analisis citra Landsat dengan perhitungan indeks kehijauan kehijauan (NDVI) didasarkan pada persamaan matematis sebagai berikut :
NDVI = ……… (2)
Dalam hal ini NDVI = Indeks kehijauan vegetasi (Normalized Difference Vegetation Index)
NIR = Infra merah dekat (Near Infra Red) VR = Band merah (Visible Red)
Sedangkan Nilai Ts (temperatur permukaan) akan dihitung berdasarkan pada analisis citra Landsat 7 pada saluran 6 (Infra merah thermal dengan panjang gelombang 10,40 – 12,50 µm). Tahapan dalam penentuan temperatur permukaan lahan (Hakim, 2008) adalah sebagai berikut :
1. Menentukan nilai radiansi spektral obyek yang terdapat pada citra Landsat ETM+7 saluran 6 dari nilai dijital pikselnya dengan menggunakan persamaan USGS (2003) :
Lmaks (λ) - Lmin (λ)
Lλ = Lmin (λ) + X Qcal ……… (3)
Qcalmaks
Dimana : Lλ = radiansi spectral yang diterima sensor untuk piksel yang di analisis,
Lmin (λ) = adalah radiansi spektral minimum yang terdapat pada
scene (0,1238 m W cm-2 sr-1 ɳm-1)
Lmaks = radiansi spectral maksimum yang terdapat pada scene (1,56 m W cm-2 sr-1 ɳm-1)
(NIR – VR) (NIR + VR)
Qcal = nilai piksel yang dianalisis
Qcalmaks = nilai piksel maksimum (nilainya = 255)
2. Menentukan temperatur radian berdasarkan nilai radiansi spektral dengan menggunakan persamaan USGS (2003) :
Tb = ……… (4)
Dimana TR = temperatur radian (0K) untuk setiap piksel yang dianalisis K1 = konstanta kalibrasi (666.09 m W cm-2 sr-1 ɳm-1)
K2 = konstanta kalibrasi (1260.56 K) Lλ = radiansi spectral
3. Menentukan temperatur kinetik berdasarkan temperatur radian dengan menggunakan persamaan(Weng (2001) :
Ts = ……….. (5)
Dimana :
Ts = Suhu permukaan yang terkoreksi (K)
λ = Panjang gelombang dari radiasi yang pancarkan sebesar 11.5 µm α = hc/K (1.438 x 10-2
mK)
h = Konstanta Planck’s (6.26 x 10-3 ) c = Kecepatan cahaya (2.998 x 108 m,scc-I)
K = Konstanta Stefan Boltzman (1.38 x 10 -23 JK-1)
ɛ = Emisivitas Obyek (non-vegetasi 0.96 dan vegetasi 0.97, dan air 0.92. Weng, 2001)
Indeks ini belum terdapat pengkelasan yang baku sehingga dalam pengkelasannya dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan natural break.
2. Curah Hujan
Peta curah hujan diperoleh dari data curah hujan musim kering (Juli-September, 2011) dari 7 stasiun hujan digunakan sebagai masukan pada tabel sebaran stasiun. Jumlah hujan di musim kering diakumulasi, selanjutnya dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 9.3 dengan tools interpolasi kriging. Interpolasi titik merupakan prosedur untuk menduga nilai-nilai yang tidak diketahui pada lokasi yang berdekatan sehingga metode ini dapat digunakan untuk menggambarkan sebaran jumlah hujan di lokasi penelitian. Dalam pengelompokannya didasarkan pada metode Schmit-Ferguson yaitu jumlah hujan <60 mm/bulan merupkan kriteria kering, jumlah hujan <60 mm merupakan
K2
In ((K1/Lλ +1) +1)
Ts 1+(λ Ts/α)lnɛ
batasan pengelompokkan peta curah hujan di lokasi penelitian yang dibagi menjadi 5 kelas (Tabel 4).
3. Kedalaman Air Tanah
Kedalaman air tanah menggambarkan ketersediaan air pada lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Data kedalaman air tanah (Lampiran 3) diperoleh dari hasil wawancara masyarakat mengenai kedalaman air pada lapisan tanah relatif dekat dari permukaan tanah (sumur galian) maupun lapisan air tanah yang jauh dari permukaan tanah (sumur bor) yang dipetakan dengan kriging interpolation yang kemudian dikelaskan (Tabel 4) berdasarkan natural break
(Jenk’s) dimana pemetaan yang paling akurat untuk data tabular dan memiliki gambaran volume kesalahan terkecil (Jenks dan Caspall, 1971). Klasifikasi natural break terdapat dalam software ArcGIS 9.3.
4. Jaringan sungai
Peta jaringan sungai diperoleh dari buffer sungai yang diturunan dari peta jaringan sungai/tubuh air peta RBI skala 1:50.000. Umumnya temuan di lokasi penelitian (sawah & pemukiman) jarak 100 meter dari sungai merupakan zona aman dari kekurangan/kesulitan air. Buffer 100 meter merupakan batasan dalam pengkelasan peta sumber air (Tabel 4).
5. Tanah
Peta tekstur tanah diperoleh dari peta tanah berdasarkan karakteristik jenis tanah yang diperoleh dari Peta Jenis Tanah Skala 1: 250.000. Pengkelasan berdasarkan kapasitas ketersediaan air (USDA Natural Resources Conservation
Tabel 4. Skor parameter indeks bahaya kekeringan di lokasi penelitian
Parameter Kelas Skor