• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Hasil Uji Hipotesis

2. Uji Statistik t

Uji t digunakan untuk menguji hipotesa yaitu untuk menguji signifikansi pengaruh masing-masing variabel independen secara parsial terhadap variabel dependen.

a. Uji statistik t sebelum UU Perpajakan 2000

Tabel. 4.17.

Hasil Uji Statistik t Sebelum UU Perpajakan 2000

Coefficientsa -.094 .625 -.150 .881 .029 .025 .146 1.159 .252 -.122 .186 -.085 -.658 .514 .222 .055 .476 4.076 .000 -.007 .002 -.377 -3.005 .004 -1.276 .317 -.554 -4.031 .000 (Constant) SIZE ASSET GROWTH PER VOLT Model 1 B Std. Error Unstandardized Coefficients Beta Standardized Coefficients t Sig.

Dependent Variable: FINAGE a.

b. Uji statistik t sesudah UU Perpajakan 2000

Tabel hasil uji statistik t sesudah UU Perpajakan 2000 dapat dilihat pada tabel. 4.18. Tabel. 4.18.

Hasil Uji Statistik t Sesudah UU Perpajakan 2000

Coefficientsa -,022 ,519 -,042 ,967 ,030 ,020 ,165 1,493 ,141 -,125 ,162 -,094 -,773 ,443 ,009 ,137 ,007 ,063 ,950 -,007 ,002 -,345 -2,989 ,004 -1,312 ,252 -,628 -5,199 ,000 (Constant) SIZE ASSET GROWTH PER VOLT Model 1 B Std. Error Unstandardized Coefficients Beta Standardized Coefficients t Sig.

Dependent Variable: FINAGE a.

i.Ukuran Perusahaan (SIZE)

Dari tabel hasil uji statistik t dapat dilihat bahwa variabel SIZE sebelum UU Perpajakan 2000 memiliki signifikansi sebesar 0,252 dan sesudah UU Perpajakan 2000 memiliki signifikansi sebesar 0,141. Tingkat signifikansi ini berada di atas 0,05. Hal ini berarti bahwa variabel SIZE (ukuran perusahaan) tidak berpengaruh

signifikan terhadap kebijakan utang perusahaan baik sebelum maupun sesudah pemberlakuan UU Perpajakan 2000.

Ukuran perusahaan menggambarkan besar kecilnya suatu perusahaan. Perusahaan besar lebih mudah mengakses pasar modal. Hal ini berarti bahwa perusahaan besar memiliki fleksibiltas dan kemampuan yang lebih baik untuk mendapatkan dana dibanding perusahaan berskala kecil (Junaidi, 2006:219). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ukuran perusahaan akan mempunyai pengaruh terhadap kebijakan utang dengan didasarkan pada kenyataan bahwa semakin besar ukuran perusahaan, ada kecenderungan untuk menggunakan jumlah pinjaman lebih besar. Tidak berpengaruhnya ukuran perusahaan baik sebelum maupun sesudah pemberlakuan UU Perpajakan 2000 pada penelitian ini bisa saja terjadi. Hal ini dikarenakan sebagian besar industri manufaktur memiliki ukuran perusahaan yang relatif sedang sehingga sebagai akibat krisis moneter dari tahun sebelumnya di mana suku bunga masih tinggi, mengakibatkan banyak perusahaan enggan untuk mengambil kebijakan utang. Di samping itu, penelitian ini hanya menggunakan sampel 30 perusahaan manufaktur yang kurang mencerminkan kebijakan utang industri manufaktur secara keseluruhan.

ii.Struktur Aset (ASSET)

Dari tabel hasil uji statistik t dapat dilihat bahwa variabel ASSET sebelum UU Perpajakan 2000 memiliki signifikansi sebesar 0,514 dan sesudah UU Perpajakan 2000 memiliki signifikansi sebesar 0,443. Tingkat signifikansi ini berada di atas 0,05. Hal ini berarti bahwa variabel ASSET (struktur aset) tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan utang perusahaan baik sebelum maupun sesudah pemberlakuan UU Perpajakan 2000.

Weston dan Brigham (1990) dalam Kurniawati (2007:13) menjelaskan bahwa perusahaan yang memiliki aktiva yang dapat diserahkan sebagai jaminan cenderung menggunakan utang dalam jumlah besar. Aktiva yang dimaksud di sini adalah aktiva tetap. Dengan demikian struktur aktiva suatu perusahaan berpengaruh terhadap besarnya jumlah utang yang dapat diperoleh perusahaan. Tidak berpengaruhnya struktur aset pada penelitian ini terjadi karena tingginya tingkat suku bunga dan ketidakstabilan perekonomian di Indonesia pada sebelum maupun sesudah pemberlakuan UU Perpajakan 2000. Jadi meskipun perusahaan memiliki aktiva tetap yang dapat dijadikan jaminan utang, perusahaan cenderung tidak mengambil kebijakan utang dikarenakan tingginya suku bunga saat itu yang dapat mengakibatkan meningkatnya jumlah utang yang harus dibayar. Selain itu, penelitian ini hanya menggunakan sampel 30 perusahaan manufaktur yang kurang mencerminkan kebijakan utang industri manufaktur secara keseluruhan.

iii.Tingkat Pertumbuhan (GROWTH)

Dari tabel hasil uji statistik t dapat dilihat bahwa variabel GROWTH sebelum UU Perpajakan 2000 memiliki signifikansi sebesar 0,000. Tingkat signifikansi sebelum UU Perpajakan 2000 berada jauh di bawah 0,05 yang menunjukkan bahwa variabel GROWTH (tingkat pertumbuhan) berpengaruh signifikan terhadap kebijakan utang perusahaan. Hasil ini konsisten dengan penelitian yang dilakukan Mardiana (2005) yang menyimpulkan bahwa tingkat pertumbuhan berpengaruh signifikan terhadap kebijakan utang perusahaan. Hasil ini didukung teori yang menyatakan bahwa perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi dan cepat memerlukan tambahan dana yang besar untuk mengantisipasi peningkatan di semua bidang kegiatan, misalnya peningkatan penjualan, kapasitas

produksi, skala usaha, dan sebagainya. Keperluan dana yang besar dari sumber internal (laba ditahan) tidak akan cukup memenuhinya. Oleh karena itu, biasanya didanai dengan sumber dana eksternal berupa utang atau pinjaman (Rusdi Lubis, 1996:30 dalam Susilawati, 2005:17).

Sedangkan variabel GROWTH sesudah UU Perpajakan 2000 memiliki signifikansi sebesar 0,950. Tingkat signifikansi sesudah UU Perpajakan 2000 ini berada di atas 0,05 yang menunjukkan bahwa variabel GROWTH (tingkat pertumbuhan) tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan utang perusahaan sesudah pemberlakuan UU Perpajakan 2000.

Tingkat pertumbuhan seharusnya memiliki pengaruh yang sama terhadap kebijakan utang baik sebelum maupun sesudah pemberlakuan UU Perpajakan 2000. Akan tetapi, pada penelitian ini tingkat pertumbuhan sebelum UU Perpajakan 2000 berpengaruh signifikan terhadap kebijakan utang sedangkan tingkat pertumbuhan sesudah UU Perpajakan 2000 tidak berpengaruh terhadap kebijakan utang. Perbedaan pengaruh tingkat pertumbuhan terhadap kebijakan utang perusahaan sebelum dan sesudah pemberlakuan UU Perpajakan 2000 diakibatkan oleh menurunnya daya beli masyarakat. Hal ini diakibatkan pada tahun 2000, pemerintah menaikkan tarif dasar listrik yang menyebabkan makin menurunnya daya beli masyarakat dan akhirnya berakibat pada menurunnya tingkat penjualan perusahaan.

iv.Price to Earning Ratio (PER)

Dari tabel hasil uji statistik t dapat dilihat bahwa variabel PER sebelum UU Perpajakan 2000 memiliki signifikansi sebesar 0,004 dan sesudah UU Perpajakan 2000 memiliki signifikansi sebesar 0,004. Tingkat signifikansi ini jauh berada di

bawah 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa variabel PER berpengaruh signifikan terhadap kebijakan utang perusahaan baik sebelum maupun sesudah pemberlakuan UU Perpajakan 2000.

Hasil ini konsisten dengan penelitian Chung (1993) dalam Nisa Fidyati (2003) yang menyimpulkan bahwa PER mempunyai hubungan negatif signifikan terhadap kebijakan utang. Hasil ini didukung teori yang menyatakan bahwa PER menunjukkan besarnya laba perusahaan yang diharapkan di masa yang akan datang (Lusiana, Sinahardja, dan Suharli, 2006:84). Dengan demikian semakin besar PER menunjukkan semakin besar kesempatan perusahaan untuk bertumbuh yang pada akhirnya menunjukkan semakin besar utang yang akan dipinjam perusahaan.

v.Earning Volatility (VOLT)

Dari tabel hasil uji statistik t dapat dilihat bahwa variabel VOLT sebelum UU Perpajakan 2000 memiliki signifikansi sebesar 0,000 dan sesudah UU Perpajakan 2000 memiliki signifikansi sebesar 0,000. Tingkat signifikansi ini jauh berada di bawah 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa variabel VOLT berpengaruh signifikan terhadap kebijakan utang perusahaan baik sebelum maupun sesudah pemberlakuan UU Perpajakan 2000.

Hasil ini konsisten dengan penelitian Muhammad Indra (2004) dan Junaidi (2006) yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat risiko bisnis perusahaan maka semakin kecil tingkat penggunaan utang. Hasil ini didukung teori yang menyatakan bahwa earning volatility atau tingkat risiko bisnis dan kebangkrutan perusahaan yaitu adanya ketidakpastian atas proyeksi pendapatan di masa yang akan datang jika perusahaan tidak didanai dengan utang. Perusahaan yang

memiliki tingkat risiko tinggi cenderung sulit untuk mendapatkan pinjaman. Oleh karena itu, makin tinggi risiko bisnis dan kebangkrutan perusahaan maka makin kecil kemungkinan perusahaan untuk mengambil kebijakan utang.

Dokumen terkait