BAB II PENGURUSAN HARTA KEKAYAAN MILIK ANAK
A. Status dan Kedudukan Anak Angkat Menurut KUH Perdata
Sejak diundangkannya Staatblad. 1917 Nomor 129 tanggal 29 Maret 1917
juncto Staatblad. 1924-557 yang diundangkan pada tanggal 1 Maret 1975 dinyatakan bahwa seluruh ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berlaku bagi golongan Eropa termasuk hukum keluarganya juga memuat ketentuan-ketentuan tentang pengangkatan anak berlaku juga bagi golongan Timur Asing Tionghoa31.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang pengangkatan anak. Pengangkatan anak di kalangan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa merupakan suatu perbuatan hukum yang lazim dilakukan karena menurut tradisi, seorang laki-laki harus mempunyai anak laki-laki untuk melanjutkan garis keturunannya.32
Pengangkatan atas 3 (tiga) orang anak di bawah umur yang berada di bawah perwalian Nyonya Amini Nurdin masing-masing bernama Viviani, Vincent dan Vernia Everlim menggambarkan bahwa pengangkatan bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa tidak lagi mengharuskan mengangkat anak laki-laki.
31
Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 78.
Semula pengangkatan anak bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa diharuskan mengangkat anak laki-laki. Namun dalam perkembangannya dimungkinkan pengangkatan anak perempuan yaitu berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor 907/1963 tertanggal 29 Mei 1963 yang menetapkan tentang pengangkatan anak perempuan, dalam hal ini secara otomatis kedudukan anak angkat perempuan ini dipersamakan dengan anak angkat laki-laki.
Pengangkatan anak mengakibatkan putusnya hubungan keperdataan antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung,33 dan kedudukan anak angkat dipersamakan dengan anak kandung oleh orang tua yang mengangkat, sehingga apabila orangtua angkat meninggal dunia maka anak angkat berhak mewaris harta kekayaan dari orang tua angkatnya tersebut.
Akibat hukum yang timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian orangtua angkat adalah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban orangtua angkat yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian hak dan kewajiban tersebut diatur oleh hukum kewarisan.34
Hukum kewarisan memuat ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para ahli warisnya.35
33Tamakiran S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, CV. Pionir Jaya, Bandung,1992, hal. 52.
34Eman Suparman,Hukum Waris Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, 1995, hal. 1 35Hilman Hadikusuma,Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 8
Ahli waris menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri dari dua jenis, yaitu ahli waris ab intestato (menurut undang-undang) dan ahli waris
testamentair (menurut surat wasiat).36 Mengenai ahli waris, dalam KUH Perdata
digolongkan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :
1. Anak atau keturunannya dan isteri (suami) yang masih hidup;37 2. Orang tua (bapak dan ibu) dan saudara pewaris;38
3. Kakek dan nenek, atau leluhur lainnya dalam garis lurus ke atas.39 4. Sanak keluarga dalam garis kesamping sampai derajat ke enam.40
Sebagaimana diketahui bahwa masalah pengangkatan anak (adopsi) tidak diatur dalam KUH Perdata. Di dalam KUH Perdata yang diatur hanyalah pengakuan anak luar kawin, yaitu sebagaimana termuat pada BUKU I Bab XII bagian III Pasal 280 sampai dengan Pasal 289 KUH Perdata. Pengakuan anak sebagaimana terjadi dalam praktek di masyarakat dan dunia peradilan saat ini, tidak hanya terbatas pada pengakuan anak luar kawin, tetapi sudah mencakup pengakuan anak dalam arti luas.41
Pengangkatan anak dalam hukum perdata barat dikenal dengan istilah adopsi yang diatur dalamStaatsblad Tahun 1917 Nomor 129 tanggal 29 Maret 1917, yang merupakan satu-satunya pelengkap bagi KUH Perdata yang memang tidak mengatur
36Syahril Sofyan,Beberapa Dasar Teknik Pembuatan Akta (Khusus Warisan, Medan Pustaka Bangsa Press, 2010, hal. 23.
37Pasal 852 KUH Perdata
38Pasal 854, 856 dan 857 KUH Perdata 39Pasal 853 KUH Perdata
40Pasal 861 ayat 1 KUH Perdata
masalah adopsi. Adopsi yang termuat dalamStaatsblad 1917 Nomor 129 tersebut di atas hanya berlaku untuk golongan Timur Asing Tionghoa. Pasal 5 huruf a Ketentuan tentang pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 tersebut menyebutkan,
“Suami, istri atau duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis keturunan laki-laki, baik keturunan dari kelahiran atau keturunan karena pengangkatan. Orang demikian diperbolehkan mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya dari seorang janda (cerai mati) yang tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak dilarang oleh bekas suaminya dengan suatu wasiat”.
Pasal 6 Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan, “Yang boleh diangkat adalah anak tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak beranak serta tidak sedang dalam status diangkat oleh orang lain”. Pasal 7 ayat (1) Staatsblad1917 Nomor 129 menyebutkan, “ Usia anak laki-laki yang diangkat harus 18 (delapanbelas) tahun lebih muda dari suami dan 15 (limabelas) tahun lebih muda dari istri. Pasal 10
Staatsblad1917 Nomor 129 menyebutkan bahwa, “Adopsi harus dilakukan atas dasar
kata sepakat, dan pengangkatan anak harus dilakukan dengan akta notaris”. Pasal 15 ayat (1) Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan, “Suatu adopsi tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para pihak”. Pasal tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa, “Suatu perjanjian yang dibuat secara sah dapat dibatalkan dengan sepakat para pihak yang membuat perjanjian yang bersangkutan”. Secara yuridis formal, motif pengangkatan anak tidak ada ketentuannya, akan tetapi secara kultural motif pengangkatan anak dalam sistem adat tionghoa adalah agar dapat meneruskan keturunan, agar dapat menerima abu leluhur, dan sebagai pancingan agar dapat memperoleh keturunan
laki-laki. “Selanjutnya Pasal 15 ayat (2) Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan, “Pengangkatan terhadap anak perempuan dan pengangkatan dengan cara tidak membuat akta otentik batal demi hukum. Disamping itu adopsi atas tuntutan oleh pihak yang berkepentingan juga dapat dinyatakan batal demi hukum”.
Akibat hukum pengangkatan anak adalah bahwa anak angkat tersebut mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat seperti anak yang lahir dari perkawinan suami-istri yang mengangkatnya dan hubungannya dengan keluarga asal menjadi putus. Penerimaan anak angkat sebagai keluargaadoptandatang tidak hanya dari keluargaadoptan,tetapi juga dari masyarakat lingkungannya.42
Ada 3 (tiga) akibat hukum dari pengangkatan anak yaitu:43
a. Memberikan ketentuan bahwa adopsi menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama dengan anak sah dari perkawinan orang tua yang mengangkatnya
b. Adopsi menghapus semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal, kecuali dalam hal, penderajatan keluarga sedarah dan semenda dalam bidang hukum perkawinan, Ketentuan pidana didasarkan atas keturunan, perhitungan biaya perkaradan penyanderaan, mengenai pembuktian dengan saksi, mengenai saksi dalam pembuatan akta otentik. Oleh karena akibat hukum adopsi menyebabkan hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya menjadi terputus, maka hal ini berakibat pula pada hukum waris, yaitu anak angkat tersebut tidak lagi mewaris 42J.Satrio,Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Angkat Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.192-193
dari keluarga sedarah asalnya, sebaliknya sekarang mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengadopsi dirinya. Pasal 11 Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan bahwa akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak adalah, “Anak adopsi secara hukum mempunyai nama keturunan dari orang yang mengadopsi”. Selanjutnya Pasal 12 ayat (1) Staatsblad 1917 Nomor 129 menyebutkan bahwa, “Anak adopsi dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari orang yang mengadopsi. Konsekuensinya anak adopsi menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsinya”. Anak adopsi dipersamakan kedudukan dan derajatnya dengan anak sah yang lahir dari perkawinan suami-istri yang mengadopsi anak tersebut dengan segala konsekuensi hukumnya, khususnya di bidang hukum waris, dimana anak adopsi tersebut berhak mewarisi harta kekayaan orang tua yang mengadopsinya bersama-sama dengan anak sah yang dilahirkan dari perkawinan suami-istri yang mengadopsinya.44
Dalam kasus ini Viviani, Vincent dan Vernia Everlim selaku Anak Angkat yang sah diangkat berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri memiliki status dan kedudukan yang sama dengan anak kandung sehingga merupakan ahli waris golongan pertama. Artinya mereka akan menutup atau menghalangi hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya.
44 Herwando Pramanto,Hak Mewaris Anak Angkat Menurut KUH Perdata, Pustaka Ilmu, Surabaya, 2006, hal.28.
Golongan ahli waris ditetapkan secara berurutan tetapi tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan jika terdapat orang-orang dari golongan pertama, mereka itulah yang bersama-sama berhak mewaris semua harta peninggalan pewaris. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan pertama, maka orang-orang yang termasuk dalam golongan kedualah yang berhak sebagai ahli waris. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan kedua, maka orang-orang yang termasuk dalam golongan ketigalah yang berhak mewaris. Jika semua golongan ini tidak ada barulah mereka yang termasuk dalam golongan ke empat secara bertingkat berhak mewaris. Jika semua golongan ini sudah tidak ada, maka negaralah yang mewaris semua harta peninggalan pewaris.45