• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEDUDUKAN ISIS DALAM HUKUM INTERNASIONAL

C. Status dan Kedudukan ISIS dalam Hukum Internasional

Status dan kedudukan ISIS dalam hukum internasional sebelumnya selalu menjadi bahan perdebatan banyak pihak dan sebagian besar banyak pihak mengelompokkan ISIS antara sebagai suatu negara, kelompok pemberontak maupun teroris. Namun pengelompokan tersebut pun menuai pro kontra masing-masing. Pada saat publik belum mencapai kesepakatan atau konsensus bagaimana harus menyebut kelompok militan tersebut, kelompok ini melakukan hal yang menggemparkan tepatnya pada pertengahan tahun 2014 yakni dengan mengganti namanya Daulah Islamiyah atau Islamic State. Hal ini dilakukan dengan alasan sebagai wujud penegasan dari negara khilafah yakni konsep negara global yang hendak mereka tegakkan.127

a. Asumsi ISIS Sebagai Negara

Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), suatu gerakan transnasional yang berjuang menegakkan khilafah, memiliki sifat hybrida dari negara. Dengan karakteristik itu, hukum internasional menempatkannya dengan status “non-state actors“, ia menguasai dan mengontrol sebagian wilayah suatu negara, menerapkan hukumnya, memiliki militer dan merekrutnya sendiri, dan mendapatkan pendanaannya sendiri. Dengan kekuatan yang dimilikinya itu, ISIS telah menjelma menjadi kekuatan bersenjata yang mengancam keamanan dan perdamaian dunia, dengan menebar teror.128

127Geotimes, “ISIS Negara Atau Bukan?” dalam https://geotimes.id/kolom/isis-negara-atau-bukan/

diakses pada 15 Februari 2021

128 Bahasan, ”Pertanggungjawaban ISIS dari Sudut Hukum Internasional” dalam https://bahasan.id/pertanggungjawaban-isis-dari-sudut-hukum-internasional/, diakses pada 15 Februari 2021

Cita-cita ISIS adalah mendirikan Negara Islam di Iraq dan Syria (Suriah).

Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu upaya yang dilakukan adalah menyebarkan propaganda untuk mengajak seluruh umat Muslim dunia melakukan jihad dan membantu perjuangan mereka dalam mendirikan Negara Islam.129 Dari segi namanya negara baru ini meliputi dua wilayah negara yaitu negara Iraq dan Suriah. Deklarasi pendirian negara baru ini disampaikan secara langsung oleh juru bicara ISIS, yakni Abu Mohammed al-Adnani. Dalam deklarasi tersebut dinyatakan bahwa para Ahlul Halli wal-Aqdi yang terdiri dari pejabat, pemimpin, penguasa dan dewan Syura telah berbaiat atau bersumpah setia kepada Amir Khilafah yang bernama Ibrahim Awad al-Badri atau lebih dikenal dengan nama Abu Bakar al-Baghdadi. Dijelaskan pula bahwa Abu Bakar telah telah menerima janji setia dan amanah yang diberikan kepadanya. ISIS menyeru kepada seluruh umat Islam yang ada didunia untuk segera bergabung dan menerima kekhilafahan yang telah mereka dirikan.130

Dalam skripsi Muhamad Dzar Azhari Mutahhar berjudul “Status ISIS Dalam Hukum Internasional”,131 disebutkan bahwa merujuk pada syarat pendirian negara berdasarkan Konvensi Montevideo, ISIS sudah memenuhi 3 syarat dari 4 syarat yang tercantum, wilayah, penduduk, dan pemerintahan sudah dimiliki oleh ISIS.

Namun demikian ISIS tidak memenuhi unsur capacity to enter into relations with the other states karena tidak mendapatkan pengakuan dari negara manapun

129 Najamuddin Khairur Rijal, “Eksistensi dan Perkembangan ISIS: Dari Irak Hingga Indonesia” dalam https://media.neliti.com/media/publications/99666-ID-eksistensi-dan-perkembangan-isis-dari-ir.pdf diakses pada 15 Februari 2021

130 Yan Mulyana, Akim dan Deasy Silvya Sari, Op.Cit.,., Hal.20

131 Muhamad Dzar Azhari Mutahhar berjudul “Status ISIS Dalam Hukum Internasional”, Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, 2018

sebagai sebuah negara. Selain itu pemerintahan yang dilakukan ISIS belum dapat mereperentasikan penduduk yang ada dalam wilayah kekuasaannya, sehingga secara de facto maupun de jure, wilayah dan pemerintahan yang dimiliki ISIS tidak mendapatkan pengakuan.

b. Asumsi ISIS Sebagai Pemberontak

Kelompok pemberontakan dapat menjadi bagian dari subyek hukum internasional jika mendapatkan pengakuan baik itu datang dari negara tempat pemberontakan berasal ataupun dari pihak diluar konflik atau negara lain.

pengakuan atas pemberontakan atau lebih sering disebut sebagai belligerent dapat dimiliki jika kelompok pemberontakan memenuhi 4 syarat yang dijelaskan sebelumnya. Merujuk pada kasus ISIS, jika di tempatkan 4 syarat bagi suatu kelompok bersenjata untuk dapat dikategorikan sebagai belligerent, ISIS memenuhi 3 dari 4 syarat tersebut sebelumnya.132

Pertama, ISIS sebagai kelpok bersenjata memiliki keorganisasian yang jelas, hal ini terbukti dengan adanya penunjukan-penunjukan pimpinan yang spesifik pada bidang-bidang kerja tertentu, seperti di jelaskan pada pembahasannya sebelumnya.

Kedua, ISIS menggunakan penanda yang jelas bagi kombatannya serta memiliki logo dan penanda khusus sebagai pembeda,

Ketiga, ISIS melakukan rangkaian penguasaan wilayah mulai dari daerah utara Iraq hingga sebagian Syria, dan memberlakukan upaya-upaya administrasi negara seperti pemberlakuan hukum, penarikan pajak, penunjukan kepala daerah

132 Ibid.

dll. Namun ada beberapa hal yang menyebabkan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) kurang sesuai untuk dinyatakan sebagai belligerent yakni:133 a. Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) tidak memiliki keinginan untuk mentaati Hukum internasional serta melanggar Hukum Humaniter khususnya.

b. Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) menggunakan pola-pola penyerangan seperti kelompok teroris, yang sulit di indentifikasi sebagai lawan dalam konflik.

Pun untuk kelompok bersenjata diwajibkan untuk memenuhi ketentuan Hukum Humaniter Internasional seperti yang diatur pada Konvensi Jenewa.

Secara khusus dalam Common Article 3 dan Additonal Protocol 2. Sementara ISIS dalam tindakannya terlihat sama sekali tidak mengikuti Hukum Perang yang berlaku dengan membunuh tawanan perang dan sipil secara terbuka, menghancurkan cagar budaya dan serangkaian aksi lainnya.

c. Asumsi ISIS Sebagai Teroris

Terorisme merupakan sebuah istilah yang tidak mudah untuk di didefinisikan, bahkan hingga saat ini belum ada kesatuan definisi mengenai terorisme, baik dari para ahli maupun konvensi-konvensi internasional. Tidak adanya keseragaman dalam pendefinisian ini salah satunya dikarenakan terorisme merupakan objek yang dapat dilihat dari multi-perspektif, seperti politik, sosiologi, kriminologi, hubungan internasional, psikologi dan lain sebagainya. Dengan demikian maka definisi terorisme tergantung dari perspektif mana melihatnya. Selain itu, pendefinisian terorisme sangat syarat dengan kepentingan politik tertentu.134

133 Ibid.

134 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme : Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Jakarta : Graha Ilmu, 2012, Hal. 57.

Terorisme dalam bahasa Inggris disebut "terrorism" yang berasal dari kata

"terror", dan pelakunya disebut "terrorist". Berdasarkan Oxford Paperback Dictionary, "terror" secara bahasa diartikan sebagai “extreme fear" (ketakutan yang luar biasa), "terrifying person or thing (seseorang atau sesuatu yang mengerikan). Sedangkan "terrorism" berarti "use of violence and intimidation, especially for political purposes". Senada dengan pengertian di atas, Black's Law Dictionary mendefinisikan terorisme sebagai "the use or threat of violence to intimidate or cause panic, esp as a means of affecting political conduct."135

Dalam pembahasan untuk merumuskan definisi terorisme, Komisi Hukum Asosiasi PBB-AS mempunyai beberapa alternatif definisi yang diambil dari beberapa sumber untuk diusulkan, yaitu:

1) League of Nations Convention (1937) mendefinisikan terorisme sebagai segala bentuk kejahatan yang ditujukan langsung kepada figara dengan maksud umtuk menciptakan bentuk teror kepada orang-orang tertentu, kelompok orang atau masyarakat luas.

2) UN Resolution Language (1999) menyatakan :

a) Mengutuk keras seluruh tindakan, metode, dan praktik atau terorisme sebagai kejahatan yang tidak dapat dibenarkan di manapun dan siapapun yang melakukan

b) Terorisme merupakan kejahatan yang dimaksudkan atau di perhitungkan untuk menimbulkan keadaan teror terhadap masyarakat umum, sekelompok orang atau orang-orang tertentu

135 Ibid., Hal. 61.

untuk tujuan politik dalam keadaan apapun yang tidak dapat dibenarkan baik yang didasarkan pertimbangan politis, filosofis, ideologis, ras, etnis, agama atau apapun yang mungkin dipakai sebagai alasan pembenar.

3) A.P. Schmid menyatakan bahwa "war crimes are usually defined as deliberate attacks on civilians, hostage taking, and the killing of prisoners”. Berdasarkan pernyataan tersebut, ia mendefinisikan terorisme sebagai kejahatan perang yang biasanya didefinisikan sebagai serangan yang disengaja terhadap penduduk sipil. penyanderaan, dan pembunuhan tahanan.

4) Berdasarkan konsensus akademik (1988), terorisme meru pakan metode yang menimbulkan kecemasan dan dilakukan melalui aksi kekerasan secara berulang-ulang, yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau aktor-aktor negara, untuk alasan kriminal atau politik. Meskipun terorisme dapat menghilangkan nyawa tetapi berbeda dengan pembunuhan biasa karena dalam terorisme objek yang menjadi sasaran langsung bukan merupakan target utama. Manusia yang menjadi korban langsung pada umumnya dipilih secara acak atau selektif dari populasi yang menjadi target, dan pemilihan ini dijadikan sebagai penggerak pesan yang dimaksud. Ancaman yang didasarkan pada proses komunikasi berbasis kekerasan antara teroris, korban yang diancam, dan sasaran utama digunakan untuk memanipulasi target utama, mengubahnya menjadi target teror, target tuntutan, atau target

perhatian, tergantung pada apakah intimidasi, pemaksaan, atau propaganda utama yang dicari.

5) Departemen Pertahanan United State mendefinisikan teror isme sebagai kekerasan atau ancaman kekerasan yang digunakan untuk menanamkan rasa takut, dimaksudkan untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dalam mengejar tujuan yang umumnya politik, agama, atau ideologi.136

Untuk menghindarkan dari bias antara terorisme dengan kriminal biasa maka setidaknya ada lima pembatasan dalam mengkategorikan suatu tindakan atau aksi yaitu:

i. Ineluctability political in aim and motive (membawa tujuan politis dalam setiap motif tindakannya),

ii. Violence or equally important threatens violence (ada unsur kekerasan atau yang paling penting ancaman penggunaan kekerasan).

iii. Designed to have far-reaching psychological repercussions beyond the immediate victim or target (dirancang untuk dapat mempunyai efek psikologis yang luas yang berakibat terhadap pihak yang di luar korban maupun targetnya langsung).

iv. Conducted either by an organization with an identifiable chain of command or conspiratorial cell structure (whose members wear no uniform or identifying insignia) or by individuals or a small collection of individuals directly influenced, motivated, or inspired by the

136 Ibid., Hal. 62-63.

ideological aims or example of some existent terrorist movement and/or its leaders (dilakukan baik oleh suatu organisasi dengan identitas rantai komando atau struktur sel kelompok anggota yang tidak mengenakan seragam atau lencana identifikasi) atau oleh individu atau kumpulan kecil individu langsung dipengaruhi, termotivasi, atau diilhami oleh tujuan ideologis atau contoh dari beberapa ada gerakan teroris dan/atau para pemimpinnya.

v. Perpetrated by a subnational group or nonstate entity (dilakukan oleh kelompok subnasional atau entitas non negara).137

Tidak adanya definisi yang digunakan secara umum tidak lantas menghentikan PBB untuk membuat legislasi yang bertujuan melakukan pencegahan terhadap tindakan yang “menurut pandangan umum” dipandang sebagai terorisme.

Beberapa instrumen hukum telah dikeluarkan untuk menetapkan rezim hukum yang mendefinisikan, mencegah dan melawan terorisme dalam berbagai bentuk dan kondisi hingga tahun 2008 terdapat 30 instrumen hukum internasional terkait terorisme yang meliputi 16 instrumen universal (13 instrumen dan 3 amandemen) dan 14 instrumen regional, antara lain:138

1) Internasional Convention for Suppression of Terrorist Bombing, disepakati di New York pada tahun 1997,

2) Convention for The Suppression of the Financing Terrorism disepakati di New York pada tanggal 9 desember 1999,

137 Angga Nurdin Rahmat, Keamanan Global ; Transformasi Isu Keamanan Pasca Perang Dingin, Bandung : Alfabeta, 2015, Hal. 98

138 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, Op.Cit.,., Hal 58-61

3) Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft, ditandatangani di Tokyo pada 14 September 1963

4) Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft, ditandatangani di Den Haag pada 16 December 1970

5) Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation, ditandatangani di Montreal pada 23 September 1971

6) Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving International Civil Aviation (pelengkap dari Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation), ditandatangani di Montreal pada 24 February 1988

7) Convention on the Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons, including Diplomatic Agents, diadopsi oleh General Assembly PBB pada 14 December 1973

8) International Convention against the Taking of Hostages, diadopsi oleh General Assembly PBB pada 17 December 1979

9) Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, ditandatangani di Vienna di 3 Maret 1980

10) Amendment to the Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, dilakukan di Vienna pada 8 Juli 2005

11) Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Maritime Navigation, dilaksanakan di Roma pada 10 Maret 1988

12) Protocol of 2005 to the Convention for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Maritime Navigation, dilaksanakan di London pada 14 Oktober 2005

13) Protocol for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf, dilaksanakan di Roma di 10 Maret 1988

14) Protocol of to the Protocol for the Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf 2005, dilaksanakan di London pada 14 Oktober 2005

15) Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection, ditandatangani di Montreal pada 1 Maret 1991

16) International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings, diadopsi oleh General Assembly PBB pada 15 Desember 1997

17) International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, diadopsi oleh General Assembly PBB pada 9 Desember 1999 18) International Convention for the Suppression of Acts of Nuclear Terrorism,

diadopsi oleh General Assembly PBB pada 13 April 2005

19) Arab Convention on the Suppression of Terrorism, ditandatangani dalam pertemuan the General Secretariat of the League of Arab States, Kairo, pada 22 April 1998

20) Convention of the Organization of the Islamic Conference on Combating International Terrorism, diadopsi pada 1 Juli 1999

21) European Convention on the Suppression of Terrorism, disimpulkan di Strasbourg pada 27 Januari 1977

22) Protocol amending the European Convention on the Suppression of Terrorism, diadopsi di Strasbourg, pada 15 Mei 2003

23) OAS Convention to Prevent and Punish Acts of Terrorism Taking the Form of Crimes against Persons and Related Extortion that are of International Significance, disimpulkan di Washington, D.C., pada 02 February 1971. 22.

OAU Convention on the Prevention and Combating of Terrorism, diadopsi di Algiers pada 14 Juli 1999

24) Protocol to the OAU Convention on the Prevention and Combating of Terrorism, diadopsi di Addis Ababa pada 8 Juli 2004

25) South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) Regional Convention on Suppression of Terrorism, ditandatangani di Kathmandu pada 4 November 1987

26) Additional Protocol to the SAARC Regional Convention on Suppression of Terrorism, diadopsi di Islamabad pada 6 Januari 2004

27) Shanghai Convention on Combating Terrorism, Separatism and Extremism, diadopsi di Shanghai pada 15 Juni 2001

28) Treaty on Cooperation among States Members of the Commonwealth of Independent States in Combating Terrorism, dilaksanakan di Minsk pada 4 Juni 1999

29) Inter-American Convention against Terrorism, diadopsi di Bridgetown pada 3 Juni 2002

30) Council of Europe Convention on the Prevention of Terrorism, diadopsi di Warsaw pada 16 Mei 2005

31) Council of Europe Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime and on the Financing of Terrorism, diadopsi di Warsaw pada 16 Mei 2005.

32) Council of Europe Convention on Laundering, Search, Seizure and Confiscation of the Proceeds from Crime and on the Financing of Terrorism, diadopsi di Warsaw pada 16 Mei 2005,

33) Convention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International Terrorism, ditandatangani pada 1 Juli 1999

34) ASEAN Declaration on joint action to Counter Terrorism ditandatangani tahun 2001

35) ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) ditandatangani tahun 2007

Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2178 tahun 2014, ISIS akhirnya dinyatakan sebagai organisasi teroris. Di dalam resolusi dinyatakan secara jelas salah satunya sebagai berikut : 139

“Directs the Committee established pursuant to resolution 1267 (1999)and 1989 (2011)and the Analytical Support and Sanctions Monitoring Team, in close cooperation with all relevant United Nations counterterrorism bodies, in particular CTED, to devote special focus to the threat posedby foreignterrorist

139 Muhamad Dzar Azhari Mutahhar , Op.Cit.,., Hal. 68

fighters recruited by or joining ISIL, ANF and all groups,undertakings and entities associated with Al-Qaida”.

Melalui resolusi ini, Islamic State of Iraq and Levant (ISIL), Al-Nusra Front (ANF) dan kelompok teroris lainnya yang memiliki hubungan dengan kelompok Al-Qaida dinyatakan sebagai teroris sehingga perlu dilakukan tindakan counter-terrorism.140

Pun dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2249 tahun 2015 menyatakan sebagai berikut :

“Calls upon Member States that have the capacity to do so to take all necessary measures, in compliance with international law, in particular with the United Nations Charter, as well as international human rights, refugee and humanitarian law, on the territory under the control of ISIL also known as Da’esh, in Syria and Iraq, to redouble and coordinate their efforts to prevent and suppress terrorist acts committed specifically by ISIL also known as Da’esh as well as ANF, and all other individuals, groups, undertakings, and entities associated with Al Qaeda, and other terrorist groups, as designated by the United Nations Security Council, and as may further be agreed by the International Syria Support Group (ISSG) and endorsed by the UN Security Council, pursuant to the Statement of the International Syria Support Group (ISSG) of 14 November, and to eradicate the safe haven they have established over significant parts of Iraq and Syria;”141

140 Ibid.

141 Ibid.

(Menyerukan kepada Negara Anggota yang memiliki kapasitas untuk melakukannya agar mengambil semua tindakan yang diperlukan, sesuai dengan hukum internasional, khususnya dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta hak asasi manusia internasional, pengungsi dan hukum humaniter, di wilayah di bawah kendali ISIL juga dikenal sebagai Da'esh, di Suriah dan Iraq, untuk melipatgandakan dan mengkoordinasikan upaya mereka untuk mencegah dan menekan tindakan teroris yang dilakukan secara khusus oleh ISIL yang juga dikenal sebagai Da'esh serta ANF, dan semua individu, kelompok, usaha, dan entitas yang terkait dengan Al Qaeda, dan kelompok teroris lainnya, sebagaimana ditentukan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan yang selanjutnya dapat disepakati oleh Kelompok Dukungan Suriah Internasional (ISSG) dan didukung oleh Dewan Keamanan PBB, sesuai dengan Pernyataan Kelompok Dukungan Suriah Internasional (ISSG) tanggal 14 November, dan untuk memberantas tempat berlindung yang telah mereka dirikan di sebagian besar wilayah Iraq dan Suriah).

Dalam frasa “calls upon Member States that have the capacity to do so to take all necessary measures” menyatakan bahwa segala tindakan boleh di ambil, dalam kenyataan yang terjadi segala tindakan akan termasuk didalamnnya tindakan berupa tindakan militer, mengingat dalam upaya yang dilakukan sebelumnnya oleh Amerika Serikat dan sekutunya telah dilakukan, terutama dalam betuk rangkaian operasi-operasi militer.142

142 Ibid.

Tabel 2.1 Unsur-unsur Teroris menurut Konvensi PBB Tahun 1937 dan Ciri-ciri yang Terpenuhi dan Tidak Terpenuhi oleh ISIS

No untuk menggulingkan Presiden Bashar al-Assad. massif dan sistematis melakukan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap kelompok minoritas termasuk warga Kristen Iraq dan Suriah serta etnis Yazidi. ISIS juga melancarkan serangan pada negara lain seperti melancarkan serangan penembakan pada 2 orang, dan sejumlah serangan lain sebagai bentuk terror

Tabel 2.2 Unsur-unsur Teroris menurut Konvensi ASEAN Mengenai Pemberantasan Terorisme dan Ciri-ciri yang Terpenuhi dan Tidak

Terpenuhi oleh ISIS negara-negara di Arab bahkan hingga ke Eropa, contohnya :

Pada Januari 2015 melakukan pembunuhan di kantor majalah Charlie Hebdo dan pengepungan bunuh diri di bandara dan metro Brussels, 32 meninggal,

Pada 14 Juli 2016 - Lebih 80 orang terbunuh karena sebuah truk menyerang kerumunan di Nice, pada 18-24 Juli 2016 melakukan serangan di sejumlah tempat di Jerman, 10 tewas, Pada 26 Juli 2016 melakukan penikaman terhadap Pendera Fr Jacques Hamel di gereja terdapat sekitar 66.000 jiwa yang tewas akibat serangan ISIS.

Para korban tersebut termasuk para penduduk sipil, anak-anak

dan perempuan.

menimbulkan ketakutan global karena telah meluas dan menyerang banyak negara melalui para militannya

4 Hilangnya kemerdekaan Pada tahun 2019 sekitar 1.2 juta warga Iraq yang terpaksa

5 Menyebabkan kerugian harta benda

Pada rentang waktu 2012-2015 ISIS melakukan 25 penculikan terhadap orang asing untuk pribadi hingga ratusan situs arkeologi. Pada tahun 2013, ISIS berhasil menjarah $450 juta uang tunai serta emas dari bank sentral di wilayah Mosul.

Tindakan-tindakan ISIS jika di hubungkan dengan unsur-unsur tindak pidana terorisme maka apa yang dilakukan oleh ISIS sudah dapat dikatakan memenuhi unsur tindakan terorisme, yaitu : 143

a) Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.

b) Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.

c) Menggunakan kekerasan.

143 Ibid.

d) Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah.

e) Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.

Hukum perang melalui Konvensi Jenewa tahun 1949 dengan tegas menyatakan untuk melindungi tawanan, korban, dan pengungsi yang diakibatkan oleh perang, dan melarang perusakan atas segala peninggalan budaya. Hal yang dilakukan oleh ISIS sangat jelas menentang kebiasaan internasional. Berdasarkan tindakan-tindakan yang dilakukan ISIS dengan berbagai aksi teror dan ketidakpatuhan pada hukum yang ada beberapa ahli dan melalui PBB menyatakan

Hukum perang melalui Konvensi Jenewa tahun 1949 dengan tegas menyatakan untuk melindungi tawanan, korban, dan pengungsi yang diakibatkan oleh perang, dan melarang perusakan atas segala peninggalan budaya. Hal yang dilakukan oleh ISIS sangat jelas menentang kebiasaan internasional. Berdasarkan tindakan-tindakan yang dilakukan ISIS dengan berbagai aksi teror dan ketidakpatuhan pada hukum yang ada beberapa ahli dan melalui PBB menyatakan

Dokumen terkait