2.2 STATUS GIZI
2.2.4 STATUS GIZI PADA ANAK DENGAN LLA
Nutrisi merupakan bagian yang penting pada penatalaksanaan kanker, baik pada pasien yang mejalani terapi, pemulihan terapi, keadaan remisi maupun untuk mencegah kekambuhan. Status nutrisi pada pasien kanker diketahui berhubungan dengan respon terapi, prognosis dan kualitas hidup. Kurang lebih 30-87% pasien kanker mengalami malnutrisi yang berhubungan dengan kanker sebelum menjalani terapi. Selain itu diperkirakan bahwa 20% pasien kanker meninggal tiap tahunnya akibat malnutrisi dan kaheksia yang berhubungan dengan kanker atau disebut kaheksia kanker (Sutandyo dan Ririn, 2014).
Status gizi pada anak-anak dengan kanker perlu ditingkatkan untuk mendorong tercapainya sebuah remisi. Di negara berkembang, anak-anak yang kekurangan gizi dengan kanker memiliki risiko yang jauh lebih besar untuk mengalami malnutrisi berat (Antillon et al., 2013). Masalah gizi kurang atau keadaan malnutrisi merupakan masalah yang paling sering ditemui pada anak dengan kanker (Nasar et al., 2014).
Malnutrisi merupakan komplikasi yang umum pada anak-anak dengan kanker dengan variasi dari 8% hingga 60% terkait dengan diagnosis, perjalanan klinis penyakit dan teknik pengukuran. Komplikasi infeksi lebih sering terjadi pada pasien malnutrisi pada tiga bulan pertama dan patients survival yang kekurangan gizi pada bulan ke-6 daripada anak-anak dengan gizi baik. Anak-anak memiliki risiko lebih tinggi untuk malnutrisi dibandingkan dewasa. Hal ini disebabkan karena mereka memiliki metabolisme yang lebih cepat dan kebutuhan kalori dalam jumlah tinggi untuk pertumbuhan dan perkembangan (Gökçebay et al., 2015).
Kanker dapat menyebabkan efek merugikan yang berat bagi status gizi. Hal ini dapat disebabkan baik oleh penyakit kanker itu sendiri maupun pengobatannya serta akibat fisiologis dari kanker dapat mengganggu dalam mempertahankan kecukupan gizi. Beberapa efek potensial dari kanker terhadap gizi, yaitu sebagai berikut.
Kehilangan berat badan yang diakibatkan oleh:
a.Berkurangnya asupan makanan yang masuk
Hal ini mungkin disebabkan oleh induksi dari perubahan kadar neotransmitter (serotin) pada SSP, peningkatan kadar asam laktat yang diproduksi oleh metabolisme anaerob, metode metabolisme yang disenangi oleh tumor; stres psikologis, disguesia (perubahan dalam pengecapan), dan tidak suka terhadap makanan tertentu. Sekitar 70% dari pasien kanker mengalami keengganan atau tidak suka pada makanan tertentu, karena perubahan ambang pengecapan terhadap beberapa komponen bau dan rasa.
b.Meningkatnya kecepatan basal metabolisme
c. Meningkatnya glukoneogenesis (produksi glukosa dengan pecahan glikogen, lemak, dan protein tubuh) yang disebabkan oleh ketergantungan tumor pada metabolisme anaerob.
d. Penurunan sintesis protein tubuh “kaheksia kanker” adalah bentuk malnutrisi berat yang ditandai dengan anoreksia, cepat kenyang, penurunan berat badan, anemia, lemah, kehilangan otot (Caderholm et al., 2015).
Kaheksia adalah keadaan malnutrisi yang parah yang ditandai oleh anoreksia, penurunan berat badan, pengecilan otot, dan anemia. Pola penurunan berat badan dan perubahan komposisi tubuh pada pasien dengan penyakit penting untuk dipertimbangkan, karena perbedaan hilangnya lemak tubuh dibandingkan massa bebas lemak menyiratkan etiologi dan prognosis malnutrisi yang berbeda (Ballal et al.,2015). Hal ini disebabkan oleh adanya peranan sitokin seperti IL-1α, IL-1β, dan IL-6 yang dihasilkan oleh jaringan tumor, sel stroma, sistem imun selain itu juga disebabkan TNF- α, dan INF-γ (Bauer et al., 2011).
Sitokin-sitokin tersebut akan mempengaruhi asupan makanan dan penggunaan energi sehingga menyebabkan gejala klinis dari kaheksia. Sitokin akan dibawa melewati blood-brain barier dan berinteraksi dengan sel endotel yang berada di permukaan lumen otak yang menyebabkan suatu substansi dikeluakan dan mempengaruhi selera makan (Bauer et al., 2011).
Reseptor TNF- α dan IL-1 ditemukan berada di daerah hipotalamus, yang berperan dalam pengaturan nafsu makan. Semua sitokin ini akan menyebabkan terjadinya anoreksia. Selain itu, prostaglandin juga berperan sebagai mediator penekan nafsu makan (Tisdale, 2009).
Penyebab Malnutrisi pada pasien kanker A. Anoreksia
Anoreksia sering dijumpai pada pasien kanker (Argiles et al., 2010), dengan insiden 15%-40% pada saat didiagnosis. Anoreksia merupakan penyebab utama terjadinya kaheksia pada pasien kanker. Penyebab dan mekanisme anoreksia pada pasien kanker sampai sekarang belum diketahui secara jelas. Produk metabolit kanker juga dapat menyebabkan anoreksia dan perubahan rasa kecap. Stres psikologis yang terjadi pada pasien kanker memegang peran penting dalam terjadinya anoreksia. Obstruksi mekanik pada traktus gastrointestinal, nyeri, depresi, konstipasi, malabsorbsi, efek samping pengobatan seperti opiat, radioterapi dan kemoterapi dapat menurunkan asupan makanan. Pengobatan dengan anti kanker juga penyebab tersering terjadinya malnutrisi. Kemoterapi dapat menyebabkan mual, muntah, kram perut dan kembung, mukositis dan ileus paralitik. Beberapa antineoplastik seperti fluorourasil, adriamisin, metotreksat dan cisplatin menginduksi komplikasi gastrointestinal yang berat (Marischa et al., 2017).
B. Perubahan Metabolisme
Pada pasien kanker metabolisme karbohidrat, protein dan lemak mengalami perubahan dan berpengaruh pada terjadinya penurunan berat badan.
Hipermetabolisme sering terjadi pada pasien kanker, peningkatan metabolisme ini 50% lebih tinggi dibandingkan pasien bukan kanker. Tetapi peningkatan metabolisme tersebut tidak terjadi pada semua pasien kanker. Beberapa penelitian melaporkan peningkatan metabolisme ini berhubungan dengan penurunan status gizi dan jenis serta besar tumor. Pada orang normal kecepatan metabolisme
menurun selama starvasi sebagai proses adaptasi normal tetapi pada pasien kanker proses tersebut tidak terjadi (Aoyagi et al., 2015).
Metabolisme Protein
Pada kondisi starvasi, penggunaan glukosa untuk otak digantikan dengan keton yang merupakan hasil pemecahan lemak. Protein otot dan protein visceral dipergunakan sebagai prekursor glukoneogenesis sehingga terjadi penurunan katabolisme protein dan penurunan glukoneogenesis dari asam amino di hati. Pada pasien kanker, asam amino tidak disimpan sehingga terjadi deplesi dari massa otot dan pada sebagian pasien terjadi atrofi otot yang berat. Kehilangan massa otot merupakan akibat dari peningkatan degradasi protein dan penurunan sintesis protein karena digunakan untuk pembentukan protein fase akut dan glukoneogenesis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa asam amino rantai cabang (AARC) dapat meregulasi sintesis protein secara langsung dengan memodulasi translasi mRNA (Arends et al., 2014).
Proteolysis-inducing factor (PIF) merupakan glikoprotein sulfat yang dapat mengaktivasi jalur proteolisis. Kehilangan massa otot pada pasien kanker dan hewan coba dengan kaheksia menunjukkan korelasi dengan adanya PIF di dalam serum yang mampu menginduksi secara seimbang degradasi protein dan penghambatan sintesis protein. Proteolysis-inducing factor dihasilkan khususnya pada pasien kanker kaheksia, dimana di dalam urin pasien kanker kaheksia dapat ditemukan adanya PIF, sedangkan pada urin pasien dengan kondisi kehilangan BB seperti luka bakar, multiple injuries, pasien bedah dengan katabolisme berat dan pada sepsis, PIF tidak ditemukan (Donohoe et al., 2011).
Metabolisme Lipid
Pada pasien kanker terjadi perubahan mobilisasi lipid berupa, penurunan lipogenesis, penurunan aktivitas lipoprotein lipase (LPL) dan peningkatan lipolisis. Peningkatan lipolisis disebabkan oleh peningkatan hormon epinefrin, glukagon, adrenocorticotropic hormone (ACTH) yang dimediasi melalui cyclic adenosine monophosphate (c-AMP). Cyclic adenosine monophosphate akan mengaktivasi hormone sensitive lipase (HSL) yang selanjutnya akan
mengkonversi satu molekul trigliserida menjadi tiga molekul asam lemak bebas dan satu molekul gliserol. Penurunan aktivitas LPL disebabkan oleh sitokin pro inflamasi TNF-α, INF-γ dan IL-1β yang mencegah penyimpanan asam lemak pada jaringan adiposa dan menyebabkan peningkatan kadar asam lemak bebas dan gliserol dalam sirkulasi (Fearon et al., 2012).
Penurunan berat badan yang terjadi terus menerus pada pasien kanker disebabkan oleh adanya penurunan intake energi ataupun peningkatan pengeluaran energi. Produksi insulin pada pasien kanker akan menurun, rendahnya produksi insulin tubuh selanjutnya dapat menyebabkan meningkatnya kadar glukosa darah. Tingginya kadar glukosa darah selanjutnya dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan pasien. Oleh sebab itu, makan pagi merupakan waktu makan yang tepat dibandingkan waktu makan lainnya karena pagi hari keadaan kadar glukosa darah adalah yang terendah. Toleransi kadar glukosa mempengaruhi fungsi gastrointestinal, karena kadar glukosa darah yang tinggi dapat memperlambat gerakan peristaltik di lambung. Hal ini selanjutnya dapat menyebabkan pasien kanker merasa cepat kenyang dan tidak nafsu makan (Aoyagi et al., 2015).
Menurut penelitian Malihi et al. (2014) ditemukan penurunan berat badan selama kemoterapi masa induksi pertama pada pasien LLA maupun leukemia mieloblastik akut walaupun tidak adanya perubahan yang signifikan. Penurunan berat badan terjadi pada bulan pertama kemoterapi. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa status gizi yang memburuk dapat disebabkan oleh penyakit itu sendiri daripada efek samping dari pengobatannya. Malnutrisi pada anak-anak dengan kanker menyebabkan penurunan toleransi dan peningkatan komplikasi kemoterapi selanjutnya. Malnutrisi banyak terjadi pada anak-anak dengan LLA di India dan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya komplikasi yang mengancam jiwa dan hasil jangka pendek pada anak-anak ini (Linga et al.,2012).
Pada penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa anak-anak dengan kanker akan memiliki tanda dan gejala malnutrisi pada beberapa fase dalam perjalanan penyakit hingga 50-60 kasus. Dalam kelompok pasien dengan LLA yang kekurangan gizi pada saat diagnosis, ditemukan bahwa kemoterapi lebih toksik
dan kurang efektif dibandingkan dengan status gizi yang memadai, khususnya toksisitas hematologis adalah penyebab sebagian besar komplikasi, seperti peningkatan risiko untuk terjadinya infeksi, perdarahan dan peningkatan risiko kambuh karena netropenia, trombositopenia, dan penghentian pengobatan (Maldonado-Alcazar et al., 2013).
Malnutrisi dapat menyebabkan toleransi yang buruk terhadap pengobatan dan prognosis yang terganggu, dengan sekitar sepertiga dari mereka meninggal pada tahun pertama karena komplikasi terkait. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi, yang biasa digunakan dalam terapi kanker pediatrik, dapat menyebabkan masalah sekunder utama, yang sebagian besar memengaruhi status gizi termasuk stomatitis, diare, mual, muntah, malabsorpsi, kehilangan darah (anemia), ileus (terutama masalah sekunder akibat vinkristin atau opiat) dan xerostomia (Gaynor dan Sullivan, 2015).
Penurunan atau kenaikan berat badan disebabkan oleh ketidakseimbangan energi, dimana asupan energi berbeda dari Total Expenditure Energy (TEE).
Penurunan berat badan akan terjadi ketika salah satu komponen TEE lebih tinggi dari yang diharapkan dan tidak diimbangi dengan peningkatan asupan energi.
Kenaikan berat badan terjadi ketika asupan energi melebihi TEE. Meskipun peningkatan asupan energi adalah alasan paling umum untuk kelebihan berat badan, pengurangan energi aktivitas juga telah terlibat dalam pengembangan obesitas (Ballal et al.,2015).
Depresi Keletihan
Diagnostik Fase puasa
Gambar 2.3 Penyebab malnutrisi pada pasien kanker (Yasin, 2015).
Absorpsi terganggu
Kekurangan asupan makroturien danmikronutrien
Kerusakan mekanik Kurang
aktivitas
Malnutrisi/kaheksia
Gangguan Metabolik
Metabolisme protein ; pemecahan protein otot ; Laju lipolisis dan okidasi lipid ; metabolisme glukosa
;oksidasi glukosa ;glukoneogenesis asam amino dan laktat Anoreksia
Sitokin TNF α, IL 1,6
Kompetisi inang/kanker Produk spesifik kanker Ketidakseimbangan antara asupan dan konsumsi energi (metabolism protein, lipid, karbohidrat)
Hipotalamus
Terapi kanker
Kanker
2.3 KERANGKA TEORI DAN KONSEP