• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Hukum BUMDes

Dalam dokumen BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISA (Halaman 34-44)

2.2. Hasil Penelitian dan Analisa

2.2.2. Status Hukum BUMDes

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pada dasarnya pola kegiatan ekonomi yang beraku di Indonesia perlu memiliki status badan hukum guna kelancaran berjalannya kegiatan usaha tersebut serta mendapatkan perlindungan hukum yang konsisten. Pembangunan ekonomi yang diselenggarakan oleh suatu negara bangsa dewasa ini harus dilihat sebagai upaya terencana, terprogram, sistematik, dan berkelanjutan dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan mutu

hidup seluruh warga masyarakat.38

Lahirnya BUMDesa yang didasarkan sesuai dengan Pasal 213 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah yang menjelaskan bahwa desa dapat mendirikan badan usaha milik desa yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang kemudian dalam penjelasan Pasal 213 tersebut menjelaskan bahwa BUMDes adalah badan hukum. Dalam hal tersebut dapat kita pahami bahwa perlu adanya peraturan hukum yang konkrit yang mengatur mengenai status hukum BUMDes.

Maka dalam hal tersebut adanya beberapa landasan yuridis mengenai status hukum BUMDes tersebut. Pertama, dalam UU Desa Pasal 87 menjelaskan

38 Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi, dan Strateginya, Cet.4, Bumi Aksara, Jakarta, 2005, hlm. 77.

47

bahwa desa dapat mendirikan BUMDes yang dikelola dengan semangat kekeuargaan dan kegotongroyongan serta dapat menjalankan usaha dibidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam UU Desa tersebut menjelaskan bahwa pendirian BUMDes tersebut lebih lanjut di atur dalam Peraturan Desa. Hal ini diharapkan bahwa adanya peraturan yang lebih konkrit dalam Peraturan Desa. Kedua, dalam PP No. 43 Tahun 2014 pada dasarnya dalam peraturan tersebut menjelaskan lebih banyak mengenai BUMDes dalam Pasal 132 s/d Pasal 142. Namun peraturan mengenai status hukum BUMDes dalam Pasal 142 menjelaskan bahwa pendirian, pengurusan dan pengelolaan serta pembubaran BUMDes diatur dalam Peraturan Menteri. Tidak hanya berhenti pada PP No. 43/2014, adanya perubahan peraturan yaitu dalam PP No. 47 Tahun 2015 yang kemudian kembali adanya perubahan peraturan dalam PP No. 11 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan atas UU Desa. Namun dengan adanya beberapa perubahan tersebut mengenai pendirian BUMDes serta status hukum BUMDes kembali tidak dijelaskan secara konkrit. Peraturan mengenai status hukum serta pendirian BUMDes tersebut tetap menjelaskan bahwa peraturan pendirian BUMDes tersebut mengacu pada Peraturan Menteri. Ketiga, dalam Permendesa No. 4 Tahun 2015 yang mengatur tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa, menjelaskan mengenai tata cara pendirian BUMDes seperti yang telah diuraikan dalam kajian sebelumnya. Dalam Permendesa No. 4/2015 ini dalam Pasal 7 menjelaskan bahwa BUMDes dapat terdiri dari unit-unit usaha yang berbadan hukum. Unit-unit usaha tersebut meliputi Perseroan Terbatas dan Lembaga Keuangan Mikro. Yang kemudian pengaturan mengenai status hukum

48

BUMDes tersebut dalam Permendesa No. 4/2015 menjelaskan bahwa selanjutnya pedoman pendirian BUMDes diatur dalam Peraturan Desa.

Maka dalam hal tersebut penulis akan menguraikan mengenai status hukum BUMDes dalam 2 (dua) pandangan. Pertama, berdasarkan Teori Penetapan Dasar Hukum Pendiriannya yaitu status badan hukum secara otomatis ada sejak dasar hukum pendirian suatu badan hukum diberlakukan. Dalam hal tersebut BUMDes memperoleh status badan hukum dengan adanya diterbitkan Peraturan Desa yang mengatur mengenai pendirian BUMDes tersebut. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 88 UU No.6/2014 jo Pasal 132 PP No.43/2014 yang menjelaskan bahwa BUMDes memperoleh status badan hukum ketika disahkan-nya Peraturan Desa tentang pendirian BUMDes tersebut. Dengan adadisahkan-nya Peraturan Desa tersebut akan menjelaskan mengenai pendirian BUMDes serta diharapkan akan mengatur mengenai status hukum BUMDes tersebut. Kedua, berdasarkan dengan Teori Persetujuan (Approval Theory) dalam tulisan yang berjudul “The Mediational Approval Theory of Law in American Legal Realism”

yang ditulis oleh F. S. C. Northrop menuliskan bahwa:39

“by the approval theory of will be meant any theory of law which

rests upon the approval theory of ethics. The approval theory of ethics may be defined as follows: The sentences “x is good” and “p approves of x” are mutually substitutable the one for the other. The dependence of Anglo-American legal positivism upon the approval theory of ethics has been generally recognized.”

Dari teori persetujuan ini menjelaskan bahwa dari teori persetujuan dalam lingkup ilmu hukum akan bertumpu pada etika teori persetujuan. Dalam uraian diatas mengibaratkan dalam kata “x adalah baik” yang kemudian “p menyetujui

39

https://heinonline.org/HOL/LandingPage?handle=hein.journals/valr44&div=38&id=&page=&t=1 556127240, diakses pada tgl. 25 April 2019, pukul 21:33.

49

x”. Ketergantungan positivisme hukum Anglo-American atas teori persetujuan ini pada umumnya telah diakui. Teori ini mengacu pada pentingnya persetujuan dari Pemerintah berserta dengan Kementerian yang berwenang dalam pengesahan status hukum tersebut.

Maka dalam hal tersebut penulis menganggap bahwa status hukum BUMDes ini semestinya mengacu pada Teori Persetujuan. Sesuai dengan teori persetujuan ini badan hukum lahir sejak proses pendiriannya disetujui oleh Pemerintah atau negara, seperti yang sudah berlaku saat ini yaitu untuk PT, Koperasi, Yayasan, Perusahaan Perseroan/Persero, Perusahaan Perseroan Daerah/Persero Daerah. Karna pada dasarnya BUMDes ini diharapkan dapat berjalan dengan optimal sehingga pengelolaan BUMDes ini dapat setara kinerjanya dengan BUMN serta BUMD. Karna dalam hal tersebut BUMN maupun BUMD disahkan dengan adanya Peraturan Pemerintah dan pengesahan dari Kementerian Hukum & HAM (selanjutnya disebut Kemenkumham). Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya persetujuan dari Kemenkumham ini akan menjadi dasar hukum. Maka dalam hal tersebut sesuai dengan teori persetujuan ini menunjukkan bahwa pentingnya adanya persetujuan antara kedua belah pihak. Apabila teori ini tidak diterapkan pada pendirian BUMDes maka pendiriannya tidak dapat dikatakan sah. Memang pada dasarnya dengan adanya UU Desa ini menuntut desa untuk dapat mengurus rumah tangga sendiri namun dalam hal pendirian BUMDes, layaknya seperti BUMN dan BUMD penting adanya pengakuan serta persetujuan sahnya BUMDes dari pihak Pemerintah maupun Kemenkumham berdasarkan teori persetujuan tersebut. Maka apabila adanya peraturan yang menjadi dasar hukum bahwa BUMDes ini merupakan badan

50

hukum yang akan disahkan oleh Kemenkumham layaknya BUMN dan BUMD ini maka BUMDes pada dasarnya dapat disebut sebagai badan hukum. Disamping itu pentingnya penerapan teori persetujuan ini dalam pengesahan status hukum BUMDes ini memiliki peran penting pula pada teori badan hukum yaitu badan hukum merupakan rechtperson yang memiliki wewenang untuk mewakili suatu badan usaha baik diluar pengadilan maupun di dalam pengadilan. Selanjutnya pentingnya status badan hukum ini dapat kita lihat dalam KUHPerdata yang mengenal adanya 2 (dua) macam subjek hukum, yaitu:

a) Dalam Pasal 1329 KUHPer yang menjelaskan bahwa tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu. Hal tersebut dapat disebut dengan Natuurlijke

Persoon (natural person) yaitu manusia pribadi.

b) Dalam Pasal 1654 KUHPer menjelaskan bahwa semua badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurangi perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasinya atau menundukkanya kepada tata cara tertentu. Hal tersebut dapat disebut dengan Rechtpersoon (legal entity) yaitu badan atau perkumpulan yang didirikan dengan sah yang dapat melakukan perbuatan-perbuatan perdata.

Apabila status hukum BUMDes ini menerapkan pada pandangan bahwa status hukum BUMDes diatur dalam Peraturan Desa dengan mengesampingkan dan tidak menerapkan teori persetujuan maka dalam hal tersebut BUMDes ini tidak dapat disebut bahwa BUMDes merupakan badan hukum. Karna pada

51

dasarnya BUMDes ini merupakan salah satu bagian dari pola ekonomi yang berlaku di Indonesia guna menggerakkan perekonomian Indonesia yang seharusnya setara atau dalam hal lain sama dengan BUMN dan BUMD maka seharusnya peraturan yang berlaku serta status hukumnya diatur sedemikian rupa sama dengan BUMN dan BUMD pula. Dengan adanya perbedaan dalam hal peraturan status hukum BUMDes ini apabila status hukum BUMDes diatur dengan diterbitkannya Peraturan Desa yang kemudian tidak berkekuatan hukum dalam hal sahnya menjadi badan hukum, maka teori badan hukum tidak dapat diterapkan dalam BUMDes ini karena apabila ditinjau dari teori badan hukum BUMDes ini tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang kemudian dalam hal tersebut BUMDes ini tidak dapat mendirikan Perseroan Terbatas dan LKM. Karna BUMDes ini bukanlah suatu subjek hukum maka tidak dapat pula menjadi subjek hukum yang mewakili badan usaha yang dapat melakukan perbuatan hukum baik diluar pengadilan maupun di dalam pengadilan. Hal ini tidak memenuhi salah satu unsur teori badan hukum dalam hal adanya pengesahan dari negara. yang kemudian unsur teori badan hukum itu harus memenuhi beberapa unsur yaitu:

a) Adanya harta kekayaan; b) Adanya tujuan;

c) Adanya kepentingan sendiri (dalam hal badan usaha); d) Punya pengurus/organ;

e) Adanya pengesahan dari negara.

Yang kemudian adanya perbedaan dari ketiga pola ekonomi di Indonesia ini dapat simpulkan dalam tabel sebagai berikut:

52

Tabel 3.

Perbedaan ketiga kegiatan ekonomi di Indonesia dalam aspek yuridis.

BUMN BUMD BUMDes

Pengesahan Oleh Kementerian

Hukum & HAM.

Oleh Kementerian Hukum & HAM.

Melalui pengesahan terbitnya Peraturan Desa tentang Pendirian BUMDes yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri oleh Ditjen bina Pemerintahan Desa. Tujuan Pendirian Mengejar Keuntungan. Mengejar Keuntungan. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Kegiatan Usaha Perseroan Terbatas & Perusahaan Umum. Perseroan Terbatas & Perusahaan Umum. Perseroan Terbatas & Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

Kemudian letak ambiguitas status hukum BUMDes tersebut terletak pada kerugian BUMDes tersebut yang diatur dalam Pasal 139 PP No. 43/2014 yang menjelaskan bahwa kerugian yang dialami oleh BUMDes menjadi tanggung

53

jawab pelaksana operasional BUMDes. Yang kemudian dalam Pasal 132 angka 6 menjelaskan bahwa pelaskana operasional merupakan perseorangan yang diangkat dan diberhentikan oleh kepala desa. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 1661 KUHPer yang menjelaskan bahwa para anggota badan hukum sebagai perseorangan tidak bertanggung jawab atas perjanjian-perjanjian perkumpulannya. Semua hutang perkumpulan itu hanya dapat dilunasi dengan harta benda perkumpulan.

Maka dalam hal tersebut dengan adanya ambiguitas dalam status hukum BUMDes ini maka penulis beranggapan bahwa BUMDes tidak dapat di katakan sebagai badan hukum karena tidak memenuhinya beberapa unsur teori badan hukum sesuai dengan uraian diatas yaitu dalam hal pengesahan oleh negara, tujuan utama dari BUMDes itu sendiri yang merupakan mensejahterakan masyarakat desa bukanlah mengejar keuntungan semata-mata, dan kerugian yang BUMDes yang merupakan tanggung jawab perseorangan yang bertentangan dengan KUHPer.

Disamping itu timbul adanya alasan mengapa BUMDes yang berlaku saat ini diatur sedemikian yang telah diuraikan diatas tersebut yaitu dilatarbelakangi oleh filosofi BUMDes itu sendiri yaitu pada dasarnya merupakan badan usaha namun bukan semata-mata mencari keuntungan tetapi juga punya muatan pelayanan kepada masyarakat dan menjalankan upaya pemberdayaan masyarakat dan menggerakkan ekonomi desa. Yang kemudian didukung kembali dalam UU Desa yang menjelaskan bahwa BUMDes ini pada dasarnya tidak dapat disamakan dengan badan hukum lainnya seperti Perseroan Terbatas atau CV dikarenakan BUMDes juga mempunyai tujuan mensejahterakan masyarakat desa.

54

Maka dalam hal tersebut timbul adanya tidak bertumbuhnya BUMDes itu sendiri. Seperti yang dilansir dalam berdesa.com, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi pada Juli 2018 yang menjelaskan bahwa jumlah BUMDes di seluruh Indonesia mencapai 35 ribu dari 74.910 desa di seluruh bumi nusantara. Jumlah itu lima kali lipat dari target Kementrian Desa yang hanya mematok 5000 BUMDes. Namun hal tersebut masih dapat ditemukan permasalahan dalam pendirian BUMDes tersebut. berbagai data menyebut bahwa sebagian besar BUMDes masih sebatas berdiri dan belum memiliki aktivitas usaha yang menghasilkan. Sebagian lagi malah layu sebelum berkembang karena masih ‘sedikitnya’ pemahaman BUMDes pada sebagian besar kepala desa.

Ada beragam masalah yang membuat ribuan BUMDes belum tumbuh sebagaimana harapan. Pertama, karena wacana BUMDes bagi banyak desa baru masih seumur jagung terutama sejak disahkannya UU Desa No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kedua, selama bertahun-tahun desa adalah struktur pemerintahan yang berjalan atas dasar instruksi dari lembaga di atasnya. Hampir semua yang diurus Kepala Desa dan pasukan perangkatnya berpusat pada masalah administrasi. Kalaupun desa mendapatkan porsi membangun, anggaran yang mengucur boleh dikatakan sebagai ‘sisanya-sisa’. Maka lahirnya UU Desa membuat Kepala Desa dan jajaran-nya membutuhkan waktu untuk mempelajari Undang undang dan berbagai peran dan tanggung jawab baru berkaitan dengan datangnya BUMDes di desanya. Pengesahan UU Desa adalah titik balik sejarah bagi desa di Indonesia. Desa yang selama ini hidup hanya sebagai obyek dan dianggap hanya cukup menjalankan instruksi saja, berubah total.

55

Dari fakta tersebut penulis menganggap bahwa perlunya dasar hukum mengenai pendirian BUMDes tersebut dapat berdampak pada pengelolaan BUMDes. Dalam fakta tersebut terhambatnya perkembangan BUMDes dikarenakan oleh beberapa faktor namun salah satunya merupakan karena peraturan desa yang mulanya desa merupakan struktur pemerintahan yang berjalan atas dasar instruksi dari lembaga diatasnya, saat ini menjadi desa dituntut untuk dapat mengurus rumah tangganya sendiri serta mewujudkan desa yang mandiri membuat perangkat desa membutuhkan waktu untuk memahami wewenang serta tanggung jawab barunya sesuai dengan berlakunya UU Desa tersebut. Maka dalam hal tersebut perlu adanya peraturan yang mengatur mengenai kejelasan pendirian BUMDes yang konkrit.

Maka dalam hal tersebut dengan kurangnya peraturan mengenai status hukum BUMDes ini akan menimbulkan beberapa implikasi, yaitu:

a) Dalam hal pengelolaan, kurangnya peraturan mengenai badan hukum BUMDes ini pada dasarnya membuat BUMDes tidak dapat mendirikan kegiatan usaha Perseroan Terbatas dan LKM. Hal ini didasarkan pada teori badan hukum yang tidak terpenuhi oleh BUMDes sesuai UU BUMDes serta Permendesa No. 4/2015. Apabila BUMDes bukanlah badan hukum maka BUMDes bukanlah suatu subjek hukum yang dapat mewakili badan usaha dalam melakukan perbuatan hukum.

b) Dengan adanya era persaingan pasar bebas saat ini, BUMDes dapat dikatakan akan kalah bersaing dalam pasar bebas tersebut. Sebagai lembaga legal yang menutut desa untuk dapat mensejahterakan

56

rakyatnya serta dapat melahirkan keunggulan lokal tersebut, baiknya status hukum pendirian BUMDes yang sebagai fondasi lahirnya badan usaha tersebut memiliki peraturan yang jelas.

Dalam dokumen BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISA (Halaman 34-44)

Dokumen terkait