• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISA"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

13

BAB II

HASIL PENELITIAN DAN ANALISA

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Pengertian Ambiguitas

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), ambiguitas adalah sifat atau hal yang bermakna dua; kemungkinan yang mempunyai dua pengertian; ketidaktentuan; ke-tidakjelasan; kemungkinan adanya makna atau penafsiran yang lebih jelas dari satu atas suatu karya sastra; kemungkinan adanya makna lebih dari satu dalam sebuah kata, gabungan kata, atau kalimat; ketaksaan.

Ambiguitas merupakan hal yang bermakna ganda dan kemungkinan mempunyai dua pengertian atau lebih. Kalimat ambigu ialah kalimat sebagai bermakna ganda. Karena bermakna ganda, kalimat, atau frasa ambigu dapat membingungkan orang yang membacanya atau mendengarnya. Penyebab ambiguitas kalimat pada umumnya adanya keterangan atau atribut yang lebih dari satu.12

Maka dalam hal tersebut pengertian ambiguitas yang dimaksud dalam penelitian tersebut adalah timbul adanya ketidakjelasan atau adanya ha yang bermakna dua dalam status hukum BUMDes tersebut.

2.1.2. Aspek Hukum Teori Badan Hukum

2.1.2.1. Pengertian Badan Hukum

Menurut Molengraff, badan hukum pada hakikatnya merupakan hak dan kewajiban dari para anggotanya secara bersama-sama, dan didalamnya terdapat harta kekayaan bersama yang tidak dapat dibagi-bagi. Setiap anggota tidak hanya menjadi pemilik sebagai pribadi untuk masing-masing bagiannya dalam satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi itu, tetapi juga sebagai pemilik bersama untuk keseluruhan harta kekayaan, sehingga setiap

12 Suwandi dan Basrowi, Memahami Penelitian Kualitatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2008,

(2)

14

pribadi anggotanya adalah juga pemilik harta kekayaan yang

terorganisasikan dalam badan hukum itu.13

Menurut Chidir Ali,14 pengertian badan hukum sebagai subyek hukum itu

mencakup hal berikut, yaitu:

- Perkumpulan orang (organisasi);

- Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking);

- Mempunyai harta kekayaan tersendiri; - Mempunyai pengurus;

- Mempunyai hak dan kewajiban;

- Dapat digugat atau menggugat di depan Pengadilan.

H.M.N Purwosutjipto mengemukakan beberapa syarat agar suatu badan dapat dikategorikan sebagai badan hukum. Persyaratan agar suatu badan dapat

dikatakan berstatus badan hukum meliputi keharusan:15

- Adanya harta kekayaan (hak-hak) dengan tujuan tertentu yang terpisah dengan kekayaan pribadi para sekutu atau pendiri badan itu. Teganya ada pemisah kekayaan perusahaan dengan kekayaan pribadi para sekutu;

- Kepentingan yang menjadi tujuan adalah kepentingan bersama; - Adanya beberapa orang sebagai pengurus badan tersebut.

Ketiga usur tersebut merupakan unsur material bagi suatu badan hukum. Persyaratan kedua yang perlu di tuntaskan oleh suatu badan hukum yaitu syarat yang bersifat formal, yakni adanya pengakuan dari negara yang mengakui suatu badan telah memiliki status badan hukum.

2.1.2.2.

Teori Badan Hukum

Dasar hukum bahwa badan hukum itu sebagai subjek hukum (pendukung atau pembawa hak dan kewajiban di dalam hukum) ada beberapa teori tentang badan hukum, yaitu:

13 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Refomasi,

Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI, Cetakan Kedua, 2006, hlm. 69.

14 Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 2005, hlm. 21.

15 H.M.N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 2, Jakarta:

(3)

15

a) Teori Fiksi (Frederich Carl von Savigny)

Teori ini hanya mengakui bahwa yang menjadi subjek hukum adalah manusia, tetapi orang menghidupkannya, menciptakannya dalam bayangan dimana badan hukum selaku subjek hukum diperhitungkan sama dengan manusia. Untuk dapat mengemban fungsi subjek hukum, yaitu melakukan perbuatan hukum, diserahkan kepada manusia

sebagai wakil-wakilnya.16

b) Teori Organ (Otto von Gierke)

Badan hukum bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi benar-benar ada, badan hukum bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak bersubjek,

tetapi suatu organisme riil, yang hidup dan bekerja seperti manusia.17

c) Teori Harta Kekayaan dalam Jabatan (Holder dan Binder)

Untuk badan hukum yang memiliki kehendak adalah pengurus. Pada badan hukum semua hak tersebut diliputi oleh pengurus. Dalam jabatannya sebagai pengurus mereka adalah berhak, maka dari itu

disebut ambtelijk vermogen (harta kekayaan dalam jabatan).18

d) Teori Kekayaan Bersama (Rudolf von Jhering)

Badan hukum sebagai kumpulan manusia. Kepentingan badan hukum adalah kepentingan dari seluruh anggota secara bersama-sama. Mereka bertanggung jawab secara bersama-sama, harta kekayaan badan hukum itu adalah milik (eigndom) bersama selluruh anggota. Para anggota yang berhimpun adalah suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang disebut badan hukum. Oleh karenanya, badan hukum hanyalah suatu konstruksi hukum belaka, dan hakikatnya merupakan sesuatu

yang abstrak.19

e) Teori Kekayaan Bertujuan (A. Brinz)

16 Tri Budiyono, Hukum Perusahaan: Telaah Yuridis terhadap Undang-Undang No. 40

Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Salatiga: Griya Media, 2011, hlm. 61-62.

17 Ibid., hlm. 62. 18 Ibid., hlm. 63. 19 Ibid., hlm. 63.

(4)

16

Apa yang disebut hak-hak badan hukum sebenarnya adalah hak-hak tanpa subjek hukum, oleh karena itu sebagai penggantinya adalah

kekayaan yang terkait pada suatu tujuan.20

f) Teori Kenyataan Yuridis (E. M. Meijers, Paul Scholten)

Badan hukum itu adalah suatu realita, konkret, riil walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tapi kenyataan yuridis hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia hanya terbatas pada

bidang hukum saja.21

Status badan hukum biasanya digunakan dalam badan usaha dan badan usaha tersebut di klasifikasikan menjadi dua yaitu badan usaha yang tidak berbadan hukum dan badan usaha yang berbadan hukum. Dari berbagai teori tersebut merupakan suatu konsep yang dimana membuat kerucut. Yang dimaksud kerucut dalam hal tersebut adalah setiap badan hukum harus memenuhi unsur-unsur yang ada dalam teori-teori badan hukum. Hal ini harus dilakukan guna tidak ada lagi kesesatan dalam penafsiran atau penggolongan dari badan hukum itu sendiri dan tidak berbenturan dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum.

2.1.3. Sejarah BUMN

Secara historis, keberadaan BUMN di Indonesia telah dikenal sebagai salah satu perwujudan pemerintah dalam meningkatkan perekonomian Indonesia yang sudah berdiri cukup lama. Pada tahun 1602, berdirinya BUMN meskipun bukan milik pemerintah Indonesia pada tahun itu dikenal sebagai Vereenigde

Oost-Indische Compragnie (VOC) dibentuk dan dimiliki oleh Pemerintah

20 Ibid., hlm. 64.

(5)

17

Belanda. Namun hal tersebut dapat dianggap cukup meningkatkan perekonomian Indonesia.

Perkembangan BUMN ini diawali oleh sejarah politik ekonomi Indonesia. Sebagian BUMN pada awalnya merupakan perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Nasionalisasi besar-besaran terjadi ketika demokrasi parlementer memasuki babak akhir dalam sejarah Indonesia di tahun 1950-an. Di masa itu desakan melakukan nasionalisasi semakin besar karena didasarkan pada keinginan agar sistem perekonomian lebih kokoh dan bisa

dikontrol secara lebih baik oleh pemerintah.22

Hal tersebut dilatar belakangi dengan peristiwa pada tahun 1957 dengan tindakan Presiden Soekarno yang mengumumkan penyatuan Irian Barat dengan Indonesia, karena Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) gagal mengeluarkan resolusi yang mengimbau agar Belanda mau berunding dengan Indonesia untuk masalah Irian Barat. Hal tersebut menjadi titik awal terjadinya nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang didirikan di Indonesia.

Nasionalisasi dalam hal tersebut adalah proses dimana Negara mengambil alih kepemilikan suatu perusahaan milik swasta atau asing. Apabila suatu perusahaan dinasionalisasi, negara yang bertindak sebagai pembuat keputusan. Selain itu para pegaiwainya menjadi pegawai negeri. Apabila kegiatan yang dilakukan adalah sebaliknya yaitu disebut dengan privatisasi.

Pada tahun 1950-an, pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan yang mengelola fasilitas publik hal tersebut berkaitan dengan

22 Muchayat, Badan Usaha Milik Negara: Retrorika, Dinamika dan Realita (Menuju

(6)

18

kebutuhan masyarakat sehari-hari. Perusahaan tersebut meliputi perusahaan listrik, transportasi kereta api, pos dan giro, Perumtel (kini menjadi Telkom), Bank Tabungan Negara (BTN), Jawatan pegadaian (kini menjadi perum Pegadaian), serta jawatan angkutan motor (kini menjadi Damri). Seiring adanya perkembangan ekonomi serta politik yang lebih kondusif, pemerintah mendirikan perusahaan baru seperti PT Garuda Indonesia yang bergerak dibidang transportasi udara, PT Pelni yang bergerak dibidang transportasi laut, Djakarta Lyod bergerak dibidang transportasi laut antar samudra atau internasional, serta dibidang perbankan yaitu Bank Negara Indonesia (BNI) dan De Javanesche Bank yang saat ini menjadi Bank Indonesia (BI). Hasil nasionalisasi yang berasal dari perusahaan Belanda tersebut kemudian menjadi BUMN, hal tersebut merupakan hasil dari perkembangan ekonomi Indonesia di awal masa Orde Baru.

Pada tahun 1960, mulanya BUMN tesebut didasarkan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara. Dalam UU No. 19 tahun 1960 tersebut menjelaskan bahwa perusahaan negara tersebut dapat bergerak dibidang jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum, memupuk pendapatan. Dari UU tersebut dapat kita pahami bahwa mulanya BUMN tersebut disebut dengan Perusahaan Negara (PN).

Perusahaan Negara dalam UU No. 19/1960 ini dalam Pasal 3 menjelaskan bahwa Perusahaan Negara yang didirikan dengaan Peraturan Pemerintah tersebut adalah badan hukum yang kedudukannya sebagai badan hukum yang diperoleh dengan berlakunya Peraturan Pemerintah tersebut. Perusahaan Negara ini bersifat memberi jasa; menyelenggarakan kemanfaatan umum; memupuk pendapatan didirikan dengan modal yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan; atau

(7)

19

dengan semua alat likuid disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh Pemerintah. Perusahaan Negara tersebut dapat berkerja sama dengan Perusahaan Daerah Swatantra dan Swasta.

Namun saat memasuki tahun 1969 pemerintah dianggap lebih serius dengan upaya meningkatkan kinerja BUMN hal tersebut dapat dilihat dalam diwujudkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Badan Usaha Mililk Negara (BUMN).

Dalam UU No. 9/1969 ini menjelaskan bahwa usaha-usaha Negara dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu:

a) Perusahaan Umum (yang disingkat Perum), merupakan salah satu kegiatan usaha yang memiliki tujuan memberika pelayanan umum namun tetap diperbolehkan mencari keuntungan. Perum dalam hal tersebut merupakan perusahaan Negara yang didirikan dan diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan yang termasuk dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960.

b) Perusahaan Persero (yang disingkat Persero), merupakan kegiatan usaha yang mendirikan suatu persero dengan tujuan mencari keuntungan.

c) Perusahaan Jawatan (yang disingkat Perjan), merupakan kegiatan usaha sebagai perusahaan yang murni mengusahakan dan memberikan pelayanan umum.

Dengan diterbitkannya UU No. 9/1969 ini landasan yuridis mengenai BUMN tersebut tata cara pendirian BUMN tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan

(8)

20

Pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), Perusahaan Perseroan (Persero).

Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor

740/KMK.00/1989 menjelaskan bahwa BUMN adalah Badan Usaha yang seluruh modalnya dimiliki Negara atau badan usaha yang tidak seluruh sahamnya dimiliki Negara tetapi statusnya disamakan dengan BUMN. Dari pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa adanya 3 (tiga) jenis pendirian BUMN, yaitu:

1) BUMN yang didirikan dengan modal dari 2 (dua) pihak, yaitu antara pemerintah dengan pemerintah daerah.

2) BUMN yang didirikan dengan modal dari 2 (dua) pihak, yaitu antara pemerintah dengan BUMN lainnya.

3) BUMN yang merupakan badan-badan usaha, yang mendirikan bersama dengan swasta baik nasional maupun asing, dimana Negara memiliki saham mayoritas minimal 51%.

Sampai dengan paruh kedua tahun 1990-an, sokongan pemerintah terhadap BUMN masih terasa kuat sehingga BUMN masih terasa kuat sehingga BUMN masih menguasai sektor-sektor stategis seperti telekomunikasi, minyak dan gas,

perkebunan dan kehutanan serta perbankan.23

Pada bulan Juli 1997 merupakan terjadinya krisis moneter yang mengakibatkan banyak perusahaan mengalami kesulitan untuk meakukan pembayaran utang-utangnya kedapa para kreditur.

23 Indah Fitriani, Pola Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara Sebuah Potret Singkat,

(9)

21

Krisis moneter tersebut diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika Serikat, yang mengakibatkan utang-utang para pengusaha Indonesia dalam bentuk valuta asing, baik kepada kreditur dalam maupun luar negeri menjadi membengkak luar biasa sehingga debitur tidak mampu membayar utang-utangnya. Kondisi ini terus berlangsung yang pada akhirnya secara keseluruhan berakibat

pada krisis ekonomi.24

Dengan terjadinya krisis ekonomi yang yang menerpa dunia tersebut tentunya kegiatan usaha yang dimiliki oleh BUMN terkena imbasnya pula. Baik dari sisi ekonomi dan politik Indonesia turut terkena imbasnya. Dalam hal tersebut tentunya pemerintah lebih mengedepankan peranan BUMN guna meningkatkan kembali keuangan negara. Setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 tersebut BUMN mulai mendapat perhatian dan pemerintah mengharapkan BUMN tersebut dapat membantu meningkatkan ekonomi Indonesia.

Menurut Muchayat, perlu upaya revitalisasi BUMN agar berdaya saing tinggi, perlunya analisis terhadap potensi pasar, jenis usaha, ukuran usaha, dan upaya penyandingan dengan badan usaha swasta nasional dan swasta asing sejenisnya. BUMN harus dipilah antara BUMN yang masih mempunyai daya saing dan BUMN yang masih perlu ditinggatkan atau

dikembangkan daya saingnya.25

Namun disamping itu setelah terjadi pasang surutnya BUMN tersebut hingga saat ini BUMN tersebut dianggap telah cukup berhasil membantu pemerintah Dalam hal meningkatkan ekonomi Indonesia. Dasar hukum BUMN hingga saat ini berlaku Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN). Dalam UU BUMN tersebut menjelaskan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Berbeda dengan UU No. 9/1969, UU No. 19/2003 saat ini hanya memiliki 2 (dua) kegiatan usaha yaitu:

24 Bank Indonesia, Mengurangi Benang Kusut BLBI, Edisi II, Satgas BLBI Bank

Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 3.

(10)

22

a. Perusahaan Perseroan (disebut dengan Persero); b. Perusahaan Umum (disebut dengan Perum).

Diterbitkannya UU No. 19/2003 tentang BUMN yang berlaku hingga saat ini dapat kita pahami bahwa adanya keseriusan dari Pemerintah dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia di tingkat pusat ini. Dalam UU BUMN ini menjelaskan bahwa maksud dan tujuan dari pendirian BUMN adalah:

a. memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;

b. mengejar keuntungan;

c. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak;

d. menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;

e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.

Pengaturan mengenai modal BUMN dalam UU No. 19/2003 ini juga diatur lebih jelas, yaitu:

a. Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

b. Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari:

(11)

23 - Kapitalisasi cadangan; - sumber lainnya.

c. Setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau perseroan terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BUMN adalah sebuah entitas ekonomi yang menjadi simbol kontrol warga

negara Indonesia atas sumberdaya dan sektor-sektor strategis ekonomi nasional.26

Dengan adanya BUMN sebagai pola ekonomi ditingkat teratas yaitu di tingkat pusat tersebut BUMN mampu meraup keuntungan baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Hal tersebut juga melihat dari sejarah BUMN yang telah ada sejak lama, peran BUMN sebagai instrument strategis kebijakan Industrialisasi Subtitusi Impor yang berlangsung hingga menjelang akhir paruh pertama tahun 1980-an telah menempatkan BUMN pada posisi puncak komando

ekonomi Indonesia.27

Selain itu, faktor yang dapat menjadikan BUMN tersebut mendominan pergerakan roda perekonomian Indonesia tersebut dapat kita lihat dari filosofi BUMN yaitu dalam Seminar Peranan BUMN dalam Pelita IV di Jakarta pada tanggal 14 Maret 1984 mengemukakan bahwa BUMN diharapkan berperan terutama dibidang-bidang:

1) Sebagai sumber penerimaan Negara dalam bentuk berbagai pajak serta balas jasa kepada Negara selaku pemilik.

26 Indah Fitriani, op. cit, hlm. 60. 27 Ibid., hlm. 59.

(12)

24

2) Untuk memproduksi berbagai barang dan jasa kebutuhan masyarakat sesuai dengan rencana-rencana yang tertuang dalam Pelita IV, seperti listrik, jasa telekomunikasi dan perhubungan, perumahan rakyat.

3) Sebagai sumber pendapatan devisa bagi Negara, seperti perusahaan perkebunan dan pertambangan.

4) Pembukaan lapangan kerja, terutama pada sektor-sektor yang padat karya, seperti perusahaan perkebunan dan industri.

5) Usaha-usaha untuk membantu golongan ekonomi lemah dan koperasi.

6) Pengembangan willayah diluar jawa dengan berbagai proyek dibidang perkebunan dan industry.

7) Hal-hal lain seperti misalnya alih teknologi.

Dengan adanya hal tersebut, peran BUMN lebih dikenal sebagai Wahana Pembangunan (Agent of Development) dari pada perannya yang sebagai Perusahaan (bussines entity). Ada beberapa sebab mengapa BUMN lebih banyak

berperan sebagai wahana pembangunan, yaitu:28

1) BUMN efektif untuk melaksanakan pembangunan nasional.

2) Pemerintah selaku pemilik BUMN mempunyai wewenang untuk memberikan penugasan apapun juga kepada BUMN.

3) Dalam pelaksanaan pembangunan seringkali dirasakan perlu untuk melaksanakan proyek-proyek tertentu yang tidak terdapat dalam rencana pembangunan.

28 Totok Dwinur Haryanto, Eksistensi BUMN tidak Mengarah pada Etatisme, Wacana

(13)

25

Maka dalam hal tersebut beberapa perbedaan serta perkembangan dari landasan yuridis tentang BUMN ini secara umum dapat di simpulkan dalam tabel sebagai berikut:

Tabel 1.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang BUMN

UU No. 19/1960 tentang Perusahaan Negara.

1. Perusahaan Negara adalah badan hukum yang kedudukannya diperoleh dengan berlakunya Peraturan Pemerintah.

2. Perusahaan Negara bersifat memberi jasa;

menyelenggarakan kemanfaatan umum;

memupuk pendapatan.

3. Bertujuan untuk turut membangun ekonomi nasional sesuai dengan mengutamakan kebutuhan rakyat.

4. Modal Perusahaan Negara terdiri dari kekayaan negara yang dipisahkan; tidak terbagi atas saham-saham; semua alat likuid disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh Pemerintah.

UU No. 9/1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara.

Menjelaskan bahwa usaha-usaha Negara dibedakan dalam 3 (tiga) kegiatan usaha, yaitu:

a) Perusahaan Jawatan (Perjan) b) Perusahaan Umum (Perum) c) Perusahaan Perseroan (Persero)

(14)

26 Badan Usaha Milik

Negara (BUMN).

badan usaha yang seluruh atau sebagian besar

modalnya dimiliki oleh negara melalui

penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

2. Menjelaskan bahwa BUMN dapat mendirikan: a) Perusahaan Perseroan, berbentuk Perseroan

Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh negara dengan tujuan utama mengejar keuntungan.

b) Perusahaan Umum, yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa

dengan tujuan mengejar keuntungan

berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan perusahaan.

3. Pendirian BUMN memiliki maksud dan tujuan: a) Memberikan sumbangan bagi perkembangan

perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya;

b) Mengejar keuntungan;

(15)

27

penyediaan barang dan/atau jasa yang

bermutu tunggi dan memadai bagi

pemenuhan hajat hidup orang banyak;

d) Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi;

e) Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.

2.1.4. Sejarah BUMD

Disamping menempatkan pemerintahan pusat, terdapat pula pemerintahan provinsi dan pemerintahan kabupaten/kota (selanjutnya disebut pemerintahan daerah) yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat baik dalam aspek politik maupun ekonomi. Pemerintahan Daerah dalam hal tersebut memiliki tugas dan kewajibannya yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Sebelum adanya terbentuknya, BUMD tersebut disebut dengan Perusahaan Daerah dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Namun keseriusan pemerintah dalam hal mendukung adanya BUMD tersebut ditandai dengan terbitnya Peraturan Dalam Negeri No. 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Lahirnya BUMD tersebut tidak dapat dipisahkan dari perkembangan terkait BUMN. Dengan adanya Undang-Undang Perusahaan Indonesia yang

(16)

28

diatur dengan Staatsblad29 Tahun 1927 Nomor 419 yang menjelaskan bahwa

perusahaan-perusahaan negara baik yang berbentuk badan-badan berdasarkan hukum perdata maupun yang berbentuk badan hukum berdasarkan hukum publik, merupakan latar belakang suatu peraturan yang menjadikan BUMN terus berkembang dari tahun ke tahun hingga melahirkan suatu BUMD yang berperan besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di tingkat daerah.

Istilah BUMD tersebut dikenal setelah diterbitkannya Permendagri No. 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum BUMD yang kemudian tertuang dalam Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku hingga saat ini. Namun dengan adanya beberapa kali perubahan Undang-Undang yang mengatur mengenai BUMD tersebut, peraturan yang berlaku hingga saat ini dilatarbelakangi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah.

Tahun 1950-an, bersamaan dengan peningkatan BUMN Pemerintah Pusat juga mendorong Pemerintah Swatantra Tk I dan Tk II (saat ini disebut dengan setingkat Provinsi dan Kabupaten) untuk mendirikan perusahaan milik Daerah guna membantu pergerakan roda ekonomi Indonesia yang saat itu masyarakat sangat butuhkan baik dalam hal produksi barang maupun jasa.

Dengan adanya perusahaan daerah tersebut, pada saat itu perusahaan milik daerah tersebut pada umumnya tidak mengutamakan tujuan mencari keuntungan

29 Staatsblad adalah istilah Lembaran Negara Republik Indonesia pada masa periode

(17)

29

semata. Namun dalam hal tersebut perusahaan daerah tersebut lebih mengutamakan tujuan terwujudnya fungsi sosial dari perusahaan terhadap daerah, yaitu dalam bentuk percepatan produksi dan penyaluran barang dan jasa serta pembukaan lapangan kerja.

Dengan berjalannya perusahaan daerah tersebut, memasuki tahun 1960-an Pemerintah Pusat menganggap perlu adanya dasar hukum mengenai perusahaan daerah tersebut karena minimnya kontribusi terhadap pembangunan nasional. Maka dalam hal tersebut terbit Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) No. I/MPRS/1960. Ketetapan tersebut terbit dalam rangka pemberian otonomi yang riil dan luas kepada daerah-daerah dengan mengingat kemampuan daerah masing-masing.

Hasil Perusahaan Daerah adalah salah satu pendapatan pokok di Daerah. Berhubung dengan itu, maka selain perusahaan yang mengutamakan kemanfaatan umum, dapat pula didirikan perusahaan yang khusus dimaksudkan untuk

menambah penghasilan Daerah, sekaligus untuk mempertinggi produksi.30

Di samping itu, untuk kepentingan pembangunan Daerah, segala dana dan sumberdaya (funds and forces) masyarakat juga dimobilisasi dan, oleh karena itu, koperasi dan swasta harus diikutsertakan secara aktif dalam pendirian Perusahaan Daerah. Namun, pengikutsertaan swasta tersebut tetap dengan pokok pikiran bahwa Perusahaan Daerah adalah perusahaan yang modalnya untuk seluruhnya terdiri dari kekayaan Daerah yang dipisahkan. Artinya, Perusahaan Daerah adalah perusahaan yang

sepenuhnya dikuasai oleh Pemerintah Daerah.31

Pembentukan perusahaan daerah harus memiliki motivasi yang jelas, karena pada prinsipnya pemerintah daerah adalah bukan pelaku usaha melainkan memiliki tanggung jawab yang utama yaitu melakukan

30 Gunawan Sumodiningrat, Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat, Bina

Rena Periwara, Jakarta, 2007, hlm. 8.

31 Riris Prasetyo, Sejarah BUMD,

(18)

30

pembangunan dan pelayanan bagi bagi masyarakat. Sementara diketahui pelaksanaan pembangunan seperti diketahui memerlukan modal dalam

jumlah yang cukup besar dan tersedia pada waktu yang tepat.32

BUMD didirikan dengan tujuan untuk turut serta melaksanakan pembangunan daerah khususnya dan pembangunan ekonomi nasional umumnya

untuk memenuhi kebutuhan rakyat menuju masyarakat yang adil dan makmur.33

Sesuai dengan uraian tersebut, BUMD tersebut dapat diartikan sebagai perpanjangan tangan dari BUMN yang lebih mengutamakan pergerakan roda ekonomi di tingkat daerah.

Untuk memenuhi tanggung jawab daerah kepada masyarakat, guna meningkatkan kesejahteraan, maka pemerintah daerah memerlukan keuangan daerah. Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi yaitu terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.34

Hal tersebut merupakan tuntutan dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah untuk dapat meningkatkan kemandirian daerah dalam hal meningkatkan ekonomi Indonesia.

Selanjutnya, landasan yuridis mengenai BUMD yang berlaku hingga saat ini dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 1 angka 40 UU No. 23/2014 ini menjellaskan bahwa BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah yang pendiriannya ditetapkan dengan Perarutan Daerah

32 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2004,

hlm. 1.

33 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. 34 Adrian Sutedi, Implikasi Hukum atas Sumber Pembiayaan Daerah dalam Kerangka

(19)

31

(disebut Perda). Pengaturan mengenai BUMD dalam UU No. 23/2014 ini dimulai dari Pasal 331. Dalam Pasal 331 dapat kita pahami bahwa Pemerintah Daerah tidak harus memiliki BUMD, namun BUMD dapat menjadi pertimbangan bagi daerah untuk menjadi sarana dalam rangka memberikan pelayanan bagi masyarakat.

Dalam UU No.23/2014 ini menjelaskan bahwa BUMD terbagi menjadi 2 (dua) jenis kegiatan usaha, yaitu:

1) Perusahaan Umum Daerah (disebut dengan Perumda), diatur dalam Pasal 334 s/d Pasal 338:

a) Permodalan

Perumda adalah BUMD yang seluruh modalnya dimiliki oleh satu daerah dan tidak terbagi atas saham. Dalam hal Perumda akan dimiliki oleh lebih dari satu daerah, perumda tersebut harus merubah bentuk hukum menjadi Perseroda. Perumda juga dapat membentuk anak perusahaan dan/atau memiliki saham pada perusahaan lain.

b) Organ

Perumda terdiri atas:

(1) Kepala daerah selaku wakil daerah sebagai pemilik modal; (2) Direksi; dan

(3) Dewan pengawas. c) Laba

Laba Perumda ditetapkan oleh kepala daerah selaku wakil daerah. Laba yang menjadi hak daerah disetor ke kas daerah setelah

(20)

32

disahkan oleh kepala daerah sebagai pemilik modal. Laba tersebut dapat ditahan atas persetujuan kepala daerah, dengan tujuan reinvestment berupa penambahan, peningkatan, dan perluasan prasarana dan sarana pelayanan fisik dan nonfisik serta untuk peningkatan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas pelayanan umum, pelayanan dasar, dan usaha perintisan.

d) Restrukturisasi

Perumda dapat melakukan restruksturisasi untuk menyehatkan perusahaan umum Daerah agar dapat beroperasi secara efisien, akuntabel, transparan, dan profesional.

e) Pembubaran Perumda

Pembubaran Perumda ditetapkan dengan Perda. Kekayaan perumda yang dibubarkan menjadi hak daerah dan dikembalikan kepada daerah.

2) Perusahaan Perseroan Daerah (disebut dengan Perseroda), diatur dalam Pasal 339 s/d Pasal 342:

a) Permodalan

Perseroda adalah BUMD yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh satu daerah. Setelah pendiriannya ditetapkan dengan Perda, Selanjutnya pembentukan badan hukumnya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas.

(21)

33

Modal Perseroda terdiri dari saham-saham, dalam hal pemegang saham perusahaan perseroan daerah terdiri atas beberapa daerah dan bukan daerah, salah satu daerah merupakan pemegang saham mayoritas. Perseroda dapat membentuk anak perusahaan dan/atau memiliki saham pada perusahaan lain. Pembentukan anak perusahaan tersebut didasarkan atas analisa kelayakan investasi oleh analis investasi yang profesional dan independen.

b) Organ

Perseroda terdiri atas:

(1) Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS); (2) Direksi; dan

(3) Komisaris.

c) Pembubaran Perseroda dapat dibubarkan dan kekayaan Perseroda yang dibubarkan menjadi hak daerah dan dikembalikan kepada daerah. UU No. 23 Tahun 2014 juga memaparkan unsur-unsur yang harus diatur pada ketentuan lebih lanjut terkait pengelolaan BUMD setidaknya harus memuat:

(4) tata cara penyertaan modal; (5) organ dan kepegawaian; (6) tata cara evaluasi;

(7) tata kelola perusahaan yang baik;

(8) perencanaan, pelaporan, pembinaan, pengawasan; (9) kerjasama;

(22)

34

(11) penugasan Pemerintah Daerah; (12) pinjaman;

(13) satuan pengawas intern, komite audit dan komite lainnya; (14) penilaian tingkat kesehatan, restrukturisasi, privatisasi; (15) perubahan bentuk hukum;

(16) kepailitan; dan

(17) penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan.

Pendirian BUMD sesuai dalam UU No. 23/2014 ini memiliki tujuan yaitu untuk:

1) Memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian daerah pada umumnya;

2) Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi, karakteristik, dan potensi daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik; serta

3) Memperoleh laba dan/atau keuntungan.

Dalam hal modal pendirian BUMD tersebut terdiri dari penyertaan modal daerah, pinjaman, hibah, dan sumber modal lainnya yang terdiri dari kapitalisasi cadangan, keuntungan revaluasi aset, dan agio saham. Penyertaan modal ini harus ditetapkan dalam Perda.

Dengan adanya uraian diatas mengenai peraturan yang mengatur tentang lahirnya BUMD ini maka dapat disimpulkan dalam tabel sebagai berikut:

(23)

35

Tabel 2.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang BUMD

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962

1. Perusahaan Daerah merupakan badan hukum yang didirikan dengan Peraturan Daerah yang mulai berlaku setelah disahkan instansi atasan.

Permendagri Nomor 3

Tahun 1998 tentang

Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah

1. Telah ditetapkan yang mulanya Perusahaan Daerah kini menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

2. Dapat mendirikan Perseroan Terbatas dan Perusahaan Daerah.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

1. BUMD diatur dalam Pasal 331 s/d Pasal 343 UU No. 23/2014.

2. BUMD ditetapkan dengan Perda.

3. BUMD dapat mendirikan Perusahaan Umum Daerah (Perumda) dan Perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda).

4. Ketentuan pendirian BUMD diatur dalam Peraturan Pemerintah.

2.2. Hasil Penelitian dan Analisa

2.2.1. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)

H.A.W. Widjaja menyatakan bahwa desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak

(24)

asal-36

usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,

demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.35

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa sebagai dasar hukum pertama yang mengatur mengenai desa tersebut menjelaskan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kemudian pada tahun 1999 dasar hukum mengenai desa tersebut kembali diperbaharui dengan disah-kannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan Nasional dan berada di daerah kabupaten.

Tidak berhenti pada tahun tersebut, setelah beberapa tahun akhirnya pemerintah menanggapi serius dalam hal dasar hukum pengaturan mengenai desa tersebut, pada tahun 2014 pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang berlaku hingga saat ini. Dalam UU Desa tersebut menjelaskan bahwa desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

35 H.A.W. Widjaja, Pemerintahan Desa dan Administrasi Desa menurut Undang-Undang

(25)

37

pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa

masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Maka dalam hal tersebut desa adalah masyarakat hukum yang memiliki wilayah sediri dan memiliki pemerintahan desa sendiri yang memiliki hak tradisional serta hak asal usul yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Indonesia.

Dengan diterbitkannya UU Desa No. 6/2014 yang mengandung asas rekognisi-subsidaritas ini menuntut desa untuk dapat mengurus rumah tangganya sendiri. Hal tersebut menunjukkan pada Pemerintah Desa berwenang untuk mendirikan BUMDes yang dikelola dengan semangat kekeluargaan dan gotong-royong yang dapat bergerak di bidang ekonomi, pedagangan, pelayanan jasa maupun pelayanan umum lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun dalam hal tersebut BUMDes ini tidak hanya mengejar keuntungan keuangannya saja. BUMDes ini juga mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Sumber pendanaan BUMDes ini juga dibantu oleh Pemerintah, Pemerintah daerah provinsi, Pemerintah daerah Kabupaten/Kota, dan Pemerintah desa. Pemerintah mendorong BUMDes dengan memberikan hibah dan atau akses permodalan, melakukan pendampingan teknis dan akses ke pasar, dan memprioritaskan BUMDes dalam pengelolaan sumber daya alam di desa.

Selain itu kewenangan desa yang diatur dalam UU Desa No. 6/2014 meliputi:

(26)

38

b. Kewenangan berdasarkan hak asal-usul; c. Kewenangan lokal berkala desa;

d. Kewenangan yang ditugaskan pemerintah daerah provinsi, pemerintah kota/kabupaten kota;

e. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pendirian BUMDes yang didasarkan oleh tujuan utama BUMDes sesuai dengan UU Desa, yaitu:

1. Meningkatkan perekonomian desa.

2. Mengoptimalkan aset desa agar bermanfaat untuk kesejahteraan desa. 3. Meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi

desa.

4. Menembangkan rencana kerjasama usaha antar desa dan/atau dengan pihak ketiga.

5. Menciptakan peluang dan jaringan pasar yang mendukung kebutuhan layanan umum warga.

6. Membuka lapangan kerja.

7. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi desa.

8. Meningkatkan pendapatan masyarakat desa dan pendapatan asli desa. Chabib Soleh menjelaskan bahwa pendirian BUMDes memiliki beberapa

asas yang perlu dipenuhi, yaitu:36

36 Chabib Soleh, Dialektika Pembangunan dengan Pemberdayaan, Fokus Media,

(27)

39

a) Asas Kesukarelaan, maksudnya keterlibatan seseorang dalam kegiatan pemberdayaan melalui kegiatan BUMDes yang harus dilakukan tanpa adanya paksaan, tetapi atas dasar keinginannya sendiri yang didorong oleh kebutuhan untuk memperbaiki dan memecahkan masalah kehidupan yang dirasakannya.

b) Asas Kesetaraan, maksudnya semua pihak pemangku kekuasaan yang berkecimpung di BUMDes memiliki kedudukan dan posisi yang setara, tidak ada yang tinggikan dan tidak ada yang direndahkan. c) Asas Musyawarah, maksudnya semua pihak diberikan hak untuk

mengemukakan gagasan atau pendapatnya dan saling menghargai perbedaan pendapat. Dalam pengambilan keputusan harus dilakukan musyawarah untuk mencapai mufakat.

d) Asas Keterbukaan, dalam hal ini semua yang dilakukan dalam kegiatan BUMDes dilakukan secara terbuka, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan, dan menumpuk rasa saling percaya, sikap jujur dan saling peduli satu sama lain.

Pendirian BUMDes tersebut yang merujuk pada Permendesa No. 4 Tahun 2015 ini menjelaskan bahwa sifat usaha dari BUMDes tersebut adalah Badan Usaha yang mekanisme pembentukkannya berdasarkan musyawarah desa, yang dapat membentuk kegiatan usaha yaitu Perseroan Terbatas dan Lembaga Keuangan Mikro.

Maka dalam hal tersebut terdapat beberapa aspek yang dapat dipertimbangkan dalam mendirikan BUMDes, yaitu:

1. Inisiatif Pemerintah Desa dan/atau masyarakat Desa; 2. Potensi usaha ekonomi desa;

3. Sumberdaya alam desa;

4. Sumberdaya manusia yang mampu mengelola BUM Desa;

5. Penyertaan modal dari Pemerintah Desa dalam bentuk pembiayaan dan kekayaan Desa yang diserahkan untuk dikelola sebagai bagian dari usaha BUM Desa.

Inisiatif Pemerintah Desa yang dimaksud dalam hal tersebut merupakan sosialisasi kepada masyarakat desa yang dilakukan oleh Pemerintah Desa, BPD

(28)

40

(Badan Permusyawaratan Desa), KPMD (Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa) baik secara langsung maupun bekerja sama dengan berbagai pihak misalnya, pendamping desa yang berkedudukan di kecamatan/kabupaten ataupun dengan pihak ketiga (LSM atau organisasi kemasyarakatan). Hal tersebut merupakan langkah awal yang bertujuan agar masyarakat desa mengerti dan memahami mengenai BUMDes tersebut.

Tata cara pendirian BUMDes yang dibuka dengan musyawarah desa tersebut harus memuat beberapa aspek, yaitu:

1. Pendirian BUM Desa sesuai dengan kondisi ekonomi dan sosial budaya masyarakat;

2. Organisasi pengelola BUM Desa; 3. Modal usaha BUM Desa;

4. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga BUM Desa.

Kemudian setelah diterbitkannya hasil musyawarah desa tersebut, perlu adanya menetapkan peraturan desa tentang pendirian BUMDes tersebut yang kemudian lahirlah sebuah BUMDes sesuai dengan peraturan yang berlaku tersebut.

Dari pendirian BUMDes tersebut sesuai dengan Permendesa No. 4/2015 menjelaskan beberapa tipe atau klasifikasi jenis usaha BUMDes, yaitu:

1) Bisnis Sosial (social business) dan Pelayanan Umum (serving)

Yaitu suatu tipe yang melakukan pelayanan kepada warga sehingga warga desa mendapaatkan manfaat sosial yang besar. Contoh pada tipe tersebut adalah seperti usaha air minum desa, usaha listrik desa, pengolahan sampah, dsb.

(29)

41 2) Bisnis Penyewaan (renting)

Yaitu suatu tipe yang menjalankan usaha penyewaan guna untuk memudahkan warga mendapatkan berbagai kebutuhan peralatan maupun perlengkapan yang dibutuhkan. Contoh dari tipe tersebut adalah seperti alat transportasi, gedung, rumah atau toko, tanah milik BUMDes, dsb.

3) Usaha Perantara (brokering)

Yaitu suatu tipe yang menjalankan usaha menghubungkan komoditas pertanian dengan pasar atau agar para petani tidak kesulitan menjual produk mereka ke pasar. Contoh dari tipe usaha ini adalah seperti jasa pembayaran listrik, desa mendirikan pasar desa untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan masyarakat, dsb.

4) Perdagangan (trading)

Yaitu suatu tipe yang menjalankan usaha penjualan barang atau jasa yang dibutuhkan masyaakat yang selama ini tidak bias dilakukan warga secara perorangan. Contoh dari tipe usaha ini adalah seperti pabrik es, hasil pertanian, sarana produksi pertanian, pom bensin bagi para nelayan, dsb.

5) Bisnis Keuangan (financial business)

Yaitu suatu tipe yang menjalankan usaha yang dapat membangun lembaga keuangan untuk membantu warga mendapatkan akses modal dengan cara yang mudah dengan bunga yang kecil.

(30)

42

Yaitu suatu tipe yang menjalankan usaha dimana BUMDes sebagai induk dari unit-unit usaha yang ada didesa, dimana masing-masing unit yang berdiri sendiri-sendiri ini, diatur dan ditata sinerginya oleh BUMDes agar tumbuh usaha bersama. Contoh dari tipe usaha ini adalah seperti “desa wisata” yang mengorganisir berbagai jenis usaha dari kelompok masyarakat seperti makanan, kerajinan, sajian wisata, kesenian, dsb.

Selanjutnya, dalam Permendesa No. 4/2015 menjelaskan bahwa BUMDes dapat membentuk unit usaha, yaitu:

1) Perseroan Terbatas, yaitu sebagai persekutuan modal, dibentuk berdasarkan perjanjian, dan melalukan kegiatan usaha dengan modal yang sebagian besar dimiliki oleh BUMDes, sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang Perseroan Terbatas (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).

2) Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dengan andil BUMDes sebesar 60% sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang lembaga keuangan mikro (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro).

Disisi lain dalam hal pengelolaan BUMDes memiliki beberapa prinsip, yaitu:37

1) Kooperatif, yaitu semua komponen yang terlibat di dalam BUMDes harus mampu melakukan kerjasama yang baik demi pengembangan dan kelangsungan hidup usahanya.

37 Departemen Pendidikan Nasional, Pendirian dan Pengelolaan Badan Usaha Milik

(31)

43

2) Partisipatif, yaitu semua komponen yang terlibat di dalam BUMDes harus bersedia secara sukarela atau diminta memberikan dukungan dan kontribusi yang dapat mendorong kemajuan usaha BUMDes.

3) Emansipatif, yaitu semua komponen yang terlibat di dalam BUMDes harus diperlakukan sama tanpa memandang golongan, suku, dan agama.

4) Transparan, yaitu aktivitas yang berpengaruh terhadap kepentingan masyarakat umum harus dapat diketahui oleh segenap lapisan masyarakat dengan mudah dan terbuka.

5) Akuntabel, yaitu seluruh kegiatan usaha harus dapat dipertanggung jawabkan secara teknis maupun administratif.

6) Sustainabel, yaitu kegiatan usaha harus dapat dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat dalam wadah BUMDes.

Dalam hal modal pendirian BUMDes tersebut diatur dalam Permendesa No. 4 Tahun 2015 tentang Pendirian, Pengurursan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa. Dalam Permendesa No. 4/2015 tersebut menjelaskan bahwa modal awal BUMDes tersebut dapat bersumber dari APB Desa. Kemudian modal BUMDes tersebut terdiri atas:

a) Penyertaan Modal Desa

Penyertaan modal desa yang dimaksud dalam hal merupakan kekayaan desa yang dipisahkan yang berasal dari APB Desa yaitu neraca dan pertanggungjawaban pengurusan BUMDes dipisahkan dari neraca dan pertanggungjawaban pemeritah desa. Kemudian, penyertaan modal desa ini adalah dapat terdiri atas hibah dari pihak swasta, lembaga sosial ekonomi kemasyarakatan dan/atau lembaga donor yang disalurkan melalui mekanisme APB Desa; bantuan Pemerintah, Pemerintah DaerahProvinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang dialurkan melalui mekanisme APB Desa; kerjasama usaha dari pihak swasta, lembaga sosial ekonomi kemasyarakatan dan/atau lembaga donor yang dipastikan sebagai kekayaan kolektif desa dan disaurkan melalui mekanisme APB Desa; aset desa yang diserahkan

(32)

44

kepada APB Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang aset desa.

b) Penyertaan Modal Masyarakat Desa

Penyertaan modal masyarakat desa yang dimaksud dalam hal tersebut adalah berasal dari tabungan masyarakat dan atau simpanan masyarakat.

Sesuai dengan Permendesa No. 4/2015 tersebut menjelaskan struktural organisasi BUMDes berserta dengan tugas dan wewenangnya, yaitu:

1) Penasihat

Dalam hal tersebut penasihat dijabat secara ex officio oleh Kepala Desa yang bersangkutan. Penasihat tersebut memiliki kewajiban untuk

memberikat nasihat kepada Pelaksana Operasional dalam

melaksanakan pengelolaan BUMDes; memberikan saran dan pendapat mengenai masalah yang dianggap penting bagi pengelolaan BUMDes; serta mengendalikan pelaksanaan kegiatan pengelolaan BUMDes.

Penasihat dalam hal tersebut juga berwenang untuk meminta penjelasan dari Pelaksana Operasional mengenai persoalan yang menyangkut pengelolaan usaha desa serta melindungi usaha desa terhadap hal-hal yang dapat menurunkan kinerja BUMDes.

2) Pelaksana Operasional

Tugas dari pelaksana operasional ini adalah mengurus dan mengelola BUMDes sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ataupun pelaksana operasional dapat menunjuk anggota pengurus sesuai dengan kapasitas bidang usaha, khususnya

(33)

45

dalam mengurus pencatatan dan administrasi usaha dan fungsi operasional bidang usaha. Pelaksana operasional tersebut memiliki kewajiban untuk melaksanakan dan mengembangkan BUMDes agar menjadi lembaga yang melayani kebutuhan ekonomi dan/atau pelayanan umum masyarakat desa; menggali dan memanfaatkan potensi usaha ekonomi desa untuk meningkatkan pendapatan asli desa; serta melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga perekonomian desa lainnya.

Disamping itu, pelaksana operasional tersebut berwenang untuk membuat laporan keuangan seluruh unit-unit usaha BUMDes setiap bulan; membuat laporan perkembangan kegiatan unit-unti usaha BUMDes setiap bulan; serta memberikan laporan perkembangan unit-unit usaha BUMDes kepada masyarakat desa melalui musyawarah desa sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun.

3) Pengawas

Pengawas dalam hal tersebut mewakili kepentingan masyarakat yang mempunyai kewwajiban untuk menyelenggarakan Rapat Umum untuk membahas kinerja BUMDes sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali.

Pegawas dalam hal tersebut memiliki susunan sebagai berikut: a) Ketua;

b) Wakil ketua merangkap anggota; c) Sekertaris merangkap anggota; d) Anggota.

(34)

46

Disamping itu, pengawas berwenang untuk menyelenggarakan Rapat Umum Pengawas untuk pemilihan dan pengangkatan pengurus; penetapan kebijakan pengembangan kegiatan usaha dari BUMDes; serta pelaksanaan pemantauan dan evaluasi terhadap kinerja pelaksana operasional.

2.2.2. Status Hukum BUMDes

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pada dasarnya pola kegiatan ekonomi yang beraku di Indonesia perlu memiliki status badan hukum guna kelancaran berjalannya kegiatan usaha tersebut serta mendapatkan perlindungan hukum yang konsisten. Pembangunan ekonomi yang diselenggarakan oleh suatu negara bangsa dewasa ini harus dilihat sebagai upaya terencana, terprogram, sistematik, dan berkelanjutan dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan mutu

hidup seluruh warga masyarakat.38

Lahirnya BUMDesa yang didasarkan sesuai dengan Pasal 213 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah yang menjelaskan bahwa desa dapat mendirikan badan usaha milik desa yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang kemudian dalam penjelasan Pasal 213 tersebut menjelaskan bahwa BUMDes adalah badan hukum. Dalam hal tersebut dapat kita pahami bahwa perlu adanya peraturan hukum yang konkrit yang mengatur mengenai status hukum BUMDes.

Maka dalam hal tersebut adanya beberapa landasan yuridis mengenai status hukum BUMDes tersebut. Pertama, dalam UU Desa Pasal 87 menjelaskan

38 Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi, dan Strateginya,

(35)

47

bahwa desa dapat mendirikan BUMDes yang dikelola dengan semangat kekeuargaan dan kegotongroyongan serta dapat menjalankan usaha dibidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam UU Desa tersebut menjelaskan bahwa pendirian BUMDes tersebut lebih lanjut di atur dalam Peraturan Desa. Hal ini diharapkan bahwa adanya peraturan yang lebih konkrit dalam Peraturan Desa. Kedua, dalam PP No. 43 Tahun 2014 pada dasarnya dalam peraturan tersebut menjelaskan lebih banyak mengenai BUMDes dalam Pasal 132 s/d Pasal 142. Namun peraturan mengenai status hukum BUMDes dalam Pasal 142 menjelaskan bahwa pendirian, pengurusan dan pengelolaan serta pembubaran BUMDes diatur dalam Peraturan Menteri. Tidak hanya berhenti pada PP No. 43/2014, adanya perubahan peraturan yaitu dalam PP No. 47 Tahun 2015 yang kemudian kembali adanya perubahan peraturan dalam PP No. 11 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan atas UU Desa. Namun dengan adanya beberapa perubahan tersebut mengenai pendirian BUMDes serta status hukum BUMDes kembali tidak dijelaskan secara konkrit. Peraturan mengenai status hukum serta pendirian BUMDes tersebut tetap menjelaskan bahwa peraturan pendirian BUMDes tersebut mengacu pada Peraturan Menteri. Ketiga, dalam Permendesa No. 4 Tahun 2015 yang mengatur tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa, menjelaskan mengenai tata cara pendirian BUMDes seperti yang telah diuraikan dalam kajian sebelumnya. Dalam Permendesa No. 4/2015 ini dalam Pasal 7 menjelaskan bahwa BUMDes dapat terdiri dari unit-unit usaha yang berbadan hukum. Unit-unit usaha tersebut meliputi Perseroan Terbatas dan Lembaga Keuangan Mikro. Yang kemudian pengaturan mengenai status hukum

(36)

48

BUMDes tersebut dalam Permendesa No. 4/2015 menjelaskan bahwa selanjutnya pedoman pendirian BUMDes diatur dalam Peraturan Desa.

Maka dalam hal tersebut penulis akan menguraikan mengenai status hukum BUMDes dalam 2 (dua) pandangan. Pertama, berdasarkan Teori Penetapan Dasar Hukum Pendiriannya yaitu status badan hukum secara otomatis ada sejak dasar hukum pendirian suatu badan hukum diberlakukan. Dalam hal tersebut BUMDes memperoleh status badan hukum dengan adanya diterbitkan Peraturan Desa yang mengatur mengenai pendirian BUMDes tersebut. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 88 UU No.6/2014 jo Pasal 132 PP No.43/2014 yang menjelaskan bahwa BUMDes memperoleh status badan hukum ketika disahkan-nya Peraturan Desa tentang pendirian BUMDes tersebut. Dengan adadisahkan-nya Peraturan Desa tersebut akan menjelaskan mengenai pendirian BUMDes serta diharapkan akan mengatur mengenai status hukum BUMDes tersebut. Kedua, berdasarkan dengan Teori Persetujuan (Approval Theory) dalam tulisan yang berjudul “The Mediational Approval Theory of Law in American Legal Realism”

yang ditulis oleh F. S. C. Northrop menuliskan bahwa:39

“by the approval theory of will be meant any theory of law which

rests upon the approval theory of ethics. The approval theory of ethics may be defined as follows: The sentences “x is good” and “p approves of x” are mutually substitutable the one for the other. The dependence of Anglo-American legal positivism upon the approval theory of ethics has been generally recognized.”

Dari teori persetujuan ini menjelaskan bahwa dari teori persetujuan dalam lingkup ilmu hukum akan bertumpu pada etika teori persetujuan. Dalam uraian diatas mengibaratkan dalam kata “x adalah baik” yang kemudian “p menyetujui

39

https://heinonline.org/HOL/LandingPage?handle=hein.journals/valr44&div=38&id=&page=&t=1 556127240, diakses pada tgl. 25 April 2019, pukul 21:33.

(37)

49

x”. Ketergantungan positivisme hukum Anglo-American atas teori persetujuan ini pada umumnya telah diakui. Teori ini mengacu pada pentingnya persetujuan dari Pemerintah berserta dengan Kementerian yang berwenang dalam pengesahan status hukum tersebut.

Maka dalam hal tersebut penulis menganggap bahwa status hukum BUMDes ini semestinya mengacu pada Teori Persetujuan. Sesuai dengan teori persetujuan ini badan hukum lahir sejak proses pendiriannya disetujui oleh Pemerintah atau negara, seperti yang sudah berlaku saat ini yaitu untuk PT, Koperasi, Yayasan, Perusahaan Perseroan/Persero, Perusahaan Perseroan Daerah/Persero Daerah. Karna pada dasarnya BUMDes ini diharapkan dapat berjalan dengan optimal sehingga pengelolaan BUMDes ini dapat setara kinerjanya dengan BUMN serta BUMD. Karna dalam hal tersebut BUMN maupun BUMD disahkan dengan adanya Peraturan Pemerintah dan pengesahan dari Kementerian Hukum & HAM (selanjutnya disebut Kemenkumham). Hal ini membuktikan bahwa dengan adanya persetujuan dari Kemenkumham ini akan menjadi dasar hukum. Maka dalam hal tersebut sesuai dengan teori persetujuan ini menunjukkan bahwa pentingnya adanya persetujuan antara kedua belah pihak. Apabila teori ini tidak diterapkan pada pendirian BUMDes maka pendiriannya tidak dapat dikatakan sah. Memang pada dasarnya dengan adanya UU Desa ini menuntut desa untuk dapat mengurus rumah tangga sendiri namun dalam hal pendirian BUMDes, layaknya seperti BUMN dan BUMD penting adanya pengakuan serta persetujuan sahnya BUMDes dari pihak Pemerintah maupun Kemenkumham berdasarkan teori persetujuan tersebut. Maka apabila adanya peraturan yang menjadi dasar hukum bahwa BUMDes ini merupakan badan

(38)

50

hukum yang akan disahkan oleh Kemenkumham layaknya BUMN dan BUMD ini maka BUMDes pada dasarnya dapat disebut sebagai badan hukum. Disamping itu pentingnya penerapan teori persetujuan ini dalam pengesahan status hukum BUMDes ini memiliki peran penting pula pada teori badan hukum yaitu badan hukum merupakan rechtperson yang memiliki wewenang untuk mewakili suatu badan usaha baik diluar pengadilan maupun di dalam pengadilan. Selanjutnya pentingnya status badan hukum ini dapat kita lihat dalam KUHPerdata yang mengenal adanya 2 (dua) macam subjek hukum, yaitu:

a) Dalam Pasal 1329 KUHPer yang menjelaskan bahwa tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu. Hal tersebut dapat disebut dengan Natuurlijke

Persoon (natural person) yaitu manusia pribadi.

b) Dalam Pasal 1654 KUHPer menjelaskan bahwa semua badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurangi perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasinya atau menundukkanya kepada tata cara tertentu. Hal tersebut dapat disebut dengan Rechtpersoon (legal entity) yaitu badan atau perkumpulan yang didirikan dengan sah yang dapat melakukan perbuatan-perbuatan perdata.

Apabila status hukum BUMDes ini menerapkan pada pandangan bahwa status hukum BUMDes diatur dalam Peraturan Desa dengan mengesampingkan dan tidak menerapkan teori persetujuan maka dalam hal tersebut BUMDes ini tidak dapat disebut bahwa BUMDes merupakan badan hukum. Karna pada

(39)

51

dasarnya BUMDes ini merupakan salah satu bagian dari pola ekonomi yang berlaku di Indonesia guna menggerakkan perekonomian Indonesia yang seharusnya setara atau dalam hal lain sama dengan BUMN dan BUMD maka seharusnya peraturan yang berlaku serta status hukumnya diatur sedemikian rupa sama dengan BUMN dan BUMD pula. Dengan adanya perbedaan dalam hal peraturan status hukum BUMDes ini apabila status hukum BUMDes diatur dengan diterbitkannya Peraturan Desa yang kemudian tidak berkekuatan hukum dalam hal sahnya menjadi badan hukum, maka teori badan hukum tidak dapat diterapkan dalam BUMDes ini karena apabila ditinjau dari teori badan hukum BUMDes ini tidak dapat melakukan perbuatan hukum yang kemudian dalam hal tersebut BUMDes ini tidak dapat mendirikan Perseroan Terbatas dan LKM. Karna BUMDes ini bukanlah suatu subjek hukum maka tidak dapat pula menjadi subjek hukum yang mewakili badan usaha yang dapat melakukan perbuatan hukum baik diluar pengadilan maupun di dalam pengadilan. Hal ini tidak memenuhi salah satu unsur teori badan hukum dalam hal adanya pengesahan dari negara. yang kemudian unsur teori badan hukum itu harus memenuhi beberapa unsur yaitu:

a) Adanya harta kekayaan; b) Adanya tujuan;

c) Adanya kepentingan sendiri (dalam hal badan usaha); d) Punya pengurus/organ;

e) Adanya pengesahan dari negara.

Yang kemudian adanya perbedaan dari ketiga pola ekonomi di Indonesia ini dapat simpulkan dalam tabel sebagai berikut:

(40)

52

Tabel 3.

Perbedaan ketiga kegiatan ekonomi di Indonesia dalam aspek yuridis.

BUMN BUMD BUMDes

Pengesahan Oleh Kementerian

Hukum & HAM.

Oleh Kementerian Hukum & HAM.

Melalui pengesahan terbitnya Peraturan Desa tentang Pendirian BUMDes yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri oleh Ditjen bina Pemerintahan Desa. Tujuan Pendirian Mengejar Keuntungan. Mengejar Keuntungan. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Kegiatan Usaha Perseroan Terbatas & Perusahaan Umum. Perseroan Terbatas & Perusahaan Umum. Perseroan Terbatas & Lembaga Keuangan Mikro (LKM).

Kemudian letak ambiguitas status hukum BUMDes tersebut terletak pada kerugian BUMDes tersebut yang diatur dalam Pasal 139 PP No. 43/2014 yang menjelaskan bahwa kerugian yang dialami oleh BUMDes menjadi tanggung

(41)

53

jawab pelaksana operasional BUMDes. Yang kemudian dalam Pasal 132 angka 6 menjelaskan bahwa pelaskana operasional merupakan perseorangan yang diangkat dan diberhentikan oleh kepala desa. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 1661 KUHPer yang menjelaskan bahwa para anggota badan hukum sebagai perseorangan tidak bertanggung jawab atas perjanjian-perjanjian perkumpulannya. Semua hutang perkumpulan itu hanya dapat dilunasi dengan harta benda perkumpulan.

Maka dalam hal tersebut dengan adanya ambiguitas dalam status hukum BUMDes ini maka penulis beranggapan bahwa BUMDes tidak dapat di katakan sebagai badan hukum karena tidak memenuhinya beberapa unsur teori badan hukum sesuai dengan uraian diatas yaitu dalam hal pengesahan oleh negara, tujuan utama dari BUMDes itu sendiri yang merupakan mensejahterakan masyarakat desa bukanlah mengejar keuntungan semata-mata, dan kerugian yang BUMDes yang merupakan tanggung jawab perseorangan yang bertentangan dengan KUHPer.

Disamping itu timbul adanya alasan mengapa BUMDes yang berlaku saat ini diatur sedemikian yang telah diuraikan diatas tersebut yaitu dilatarbelakangi oleh filosofi BUMDes itu sendiri yaitu pada dasarnya merupakan badan usaha namun bukan semata-mata mencari keuntungan tetapi juga punya muatan pelayanan kepada masyarakat dan menjalankan upaya pemberdayaan masyarakat dan menggerakkan ekonomi desa. Yang kemudian didukung kembali dalam UU Desa yang menjelaskan bahwa BUMDes ini pada dasarnya tidak dapat disamakan dengan badan hukum lainnya seperti Perseroan Terbatas atau CV dikarenakan BUMDes juga mempunyai tujuan mensejahterakan masyarakat desa.

(42)

54

Maka dalam hal tersebut timbul adanya tidak bertumbuhnya BUMDes itu sendiri. Seperti yang dilansir dalam berdesa.com, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi pada Juli 2018 yang menjelaskan bahwa jumlah BUMDes di seluruh Indonesia mencapai 35 ribu dari 74.910 desa di seluruh bumi nusantara. Jumlah itu lima kali lipat dari target Kementrian Desa yang hanya mematok 5000 BUMDes. Namun hal tersebut masih dapat ditemukan permasalahan dalam pendirian BUMDes tersebut. berbagai data menyebut bahwa sebagian besar BUMDes masih sebatas berdiri dan belum memiliki aktivitas usaha yang menghasilkan. Sebagian lagi malah layu sebelum berkembang karena masih ‘sedikitnya’ pemahaman BUMDes pada sebagian besar kepala desa.

Ada beragam masalah yang membuat ribuan BUMDes belum tumbuh sebagaimana harapan. Pertama, karena wacana BUMDes bagi banyak desa baru masih seumur jagung terutama sejak disahkannya UU Desa No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kedua, selama bertahun-tahun desa adalah struktur pemerintahan yang berjalan atas dasar instruksi dari lembaga di atasnya. Hampir semua yang diurus Kepala Desa dan pasukan perangkatnya berpusat pada masalah administrasi. Kalaupun desa mendapatkan porsi membangun, anggaran yang mengucur boleh dikatakan sebagai ‘sisanya-sisa’. Maka lahirnya UU Desa membuat Kepala Desa dan jajaran-nya membutuhkan waktu untuk mempelajari Undang undang dan berbagai peran dan tanggung jawab baru berkaitan dengan datangnya BUMDes di desanya. Pengesahan UU Desa adalah titik balik sejarah bagi desa di Indonesia. Desa yang selama ini hidup hanya sebagai obyek dan dianggap hanya cukup menjalankan instruksi saja, berubah total.

(43)

55

Dari fakta tersebut penulis menganggap bahwa perlunya dasar hukum mengenai pendirian BUMDes tersebut dapat berdampak pada pengelolaan BUMDes. Dalam fakta tersebut terhambatnya perkembangan BUMDes dikarenakan oleh beberapa faktor namun salah satunya merupakan karena peraturan desa yang mulanya desa merupakan struktur pemerintahan yang berjalan atas dasar instruksi dari lembaga diatasnya, saat ini menjadi desa dituntut untuk dapat mengurus rumah tangganya sendiri serta mewujudkan desa yang mandiri membuat perangkat desa membutuhkan waktu untuk memahami wewenang serta tanggung jawab barunya sesuai dengan berlakunya UU Desa tersebut. Maka dalam hal tersebut perlu adanya peraturan yang mengatur mengenai kejelasan pendirian BUMDes yang konkrit.

Maka dalam hal tersebut dengan kurangnya peraturan mengenai status hukum BUMDes ini akan menimbulkan beberapa implikasi, yaitu:

a) Dalam hal pengelolaan, kurangnya peraturan mengenai badan hukum BUMDes ini pada dasarnya membuat BUMDes tidak dapat mendirikan kegiatan usaha Perseroan Terbatas dan LKM. Hal ini didasarkan pada teori badan hukum yang tidak terpenuhi oleh BUMDes sesuai UU BUMDes serta Permendesa No. 4/2015. Apabila BUMDes bukanlah badan hukum maka BUMDes bukanlah suatu subjek hukum yang dapat mewakili badan usaha dalam melakukan perbuatan hukum.

b) Dengan adanya era persaingan pasar bebas saat ini, BUMDes dapat dikatakan akan kalah bersaing dalam pasar bebas tersebut. Sebagai lembaga legal yang menutut desa untuk dapat mensejahterakan

(44)

56

rakyatnya serta dapat melahirkan keunggulan lokal tersebut, baiknya status hukum pendirian BUMDes yang sebagai fondasi lahirnya badan usaha tersebut memiliki peraturan yang jelas.

Referensi

Dokumen terkait

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari kepustakaan berupa buku- buku, dokumen, peraturan perUndang-undangan, literatur-literatur, karya ilmiah, internet

menyebutkan bahwa single tap root memiliki kemampuan untuk menyerap air dari kedalaman tanah yang dalam dan mencukupi kebutuhan air lebih dari 65% pada tanaman

Pada bab ini akan dilakukan analisis dan pembahasana dari hasil pengumpulan dan pengolahan data terhadap penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan

Sutarwi, Pujiasmanto B, Supriyadi 2013, Pengaruh Dosis Pupuk Fosfat Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Beberapa Varietas Tanaman Kacang Tanah (Arachis Hypogaea (L.) Merr)

Dengan potensi batubara Kalimantan seperti yang telah diuraikan di atas, maka dapat dipastikan realisasi pembangunan PLTU Madura tidak a kan mengala mi kesulitan

ROI yang terdapat di komputer kamera gamma diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar untuk penentuan paparan radiasi dan akumulasi untuk radiasi interna (

Dari hasil analisis perhitungan pathloss pada model Okumura dan model Lee diharapkan diperoleh model yang sesuai pada daerah suburban dengan karakteristik slope

program studi, nama dan kode mata kuliah, semester, sks, nama dosen pengampu; b) capaian pembelajaran lulusan yang dibebankan pada mata kuliah; c) kemampuan akhir yang