• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Mualaf Memerlukan Pembinaan

قافّتلااو داحّتلاا ىلع ّثحلا :هيخأب ريثك ءرملا Manusia menjadi banyak karena saudaranya: merupakan ungkapan

URGENSI PEMBINAAN KARAKTER RELIGIUS BAGI MUALAF DI KOTA SINGKAWANG

A. Status Mualaf Memerlukan Pembinaan

Alasan pertama urgensi pembinaan karakter religius bagi mualaf di Kota Singkawang adalah status mualaf itu sendiri yang menuntut untuk dilakukan pembinaan.

Singkawang termasuk kota yang dihuni oleh berbagai macam etnis. Hubungan dan pergaulan antar etnis itu membawa kepada asimiliasi dan akulturasi budaya hingga melakukan pernikahan antar suku dan agama. Misalnya suku Dayak dengan Melayu, suku Dayak dengan Jawa, Tionghoa dengan Dayak, Tionghoa dengan Melayu, dan Tionghoa dengan Jawa. Faktor pernikahan ini yang dominan menjadi penyebab terjadinya konversi agama. Karena untuk menikah dengan pasangan beda agama tidak bisa dilaksanakan, sehingga pilihan untuk memeluk Islam dilakukan agar dapat melaksanakan pernikahan.

Motivasi yang sekedar hanya agar bisa menikah ini membuat komitmen terhadap ajaran Islam kurang kokoh sehingga banyak di antara mereka setelah menikah menganggap sudah cukup.

Data tentang motivasi mualaf melakukan konversi agama yang Peneliti dapatkan dari responden dari kalangan mualaf dapat disajikan sebagai berikut:

Wardi dan Rukiah, dua orang mualaf yang kini menjadi penyuluh dengan tugas membina para mualaf melakukan konversi agama karena pernikahan. Menjadi mualaf karena faktor pernikahan juga dilakukan

134 oleh Mariaty, Ayu Wandira Wati, Pera Wati, Riska, Ani, Ima Julianti, Elmida, Yustina, Nurmala, dan Rita. Mereka menjadi mualaf karena suaminya seorang muslim sehingga harus pindah agama mengikuti agama suaminya.

Berbeda dengan para mualaf di atas, Demta, Krista Seling menjadi mualaf karena perubahan status. Sedangkan mualaf lain yaitu Sri Suyamti menjadi mualaf karena faktor keluarga, kemauan, dan pernikahan. Sementara Deweni dan Dewi menjadi mualaf karena perubahan status, kemauan sendiri dan pernikahan. Mualaf yang lain, Ermina masuk Islam karena ajakan orang dekat, kemauan dan pernikahan.

Berbeda dengan mualaf-mualaf di atas, Tjia Mui Sen, menjadi mualaf karena selama memeluk agama lamanya merasa tidak tenang, takut, gelisah, terkadang berteriak-teriak sendiri di rumah karena ada rasa takut. Dengan demikian latar belakang konversi agama para mualaf berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Konversi agama terjadi antara wanita muslimah dengan laki-laki di luar Islam atau antara laki-laki beragama Islam dengan wanita di luar Islam. Menjadi mualaf merupakan persyaratan agar mereka bisa menikah. Kebanyakan pasangan campuran ini tidak memiliki latar belakang kemampuan religius yang memadai sehingga muncul permasalahan kurangnya dukungan dari pasangan untuk mengikuti program pembinaan. Dari observasi dan wawancara langsung kepada mualaf di Dusun Senggang dan Sanggau Kulor, didapatkan data bahwa para suami yang diharapkan untuk membina istri-istri mereka yang merupakan mualaf ternyata tidak memberikan pembinaan dengan alasan

135 sibuk bekerja. Kesibukan ini menyebabkan para istri dari kalangan mualaf itu mengalami kebingungan antara keinginan belajar agama dengan kenyataan bahwa orang terdekat yang diharapkan untuk memberikan bimbingan justru tidak memiliki kesempatan. Namun dengan adanya program pembinaan mualaf yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui kementerian agama para istri ini berinisiatif sendiri untuk mengikuti pembinaan.

Dengan data ini dapat disimpulkan bahwa status mualaf itu sendiri menjadi alasan dilakukannya pembinaan. Sebab mereka merupakan orang-orang yang meninggalkan keyakinan, ajaran dan sikap hidup yang sudah lama mendarah daging pada dirinya kemudian menggantinya dengan keyakinan, ajaran dan sikap hidup baru yaitu agama Islam.

Para mualaf yang dilatar belakangi faktor pernikahan jika tidak mendapatkan pembinaan akan rentan untuk terhenti hanya pada menyandang status mualaf tanpa mengetahui dan mengamalkan ajaran Islam. Maka pembinaan karakter religius bagi mualaf memiliki urgensi tinggi untuk dilakukan sebagaimana data yang diperoleh dari para mualaf ketika mereka diberikan pertanyaan:

Apakah Anda berkeinginan untuk belajar dan mendalami ajaran-ajaran Islam setelah menjadi mualaf? Sebanyak 25 responden menjawab ya. Dua orang kakak beradik yaitu Yusina dan Nurmala menjawab ya tetapi tidak ada yang mengajari.

Menurut Anda, perlukah mualaf dibina dalam kegiatan yang rutin dan berkesinambungan?Sebanyak 25 responden menjawab perlunya pembinaan yang rutin dan berkesinambungan.

136 Menurut Anda, perlukah mualaf dibina dalam wadah lembaga pendidikan atau semacam yayasan pembinaan mualaf? Dari sebanyak 25 responden ada 24 yang menjawab perlu mualaf dibina dalam wadah lembaga pendidikan, hanya satu responden yang menyatakan tidak perlu. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa para mualaf sangat memerlukan pembinaan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan para penyuluh yang membina mualaf didapatkan hasil bahwa para mualaf adalah orang yang mendapatkan hidayah sehingga harus dijaga agar tidak kehilangan hidayah tersebut dengan cara diberikan pembinaan karakter religius.

Sebab terdapat beberapa mualaf yang karena tidak mendapatkan pembinaan akhirnya mereka kembali memeluk agama asalnya.

Para mualaf sangat memerlukan pembinaan untuk mengokohkan keimanan dan keislaman mereka sehingga membawa kepada ketenangan dan perasaan nyaman dengan memeluk agama Islam. Zakiah Darajat menjelaskan bahwa konversi agama diwujudkan dengan rasa tenang, tentram dan konsisten mengamalkan ajaran agamanya.211 Agar mereka dapat konsisten mengamalkan ajaran agama dibutuhkan pembinaan yang mampu membentuk karakter religius mereka.

Membina mualaf berarti memelihara agar Islam tidak hilang dari diri para mualaf. Dalam Uṣul al-Fiqh dikenal teori hifẓu al-dīn atau memelihara agama dan merupakan kemaslahatan aksiomatis peringkat pertama.

Menjaga seseorang agar tetap berpegang teguh pada agama Islam dan tidak keluarnya termasuk upaya memelihara agama. Karena dengan

211 Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, 163

137 tidak meninggalkan Islam, syari‘at Islam akan dijalankan. Al-Qur’an memperingatkan bahwa orang yang meninggalkan agama Islam tidak akan mendapatkan ampunan Allah SWT.

َّنِإ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir setelah iman mereka kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali tidaklah diterima taubat mereka dan mereka itulah orang-orang yang sesat (Q.S.Ali Imran/3: 90).

َّنِإ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman (pula), kamudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, Maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (Q.S.al-Nisa’/4: 137).

Orang yang melakukan konversi dari Islam ke agama atau keyakinan lain disebut murtad.

َو ِإ َّن

kepada agama yang dipeluk sebelumnya.”212

Membiarkan seorang mualaf keluar lagi dari Islam berarti mengabaikan maslahat. Karena menyia-nyiakan petunjuk yang telah mereka dapatkan. Sebaliknya, memelihara mualaf agar tetap dalam Islam berarti memelihara maslahat.

212 Ibnu Kaṡīr bin Gālib al-Amily, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Juz 3, 163,َVersi 2.11, Maktabah Syāmilah.

138 Al-Syaṭibi mengklarifikasi hasil dari eksplorasi para peneliti terhadap al-Qur'an dan Sunnah Nabi ﷺ bahwa hukum yang diturunkan oleh Allah ditujukan untuk memenuhi maslahat manusia baik di kehidupan dunia ini maupun di akhirat nanti. Maslahat yang akan dicapai terbagi menjadi tiga macam, yaitu maslahat ḍarūriyyat, maslahat ḥājiyyāt, dan maslahat taḥsīniyyāt.213

Maslahat ḍarūriyyāt adalah maslahat yang harus dipenuhi, jika tidak, akan mengancam keselamatan manusia. Yang termasuk jenis maslahat ini ada lima yaitu: 1) menjaga agama (ḥifżu al-dīn); 2) menjaga jiwa (ḥifżu al-nafs); 3) menjaga akal (ḥifżu al-‘aql); 4) menjaga keturunan (ḥifżu al-nasl); dan 5) menjaga harta (ḥifżu al-māl).

Ayat-ayat hukum selalu mengandung alasan pembentukannya adalah untuk mewujudkan kelima tujuan tersebut. Misalnya perintah untuk berjihad: (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim (Q.S.al-Baqarah/2: 193) Dan perintah untuk memberlakukan hukum qiṣaṣ:

ْم كَلَو

orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa (Q.S.al-Baqarah/2: 179).

213 Ibrahim bin Musa bin Muhammad Lakhmi Garnaṭi. al-Muwāfaqāt, (tt:Dar Ibn ‘Affan,1997), 5, Maktabah Syāmilah.

139 Ayat pertama menjelaskan bahwa perang disyari’atkan bertujuan demi kelancaran jalan dakwah jika mengalami gangguan dan untuk menyeru manusia agar menyembah Allah. Sedangkan ayat berikutnya menjelaskan disyari’atkannya hukum qisas adalah untuk menegakkan kehidupan manusia agar bebas dari ancaman.

Kebutuhan ḥājiyyāt adalah kebutuhan sekunder, jika tidak terpenuhi tidak mengancam keselamatan manusia tetapi akan membawa kesulitan. Misalnya disyari’atkan beberapa keringanan dalam beribadah seperti kebolehan tidak berpuasa jika dalam kondisi musafir atau sakit, kebolehan meringkas salat ketika bepergian yang memenuhi syarat.214 Dalam bidang muamalat disyari’atkan beberapa akad seperti jual-beli, sewa menyewa, perseroan (syirkah) dan muḍarabah.

َما ي ِر ْي هللا د ِل َي َع َل ْج َع َل ْي ْم ك ْن ِم َح َر ٍج

Allah tidak hendak menyulitkan kamu dalam agama (Q.S.al-Maidah/5:

6).

ٍجَرَح ْنِم ِنيِّدلا يِف ْم كْيَلَع َلَعَج اَمَو

Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama (Q.S.al-Hajj/22: 78).

Maslahat taḥsiniyyāt adalah maslahat yang jika tidak dipenuhi tidak membahayakan salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Kebutuhan ini bersifat pelengkap dan untuk kepatutan saja. Misalnya menjaga diri dari memandang yang tidak baik, menghias diri, bersuci dari najis, berpakaian yang bersih dan rapi setiap kali berangkat ke masjid, dan mengerjakan ibadah sunnah sebanyak

214 Satria Effendi, Ushul Fiqih,(Jakarta: Prenada Media, 2005),235

140 mungkin.215

Urgensi perumusan maqāṣid al-Syarī‘ah menjadi pembahasan para ahli hukum Islam. Pembahasan terfokus pada maṣlaḥah yang merupakan visi bagi umat Islam mengenai fungsi hukum Islam dalam kehidupan masyarakat. Dengan konsep maṣlaḥah sebagai tujuan syari‘at Islam menjadikan syari‘at Islam tidak hanya dilihat sebagai aturan praktis semata, melainkan juga sebagai aturan yang bertujuan membawa kebaikan bagi manusia. Dalam kaitan dengan maṣlaḥah ini, jika terjadi ancaman terhadap suatu maṣlaḥah, maka menghilangkan ancaman patut didahulukan demi terjaganya maṣlaḥah tersebut. As-Subuki menyajikan kaidah:

ءرد نم ىلوأ دسافملا حلاصملا بلج

Mencegah kerusakan lebih utama daripada mengambil maslahat.216

Oleh karena itu para ulama selalu mengaitkan dalam pembahasan hukumnya dengan manfaat dan mudarat dengan rumusan:

ِبْلَج ِّرُّضلا ِعْفَدَو ِعْفَّ نلا

Mengambil manfaat dan menolak mudarat.217

Sebuah kemaslahatan bisa terwujud di waktu lampau, kini dan yang akan datang. Para ulama memandang kapanpun kemaslahatan perlu dipelihara sehingga terkenal adagium: “muḥāfażah ‘ala qadīm

215 Satria Effendi, Ushul Fiqih, 236

216 As-Subuki, al-Asybāh wa al-Naẓāir,1058.

217 Al-Syaukani, Fatḥ al-Qadīr,316.

141 ṣāliḥ wa al-akhżu bi al-jadīd al-aṣlaḥ.”(menjaga hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik).218

Definisi tersebut berkembang dalam pembahasan-pembahasan kaidah furu‘ (kaidah fikih).219Hal ini menandakan bahwa hukum Islam merupakan sarana untuk memelihara kepentingan dan maslahat manusia. Kemaslahatan tersebut dapat dipahami oleh mereka yang memiliki kemampuan berpikir ke arah itu.220

Dengan uraian ini maka pembinaan kepada para mualaf dilakukan untuk mencapai tiga kemaslahatan yaitu kemaslahatan ḍarūriyyāt, kemaslahatan ḥājiyyāt, dan kemaslahatan taḥsīniyyāt.

karena itulah yang menjadi tujuan syari‘at.

B. Problematika Mualaf Yang Perlu Mendapat Penyelesaian