• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

3.4. Status Perkawinan

Faktor status perkawinan mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel

Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Anata Toer. Perkawinan adalah suatu hubungan antara pria dan wanita yang sudah dewasa yang saling mengadakan ikatan hukum adat, atau agama dengan maksud bahwa mereka saling memelihara hubungan tersebut agar berlangsung dalam waktu yang relatif lama (Suyono, 1985: 315). Sapaan yang dipengaruhi faktor ini menunjukkan bahwa orang yang disapa telah menikah atau kawin. Sapaan yang dipengaruhi faktor status perkawinan yang terdapat dalam novel ini dibentuk berdasarkan gelar dan kombinasi istilah kekerabatan dengan jabatan.

Sapaan yang dipengaruhi faktor status perkawinan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer dipakai untuk menyebut tokoh yang berkedudukan sebagai istri. Beberapa contoh sapaan yang dipengaruhi faktor status perkawinan dalam novel ini, sebagai berikut:

(33) Nyonya menatap Ireng sejenak, kemudian menjawab: Menurut pendapatku, begini. Sebaiknya tanah liar itu kita garap beramai-ramai. Kami, kaum wanita, lebih banyak memikir tentang anak dan keturunan. Ya, kita semua bukan bekerja untuk diri sendiri semata. Kita bekerja terutama bekal buat anak dan keturunan, bukan begitu, Bu Lurah?

Tiba-tiba kerumunan itu meledakkan kegembiraan mendengar jawaban Nyonya. Di antaranya terdengar pekikan nyaring di antara kerumunan itu:

Bagai mana pendapatmu, Bu Lurah? (hlm. 125)

Sapaan Bu Lurah dalam tuturan (33) menunjukkan adanya pengaruh faktor status perkawinan. Dalam novel ini, Sapaan Bu Lurah dipakai untuk menyebut tokoh Ireng, istri tokoh Ranta. Tokoh Ranta berkedudukan sebagai lurah darurat di desa tersebut (Toer, 2004: 83). Namun, sapaan Bu Lurah dalam komunikasi sehari-hari dapat dipakai untuk untuk menyebut seorang wanita yang telah atau belum menikah yang menjabat sebagai lurah.

(34) Ranta mengawasi Nyonya sebentar, kemudian berkata: Tentu saja bukan ancaman. Nyonya, bagaimana sekarang pendapat Nyonya tentang suami Nyonya?

Nyonya mempermain-mainkan ujungjarinya sambil dengan ragu-ragu menjawab:

Kalau dia DI, tentu saja dia mesti ditangkap. Tapi Pak Lurah jangan lupa, bagaimanapun juga dia suamiku.

Pak Lurah Ranta menyambar:

Nah, itulah Nyonya, justru karena suami Nyonya itulah aku bertanya: setujukah Nyonya suami Nyonya masuk DI? (hlm. 80,81)

Sapaan Nyonya dalam contoh (34) menunjukkan adanya pengaruh faktor status perkawinan. Sapaan tersebut dipakai untuk menyapa wanita dewasa yang memiliki kedudukan yang tinggi, misalnya istri seorang tuan tanah. Dalam novel ini, sapaan Nyonya dipakai untuk menyebut tokoh Nah, istri tokoh Musa.

Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor status perkawinan dalam beberapa contoh tuturan di atas dipengaruhi juga faktor lain. Misalnya, pemakaian

sapaan Nyonya dalam contoh (34) dipengaruhi juga faktor jenis kelamin. Sapaan Nyonya dipakai mitra tutur yang berjenis kelamin perempuan.

3.5. Jabatan

Faktor jabatan mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Jabatan adalah pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi (KBBI, 1995: 392). Sapaan yang dipengaruhi faktor jabatan yang terdapat dalam novel ini dibentuk berdasarkan kombinasi istilah kekerabatan dan jabatan.

Sapaan yang dipengaruhi faktor jabatan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer dipakai untuk menyebut tokoh yang memiliki jabatan tertentu. Beberapa contoh sapaan yang dipengaruhi faktor jabatan yang terdapat dalam novel ini, sebagai berikut:

(35) Pak Kasan, yang tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya menghampiri Juragan Musa sambil bertanya canggung:

Pak Residen, barangkali membutuhkan bantuanku? Dengan suara mendesis murka Juragan Musa menjawab gagap:

Pecahkan kepala perempuan murtad ini! (hlm.67,68)

Sapaan Pak Residen dalam contoh (35) menunjukkan adanya pengaruh faktor jabatan. Sapaan tersebut dipakai untuk menyebut mitra tutur yang menjabat sebagai pemimpin wilayah keresidenan. Dalam novel ini, sapaan Pak Residen dipakai untuk menyebut tokoh Musa, seorang pembesar atau pejabat yang membawa dokumen-dokumen penting organisasi DI (Toer, 2004: 65). Selain itu,

sapaan Pak Residen yang dipakai juga menunjukkan kemungkinan bahwa tokoh Musa menjabat sebagai pemimpin organisasi DI dalam suatu wilayah keresidenan.

(36) Semua yang hadir diam-diam dengan gayanya masing-masing karena tenggelam dalam pikiran. Tetapi tidak lama kerena ketenangan segera diganggu oleh datangnya Yang Pertama. Pada muka, kaki, dan tangannya nampak bekas luka-luka kena senjata tajam. Segera ia ditegur oleh Pak Lurah waktu ia berdiri termangu-mangu:

Nah, apa kabar? Sudah lama tidak kelihatan. Yang Pertama tersenyum malu, kemudian menerangkan:

Pulang dari rumahsakit, Pak Lurah. Rumahsakit mana? Pelabuhan Ratu? Benar, Pak Lurah.

Tidak jadi ke Jakarta?

Mau apa lagi, Pak Lurah? (hlm. 114, 115)

Sapaan Pak Lurah dalam contoh (36) menunjukkan adanya pengaruh faktor jabatan. Sapaan tersebut dipakai untuk menyebut mitra tutur yang menjabat sebagai kepala desa. Dalam novel ini, sapaan Pak Lurah dipakai untuk menyebut tokoh Ranta yang menjabat sebagai lurah darurat di desa tersebut (Toer, 2004: 83).

(37) Nyonya tak dapat menjawab, hanya menyembunyikan mukanya ke dalam kedua belah telapak tangannya. Dari balik telapak tangan itu terdengar suaranya yang kacaubalau:

Apa yang mesti kukatakan, Pak Komandan?

Komandan itu tak mengambil pusing Nyonya dan mendesak Juragan Musa;

Dengar, Juragan Musa. Daerah sini daerah paling kacau. Sudah kuusahakan bermusyawarah dengan orang-orang terkemuka di sini dan Pak Lurah, tapi…

Sekali lagi terdengar bunyi burung dari luar rumah, suatu isyarat yang disuarakan OKD, yang memberi alamat bahwa ada datang orang banyak.

Komandan itu meninjau kelilingnya. Dengan terburu-buru ia memberikan perintah suami-isteri itu:

Sekarang gerombolan akan datang. Juragan Musa, Nyonya, perbuat seperti Juragan dan Nyonya perbuat terhadap Pak Lurah tadi. Gerakgerik Juragan dan Nyonya kami awasi terus. (hlm. 67)

Sapaan Pak Komandan dalam contoh (37) menunjukkan adanya pengaruh faktor jabatan. Sapaan tersebut dipakai untuk menyebut lawan bicara yang menjabat sebagai komandan suatu pasukan dalam miter. Dalam novel ini, sapaan Pak Komandan dipakai untuk menyebut tokoh Komandan yang menjabat sebagai pimpinan prajurit yang bertugas menjaga keamanan di daerah tersebut (Toer, 2004: 65, 73).

Pemakaian sapaan yang dipengaruhi oleh faktor jabatan dalam beberapa contoh tuturan di atas dipengaruhi juga oleh faktor lain. Misalnya, pemakaian sapaan Pak Komandan dalam sapaan (37) dipengaruhi juga oleh faktor jenis kelamin. Sapaan Pak Komandan dipakai untuk menyebut mitra tutur yang berjenis kelamin laki-laki.

3.6. Kekerabatan

Faktor kekerabatan mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Benten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor kekerabatan menunjukkan adanya hubungan kekerabatan antara penututur dengan mitra tutur. Mansur -mengutip pendapat Eggan- menyebutkan bahwa kekerabatan adalah hubungan sosial, baik akibat dari keturunan darah, perkawinan, maupun karena wasiat (1988: 21). Sapaan yang dipengaruhi faktor kekerabatan yang terdapat dalam novel ini dibentuk berdasarkan istilah kekerabatan dan nama diri.

Sapaan yang dipengaruhi faktor kekerabatan yang terdapat dalam novel

menyebut mitra tutur yang masih berkerabat dengan penutur. Hubungan kekerabatan antartokoh yang terdapat dalam novel ini hanya berdasarkan akibat dari perkawinan. Beberapa contoh pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor kekerabatan dalam novel ini, sebagai berikut:

(38) Ireng terkejut. Ia cari mata suaminya di dalam kerembangan beranda dan bertanya dengan nada kuwatir:

Kau, Pak? Kau mau ke mana? Ranta tak menjawab.

Pergi juga, Pak? Nyolong bibit karet?

Ranta menarik tangan istrnya dan dibawanya masuk ke dalam rumah. Di depan pintu Ranta menahan Ireng dan menatap matanya. Berkata:

Dengar, Reng. Memang aku sering nyolong. Tapi bukan karena kemauanku aku jadi maling.

Pak! Pak!

Kalau nanti keadaan sudah baik….. Kalau ditangkap, Pak? (hlm. 20)

Sapaan Pak dalam contoh (38) menunjukkan adanya pengaruh faktor kekerabatan. Berdasarkan contoh di atas, sapaan Pak dipakai tokoh Ireng untuk menyebut tokoh Ranta. Teks yang terdapat dalam contoh (38) menunjukkan bahwa kedua tokoh ini memiliki hubungan suami istri.

(39) Ranta tak mempedulikan kata-kata Yang Kedua. Cepat ia berpaling pada istrinya dan berkata:

Reng, ambil semua pakaian. Kalau sudah kunci pintunya. (hlm.37)

Sapaan Reng dalam contoh (39) menunjukkan adanya pengaruh faktor kekerabatan. Dalam novel ini, sapaan Reng dipakai tokoh Ranta untuk menyebut tokoh Ireng. Berdasarkan teks di atas, tokoh Ranta dan tokoh Ireng memiliki hubungan suami istri.

(40) Kau mau mengikuti aku dalam senang dan sengsara, bukan, Nah?

Kau sendiri dengar bagaimana janji nikahku. Cuma soalnya, bagaimana yang sana?

Biar aku ceraikan.

Nyonya menatap suaminya dengan kasihsayangnya. Aku dalam kesulitan, Nah.

Nyonya tersenyum tak percaya. Tetapi Juragan Musa meneruskan dengan keterangannya:

Benar, Nah. Maafkan segala kata-kata yang terlanjur tadi. Nyonya agak terharu mendengar itu. Ia hampiri suaminya dan duduk di atas tangan-tangan kursi suaminya. Tetapi tiba-tiba Juragan Musa ingat akan kesulitannya dan sagera mengelakkan. Berkata gugup:

Jangan ajak aku bicara panjang-panjang. Keadaan amat sulit. Lebih baik siapkan barang-barang yang perlu.

Kita tak jadi ke kota?

Tidak, Nah, tidak ke kota, mungkin ke hutan. (hlm. 47,48)

Sapaan Nah dalam contoh (40) menunjukan adanya pengaruh faktor kekerabatan. Dalam novel ini, sapaan Nah dipakai oleh tokoh Musa untuk menyebut tokoh Nah. Berdasarkan teks di atas, tokoh Nah dan tokoh Musa memiliki hubungan suami istri.

Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor kekerabatan dalam beberapa contoh tuturan di atas dipengaruhi juga faktor lain. Misalnya, pemakaian sapaan Pak dalam contoh (38) dipengaruhi juga faktor jenis kelamin. Sapaan Pak dipakai untuk menyebut mitra tutur yang berjenis kelamin laki-laki.

Dokumen terkait