• Tidak ada hasil yang ditemukan

SAPAAN DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SAPAAN DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

i Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memeperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Bayu Andhika Sugiarto NIM: 034114049

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

▸ Baca selengkapnya: dua peristiwa yang menyentuh perasaan dalam novel di sebalik dinara

(2)

Skripsi

SAPAAN

DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

Oleh

Bayu Andhika Sugiarto NIM: 034114049

Telah disetujui oleh

Pembimbing I

Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum. tanggal 27 Juli 2007

Pembimbing II

Drs. Hery Antono, M. Hum. tanggal 27 Juli 2007

(3)

Skripsi

SAPAAN

DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

Dipersiapkan dan ditulis oleh Bayu Andhika Sugiarto

NIM: 034114049

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada 14 Agustus 2007

Dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan Ketua Drs. B. Rahmanto, M. Hum. ... Sekretaris Drs. Hery Antono, M.Hum ... Anggota 1. Drs. P. Ari Subagyo, M. Hum. ... 2. Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum ... 3. Drs. Hery Antono, M. Hum. ...

Yogyakarta, 31 Agustus 2007 Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma

Dr. Fr. B. Alip, M. Pd., M.A. Dekan

(4)

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. ( Q.S. Alam Nasyrah: 5 dan 6)

”Di mana-mana aku selalu dengar: Yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar; Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar”

- Prameodya Ananta Toer -

skripsi ini kupersembahkan untuk bapak dan ibuku

(5)

ABSTRAK

Sugiarto, Bayu Andhika. 2007. ”Sapaan dalam Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer”. Skripsi Strata Satu (S1). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini membahas sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Tujuan dari penelitian ini mendeskripsikan dasar pembentukan sapaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan

karya Pramoedya Ananta Toer.

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiolinguistik.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak, yaitu menyimak penggunaan bahasa. Penyimakan dilakukan terhadap sapaan yang terkandung dalam tuturan novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Pada tahap penyimakaan ini digunakan teknik sadap, dilanjutkan dengan teknik simak bebas libat cakap. Kemudian dilanjutkan lagi dengan teknik catat, yaitu dengan melakukan pencatatan pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan klasifikasi. Data yang akan dianalisis dibatasi dengan penentuan sampel secara tidak acak, berdasarkan kriteria tertentu. Dalam penelitian ini digunakan penentuan sampel bertujuan, yaitu pembatasan data berdasarkan tujuan penelitiannya.

Pada tahap analisis data digunakan metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya dari luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Alat penentu metode padan referensial ialah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa, sedangkan alat penentu metode padan pragmatis adalah orang yang menjadi mitra wicara. Kedua metode ini dilaksanakan dengan teknik dasar teknik pilah unsur penentu (teknik PUP) dan teknik lanjutan teknik hubung banding menyamakan (teknik HBS). Hasil analisis data berupa kaidah penggunaan sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Hasil analisis tersebut disajikan dengan metode penyajian informal, yaitu perumusan kaidah tersebut dengan kata-kata dan metode formal, yaitu perumusan kaidah dengan tanda dan lambang.

Dasar pembentukan sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu nama diri, istilah kekerabatan, gelar, kombinasi, dan sapaan lain. Dasar pembentukan sapaan tersebut dipakai secara utuh dan dalam bentuk penggal. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu status sosial, keintiman, hubungan kekerabatan, jenis kelamin, jabatan, etnis, status perkawinan, dan situasi. Setiap pemakaian sapaan dalam tuturan yang terdapat dalam novel ini dipengaruhi oleh beberapa faktor sekaligus. Selain itu, variasi sapaan tersebut disebabkan karena ranah tuturan dan hubungan sosial.

(6)

ABSTRACT

Sugiarto, Bayu Andhika. 2007. Address in Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer. S1 thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters Study Program, Indonesian Letters Department, University of Sanata Dharma.

This thesis discusses address in Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer. The objective is to describe basic formation of address and factors influencing its choice in Sekali Peristiwa di Banten Selatan

novel by Pramoedya Ananta Toer.

This is a descriptive study with sociolingustic approach Scrutinize method in language usage was used for data gathering. Scrutiny was carried out on addresses in speeches of Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer. In this stage, tapping technique continued with free scrutiny including conversation was used. Noting technique, i.e., by creating notes in data cards for clarification, was subsequently used. The data were analyzed with non-random sample choice based on certain criteria. In this study purposeful sampling, i.e., data limitation based on study objective, was used.

Referential and pragmatic matching methods were used for data analysis. Matching method is data analysis method with external decision tool, free and independent of the language. Decision tool for referential matching method was facts referred by the language, whereas decision tool for pragmatic matching was speech partner. Both methods was carried out using dividing-key-factors technique (PUP Technic) and corelation of the equalizing technique (HBS Technic). Data analysis result was principle of address use in Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer. These results were presented with informal presentation method, i.e., principle formulation using words; and formal method, i.e., principle formulation using signs and symbols.

Address formation basic in Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer are proper name, kinship terms, title, combination and other addresses. These are wholly and partially used Factors influencing the use of address in Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer were social status, intimacy, kinship, sex, position, ethnicity, marital status, and situation. Each use of address in speech in the novel were influenced by some factors simultaneously. Besides, its variations were caused by speech domain and social relationship.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena penulis telah menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi berjudul ”Sapaan dalam Novel

Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer” ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini, antara lain:

1. Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum. selaku pembimbing I sekaligus dosen yang telah membagi pengetahuan serta memberikan bimbingan, saran, kritik, dan motivasi terhadap kami.

2. Drs. Hery Antono, M. Hum. selaku pembimbing II, dosen, dan pembimbing akademik yang telah membagi pengetahuan, membantu penyusunan skripsi ini, serta memberikan motivasi kepada kami.

3. Drs. B. Rahmanto, M. Hum., Drs. P. Ari Subagyo, M. Hum., Drs. F. X. Santoso, M. S., Drs. Yoseph Yapi Taum, M. Hum., S. E. Peni Adji, S. S., M. Hum., Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum., serta dosen tamu di Sastra Indonesia yang telah membagi pengetahuan serta memotivasi kami.

4. Staf sekretariat Fakultas Sastra dan staf Universitas Sanata Dharma yang telah membantu kelancaran seluruh urusan kuliah.

5. Teman-teman mahasiswa Sastra Indonesia yang telah berjuang bersama mencari pengetahuan.

Penulis telah berusaha dengan maksimal dalam penyusunan skripsi ini. Namun, penulis sadar bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun terhadap skripsi ini dari pembaca. Penulis akan bertanggungjawab atas setiap kesalahan dalam skripsi ini. Terima kasih.

Penulis

(8)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah

Yogyakarta, Agustus 2007

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.6.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemakaian Sapaan ... 9

1.6.3. Ranah (Domain) ... 11

1.7.3. Metode dan Teknik Penelitian 1.7.3.1. Tahap Pengumpulan Data ... 15

1.7.3.2. Tahap Analisis Data ... 16

1.7.3.3. Tahap Penyajian Hasil Analisis Data ... 16

1.8. Sistematika Penyajian ... 17

BAB II DASAR PEMBENTUKAN SAPAAN DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER.

2.6.1. Kombinasi Istilah Kekerabatan dan Nama Diri ... 29

(10)

2.6.2. Kombinasi Istilah Kekerabatan dan Jabatan ... 29

2.6.3. Kombinasi Gelar dan Nama Diri ... 31

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMAKAIAN SAPAAN DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER. 3.1. Pengantar ... 33

3.2. Status Sosial ... 34

3.3. Keakraban ... 38

3.4. Status Perkawinan ... 40

3.5. Jabatan ... 42

3.6. Kekerabatan ... 44

3.7. Jenis Kelamin ... 47

3.8. Etnis ... 49

3.9. Situasi ... 51

3.10. Ranah dan Hubungan Sosial ... 54

3.10.1. Ranah ... 54

3.10.2. Hubungan Sosial ... 55

BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan ... 59

4.2. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64

LAMPIRAN ... 66

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kata Ganti ... 13

Tabel 2. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Nama Diri ... 22

Tabel 3. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Istilah Kekerabatan ... 25

Tabel 4. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Gelar... 27

Tabel 5. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Kombinasi... 32

Tabel 6. Hubungan Sosial Penutur dan Mitra Tutur ... 58

Tabel 7. Dasar Pembentukan Sapaan dalam Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer ... 59

Tabel 8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemakian Sapaan dalam Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer ... 60

(12)

1 1.1.Latar Belakang

Dalam skripsi ini dianalisis mengenai penggunaan sapaan dalam novel

Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Sapaan merupakan salah satu jenis kata yang mengandung konsep makna dan mempunyai peran di dalam pelaksanaan bahasa. Subiyakto-Nababan (1992: 153) berpendapat bahwa kata sapaan adalah kata atau istilah yang dipakai orang kepada lawan bicara. Kata sapaan berkaitan erat dan berdasarkan tanggapan atau persepsinya atas hubungan pembicara dengan lawan bicara. Chaer (1998: 107) mengatakan bahwa kata-kata yang digunakan untuk menyapa, menegur, atau menyebut orang kedua, atau orang yang diajak bicara disebut kata sapaan.

Sapaan muncul tidak hanya dalam suatu tuturan lisan, tetapi juga tuturan yang diwujudkan dalam suatu tulisan. Contoh tulisan yang memuat bentuk-bentuk sapaan dalam suatu tuturan adalah karya sastra, khususnya naskah drama dan novel. Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer menjadi sumber data penelitian ini.

(13)

(1). Ireng muncul di ambang pintu. Bersuara ramah dan agak keras, tetapi nyata suaranya terdengar sumbang:

Siapa sih panggil-panggil itu? O, Juragan Musa. Duduk, Gan! Tanpa menoleh ke belakang Musa menyambut:

Mulai kapan sih, pura-pura tak kenal aku? Ireng merapihkan bale bambu sambil menjawab:

Bukannya pura-pura tak kenal, Gan. Memang tidak tahu sih. (hlm. 16)

(2). Ranta bangun dan duduk, ditariknya tangan Ireng dan dengan lemahlembutnya berkata dengan kata-kata yang keluar satu-satu, jelas, pelahan, dan penuh kasih sayang:

Ada waktunya, Reng, kita akan hidup baik dan senang. Nanti. Insya Allah, Pak. Kita sudah cukup bekerja –kita berdua. Tetapi rejeki masih juga di tangan Tuhan. (hlm. 19)

(3). Nyonya tak dapat menjawab, hanya menyembunyikan mukanya ke dalam kedua belah telapak tangannya. Dari balik telapak tangan itu terdengar suaranya yang kacaubalau:

Apa yang mesti kukatakan, Pak Komandan?

Komandan itu tak mengambil pusing Nyonya dan kemudian mendesak Juragan Musa;

Dengar, Juragan Musa. Daerah sini daerah paling kacau. Sudah kuusahakan bermusyawarah dengan orang-orang terkemuka di sini… (hlm. 66)

(4). Paduan suara yang demikian terdengar berulang-ulang akhirnya terdengar serumpun percakapan diselangseling tawa dan canda:

Ayoh, tinggal satu pasak lagi.

Ayoh, kawan-kawan, habiskan. Tinggal satu. (hlm. 110) Sapaan yang terdapat dalam penggalan dialog di atas dicetak tebal.

(14)

Musa. Sapaan kawan-kawan dalam contoh (4) merupakan sapaan yang dibentuk berdasarkan sapaan lain. Istilah ini muncul karena sapaan kawan-kawan tidak dapat diklasifikasikan ke dalam dasar pembentukan sapaan lainnya.

Ada dua hal yang akan dianalisis dalam penelitian ini, yaitu analisis terhadap dasar pembentukan sapaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan. Analisis terhadap dasar pembentukan sapaan dilakukan untuk membuktikan penggunaan istilah tertentu (perbendaharaan kata bidang tertentu) sebagai sapaan. Hal ini berdasarkan pendapat Chaer (1998: 107) bahwa kata-kata sapaan ini tidak mempunyai perbendaharaan kata sendiri, tetapi menggunakan kata-kata dari perbendaharaan kata nama diri dan kata nama perkerabatan.

Penggunaan sapaan yang bervariasi, seperti beberapa contoh di atas, merupakan alasan utama menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan dalam penelitian ini. Hal ini berdasarkan anggapan bahwa ada faktor tertentu yang mempengaruhi seseorang memakai sapaan tertentu dalam pelaksanaan bahasa.

Sapaan merupakan salah satu fenomena unik yang sering muncul dalam tuturan. Dikatakan unik karena lawan bicara dapat disapa dengan nama diri, istilah kekerabatan, gelar, kombinasi, atau istilah sapaan lain. Misalnya, lawan bicara yang seorang dokter laki-laki bernama Rudi dapat disapa Rudi, Pak, Dok, Dokter Rudi, atau Rekan. Hal ini tergantung hubungan pembicara dengan mitra bicara.

(15)

masyarakat keturunan Cina biasa disapa Cik. Seorang camat disapa Pak Camat. Istri seorang camat disapa Bu Camat. Sapaan Cik dan Bu menunjukkan bahwa orang yang disapa tersebut berjenis kelamin perempuan. Sapaan Pak menunjukkan orang yang disapa berjenis kelamin laki-laki.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.2.1. Apa dasar pembentukan sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer?

1.2.2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel

Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer?

1.3.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:

1.3.1. Mendeskripsikan dasar pembentukan sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer.

1.3.2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer.

(16)

Penelitian ini merupakan penerapan teori linguistik terhadap realitas penggunaan bahasa yang diwujudkan dalam bentuk karya sastra, khususnya novel

Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca novel tersebut dalam membedakan antara sapaan dengan kata ganti dan panggilan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk mengetahui dasar-dasar pembentukan sapaan dalam novel tersebut. Selain itu, pembaca diharapkan terbantu dalam memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan yang ada dalam novel tersebut melalui hasil penelitian ini. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu bahasa dan menambah perbendaharaan kepustakaan ilmu bahasa, khususnya sosiolinguistik. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan membantu analisis-analisis sapaan selanjutnya.

1.5.Tinjauan Pustaka

(17)

menunjukkan lingkungan, perasaan serta hubungan antarpemakai bahasa. Kata-kata itu biasanya berasal dari Kata-kata sapaan pinjaman tetapi sudah tidak terasa sebagai kata sapaan pinjaman (misalnya: saya, kami, kamu). Kata sapaan pinjaman lebih sering digunakan daripada kata sapaan asli. Sebutan dan ganti nama sebagai kata sapaan pinjaman lebih dapat menunjukkan lingkungan dan perasaan serta hubungan antarpemakai bahasa. Ada beberapa sapaan yang mengalami perubahan kelas yang disebabkan oleh seringnya dipakai dan karena pinjaman dari kelas lain.

Analisis sapaan dalam novel pernah dilakukan oleh Maria Enny Hirawati pada tahun 1997 dalam skripsinya yang berjudul ”Analisis Bentuk Sapaan dalam Tuturan Antartokoh Cerita Novel Para Priyayi karya Umar Kayam (Pendekatan Sosiolinguistik)”. Dari hasil penelitian tersebut, Hirawati menyimpulkan bahwa ada 86 bentuk sapaan dan jenis sapaan yang terdapat dalam tuturan antartokoh cerita novel ParaPriyayi karya Umar Kayam, ada 97 macam bentuk relasi antara penyapa dan pesapa yang terdapat dalam tuturan antartokoh cerita novel Para Priyayi karya Umar Kayam yang dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu betuk relasi kekerabatan dan nonkekerabatan (1997: 274-285). Faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan bentuk sapaan, antara lain: participant, jenis kelamin, keintiman hubungan, hubungan kekerabatan, usia, ends, status sosial, hubungan nonkekerabatan, setting, scene, norm of interactin and interpretation,

(18)

relasi antarpeserta tutur, dan norma komunikasi masyarakat Jawa (Hirawati, 1997: xxii).

Suhardi dkk. pada tahun 1984-1985 melakukan penelitian terhadap sistem sapaan bahasa Jawa. Dari hasil penelitian tersebut, Suhardi dkk. menyimpulkan lima hal. Pertama, bentuk-bentuk sapaan bahasa Jawa berhubungan erat dengan sistem perkerabatan, dan beberapa di antaranya berkaitan dengan gelar kebangsawanan. Kedua, pemilihan bentuk-bentuk sapaan di dalam tindak komunikasi ditentukan oleh berbagai faktor yang berhubungan dengan penutur, lawan bicara, dan situasi bicara. Ketiga, penuturan bentuk-bentuk sapaan bahasa Jawa menampakkan berbagai bentuk, setiap perubahan bentuk bertalian erat dengan keakraban dan penghormatan. Keempat, karena luasnya pemakaian bahasa, kata-kata sapaan bahasa Jawa tidak jarang mengalami perubahan (perluasan dan penyempitan) arti sehingga sering sangat sulit dirunut bentuknya secara etimologis. Kelima, eratnya pemakaian bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing menyebabkan masuknya beberapa kata sapaan kedua bahasa itu ke dalam bahasa Jawa (Suhardi dkk., 1985: 102).

Penelitian terhadap sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan

(19)

1.6.Landasan Teori

1.6.1. Sapaan

Chaer (1998: 107) mengatakan bahwa kata-kata yang digunakan untuk menyapa, menegur, atau menyebut orang kedua, atau orang yang diajak bicara disebut kata sapaan. Kata-kata sapaan ini tidak mempunyai perbendaharaan kata sendiri, tetapi menggunakan kata-kata dari perbendaharaan kata nama diri dan kata nama perkerabatan. Chaer (1998: 109) juga memberikan catatan bahwa kata

Bapak dalam kalimat ”Pak, apakah Bapak tahu ..?” adalah sebagai kata benda, bukan kata sapaan.

Kata sapaan yaitu kata atau istilah yang dipakai menyapa lawan bicara. Sapaan terdiri atas nama kecil, gelar, istilah perkerabatan, nama keluarga (bagi suku bangsa yang mempunyai sistem itu), nama hubungan perkerabatan dengan nama seorang kerabatnya (disebut tektonimi), kombinasi dari yang di atas. Kata sapaan yang dipakai orang kepada lawan bicara berkaitan erat dengan, dan berdasarkan, tanggapan atau persepinya atas hubungan pembicara dengan lawan bicara (Subiyakto-Nababan, 1992: 153).

(20)

dengan klausa, sapaan tidak merupakan pendukung makna inti dalam keseluruhan kalimat (Suhardi dkk, 1985: 10)

Jadi, sapaan adalah kata atau gabungan kata yang dipakai untuk menyebut orang yang diajak bicara. Sapaan berbeda dengan kata ganti karena bukan pendukung makna inti dalam suatu tuturan. Sapaan berbeda dengan panggilan karena dioposisikan dengan kalimat.

1.6.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Sapaan

“Language varies according to its uses as well as its users, according to

where it is used and to whom, as well as according to who is using it” (Holmes, 2001: 223). ”The speaker’s relatioship to the addressee is crucial in determining the appropiate style of speaking. And how you know someone or how close you

feel to them –relative social distance/ solidarity- is important dimension of social

relationship. Many factors may contribute in determining the degree af social

distance or solidarity between people –relative age, gender, social roles, whether

people work together, or are part of the same family, and so on. These factors

(21)

Jarak sosial dapat dilihat dari sudut vertikal ataupun horisontal. Dimensi vertikal akan menunjukkan apakah seseorang itu berada di atas atau di bawah (berkedudukan tinggi atau lebih rendah). Dimensi vertikal ini merupakan sebuah alat untuk menempatkan seseorang dalam kontinum hormat dan tidak hormat. Dimensi sosial ini misalnya kelompok umur, kelas, status perkawinan. Sedangkan dimensi horisontal menunjukkan kontinum akrab dan tidak akrab. Misalnya derajat persahabatan, jenis kelamin atau seks, latar belakang etnik atau agama, latar belakang pendidikan, jarak tempat tinggal.

Suhardi dkk. (1985: 6) -mengutip pendapat Suseno Kartomihardjo- mengatakan bahwa faktor-faktor yang menentukan pemilihan sapaan, yaitu situasi, etnik, kekerabatan, keintiman, status, umur, jenis kelamin, status perkawinan, dan asal. Suhardi dkk. (1985: 60) mengatakan bahwa munculnya kata-kata sapaan itu dalam suatu peristiwa atau tindak komunikasi biasanya ditentukan oleh berbagai faktor yang erat berkaitan dengan penutur, lawan bicara, dan situasi penuturan.

(22)

sehubungannya dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya (Soekanto, 1990: 265).

Jabatan adalah pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi (KBBI, 1995: 392). Umur adalah lama waktu hidup atau ada, sejak dilahirkan atau diadakan (KBBI, 1995: 1103). Kelamin merupakan sifat jasmani ataupun rohani yang memebedakan dua makhluk sebagai betina dan jantan, atau wanita dan pria (Suyono, 1985: 187). Perkawinan adalah suatu hubungan antara pria dan wanita yang sudah dewasa yang saling mengadakan ikatan hukum adat, atau agama dengan maksud bahwa mereka saling memelihara hubungan tersebut agar berlangsung dalam waktu yang relatif lama (Suyono, 1985: 315). Asal adalah tempat dibuat atau dilahirkan (KBBI, 1995: 59).

1.6.3. Ranah (Domain)

Ranah merupakan konstelasi antara partisipan (paling tidak dua orang), lokal, dan topik. ”The large-scale aggregative regularities that obtain between varieties and societally recognized functions are examined via the construct

termed domain” (Fishman, 1971: 248).

Domain is clearly a very general concept which draws three important factors in code choice –participant, setting, and topic. It is useful for capturing broad generalistions about any speech community. Using information about the domains of use in a community it is possible to draw a very simple model summarising the norms of language use for the community” (Holmes, 2001: 23).

Greenfield –mengutip pendapat Fishman- menyebutkan “Relevan domains for decribing language use in many relatively complex multi lingual societies would

probably include family, friendship, religion, education, work sphere, and

(23)

1.6.4. Konteks

Konteks adalah satu situasi yang terbentuk karena terdapat setting, kegiatan dan relasi. Setting meliputi waktu dan tempat situasi itu terjadi. Kegiatan merupakan semua tingkah laku yang terjadi dalam interaksi bahasa. Relasi merupakan hubungan antara peserta bicara dan tutur. Hubungan itu dapat ditentukan oleh (1) jenis kelamin, (2) umur, (3) kedudukan: status, peran, prestasi,

prestise, (4) hubungan kekeluargaan, (5) hubungan kedinasan: umum, militer, pendidikan, kepegawaian, majikan dan buruh, dan sebagainya. Konteks terjadi jika terjadi interaksi antara tiga komponen tersebut (Parera, 2004: 227-229). 1.6.5. Panggilan

Suhardi dkk. –mengutip pendapat Poerwadarminta- menyebutkan bahwa kata panggilan dipakai lebih luas daripada kata sapaan (1985: 10). Memanggil (KBBI, 1995: 724) berarti mengajak (meminta) datang (kembali, mendekat, dsb) dengan menyerukan nama, mengundang atau menyilakan datang, menyebut atau menamakan. Panggilan (KBBI, 1995: 724) adalah imbauan, ajakan, undangan, hal (perbuatan, cara) memanggil, sebutan atau nama.

Kridalaksana (1982: 119) menyebutkan bahwa panggilan adalah kalimat minor bukan klausa berupa nama, gelar atau pangkat orang yang dipanggil, benda yang dibawa. Kalimat minor bukan klausa berbentuk berupa kata tunggal atau frase yang tidak mengandung predikat tetapi mempunyai intonasi final (Kridalaksana, 1982: 73).

(24)

Kata benda yang menyatakan orang sering kali diganti kedudukannya di dalam pertuturan dengan sejenis kata yang lazim disebut kata ganti (Chaer, 1998: 91). Pronomina persona adalah pronomina (kata yang dipakai untuk mengacu ke nomina lain) yang dipakai untuk mengacu ke orang. Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri-pronomina persona pertama-, mengacu pada orang yang diajak bicara-pronomina persona kedua-, atau mengacu mengacu pada orang yang dibicarakan-persona ketiga (Depdikbud, 1988: 172).

Makna

Jamak Persona

Tunggal

Netral Eklusif Inklusif

Pertama saya, aku, daku, ku, -ku

kami kita

Kedua engkau, kamu, Anda, dikau, kau, -mu

kalian, kamu (sekalian), Anda sekalian

Ketiga ia, dia, beliau, -nya mereka, -nya Tabel 1. Kata Ganti 1.6.7. Hubungan Antarmanusia

(25)

Organisasi sosial mencakup pranata-pranata yang menentukan kedudukan lelaki dan perempuan dalam masyarakat, dan dengan demikian menyalurkan hubungan pribadi mereka. Kategori ini pada umumnya dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu pranata yang tumbuh dari hubungan kekerabatan dan pranata yang merupakan hasil dari ikatan antara perorangan berdasarkan keinginan sendiri, berdasarkan jenis kelamian, umur, atau kepentingan bersama (Herskovits, 1987 :82).

1.7.Metode Penelitian

1.7.1. Jenis Penelitian

. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang memerikan objek penelitian berdasarkan fakta yang ada (Sudaryanto, 1988: 62). Penelitian ini dilaksanakan dengan cara mendeskripsikan fakta yang disusul dengan analisis.

1.7.2. Pendekatan

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah sosiolinguistik. Sosiolinguistik (Nababan, 1984: 2) ialah studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Boleh juga dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial).

(26)

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak, yaitu menyimak penggunaan bahasa. Dalam penelitian ini dilakukan penyimakan terhadap sapaan yang terkandung dalam tuturan yang terdapat dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer.

Dalam tahap penyimakan ini digunakan teknik sadap, dilanjutkan dengan tekni simak bebas libat cakap. Kegiatan menyadap dilakukan dengan tidak berpartisipasi ketika menyimak. Peneliti tidak terlibat dalam dialog, konversasi, atau imbal wicara. Kemudian dilanjutkan lagi dengan teknik catat, yaitu dengan melakukan pencatatan pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan klasifikasi (Sudaryanto, 1993: 133-135).

Data penelitian merupakan satuan lingual yang berada pada tataran yang lebih tinggi daripada objek penelitian. Data dimengerti sebagai fenomen lingual yang mengandung dan berkaitan langsung dengan masalah yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 5-6). Dari sumber data yang ada diharapkan data dapat ditemukan, dianalisis, dan dijelaskan. Sumber data penelitian ini adalah novel

Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Data penelitian ini berupa tuturan-tuturan yang mengandung sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer.

(27)

hal ini sumber data yang dipilih adalah data yang memang benar-benar mengandung data yang diperlukan.

1.7.3.2. Tahap Analisis Data

Dalam tahap ini digunakan metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya dari luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Alat penentu dalam metode padan referensial ialah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa, sedangkan alat penentu metode padan pragmatis adalah orang yang menjadi mitra wicara (Sudaryanto, 1993: 13).

Kedua metode ini dilaksanakan dengan teknik pilah unsur penentu (teknik PUP) sebagai teknik dasar dan teknik hubung banding menyamakan (teknik HBS) sebagai teknik lanjutan. Teknik PUP dilakukan pemilahan terhadap data dengan menggunakan daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh peneliti (Sudaryanto, 1993: 21). Teknik HBS dilakukan untuk menentukan identitas objek sasaran penelitian (Sudaryanto, 1993: 27). Kedua teknik tersebut dipakai untuk memecahkan permasalahan dalam penelitian ini.

1.7.3.3. Tahap Penyajian Hasil Analisis Data

(28)

1.8.Sistematika Penyajian

(29)

18

DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

2.1. Pengantar

Dalam bab ini dianalisis mengenai dasar pembentukan sapaan dalam novel

Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Analisis terhadap dasar pembentukan sapaan dilakukan untuk membuktikan penggunaan perbendaharaan kata bidang tertentu sebagai sapaan. Hal ini dilakukan berdasarkan pendapat Chaer (1998: 107) yang menyatakan bahwa kata sapaan tidak mempunyai perbendaharaan kata sendiri, tetapi menggunakan kata-kata dari perbendaharaan kata nama diri dan kata nama perkerabatan. Sedangkan Subiyakto-Nababan (1992: 153) mengatakan bahwa sapaan terdiri atas nama kecil, gelar, istilah perkerabatan, nama keluarga (bagi suku bangsa yang mempunyai sistem itu), nama hubungan perkerabatan dengan nama seorang kerabatnya (disebut tektonimi), kombinasi dari yang di atas.

(30)

Berdasarkan hasil analisis, dasar pembentukan sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, antara lain: nama diri, istilah kekerabatan, gelar, istilah pertemanan dan, kombinasi.

2.2. Nama Diri

Sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri sering dipakai dalam suatu percakapan. Sapaan ini dibentuk berdasarkan nama diri orang yang disapa atau lawan bicara. Nama diri adalah nama yang dipakai untuk menyebut diri seseorang (KBBI, 1995: 681). Dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri dipakai untuk menyebut tokoh yang memiliki nama tersebut.

(5). Dengan menunduk kepala, membongkok sedikit, dan lemah lunglai, Ranta keluar dari rumah melewati pintu. Dengan air muka muram, tak senang hati dan segan ia menghadap Musa. Dan dengan suara bernada bersalah ia memulai:

Saya, Gan.

Mengapa tak dari tadi-tadi muncul?

Ranta tak menjawab, hanya menjatuhkan pandangan lebih dalam Tak baik pura tak dengar. Biasanya kau tak begitu, Ranta. Saya, Gan.

Nah, Ireng, aku mau bicara dengan lakimu, pergilah. (hlm. 17) (6). Kini Juragan Musa menatap Djameng den berkata: Cukup Djameng. Pergi kau. (hlm. 51)

(31)

menyebut tokoh Djameng. Nama diri dalam contoh (5) dan (6) dipakai secara utuh sebagai sapaan. Sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri lebih sering dipakai secara tidak utuh atau dipenggal. Beberapa contoh sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri yang tidak utuh atau dipenggal, sebagai berikut:

(7). Ranta maju sedikit dan berdiri di samping Musa agak di belakangnya. Dengan suara mencoba-coba ramah ia menyilakan: Duduk, Gan.

Tetapi Musa pura-pura tak dengar. Ia menerawang langit. Berkata: Mau hujan. Lihat, tu. Ah-ah, waktu baik, musim baik. Bukan, Ta? (hlm. 17)

(8). Ranta tak mempedulikan kata-kata Yang Kedua. Cepat ia berpaling pada istrinya dan berkata:

Reng, ambil semua pakaian. Kalau sudah kunci pintunya. (hlm. 37) (9). ... Juragan Musa menarik keris pusaka dari ... Tiba-tiba ia bangkit berdiri. Tangan kanannya terangkat ke atas dan mulutnya bersuara:

Allaikumsalam! Masuk, Meng! (hlm. 49)

(10). Mendengar suara itu Rodjali berdiri diam-diam mendengarkan. Setelah ucapan Ireng selesai, Rodjali bertanya:

Sudah sadar, Bu?

Ireng menjawab dari dalam rumah:

Kasihan. Belum, Djali. Sudah tengah malam, belum, Djali? Hampir subuh, Bu.

Kukira masih sore.

Djali mesti pergi cari Pak Lurah, Bu? Tidak! Urus mayat-mayat itu, Li. (hlm.99)

(11). ... Segera juragan Musa menatap istrinya dan bertanya: Kau mau mengikuti aku dalam senang sengsara, bukan, Nah? Kau sendiri dengar bagaimana janji nikahku. Cuma soalnya, bagaimana yang sana?

Biar aku ceraikan.

Nyonya menatap suaminya dengan kasih sayangnya. Aku dalam kesulitan, Nah.

Nyonya tersenyum tak percaya. Tetapi Juragan Musa meneruskan dengan keterangannya:

(32)

Sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri yang dipakai secara tidak utuh atau dipenggal dalam contoh (7) yaitu Ta, merupakan penggalan dari sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri Ranta. Reng dalam contoh (8) merupakan penggalan sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri Ireng. Sapaan dalam contoh (9), yaitu Meng, merupakan bentuk penggal dari sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri Djameng. Sapaan Djali dan Li dalam contoh (10) merupakan penggalan dari sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri Rodjali. Dalam novel ini, sapaan Djali dan Li dipakai untuk menyebut tokoh Rodjali. Untuk sapaan Nah dalam contoh (11), meskipun dalam keterangan teks tidak disebutkan bentuk utuhnya, dianggap merupakan bentuk penggalan nama diri. Dalam novel ini, sapaan Nah dipakai untuk menyebut tokoh Nah. Sapaan ini biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari untuk menyapa seseorang yang memiliki nama dengan suku akhir –nah, misalnya Fatonah, Marsinah, dan sebagainya.

Berdasarkan analisis di atas, pemenggalan nama diri yang dipakai sebagai sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer memiliki ciri tertentu. Pemenggalan nama diri ini sesuai dengan suku kata pembentuknya, biasanya suku kata terakhir yang dipakai sebagai sapaan.

(33)

Untuk nama diri yang dibentuk lebih dari dua suku kata yang dipakai sebagai sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, bentuk penggalnya memakai suku kata terakhir atau gabungan dua suku kata terakhir. Nama diri yang terdiri lebih dari dua suku kata yang dipakai sebagai sapaan lebih bervariasi bentuk penggalnya. Misalnya, nama diri Rodjali

terdiri dari suku kata ro-, -dja-, -li. Suku kata akhir dari nama diri Rodjali adalah li dan dua suku kata terakhirnya adalah –dja- dan –li, digabung menjadi -djali. Bentuk penggal sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri Rodjali dalam novel

Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu Djali dan Li, seperti dalam contoh (10).

No Nama diri (nama tokoh) Sapaan

1. Ranta Ranta, Ta

2. Ireng Ireng, Reng

3. Djameng Djameng, Meng

4. Rodjali Djali, Li

5. Nah Nah

Tabel 2. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Nama Diri

2.3. Istilah Kekerabatan

Istilah kekerabatan merupakan dasar pembentukan sapaan yang juga sering dipakai dalam suatu percakapan. Mansur -mengutip pendapat Eggan- menyebutkan bahwa kekerabatan adalah hubungan sosial, baik karena keturunan darah, akibat perkawinan, maupun karena wasiat (1988: 21). Dalam analisis ini, istilah kekerabatan yang dimaksud adalah kata-kata yang menunjukkan hubungan keluarga.

(34)

sebaliknya, dan akhirnya pandangan mereka berhenti pada mulutnya. Kemudian Yang Pertama memulai:

Begini, Pak. Mula-mula abdi nyatakan penyesalan abdi telah langgar larangan itu. Karena pelanggaran itu abdi dikeroyok dan dirampas gerombolan, Pak. Semua modal habis. Yang tinggal cuma celana dalam. Abdi dipukuli setengah mati.

Komandan itu menegakkan badannya dan bertanya:

... Baru berapa bulan kita mau kerjasama? Lihat sendiri, sudah begitu banyak kita dapat perbuat.

Yang Pertama menunduk, kemudian menjawab: Ya, Pak. Abdi sendiri memang salah, Pak.

Jangan minta maaf padaku, berjanji pada saudara-saudaramu itu! Yang Pertama diam saja, dan makin menunduk.

Apa kau malu kerjasama dengan saudara-saudaramu sendiri? Tidak, Pak.

Mengapa tak juga bicara pada mereka?

Yang Pertama menegakkan badannya, memandang ke sekelilingnya, mula-mula pada Ranta, kemudian pada Komandan, Prajurit, kemudian pada kerumunan pekerja sukarela, dan akhirnya memperdengarkan suaranya:

Sudara-sudara, aku berjanji akan kerjasama dengan kalian, dalam segala usaha yang bermanfaat. (hlm. 115-116)

(13). Isteri Ranta tak senggup menjawab. Rodjali mengetok-ngetok dari luar. Dengan suara gemetar perempuan itu bertanya: Si-a-pa?

Rodjali, Bu, Cuma Rodjali!

Ireng, isteri Ranta, mendengar jawaban Rodjali serta-merta mengusap-usap dada dan menyebut:

Astaga! Cuma Rodjali? Buat kaget orang saja, kau, Li.

Terdengar tertawa pendek di luar yang menyatakan sukacita, kemudian menyusul suaranya:

Benar-benar kaget, Bu? (hlm. 95)

(14). Ireng menghampiri dan membangunkan: Pak! Aku kira pergi.

... Nampak Yang Pertama terlompat dari bale, mengocok matanya, menatap Ireng kemudian membeliakkan matanya yang belum awas dan dengan kagetnya berseru:

Maaf, Mpok. Kami menginap di sini semalam. Kami sudah... (hlm. 23)

(35)

seorang setengah baya bertubuh kecil, pendek, tetapi gesit tingkahlakunya.

Kang, tegur Yang Petama, ini kawanku. Sudah……. (hlm. 36)

Beberapa contoh tuturan di atas mengandung sapaan yang dibentuk berdasarkan istilah kekerabatan. Dalam novel ini, sapaan yang dibentuk berdasarkan istilah kekerabatan adalah Pak, Sudara-sudara, Bu, Mpok, Kang. Sapaan-sapaan ini dipakai untuk menyebut tokoh-tokoh dalam novel tersebut. Misalnya, sapaan Pak dalam contoh (12) dipakai untuk menyebut tokoh Komandan.

Contoh (12) menunjukkan penggunaan sapaan yang dibentuk berdasarkan istilah kekerabatan berupa Pak dan Sudara-sudara. Pada contoh (13), sapaan dibentuk berdasarkan istilah kekerabatan adalah Bu. Sapaan yang dibentuk berdasarkan istilah kekerabatan dalam contoh (14), yaitu Mpok. Sapaan Kang dalam contoh (15) juga dibentuk berdasarkan istilah kekerabatan.

Sapaan Pak dalam contoh (12) merupakan penggalan istilah kekerabatan

bapak yang bersuku kata ba- dan -pak. Bapak adalah sebutan untuk orang tua kandung laki-laki. Sapaan Bu dalam contoh (13) merupakan penggalan istilah kekerabatan ibu yang ber suku kata i- dan -bu. Ibu adalah sebutan untuk orang tua kandung perempuan.

Sapaan Kang dalam contoh (15) merupakan pengalan istilah kekerabatan

akang (bahasa Sunda) atau kakang (bahasa Jawa) yang berarti saudara tua (kakak) laki-laki. Akang bersuku kata a- dan –kang, sedangkan kakang bersuku kata

(36)

kekerabatan Empok. Empok adalah istilah untuk saudara tua (kakak) perempuan dalam bahasa Betawi.

Sapaan Sudara-sudara dalam contoh (12) merupakan bentuk ulang dari istilah kekerabatan sudara (variasi pemakaian istilah kekerabatan saudara sebagai sapaan karena keterbatasan kemampuan pengucapan pembicaranya). Kata

saudara dipakai untuk menunjukkan adanya hubungan kekerabatan. Namun, sapaan ini dapat dipakai untuk menyebut mitra tutur yang tidak yang tidak berkerabat dengan penutur. Sapaan yang menggunakan bentuk perulangan menunjukkan bahwa lawan yang disapa jamak.

No. Istilah kekerabtan Sapaan

1. Bapak Pak

2. Ibu Bu

3. Empok Mpok

4. Akang Kang

5. Saudara Saudara-saudara, sudara- suadara Tabel 3. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Istilah Kekerabatan

2.4. Gelar

Pengunaan sapaan yang dibentuk berdasarkan gelar dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer cukup banyak. Gelar merupakan sebutan kehormatan atau keilmuan yang biasanya ditambahkan pada nama orang; nama tambahan sesudah nikah atau setelah tua (sebagai kehormatan); sebutan (julukan) yang berhubungan dengan keadaan atau tabiat orang ( KBBI, 1995: 301). Beberapa contoh sapaan yang dibentuk berdasarkan gelar dalam novel ini, sebagai berikut:

(37)

Dari rumah Ranta? Saya, Juragan.

Tidak lihat tasku ketinggalan di sana? Tidak, Juragan.

Tongkatku? Tidak, Juragan.

Pergi lagi ke rumah Ranta! Saya, Juragan.

Minta tas dan tongkatku dari dia. Saya, Juragan.

Kalau dia tak mau kasih, bunuh dia! Tapi orangnya tak ada, Juragan. Tidak ada?

Rumahnya terkunci, Juragan. Ke mana? Kau tahu?

Tidak, Juragan.

Ya, Allah, ya Allah(hlm. 47)

(17). Ranta berhenti di tengah-tengah ruangan, dan tanpa menengok pada Nyonya, ia menyambut:

Baiklah, Nyonya. Rumah ini tidak akan rusak atau kehilangan perabotnya. Kalau Nyonya datang kembali, semua masih dalam keadaan utuh. Tapi ngomong-ngomong, Nyonya, bagaimana perasaan Nyonya sekarang?

Terdengar nyata Nyonya menghela nafas panjang, kemudian baru menjawab:

Aku kira sama sajalah dengan perasaan perempuan lain kalau ditinggalkan suaminya. Dan tentang aku sendiri—ditinggalkan dalam keadaan bagaimana! (hlm. 80)

Sapaan yang dibentuk berdasarkan gelar dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu Juragan dalam contoh (16) dan Nyonya dalam contoh (17). Dalam novel ini, sapaan Juragan dipakai untuk menyebut tokoh Musa, sedangkan sapaan Nyonya dipakai untuk menyebut tokoh Nah. Kedua gelar yang dipakai sebagai sapaan ini dipakai secara utuh. Juragan

(38)

Penggalan sapaan Juragan dan Nyonya dipakai juga dalam novel ini. Beberapa contoh pemakaian bentuk penggal sapaan Juragan dan Nyonya dalam novel ini, yaitu:

(18). Ranta berdiam diri, menggaruk-garuk tengkuk dan leher, kemudian, setelah merasa pandangan Musa ditimpakannya pada keningnya, tangannya yang menggaruk-garuk jatuh lunglai. Musa memulai:

Tahun yang lalu kau juga yang kusuruh ambil bibit karet. Sekarang kau juga yang kusuruh. Apa susahnya?

Juragan tahu sendiri, Gan, dulu hampir-hampir tertangkap. Goblok! Apa perlunya otak dalam kepalamu itu!

Saya, Gan.

Jadi berangkat nanti malam. Aku tunggu jam tiga pagi di rumah. Saya, Gan. (hlm. 18)

(19). Tanpa menjawab ia menghadap Nyonya lewat pintu dalam. Melihat Rodjali sudah ada di hadapannya, Nyonya bertanya dengan suara cepat:

Juragan tidak pesan apa-apa tadi?

Setelah menyekakan kedua belah telapak tangan pada sampingmenyamping celana piama, Rodjali menjawab:

Ada, Nya. Katanya pergi ke rumah Ranta. (hlm. 41)

Dalam contoh (18), sapaan Juragan (dari suku kata ju-, -ra-, -gan) dipakai hanya suku kata akhirnya saja, yaitu Gan, sebagai sapaan. Sapaan Nya Dalam contoh (19) merupakan bentuk penggal dari sapaan Nyonya yang bersuku kata

nyo- dan -nya.

Aturan pemenggalan sapaan dalam novel ini berdasarkan suku kata. Suku kata yang dipakai sebagai sapaan yang berupa penggalan ini adalah suku kata akhir dan kombinasi dua suku kata terakhir.

No. Gelar Sapaan

1. Juragan Juragan, Gan

2. Nyonya Nyonya, Nya

(39)

2.5. Istilah pertemanan

Sapaan yang dibentuk berdasarkan istilah pertemanan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer sangat terbatas. Pertemanan (friendship, persahabatan) adalah hubungan yang erat atau akrab antara pihak-pihak tertentu (Soekanto, 1983: 196). Sapaan lain ini hanya ada satu saja dan tidak banyak dipakai dalam novel ini.

(20). Dari kursinya Lurah Ranta berseru: Ayoh, masuk, kawan-kawan!

Beberapa orang masuk ke dalam dengan berkalung sarung tenun, berpeci, tanpa alas kaki. Semua bercelana hitam kolor di bawah lutut tetapi sebagian dari mereka berbaju kaos buntung dan sebagian lagi berbaju teluk belanga. Seorang bertelanjang dada. Mereka semua berdiri di hadapan Pak Lurah, menunggu perintah. (hlm. 84)

Dalam contoh (20), sapaan yang di bentuk berdasarkan istilah sapaan lain yang terdapat dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, yakni kawan-kawan. Berdasarkan tuturan di atas, sapaan kawan-kawan dipakai untuk menyebut tokoh warga desa yang digambarkan sebagai orang-orang yang berkalung sarung tenun, berpeci, tanpa alas kaki. Sapaan kawan-kawan biasa dipakai untuk menyebut orang yang memiliki hubungan dekat atau akrab tetapi tidak berkerabat.

2.6. Kombinasi

(40)

dan jabatan, gelar dan nama diri. Sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi ini sangat terbatas pemakaiannya dalam novel ini. Analisis sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi sebagai berikut:

2.6.1. Kombinasi Istilah kekerabatan dan Nama diri

Sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi istilah kekerabatan dan nama diri dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer sangat terbatas. Sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi istilah kekerabatan dan nama diri dalam novel ini, yaitu:

(21). Tak berjawab, Pak Komandan menebarkan pandangan ke keliling, dan akhirnya matanya berhenti pada Pak Lurah. Bertanya: Pak Lurah bisa baca tulis?

Tidak, Pak. Mau belajar? Tentu saja, Pak.

Nah. Buat apa bisa baca-tulis, BuIreng?

Ah, Pak, lebih baik daripada tidak, kan? (hlm. 122)

Contoh (21) menunjukkan pemakaian sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi istilah kekerabatan dan nama diri, yaitu Bu Ireng. Dalam novel ini, sapaan Bu Ireng dipakai untuk menyebut tokoh Ireng. Sapaan tersebut dibentuk berdasarkan kombinasi istilah kekerabatan Bu yang merupakan bentuk penggal dari ibu dan nama diri Ireng yang dipakai secara utuh.

2.6.2. Kombinasi Istilah kekerabatan dan Jabatan.

(41)

dipakai untuk menyebut tokoh-tokoh yang memiliki jabatan atau kedudukan tertentu.

(22). Juragan Musa menunduk kepalanya dan berkata tak bertenaga:

Apa yang mesti kuakui, Pak Komandan? Bukan aku yang msti mengaku, tapi mereka yang memanggil aku begitu.

Tetapi Pak Komandan mendesak terus tanpa menggubris irama suara Juragan Musa yang meminta dibelaskasihani:

Sudah tiga bukti menyatakan, kau Residen DI. Pertama-tama isterimu sendiri menyebut kau pembesar DI. Kedua Pak Lurah sini, yang sekarang baru ketahuan orang DI juga, dan ketiga surat-surat dalam tas Juragan sendiri. (hlm. 65)

(23). Pak Kasan, yang tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya, akhirnya menghampiri Juragan Musa sambil bertanya canggung:

PakResiden, barangkali membutuhkan bantuanku?

Dengan suara mendesis murka Juragan Musa menjawab gagap: Pecahkan kepala perempuan murtad ini!

Mendengar itu Pak Kasan terpaku termangu-mangu. Dengan mata membelalak ia tatap...

Tiba-tiba Pak Kasan dapat menguasai dirinya kembali dan berkata dalam sikap resmi:

Pak Residen, tugas akan kami dahulukan. Laporan: Ranta tidak ada di rumah. Tas dan tongkat Pak Residen tak ada di sana. Rumah yang berkepentingan itu telah kami... (hlm. 68)

(24). Semua yang hadir diam-diam dengan gayanya masing-masing karena tenggelam dalam pikiran. Tetapi tidak lama karena ketenangan segera diganggu oleh datangnya Yang Pertama. Pada muka, kaki, dan tangannya manpak bekas luka-luka karena senjata tajam. Segera ia ditegur oleh Pak Lurah waktu ia berdiri termangu-mangu:

Nah, apa kabar? Sudah lama tidak kelihatan

Yang Pertama tersenyum malu, kemudian menerangkan; Pulang dari rumahsakit, Paklurah.

Rumahsakit mana? Pelabuhan Ratu? Benar, PakLurah.

Tidak jadi ke Jakarta? Mau apa lagi, PakLurah?

Ayoh, duduk sini beramai-ramai. Ceritakan Pengalamanmu. (hlm. 114-115)

(42)

Menurut pendapatku, begini. Sebaiknya tanah liar itu kita garap beramai-ramai. Kami, kaum wanita, lebih banyak memikir tentang anak dan keturunan. Ya, kita semua bukan bekerja untuk diri sendiri semata. Kita bekerja terutama sekali buat anak dan keturunan. Bukan begitu, BuLurah?

Tiba-tiba kerumunan itu meledakkan kegembiraan mendengar jawaban Nyonya. Di antaranya terdengar pekikan nyaring di antara kerumunan itu:

Bagaimana pendapatmu. BuLurah?

Ireng tersenyum bahagia kemudiandengan malu-malu berkata: Sampai sebegitu jauh, Tuhan telah... (hlm. 125)

Dalam novel ini, sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi istilah kekerabatan dan jabatan adalah Pak Komandan, Pak Residen, Pak Lurah, dan Bu Lurah. Sapaan Pak Komandan dipakai untuk menyebut tokoh Komandan, sapaan Pak Residen dipakai untuk menyebut tokoh Musa, sapaan Pak Lurah dipakai untuk menyebut tokoh Ranta. Sapaan kombinasi ini dibentuk dari penggabungan antara penggalan istilah kekerabatan, yaitu: Pak dan Bu, dengan jabatan yang dipakai secara utuh, yaitu: Komandan, Residen, dan Lurah.

Komandan merupakan sebutan pemimpin pasukan dalam bidang militer.

Residen merupakan kepala suatu wilayah yang terdiri dari gabungan beberapa kabupaten, tetapi bukan setingkat provinsi yang dikepalai oleh gubernur. Jabatan ini telah dihapus dari sistem pemerintahan. Lurah merupakan jabatan tertinggi di tingkat desa.

2.6.3. Kombinasi Gelar dan Nama Diri.

(43)

menjadi bagian dari nama diri. Salah satu contoh sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi gelar dan nama diri, sebagai berikut:

(26). Tiba-tiba dari luar terdengar bunyi burung—alamat yang disuarakan oleh orang-orang OKD, menandakan ada seseorang datang. Semua prajurit yang ada di kamar tamu melihat keluar, kemudian Komandan memberi perintah:

Ada orang datang. Sembunyi semua! Kau, Juragan Musa, kalau lari aku tembak dari belakang pintu. Kau mesti sambut tamumu seperti biasa. Mengerti? Turunkan tanganmu!

Juragan Musa mengangguk. Semua prajurit sembunyi di balik-balik pintu, sedangkan Komandan sendiri, setelah mengambil keris pusaka dari meja berkata pada Nyonya:

Nyonya, kami tidak main-main. Terima tamu Nyonya seperti biasa. Kalau Nyonya menyulitkan kami. Kami bisa bertindak dari belakang pintu itu. (hlm. 62)

Dalam contoh (26), sapaan yang dibentuk dari kombinasi gelar dan nama diri, yaitu Juragan Musa. Dalam novel ini, sapaan Juragan Musa dipakai untuk menyebut tokoh Musa. Sapaan ini dibentuk dari kombinasi gelar Juragan dan nama diri Musa. Kombinasi gelar dan nama diri dipakai secara utuh sebagai sapaan. Juragan merupakan kata untuk menyebut orang yang memiliki usaha tertentu atau kekayaan, baik berupa tanah, hewan, dan lainnya.

No. Kombinasi Sapaan

1. Istilah kekerabatan dan nama diri Bu Ireng

2. Istilah kekerabatan dan jabatan Pak Komandan, Pak Lurah, Pak Residen, Bu Lurah

3. Kombinasi gelar dan nama diri Juragan Musa

(44)

33

PEMAKAIAN SAPAAN

DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

3.1 Pengantar

Dalam bab ini dianalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Analisis ini dilakukan untuk membuktikan adanya faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi pemakaian bentuk-bentuk linguistik, dalam hal ini sapaan, dalam suatu peristiwa komunikasi.

Sapaan yang terdapat dalam novel Sekali Peristiwa di Baten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer sangat bervariasi. Variasi pemakaian sapaan yang terkandung dalam tuturan yang ada di novel ini dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berkaitan erat dengan penutur, mitra tutur, dan situasi.

Variasi pemakaian bahasa dapat disebabkan oleh hubungan sosial antara penutur dengan mitra tutur serta ranah tuturan. Hubungan sosial tersebut ditunjukkan melalui tingkat keakraban dan penghormatan pentutur terhadap mitra tutur serta jenis kelamin mitra tutur. ranah merupakan kaitan antara partisipan,

(45)

Menurut Suhardi dkk. (1985: 6) -mengutip pendapat Suseno Kartomihardjo- faktor-faktor yang menentukan pemilihan sapaan, yaitu situasi, etnik, kekerabatan, keintiman, status, umur, jenis kelamin, status perkawinan, dan asal. Namun, berdasarkan hasil analisis, ada faktor yang tidak mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel ini. Meskipun demikian, ada faktor lain yang tidak disebut di atas yang mempengaruhi pemilihan sapaan, yaitu jabatan. Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi pamakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu, status sosial, keakraban, status perkawinan, jabatan, hubungan kekerabatan, jenis kelamin, etnis, dan situasi. Setiap sapaan dalam novel ini dipengaruhi beberapa faktor sekaligus karena faktor-faktor tersebut bukan faktor tunggal.

3.2. Status Sosial

(46)

Dasar pembentukan sapaan yang dipengaruhi faktor status sosial yang terdapat dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer cukup bervariasi, antara lain: nama diri, gelar, istilah kekerabatan, serta kombinasi gelar dan nama diri. Beberapa contoh pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor status sosial dalam novel ini, sebagai berikut:

(27) Ireng muncul di ambang pintu. Bersuara ramah dan agak keras, tetapi nyata suaranya terdengar sumbang:

Siapa sih panggil-panggil itu? O, Juragan Musa. Duduk, Gan.

Tanpa menoleh ke belakang Musa menyambut: Mulai kapan sih, pura-pura tak kenal aku? Ireng merapihkan bale bambu sambil menjawab:

Bukannya pura-pura tak kenal, Gan. Memang tidak tahu, sih.

Musa memutar-mutar tongkatnya, dan tanpa menengok pada Ireng meneruskan kata-katanya sambil tersenyum:

Mana Ranta!

Belum datang, Gan.

Dengan suara setengah berbisik Musa mendesak:

Jangan bohong. Sudah kulihat tadi dia pulang. Ta! Ranta. Benar, Gan, belum pulang. (hlm. 16)

Sapaan Gan dalam contoh (27) menunjukkan adanya pengaruh faktor status sosial dalam pemakaiannya. Pemakaian sapaan Gan dalam contoh di atas menunjukkan adanya perbedaan status sosial antara penutur dan mitra tutur. Dalam hal ini, status sosial tokoh Ireng sebagai penutur lebih rendah daripada tokoh Musa sebagai mitra tutur.

(47)

terpelihara baik terpasang di dekat dinding, sebuah almari pajangan berisikan berbagai barang pecah belah yang tersusun dengan rapi, lampu gantung yang indah model lama tergantung di tengah-tengah ruang tamu (Toer, 2004: 40).

(28) Sekarang komandan menganggapi tubuh bagian belakang sambil bertanya dengan mulut dihampirkan pada kuping tangkapannya:

Apa gunanya keris pusaka di bawa ke mana-mana, Juragan?

Biar hati aman, Pak.

Komandan tertawa senang dan segera menyambut:

O, mengerti aku sekarang. Jadi selamanya hati Juragan tidak aman, eh? Mengapa selamanya tidak aman, Juragan? (hlm. 59)

Sapaan Juragan dan Pak dalam contoh (28) menunjukkan adanya kesejajaran status sosial berdasarkan kedudukan penutur dan mitra tutur. Berdasarkan contoh di atas, sapaan Gan dipakai untuk menyebut tokoh Musa, sedangkan sapaan Pak dipakai untuk menyebut tokoh Komandan. Tokoh Musa berkedudukan sebagai tuan tanah. Hal ini ditunjukkan dalam tuturan tokoh Ranta yang menyebutkan bahwa tokoh Musa adalah seorang tuan tanah. Tanah milik tokoh Musa tersebut merupakan hasil rampasan dari para pekerja yang ikut roomusya (Toer, 2004: 81). Tokoh Komandan berkedudukan sebagai pemimpin pasukan yang bertugas menjaga keamanan di daerah tersebut (Toer, 2004: 65, 73). Keduanya memiliki status sosial yang sama tinggi.

(29) Komandan menghampiri dan bertanya:

Kami berterimakasih padamu, Ranta. Atas nama Tentara dan Pemerintahan, kami pun mengucapkan terimakasih pada jasamu………

Ranta hanya menggeleng-gelengkan kepala. Melihat itu segera Komandan mendesak dengan pertanyaan yang bersungguh-sungguh:

(48)

Ranta menengadahkan mukanya memandangi gambar-gambar di dinding dan setelah mengeluh berat ia berkata lambat-lambat setengah memperingatkan:

Memang dengan tertangkapnya orang-orang ini daerah kita menjadi aman, Pak. Tapi sampai berapa lama? Sambil menunjuk tangkapan-tangkapan ia meneruskan: Orang-orang ini takkan jera-jeranya mengacaukan keamanan kita. Mereka tidak sendirian, mereka akan membalas dendam. Terutama abdi yang akan dimusuhi mereka, Pak. (hlm. 71,72)

Sapaan Ranta dan Pak dalam contoh (29) menunjukkan adanya pengaruh perbedaan status sosial berdasarkan kedudukan penutur dan mitra tutur. Berdasarkan contoh di atas, sapaan Ranta dipakai oleh tokoh Komandan untuk meyebut tokoh Ranta yang berkedudukan lebih rendah kerena hanya seorang warga biasa, sedangkan tokoh Ranta memakai sapaan Pak untuk menyebut tokoh Komandan yang berkedudukan lebih tinggi.

(30) Pasar diobrakabrik DI. Sudah tahu, Ta? Jadi binimu juga gagal. Nah, waktu baik, musim baik. Malam ini, Ta, ingat-ingat, nanti jam sebelas malam.

Pekerjaan apa, Gan? Ambil bibit karet, ya? Susah membawanya, Gan?

Susah mana sama lapar, Ta? (hlm. 18)

(49)

Hubungan kedinasan kedua tokoh tersebut ditunjukkan melalui tuturan yang menyebutkan bahwa tokoh Musa memerintah tokoh Ranta untuk mengambil bibit karet. Dalam hubungan kedinasan ini, tokoh Musa sebagai atasan dan tokoh Ranta sebagai bawahan.

Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor status sosial dalam beberapa contoh tuturan di atas dipengaruhi juga oleh faktor lain. Misalnya, pemakaian sapaan Pak dalam contoh (29) dipengaruhi juga faktor jenis kelamin. Sapaan Pak dipakai tokoh Ranta untuk menyebut tokoh Komandan yang berjenis kelamin laki-laki.

3.3. Keakraban

Faktor keakraban mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya ananta Toer. Faktor ini dibagi menjadi dua, yaitu akrab dan tidak akrab. Akrab menunjukkan penutur dan mitra tutur telah saling mengenal dengan baik. Tidak akrab menunjukkan bahwa penutur dan mitra tutur belum saling mengenal dengan baik atau tidak saling mengenal.

Sapaan yang dipengaruhi faktor keakraban dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer dibentuk berdasarkan istilah kekerabatan dan sapaan lain. Contoh sapaan yang dipengaruhi faktor keakraban dalam novel ini, sebagai berikut:

(31) Dari kursinya Lurah Ranta berseru: Ayoh, masuk, kawan-kawan!

(50)

di bawah lutut tetapi sebagian dari merka berbaju kaos buntung dan sebagian berbaju teluk belanga. Seorang telanjang dada. Mereka semua berdiri di hadapan Pak Lurah, menunggu perintah.

Pak Lurah tersenyum puas. Berkata:

Jadi sudah datang semua. Bagus. Nah, saudara-saudara, kalian semua ketua Rukuntetangga di sini didirikan buat bantu pemerintah desa, dan pemerintah desa dipulihkan buat bantu saudara semua. Kita Cuma tahu bantu-membantu, gotongroyong, gugurgunung, kerjabakti, bersaudara, satu dengan yang lain, satu dengan semua, semua yang satu. Semua itu saudara-saudara sudah hafal. Nah, sekarang ada soal penting. Dengarkan baik-baik: Gerombolan akan datang menyerang lagi. Tentara yang ditempatkan di desa terpencil ini cuma sedikit. Kita semua harus ikut melawan. (hlm. 84,85)

Sapaan kawan-kawan dan saudara-saudara dalam contoh (31) menunjukkan adanya pengaruh faktor keakraban. Berdasarkan tuturan di atas, sapaan kawan-kawan dan saudara-saudara dipakai oleh tokoh Ranta yang berkedudukan sebagai lurah untuk menyebut mitra bicara yang berkedudukan sebagai ketua Rukun Tetangga. Keakraban antara tokoh Ranta dengan tokoh para ketua Rukun Tetangga ditunjukkan melalui teks dalam contoh (31) yang menyebutkan bahwa mereka telah terbiasa bantu-membantu, bergotong royong, bahkan telah beranggapan telah saling bersaudara. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah lama saling mengenal.

(32) Yang Pertama menghampiri pintu dan menyapa:

Pak, Pak! Bukan DI ini, orang baik-baik. Boleh nginap sini, Pak?

Tak berjawab

Mereka letakkan bawaannya masing-masing di dekat pintu kemudian tidur di atas bale. (hlm. 21,22)

(51)

belum dikenalnya. Tokoh Yang Pertama memperkenalkan diri sebagai orang baik-baik dan bukan anggota DI kepada pemilik rumah yang belum dikenalnya.

Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor keakraban dalam beberapa contoh tuturan di atas dipengaruhi juga oleh faktor lain. Misalnya, pemakaian sapaan kawan-kawan dan saudara-saudara dalam contoh (31) dipengaruhi juga faktor situasi. Situasi tidak resmi dalam tuturan tersebut menyebabkan tokoh Ranta memakai sapaan kawan-kawan dan saudara-saudara untuk menyebut para tokoh ketua Rukun Tetanga yang berbeda status sosialnya.

3.4. Status Perkawinan

Faktor status perkawinan mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel

Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Anata Toer. Perkawinan adalah suatu hubungan antara pria dan wanita yang sudah dewasa yang saling mengadakan ikatan hukum adat, atau agama dengan maksud bahwa mereka saling memelihara hubungan tersebut agar berlangsung dalam waktu yang relatif lama (Suyono, 1985: 315). Sapaan yang dipengaruhi faktor ini menunjukkan bahwa orang yang disapa telah menikah atau kawin. Sapaan yang dipengaruhi faktor status perkawinan yang terdapat dalam novel ini dibentuk berdasarkan gelar dan kombinasi istilah kekerabatan dengan jabatan.

(52)

(33) Nyonya menatap Ireng sejenak, kemudian menjawab: Menurut pendapatku, begini. Sebaiknya tanah liar itu kita garap beramai-ramai. Kami, kaum wanita, lebih banyak memikir tentang anak dan keturunan. Ya, kita semua bukan bekerja untuk diri sendiri semata. Kita bekerja terutama bekal buat anak dan keturunan, bukan begitu, Bu Lurah?

Tiba-tiba kerumunan itu meledakkan kegembiraan mendengar jawaban Nyonya. Di antaranya terdengar pekikan nyaring di antara kerumunan itu:

Bagai mana pendapatmu, Bu Lurah? (hlm. 125)

Sapaan Bu Lurah dalam tuturan (33) menunjukkan adanya pengaruh faktor status perkawinan. Dalam novel ini, Sapaan Bu Lurah dipakai untuk menyebut tokoh Ireng, istri tokoh Ranta. Tokoh Ranta berkedudukan sebagai lurah darurat di desa tersebut (Toer, 2004: 83). Namun, sapaan Bu Lurah dalam komunikasi sehari-hari dapat dipakai untuk untuk menyebut seorang wanita yang telah atau belum menikah yang menjabat sebagai lurah.

(34) Ranta mengawasi Nyonya sebentar, kemudian berkata: Tentu saja bukan ancaman. Nyonya, bagaimana sekarang pendapat Nyonya tentang suami Nyonya?

Nyonya mempermain-mainkan ujungjarinya sambil dengan ragu-ragu menjawab:

Kalau dia DI, tentu saja dia mesti ditangkap. Tapi Pak Lurah jangan lupa, bagaimanapun juga dia suamiku.

Pak Lurah Ranta menyambar:

Nah, itulah Nyonya, justru karena suami Nyonya itulah aku bertanya: setujukah Nyonya suami Nyonya masuk DI? (hlm. 80,81)

Sapaan Nyonya dalam contoh (34) menunjukkan adanya pengaruh faktor status perkawinan. Sapaan tersebut dipakai untuk menyapa wanita dewasa yang memiliki kedudukan yang tinggi, misalnya istri seorang tuan tanah. Dalam novel ini, sapaan Nyonya dipakai untuk menyebut tokoh Nah, istri tokoh Musa.

(53)

sapaan Nyonya dalam contoh (34) dipengaruhi juga faktor jenis kelamin. Sapaan Nyonya dipakai mitra tutur yang berjenis kelamin perempuan.

3.5. Jabatan

Faktor jabatan mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Jabatan adalah pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi (KBBI, 1995: 392). Sapaan yang dipengaruhi faktor jabatan yang terdapat dalam novel ini dibentuk berdasarkan kombinasi istilah kekerabatan dan jabatan.

Sapaan yang dipengaruhi faktor jabatan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer dipakai untuk menyebut tokoh yang memiliki jabatan tertentu. Beberapa contoh sapaan yang dipengaruhi faktor jabatan yang terdapat dalam novel ini, sebagai berikut:

(35) Pak Kasan, yang tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya menghampiri Juragan Musa sambil bertanya canggung:

Pak Residen, barangkali membutuhkan bantuanku? Dengan suara mendesis murka Juragan Musa menjawab gagap:

Pecahkan kepala perempuan murtad ini! (hlm.67,68)

(54)

sapaan Pak Residen yang dipakai juga menunjukkan kemungkinan bahwa tokoh Musa menjabat sebagai pemimpin organisasi DI dalam suatu wilayah keresidenan.

(36) Semua yang hadir diam-diam dengan gayanya masing-masing karena tenggelam dalam pikiran. Tetapi tidak lama kerena ketenangan segera diganggu oleh datangnya Yang Pertama. Pada muka, kaki, dan tangannya nampak bekas luka-luka kena senjata tajam. Segera ia ditegur oleh Pak Lurah waktu ia berdiri termangu-mangu:

Nah, apa kabar? Sudah lama tidak kelihatan. Yang Pertama tersenyum malu, kemudian menerangkan:

Pulang dari rumahsakit, Pak Lurah. Rumahsakit mana? Pelabuhan Ratu? Benar, Pak Lurah.

Tidak jadi ke Jakarta?

Mau apa lagi, Pak Lurah? (hlm. 114, 115)

Sapaan Pak Lurah dalam contoh (36) menunjukkan adanya pengaruh faktor jabatan. Sapaan tersebut dipakai untuk menyebut mitra tutur yang menjabat sebagai kepala desa. Dalam novel ini, sapaan Pak Lurah dipakai untuk menyebut tokoh Ranta yang menjabat sebagai lurah darurat di desa tersebut (Toer, 2004: 83).

(37) Nyonya tak dapat menjawab, hanya menyembunyikan mukanya ke dalam kedua belah telapak tangannya. Dari balik telapak tangan itu terdengar suaranya yang kacaubalau:

Apa yang mesti kukatakan, Pak Komandan?

Komandan itu tak mengambil pusing Nyonya dan mendesak Juragan Musa;

Dengar, Juragan Musa. Daerah sini daerah paling kacau. Sudah kuusahakan bermusyawarah dengan orang-orang terkemuka di sini dan Pak Lurah, tapi…

Sekali lagi terdengar bunyi burung dari luar rumah, suatu isyarat yang disuarakan OKD, yang memberi alamat bahwa ada datang orang banyak.

Komandan itu meninjau kelilingnya. Dengan terburu-buru ia memberikan perintah suami-isteri itu:

(55)

Sapaan Pak Komandan dalam contoh (37) menunjukkan adanya pengaruh faktor jabatan. Sapaan tersebut dipakai untuk menyebut lawan bicara yang menjabat sebagai komandan suatu pasukan dalam miter. Dalam novel ini, sapaan Pak Komandan dipakai untuk menyebut tokoh Komandan yang menjabat sebagai pimpinan prajurit yang bertugas menjaga keamanan di daerah tersebut (Toer, 2004: 65, 73).

Pemakaian sapaan yang dipengaruhi oleh faktor jabatan dalam beberapa contoh tuturan di atas dipengaruhi juga oleh faktor lain. Misalnya, pemakaian sapaan Pak Komandan dalam sapaan (37) dipengaruhi juga oleh faktor jenis kelamin. Sapaan Pak Komandan dipakai untuk menyebut mitra tutur yang berjenis kelamin laki-laki.

3.6. Kekerabatan

Faktor kekerabatan mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Benten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor kekerabatan menunjukkan adanya hubungan kekerabatan antara penututur dengan mitra tutur. Mansur -mengutip pendapat Eggan- menyebutkan bahwa kekerabatan adalah hubungan sosial, baik akibat dari keturunan darah, perkawinan, maupun karena wasiat (1988: 21). Sapaan yang dipengaruhi faktor kekerabatan yang terdapat dalam novel ini dibentuk berdasarkan istilah kekerabatan dan nama diri.

Sapaan yang dipengaruhi faktor kekerabatan yang terdapat dalam novel

Gambar

Tabel 1. Kata Ganti
Tabel 2. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Nama Diri
Tabel 3. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Istilah Kekerabatan
Tabel 4. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Gelar
+5

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian eksperimen yang telah dilaksanakan dan pembahasan pada pembelajaran IPA materi Perubahan Kenampakan Bumi dengan menggunakan model pembelajaran

Dengan begitu, maka inhibitor ekstrak daun pegagan paling efektif digunakan pada lingkungan air formasi untuk baja J55 ketika konsentrasinya 250 ppm.. Perbandingan hasil

Kondisi ini melatarbelakangi South Sumatera Forest Fire Manajemen Project (SSFFMP) untuk membangun peta sumatera selatan dalam format GPS Garmin yang merupakan bagian rencana dalam

Aturan-aturan tersebut meliputi larangan mengkonsumsi segala sesuatu yang akan membahayakan tubuh manusia, kecuali apabila diperlukan secara darurat; larangan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tax avoidance. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Universitas Kristen Maranatha viii.. Universitas Kristen

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk tindak tutur ilokusi yang digunakan ustad dalam menyampaikan pengajian berupa bentuk ilokusi, (a) Asertif, terdiri atas

Puji syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yesus Kristus, karena anugerah dan kasihNya serta berkat dan karunia-Nya bagi penulis hingga dapat melaksanakan dan menyelesaikan