• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

3.2. Status Sosial

Faktor status sosial mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Status sosial (kedudukan sosial) adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungannya dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya (Soekanto, 1990: 265). Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor status sosial menunjukkan adanya perbedaan atau kesejajaran status sosial penutur dan mitra tutur. Perbedaan atau kesejajaran status sosial berdasarkan kekayaan, hubungan kedinasan, atau kedudukan penutur dan mitra tutur.

Dasar pembentukan sapaan yang dipengaruhi faktor status sosial yang terdapat dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer cukup bervariasi, antara lain: nama diri, gelar, istilah kekerabatan, serta kombinasi gelar dan nama diri. Beberapa contoh pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor status sosial dalam novel ini, sebagai berikut:

(27) Ireng muncul di ambang pintu. Bersuara ramah dan agak keras, tetapi nyata suaranya terdengar sumbang:

Siapa sih panggil-panggil itu? O, Juragan Musa. Duduk, Gan.

Tanpa menoleh ke belakang Musa menyambut: Mulai kapan sih, pura-pura tak kenal aku? Ireng merapihkan bale bambu sambil menjawab:

Bukannya pura-pura tak kenal, Gan. Memang tidak tahu, sih.

Musa memutar-mutar tongkatnya, dan tanpa menengok pada Ireng meneruskan kata-katanya sambil tersenyum:

Mana Ranta!

Belum datang, Gan.

Dengan suara setengah berbisik Musa mendesak:

Jangan bohong. Sudah kulihat tadi dia pulang. Ta! Ranta. Benar, Gan, belum pulang. (hlm. 16)

Sapaan Gan dalam contoh (27) menunjukkan adanya pengaruh faktor status sosial dalam pemakaiannya. Pemakaian sapaan Gan dalam contoh di atas menunjukkan adanya perbedaan status sosial antara penutur dan mitra tutur. Dalam hal ini, status sosial tokoh Ireng sebagai penutur lebih rendah daripada tokoh Musa sebagai mitra tutur.

Perbedaan status sosial antara tokoh Ireng dan tokoh Musa ini berdasarkan kekayaan. Hal ini ditunjukan melalui keadaan rumah kedua tokoh tersebut. Rumah tokoh Ireng berupa gubuk yang terbuat dari bambu yang beratap rumbia (Toer, 2004: 11). Sedangkan rumah tokoh Musa digambarkan memiliki ruang tamu lebar yang terang benderang dengan sepasang sice tua setengah antik yang

terpelihara baik terpasang di dekat dinding, sebuah almari pajangan berisikan berbagai barang pecah belah yang tersusun dengan rapi, lampu gantung yang indah model lama tergantung di tengah-tengah ruang tamu (Toer, 2004: 40).

(28) Sekarang komandan menganggapi tubuh bagian belakang sambil bertanya dengan mulut dihampirkan pada kuping tangkapannya:

Apa gunanya keris pusaka di bawa ke mana-mana, Juragan?

Biar hati aman, Pak.

Komandan tertawa senang dan segera menyambut:

O, mengerti aku sekarang. Jadi selamanya hati Juragan tidak aman, eh? Mengapa selamanya tidak aman, Juragan? (hlm. 59)

Sapaan Juragan dan Pak dalam contoh (28) menunjukkan adanya kesejajaran status sosial berdasarkan kedudukan penutur dan mitra tutur. Berdasarkan contoh di atas, sapaan Gan dipakai untuk menyebut tokoh Musa, sedangkan sapaan Pak dipakai untuk menyebut tokoh Komandan. Tokoh Musa berkedudukan sebagai tuan tanah. Hal ini ditunjukkan dalam tuturan tokoh Ranta yang menyebutkan bahwa tokoh Musa adalah seorang tuan tanah. Tanah milik tokoh Musa tersebut merupakan hasil rampasan dari para pekerja yang ikut roomusya (Toer, 2004: 81). Tokoh Komandan berkedudukan sebagai pemimpin pasukan yang bertugas menjaga keamanan di daerah tersebut (Toer, 2004: 65, 73). Keduanya memiliki status sosial yang sama tinggi.

(29) Komandan menghampiri dan bertanya:

Kami berterimakasih padamu, Ranta. Atas nama Tentara dan Pemerintahan, kami pun mengucapkan terimakasih pada jasamu………

Ranta hanya menggeleng-gelengkan kepala. Melihat itu segera Komandan mendesak dengan pertanyaan yang bersungguh-sungguh:

Ranta menengadahkan mukanya memandangi gambar-gambar di dinding dan setelah mengeluh berat ia berkata lambat-lambat setengah memperingatkan:

Memang dengan tertangkapnya orang-orang ini daerah kita menjadi aman, Pak. Tapi sampai berapa lama? Sambil menunjuk tangkapan-tangkapan ia meneruskan: Orang-orang ini takkan jera-jeranya mengacaukan keamanan kita. Mereka tidak sendirian, mereka akan membalas dendam. Terutama abdi yang akan dimusuhi mereka, Pak. (hlm. 71,72)

Sapaan Ranta dan Pak dalam contoh (29) menunjukkan adanya pengaruh perbedaan status sosial berdasarkan kedudukan penutur dan mitra tutur. Berdasarkan contoh di atas, sapaan Ranta dipakai oleh tokoh Komandan untuk meyebut tokoh Ranta yang berkedudukan lebih rendah kerena hanya seorang warga biasa, sedangkan tokoh Ranta memakai sapaan Pak untuk menyebut tokoh Komandan yang berkedudukan lebih tinggi.

(30) Pasar diobrakabrik DI. Sudah tahu, Ta? Jadi binimu juga gagal. Nah, waktu baik, musim baik. Malam ini, Ta, ingat-ingat, nanti jam sebelas malam.

Pekerjaan apa, Gan? Ambil bibit karet, ya? Susah membawanya, Gan?

Susah mana sama lapar, Ta? (hlm. 18)

Sapaan Gan dan Ta dalam contoh (30) menunjukkan adanya perbedaan status sosial berdasarkan hubungan kedinasan. Hubungan kedinasan yang dimaksud adalah hubungan antara penutur dan mitra tutur yang terjadi karena pekerjaan. Berdasarkan contoh di atas, terdapat hubungan kedinasan antara atasan dan bawahan. Tokoh Musa menyebut tokoh Ranta dengan menggunakan sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri, yaitu Ta. Sebaliknya, tokoh Ranta menyebut tokoh Musa dengan menggunakan kata sapaan yang dibentuk berdasarkan gelar, yaitu: Gan yang merupakan penggalan dari sapaan Juragan.

Hubungan kedinasan kedua tokoh tersebut ditunjukkan melalui tuturan yang menyebutkan bahwa tokoh Musa memerintah tokoh Ranta untuk mengambil bibit karet. Dalam hubungan kedinasan ini, tokoh Musa sebagai atasan dan tokoh Ranta sebagai bawahan.

Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor status sosial dalam beberapa contoh tuturan di atas dipengaruhi juga oleh faktor lain. Misalnya, pemakaian sapaan Pak dalam contoh (29) dipengaruhi juga faktor jenis kelamin. Sapaan Pak dipakai tokoh Ranta untuk menyebut tokoh Komandan yang berjenis kelamin laki-laki.

3.3. Keakraban

Faktor keakraban mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya ananta Toer. Faktor ini dibagi menjadi dua, yaitu akrab dan tidak akrab. Akrab menunjukkan penutur dan mitra tutur telah saling mengenal dengan baik. Tidak akrab menunjukkan bahwa penutur dan mitra tutur belum saling mengenal dengan baik atau tidak saling mengenal.

Sapaan yang dipengaruhi faktor keakraban dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer dibentuk berdasarkan istilah kekerabatan dan sapaan lain. Contoh sapaan yang dipengaruhi faktor keakraban dalam novel ini, sebagai berikut:

(31) Dari kursinya Lurah Ranta berseru: Ayoh, masuk, kawan-kawan!

Bebrapa orang masuk ke dalam dengan berkalung sarung tenunan, berpeci, tanpa alaskaki. Semua bercelana hitam kolor

di bawah lutut tetapi sebagian dari merka berbaju kaos buntung dan sebagian berbaju teluk belanga. Seorang telanjang dada. Mereka semua berdiri di hadapan Pak Lurah, menunggu perintah.

Pak Lurah tersenyum puas. Berkata:

Jadi sudah datang semua. Bagus. Nah, saudara-saudara, kalian semua ketua Rukuntetangga di sini didirikan buat bantu pemerintah desa, dan pemerintah desa dipulihkan buat bantu saudara semua. Kita Cuma tahu bantu-membantu, gotongroyong, gugurgunung, kerjabakti, bersaudara, satu dengan yang lain, satu dengan semua, semua yang satu. Semua itu saudara-saudara sudah hafal. Nah, sekarang ada soal penting. Dengarkan baik-baik: Gerombolan akan datang menyerang lagi. Tentara yang ditempatkan di desa terpencil ini cuma sedikit. Kita semua harus ikut melawan. (hlm. 84,85)

Sapaan kawan-kawan dan saudara-saudara dalam contoh (31) menunjukkan adanya pengaruh faktor keakraban. Berdasarkan tuturan di atas, sapaan kawan-kawan dan saudara-saudara dipakai oleh tokoh Ranta yang berkedudukan sebagai lurah untuk menyebut mitra bicara yang berkedudukan sebagai ketua Rukun Tetangga. Keakraban antara tokoh Ranta dengan tokoh para ketua Rukun Tetangga ditunjukkan melalui teks dalam contoh (31) yang menyebutkan bahwa mereka telah terbiasa bantu-membantu, bergotong royong, bahkan telah beranggapan telah saling bersaudara. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah lama saling mengenal.

(32) Yang Pertama menghampiri pintu dan menyapa:

Pak, Pak! Bukan DI ini, orang baik-baik. Boleh nginap sini, Pak?

Tak berjawab

Mereka letakkan bawaannya masing-masing di dekat pintu kemudian tidur di atas bale. (hlm. 21,22)

Sapaan Pak dalam contoh (32) menunjukkan adanya pengaruh faktor keakraban yang menunujukkan ketidakakraban. Berdasarkan contoh di atas, sapaan Pak dipakai tokoh Yang Pertama untuk menyebut pemilik rumah yang

belum dikenalnya. Tokoh Yang Pertama memperkenalkan diri sebagai orang baik-baik dan bukan anggota DI kepada pemilik rumah yang belum dikenalnya.

Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor keakraban dalam beberapa contoh tuturan di atas dipengaruhi juga oleh faktor lain. Misalnya, pemakaian sapaan kawan-kawan dan saudara-saudara dalam contoh (31) dipengaruhi juga faktor situasi. Situasi tidak resmi dalam tuturan tersebut menyebabkan tokoh Ranta memakai sapaan kawan-kawan dan saudara-saudara untuk menyebut para tokoh ketua Rukun Tetanga yang berbeda status sosialnya.

Dokumen terkait