• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status responden yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah DR Soedarso

METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

V.2 Hasil Penelitian

V.2.1 Karakteristik Responden

1. Status responden yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah DR Soedarso

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh distribusi

status responden Tb Paru yang menjalani rawat inap di

VARIABEL MEAN MEDIAN MINIMUM MAKSIMUM JUMLAH RESPODNDEN

Luas Jendela Rumah

Rumah Sakit Umum Daerah DR Soedarso dapat dilihat dari

tabel di bawah ini:

Tabel V.4

DistribusiFrekuensi Kategori Usia Pasien Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah

DR Soedarso

Sumber: Data Primer, 2017

Berdasarkan tabel V.4 diketahui dari 42 responden

rata-rata berusia 49,33 tahun, dengan usia responden yang paling

muda yaitu 13 tahun dan usia responden yang paling tua yaitu

73 tahun di daerah Kota Pontianak dan Kubu Raya.

Tabel V.5

DistribusiFrekuensi Jenis Kelamin Pasien Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum

Daerah DR Soedarso

Jenis Kelamin Responden Frekuensi Presentase (%)

Laki-laki 34 81

Perempuan 8 19

Total 42 100

Sumber: Data Primer, 2017

Berdasarkan tabel V.5 diketahui dari 42 responden,

hampir seluruhnya yaitu 34 responden (81%) berjenis kelamin

VARIABEL MEAN MEDIAN MINIMUM MAKSIMUM JUMLAH RESPODNDEN

Usia Penderita

TB paru

laki-laki, sedangkan sebagian kecilnya yaitu 8 responden

(19%) berjenis kelamin perempuan.

Tabel V.6

DistribusiFrekuensi Kategori Pendidikan Pasien Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum

Daerah DR Soedarso

Kategori Pendidikan Frekuensi Presentase (%)

Tinggi (SMA, Diploma) 19 45,2

Rendah (Tidak Bersekolah, SD, SMP)

23 54,8

Total 42 100

Sumber: Data Primer, 2017

Berdasarkan tabel V.6 diketahui dari 42 responden,

hampir separuhnya yaitu 19 responden (45,2%) memiliki latar

belakang pendidikan tinggi, sedangkan sebagian besarnya

yaitu 23 responden (54,8%) memiliki latar belakang

pendidikan rendah.

Tabel V.7

DistribusiFrekuensi Kategori Pekerjaan Pasien Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah

DR Soedarso

Kategori Pekerjaan Frekuensi Presentase (%)

Bekerja (PNS/TNI/POLRI, Swasta, Wiraswasta, Buruh)

26 61,9

Tidak Bekerja 16 38,1

Total 42 100

Berdasarkan tabel V.7 diketahui dari 42 responden, sebagian besarnya yaitu 26 responden (61,9%) bekerja dan hampir separuhnya yaitu 16 responden (38,1%) tidak bekerja.

Tabel V.8

Distribusi Frekuensi Kategori Pendapatan Pasien Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum

Daerah DR Soedarso tahun 2017

Kategori Pendapatan Frekuensi Presentase (%)

Tinggi (≥ Rp 1.972.000) 7 16,7

Rendah (< Rp 1.972.000) 35 83,3

Total 42 100

Sumber: Data Primer, 2017

Berdasarkan tabel V.8 diketahui dari 42 responden,

sebagian kecilnya yaitu 7 responden (16,7%) memiliki tingkat

pendapatan tergolong tinggi, sedangkan hampir seluruhnya

yaitu 35 responden (83,3%) memiliki tingkat pendapatan

tergolong rendah.

Tabel V.9

DistribusiFrekuensi Status Perokok Pasien Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah DR

Soedarso

Status MerokokResponden Frekuensi Presentase (%)

Tidak Merokok 29 79,1

Merokok 13 31

Total 42 100

Sumber: Data Primer, 2017

Berdasarkan tabel V.9 diketahui dari 42 responden,

sedangkan sebagian darinya yaitu 13 responden (31%)

merokok.

Tabel V.10

Distribusi Frekuensi Kepadatan Hunian Rumah Pasien Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum

Daerah DR Soedarso

Kategori Kepadatan Hunian Frekuensi Presentase (%)

Memenuhi Syarat (≥ 9 m2/orang) 39 92,9

Tidak Memenuhi Syarat (< 9 m2/orang)

3 7,1

Total 42 100

Sumber: Data Primer, 2017

Berdasarkan tabel V.10 diketahui dari 42 responden, lebih

besar rumah yang memenuhi syarat kepadatan hunian yaitu 39

rumah responden (92,2%) dan hanya sebagian kecil yang tidak

memenuhi syarat kepadatan hunian yaitu 3 rumah responden

(7,1%)

Tabel V.11

Distribusi Frekuensi Kategori Luas Ventilasi Rumah Pasien Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit

Umum Daerah DR Soedarso

Kategori Luas Ventilasi Frekuensi Presentase (%)

Memenuhi Syarat (≥ 10% luas

lantai)

3 7,1

Tidak Memenuhi Syarat (< 10% luas lantai)

39 92,9

Total 42 100

Sumber: Data Primer, 2017

Berdasarkan tabel V.11 diketahui dari 42 responden,

hanya sebagian kecilnya yaitu 3 rumah responden (7,1%)

sebagian besarnya yaitu 39 rumah responden (92,9%)

memiliki luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat. Rata-rata

luas ventilasi 4 m2.

Tabel V.12

Distribusi Frekuensi Kategori Pencahayaan dalam Rumah Pasien Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit

Umum Daerah DR Soedarso

Pencahayaan Frekuensi Presentase

(%)

Tidak Memenuhi Syarat (< 60 lux) 39 92,2

Memenuhi Syarat (≥ 60 lux) 3 7,1

Total 42 100

Sumber: Data Primer, 2017

Berdasarkan tabel V.12 diketahui dari 42 responden,

hampir seluruhnya yaitu 39 rumah responden (92,2%)

memiliki intensitas pencahayaan yang memenuhi syarat ≥ 60

lux, sedangkan sebagian kecilnya yaitu 3 rumah responden

(7,1%) memiliki intensitas pencahayaan yang tidak memenuhi

syarat< 60 lux.

Tabel V.13

DistribusiFrekuensi Kategori Kelembaban Rumah Pasien Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum

Daerah DR Soedarso

Tingkat Kelembaban Frekuensi Presentase (%)

Memenuhi Syarat (40%-70%) 25 59,5

Tidak Memenuhi Syarat (<40% atau >70%)

17 40,5

Total 42 100

Berdasarkan tabel V.13 diketahui dari 42 responden, lebih dari separuhnya yaitu 25 rumah responden (59,5%) memiliki kelembaban yang memenuhi syarat, sedangkan hampir separuhnya yaitu 17 rumah responden (40,5%) memiliki kelembaban yang tidak memenuhi syarat. Rata-rata kelembaban kamar tidur responden sebesar 59%.

Tabel V.14

DistribusiFrekuensi Kategori Suhu dalam Kamar Pasien Tb Paru Rawat Inap di Rumah Sakit Umum

Daerah DR Soedarso

Suhu dalam kamar Frekuensi Presentase (%)

Memenuhi Syarat (22oC-30oC) 13 31

Tidak Memenuhi Syarat (<22oC atau >30oC)

29 69

Total 42 100

Sumber: Data Primer, 2017

Berdasarkan tabel V.14 diketahui dari 42 responden,

hampir separuhnya yaitu 13 rumah responden (31%) memiliki

kategori suhu yang memenuhi syarat, sedangkan lebih dari

separuhnya yaitu 29 rumah responden (69%) memiliki

kategori suhu yang tidak memenuhi syarat. Rata-rata suhu

dalam kamar tidur responden adalah 31oC.

V.3 Pembahasan

V.3.1 Prevalensi Pasien TB Paru Rawat Inap di RS Dr. Soedarso

Prevalensi pasien TB Paru yang melakukan rawat inap di

peningkatan, pada tahun tersebut ditemukan sebanyak 243

kasus. Selanjutnya ditahun 2016 diketahui sebanyak 283

kasus, demikian pula pada awal tahun 2017 yaitu antara bulan

Januari-Februari telah ditemukan kasus sebanyak 60 pasien

TB paru yang dirawat inap di RS Dr. Soedarso. Dari data 283

kasus TB Paru tersebut diperoleh 196 kasus yang menjadi

populasi penelitian, pasien-pasien tersebut berasal dari daerah

Kota Pontianak dan Kubu Raya.

Berdasarkan hasil lapangan diketahui bahwa pesien yang

dirawat inap di RS Dr. Soedarso sebagian besarnya merupakan

pasien ulangan yang memiliki masalah komplikasi kesahatan

akibat menurunnya kemampuan kerja organ baik paru-paru,

ginjal maupun liver akibat paparan obat TB yang dikonsumsi,

perilaku lainnya yang mempengaruhi adalah kebiasaan

merokok, hal ini dibuktikan dari hasil temuan berupa alasan

pasien dilakukan perawatan inap di RS Dr. Soedarso.

Dengan merujuk pada jumlah kasus TB paru tersebut,

menjadikan TB paru sebagai salah satu penyebab utama

kematian dan masalah kesehatan yang paling penting, dimana

tercatat pula prevalensi TB paru 647 per 100.000 pada tahun

2014 sehingga Indonesia berada di peringkat kedua terbesar

(+) di Indonesia tahun 2016 sebesar 156.723 kasus (Kemenkes

RI, 2016).

Berdasarkan permasalahan tersebut, adanya upaya yang

haru dilakukan, mulai dari upaya berupa perbaikan kualitas

lingkungan tempat tinggal utamanya. Kemudian upaya kuratif

dapat dilakukan pula untuk meningkatkan kepatuhan

pengobatan yang didukung oleh keluarga atau kerabat

terdekat, sehingga adanya kecenderungan untuk sembuh lebih

cepat dan tepat.

V.3.2 Karakteristik responden menurut usia pada pasien TB

Rawat Inap

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien TB paru

masih didominasi usia produktif terlihat dari hampir

separuhnya berusia yaitu 16 responden (38,1%) berusia ≤44 tahun dan sebagian besarnya yaitu 21 responden (44%) berusia

>44 tahun dengan rata-rata umur 49,33 tahun, usia terendah

yaitu berumur 13 tahun dan usia tertinggi yaituberumur 73

tahun.

Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai

pada usia dewasa. Penyakit TB paru sebagian besar terjadi

pada orang dewasa yang telah mendapatkan infeksi primer

sejak masih kecil dan tidak ditangani dengan baik. Usia

tertinggi di Amerika Serikat pada tahun 2008. Jumlah kasus

TB paling tertinggi mengenai usia 25 samoai 44 tahun (33%

dari semua kasus), diikuti usia 45 sampai dengan 64 tahun

(30% dari semua kasus). Pada usia diatas 65 tahun berkisar

19%. Sedangkan sisanya berada pada usia antara 15% samapi

dengan 24 tahun (11%) dan usia 14 tahun kebawah (6%)

(CDC, 2008).

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan semakin

bertambahnya umur seseorang cenderung terjadinya

peningkatan risiko terhadap penularan TB paru seiring dengan

berkurangnya pada aspek psikologis dan aspek fisik, sehingga

pentingnya menjaga kondisi tubuh dengan peningkatan pola

hidup sehat seperti konsumsi makanan yang bergizi seimbang

serta berolahraga rutin minimal 30 menit sehari untuk menjaga

menjaga dan memperkuat sistem imun tubuh. Selain itu risiko

penularan TB Paru pada pasien umur/usia produktif sangat

berbahaya karena pasien sering berinteraksi dengan orang lain.

Sehingga jika pasien TB Paru dirawat inap mobilitasnya

rendah dan mengurangi penularan ke orang lainn di sekitar

lingkungan tempat tinggal.

V.3.3 Jenis kelamin Pasien TB Rawat Inap

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir

laki-laki, sedangkan sebagian kecilnya yaitu 8 responden (19%)

berjenis kelamin perempuan.

Penelitian yang dilakukan oleh Setiadi (2013),

menyatakan jenis kelamin pada TB paru lebih banyak pada

responden laki-laki dibanding responden perempuan.

Demikian halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh

Lalombo (2015) menyatakan frekuensi tertinggi TB paru

dialami oleh responden dengan jenis kelamin laki-laki.

Di setiap negara-negara di dunia lebih banyak laki-laki

dibandingkan perempuan yang TB paru tiap tahunnya, dan

secara global lebih dari 70% laki-laki dengan BTA positif

dibandingkan perempuan (Begum et al, 2001).

Laki-laki cenderung lebih banyak beraktivitas diluar

rumah dengan tujuan mencari nafkah dan lebih banyak

berinteraksi dengan orang lain yang mungkin salah satunya

terinfeksi kuman TB paru (Gordon, 1950 dalam Noor, 2008).

Hal ini seperti yang dilaporkan di dunia pada tahun 2015,

diperkirakan kasus TB paru berjenis kelamin laki-laki dan

38% kasus TB paru berjenis kelamin perempuan. Diperkirakan

kecenderungan faktor gaya hidup pada laki-laki yang merokok

memicu peningkatan risiko terjadinya TB paru. (WHO, 2015)

Beberapa alasan perbandingan kejadian TB paru menurut

laki-laki perempuan seperti perbedaan imunitas; laki-laki-laki-laki

dilaporkan lebih sering mengkonsumsi alkohol dan rokok;

perbedaan terhadap pajanan (exposure) kepada M.

tuberculosis yang dihubungkan dengan perbedaan pola

kehidupan/aktivitas interaksi sosial. Adanya perbedaan status

(interaksi) sosial dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan,

serta perbedaan aktivitas sehari-hari menyebabkan

kemungkinan pajanan infeksi tuberkulosis lebih banyak

terhadap laki-laki (Bothamley, G. 1998; Lonnroth et al, 2008;

WHO, 2001).

Berdasarkan keterangan diatas pasien TB paru yang rawat

inap tidak hanya terjadi pada jenis kelamin tertentu, tetapi dari

penelitian yang ada menunjukkan bahwa laki-laki lebih

banyak dibandingkan dengan perempuan yang dirawat inap

karena Tb paru. Sebagaimana dari hasil penelitian

menunjukkan penderita TB paru yang dirawat inap dengan

jenis kelamin laki-laki lebih besar penderitanya dibandingkan

dengan jenis kelamin perempuan.

Sehingga penting kiranya dapat menjaga kesehatan dan

lebih sering untuk mengunjungi pusat pelayanan kesehatan

V.3.4 Gambaran tingkat pendidikan Pasien TB Rawat Inap

Hasil penelitian ini menunjukkan penderita TB paru yang

dirawat inap hampir separuhnya yaitu 19 responden (45,2%)

memiliki latar belakang pendidikan tinggi, sedangkan

sebagian besarnya yaitu 23 responden (54,8%) memiliki latar

belakang pendidikan rendah.

Penelitian yang dilakukan Rini (2013), bahwa mayoritas

responden memiliki pendidikan tingkat pendidikan yang tinggi

diharapkan telah mampu menciptakan kondisi fisik rumah

yang sehat. Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi

terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai

kondisi fisik rumah yang sehat.

Tingkat pendidikan menjadi salah satu faktor risiko

penularan penyakit tuberkulosis. Rendahnya tingkat

pendidikan ini, akan berpengaruh pada pemahaman tentang

penyakit tuberkulosis. Masyarakat yang tingkat pendidikannya

tinggi, tuju kali lebih waspada terhadap Tb paru (gejala, cara

penularan, pengobatan) bila dibandingkan dengan masyarakat

yang hanya menempuh pendidikan dasar atau lebih rendah.

Kemudian juga mempengaruhi terhadap pengetahuan

seseorang diatanranya mengenai rumah dan lingkungan yang

yang cukup maka seseorang ajan mencoba untuk mempunyai

perilaku hidup bersih dan sehat. (Misnadiarly, 2009).

Tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan yang rendah

sangat mempengaruhi sikap dan perilaku terhadap faktor risiko

yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit tuberkulosis

yang rawat inap, terutama pengetahuan mengenai risiko

penularan Tb di sekitar lingkungan tempat tinggal .

Faktor-faktor yang dominan mempengaruhi kesehatan

individu dan kelompok adalah pendidikan. Pengetahuan atau

kognitif merupakan domain membentuk tindakan seseorang

(overt behaviour). Perilaku yang didasari oleh pengetahuan

akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa,

pendidikan mempengaruhi kejadian TB paru. Semakin

meningkat pendidikan seseorang, semakin meningkat pula

pengetahuan terhadap informasi kesehatan dimana orang

dengan pengetahuan formal yang lebih tinggi akan mempunyai

pengetahuan yang lebih tinggi dibanding orang dengan tingkat

pendidikan formal yang lebih rendah, karena akan lebih

mampu dan mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan

Oleh karena itu, perlu kiranya instansi kesehatan

utamanya RS Dr Soedarso melakukan upaya promotif dan

preventif melalui media ataupun secara langsung dengan

tujuan memproteksi masyarakat dalam hal ini penderita Tb

paru yang dirawat inap dan keluarganya agar tahu mengenai

bahaya dan faktor risiko dari TB paru sehingga mau

memberdayakan diri untuk mengaplikasikannya didalam

kehidupan sehari-hari serta secara mandiri menanggulangi

permasalahan TB paru.

V.3.5 Gambaran Pekerjaan Pasien TB Rawat Inap

Responden pada penelitian ini menunjukkan sebagian

besarnya yaitu 26 responden (61,9%) bekerja dan hampir

separuhnya yaitu 16 responden (38,1%) tidak bekerja.

Hubungan pekerjaan dengan kejadian masalah kesehatan

disebabkan adanya risiko pekerjaan, orang yang bekerja

disuatu tempat akan terkena penyakit berdasarkan paparan

yang dialaminya.

Penderita TB paru yang dirawat inap sebagian besar

bekerja sebagai wiraswata dan buruh yang notabenenya lebih

cenderung mendapatkan paparan polusi tinggi dan tingkat

kelelahan yang besar. Tingkat kelelahan yang diterima dengan

jumlah yang besar memungkinkan seseorang mengalami

yang kurang akan meningkatkan risiko untuk terjangkitnya

atau bahkan kembali kambuhnya TB paru hinga dirawat inap.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang menyatakan

bahwa jenis pekerjaan dapat berperan didalam timbulnya

penyakit melalui beberapa faktor (Notoatmodjo,2011).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan seseorang

yang bekerja cenderung lebih berisiko untuk kembuhnya TB

paru hingga memungkinkan untuk dirawat inap, dikarenakan

seseorang yang bekerja akan mudah terpapar dengan orang

disekitarnya dan status pekerjaan juga berkaitan dengan sosial

ekonomi seseorang dimana dapat memberikan kontribusi

terhadap kemudahan kekambumbuhan TB paru.

Mengingat TB paru erat sekali kaitannya dengan sosial

ekonomi, sehingga perlunya pemerintah melakukan perbaikan

lapangan pekerjaan yang memadai dan sesuai dengan

keterampilan yang dimiliki masyarakat. Selain itu hendaknya

pekerja memperhatikan alat pelindung diri seperti masker dan

sarung tangan ketika bekerja diluar ruang yang terpapar

langsung dengan sumber-sumber penyebab TB paru seperti

polusi dan sampah.

V.3.6 Gambaran Pendapatan Pasien TB Rawat Inap

Hasil penelitian menunjukkan tingkat pendapatan

memiliki tingkat pendapatan tergolong tinggi, sedangkan

hampir seluruhnya yaitu 35 responden (83,3%) memiliki

tingkat pendapatan tergolong rendah.

Upah minimum Kota Pontianak sesuai dengan keputusan

yang dipublikasikan oleh Dinas Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat adalah sebesar Rp

1.972.000 sedangkan rata-rata pendapatan responden adalah

sebesar RP 1.000.000.

Tingkat sosial ekonomi yang rendah dikarenakan

penghasilan yang minim atau kurang untuk mencukupi

kehidupan sehari-hari terutama pemenuhan kebutuhan

gizinya, lingkungan rumah yang sehat dan kemampuan

pembiayaan dalam bidang kesehatan karena masih terfokus

atas kebutuhan pokoknya. Keadaan status gizi dan penyakit

infeksi merupakan pasangan yang terkait. Penderita infeksi

sering mengalami anoreksia, penggunaan waktu yang

berlebih, penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya

tahan tubuh yang rendah dan sangat peka terhadap penularan

penyakit. Pada keadaan gizi yang buruk, maka reaksi

kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan dalam

mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi seperti TB

yang menderita penyakit kronis, seperti TB paru umumnya

status gizinya mengalami penurunan.

Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan tingkat

pendapatan yang rendah erat kaitannya dengan kemampuan

seseorang untuk peningkatan gizi baik, pemanfaatan kesehatan

yang berkualitas, dan pememnuhan syarat rumah sehat

sehingga risiko penularan dan menularkan TB paru semakin

besar.

Oleh karena itu, perlunya peningkatan pemahaman untuk

pemenuhan gizi seimbang juga tidak selalu dengan harga yang

mahal, sehingga peran tenaga kesehatan dan pemerintah untuk

menyebarluaskan informasi mengenai fortifikasi makanan

dengan yang lebih sederhana dan terjangkau oleh seluruh

lapisan masyarakat dalam pemenuhan kalori dan protein serta

kekurangan zat besi karena dapat meningkatkan risiko terkena

TB paru. Kemudian peningkatan kualitas kesehatan bagi

masyarakat tidak mampu serta bantuan perumahan dari

pemerintah agar terpenuhinya syarat rumah sehat.

V.3.7 Gambaran Kebiasaan Merokok Pasien Paru Rawat Inap

Hasil penelitian sebagian besarnya yaitu 29 responden

(79,1%) tidak merokok, sedangkan hampir separuhnya yaitu

Beberapa penelitian membuktikan, adanya kaitan antara

status perokok dengan kembali kambuhnya TB paru

sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Sayuti (2013)

menyatakan antara merokok dengan TB paru BTA positif.

Senada dengan penelitian Lalombo (2015) yang menyatakan

bahwa kebiasaan merokok adalah faktor yang berhubungan

dengan TB paru.

Polusi udara dalam ruangan dari asap rokok dapat

meningkatkan risiko terinfeksi kuman Mycobacterium

tuberculosis. Asap rokok mengandung lebih dari 4.500 bahan

kimia yang memiliki berbagai efek racun mutagenik dan

karsinogenik. Zat-zat ini memiliki risiko infeksi

Mycobacterium tuberculosis.Dampak buruk bagi kesehatan

khususnya paru karena rokok tidak hanya berdampak bagi

perokok namun juga bagi orang lain yang berada dilingkungan

perokok yaitu perokok pasif yaitu mereka yang tidak merokok

tapi sering berkumpul dengan perokok sehingga terpaksa harus

menghirup asap rokok (Aliman, 2011).

Kandungan tar dari asap rokok dapat mengganggu

kejernihan mukosa silia yang digunakan sebagai mekanisme

menempelnya bakteri pada sel epitel pernapasan yang hasilnya

adalah kolonisasi bakteri dan infeksi. Pada saluran napas

banyak (hiperplasia). Kemudian terjadi penurunan fungsi T sel

yang dimanifestasikan oleh penurunan perkembangbiakan

mitogen T sel. Polarisasi fungsi T sel dari respon 1 ke

TH-2 mungkin juga mengganggu pertahanan pejamu dalam

melawan infeksi akut. Secara ringkas tar dapat menyebabkan

struktur dan fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru serta

respon imunologis pejamu terhadap infeksi (Eisner, 2008).

Gas CO mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin

yang terdapat dalam sel darah merah, lebih kuat dibandingkan

oksigen sehingga setiap ada asap tembakau, disamping kadar

oksigen udara yang sudah berkurang, ditambah lagi sel darah

merah akan semakin kekurangan oksigen karena yang

diangkut adalah CO dan bukan oksigen. Sel tubuh yang

kekurangan oksigen akan melakukan spasme yaitu menciutkan

pembuluh darah. Bila proses ini berlangsung terus-menerus

maka pembuluh darah akan mudah rusak dengan terjadinya

proses ateroskerosis (penyempitan). Penyempitan dengan CO

dalam jumlah besar dapat menghilangkan kesadaran hingga

meninggal. Pada saluran napas kecil, terjadi radang ringan

hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan

penumpukan lendir. Pada jaringan paru, terjadi peningkatan

jumlah sel radang dan kerusakan alveoli (cabang dari paru)

Berdasarkan uraian diatas erat sekali kaitannya antara

status perokok dengan TB paru. Status perokok meningkatkan

kemungkinan kambuhnya TB paru hingga cencerung dirawat

inapdikarenakan sel tubuh mengalami kerusakan khususnya

pada sel epitel mukosa yang terdapat pada saluran nafas yang

digunakan sebagai mekanisme menempelnya bakteri pada sel

epitel pernapasan yang hasilnya adalah kolonisasi bakteri dan

infeksi.

Oleh karenanya, masyarakat harus sudah mengurangi

kebiasaan merokok dan bahkan berhenti sama sekali dari

perilaku merokok. Perlunya kebijakan dari pemerntah untuk

melakukan penekanan terhadap perilaku merokok bagi

masyarakat, sehingga baik perokok aktif dan perokok pasif

dapat terhindar dari bahaya rokok sebagai faktor risiko

terjadinya penyakit infeksi TB paru.

V. 3.8 Gambaran Kepadatan Hunian di Rumah Pasien TB Rawat

Inap

Hasil penelitian ini menunjukkan hampir separuhnya

yaitu 39 rumah responden (92,9%) memiliki kepadatan hunian

yang memenuhi syarat, sedangkan sebagian kecilnya yaitu 3

rumah responden (7,1%) memiliki kepadatan hunian yang

Berbagai penelitian membuktikan adanya kaitan antara

kepadatan hunian dengan TB paru, sebagaimana penelitian

yang dilakukan oleh Nurwitasari (2015) yang

menyatakanbahwa kedekatan merupakan faktor risiko TB

paru. Dimana Akamal (2013) juga menyatakan hal yang sama

dalam penelitiannya bahwa penularan tuberkulosis sangat

dipengaruhi kepadatan suatu hunian dikarenakan penularan

tuberkulosis melalui droplet, dehingga jika ada salah satu

penghuni positif tuberkulosis maka penyakit akan cepat

menyebar ke penghuni lainnya.

Berdasarkan Kepmenkes RI No.

829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan

rumah tinggal menunjukkan luas ruang tinggal menunjukkan

luas ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan lebih dari

2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak yang berusia

kurang dari 5 tahun. Jumlah penghuni rumah yang banyak

akan semakin menambah bibit penyakit dan mempercepat

penularan penyakit proses pertukaran udara bersih akan

terpenuhi.

Menurut Prabu dalam Soemirat (2000), luas lantai

bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di

dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus

menyebabkan overload. Persyaratan kepadatan hunian untuk

seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas

minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas

bangunan dan fasilitas yang tersedia .

Semakin banyaknya penghuni rumah, semakin meningkat

pula kadar CO2 di udara dalam rumah, maka akan memberi

Dokumen terkait