• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN LINGKUNGAN RUMAH PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU YANG RAWAT INAP DI RSUD SOEDARSO TAHUN 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "GAMBARAN LINGKUNGAN RUMAH PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU YANG RAWAT INAP DI RSUD SOEDARSO TAHUN 2017"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN LINGKUNGAN RUMAH PADA PASIEN

TUBERKULOSIS

PARU YANG RAWAT INAP

DI RSUD SOEDARSO

TAHUN 2017

SKRIPSI

Oleh :

SITI FATIMAH

NPM.121510244

(2)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK

TAHUN 2017

GAMBARAN LINGKUNGAN RUMAH PADA PASIEN

TUBERKULOSIS

PARU YANG RAWAT INAP

DI RSUD SOEDARSO

TAHUN 2017

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Menjadi

Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.K.M.)

Oleh :

SITI FATIMAH

NPM.121510244

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

(3)
(4)
(5)

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan

judul“GAMBARAN LINGKUNGAN RUMAH PADA PASIEN TUBERKULOSIS

PARU YANG RAWAT INAPDI RSUD SOEDARSOTAHUN 2017”.Dibuat untuk

melengkapi sebagian persyaratan program studi Kesehatan Masyarakat Fakultas

Ilmu Kesehatan Jenjang Pendidikan Strata 1 bukan merupakan tiruan atau duplikasi

dari Skripsi yang sudah dipublikasikan dan atau pernah dipakai untuk mendapatkan

gelar kesarjanaan dilingkungan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Pontianak maupun di Perguruan Tinggi atau instansi manapun,

kecuali bagian yang sumber informasinya dicantumkan sebagaimana mestinya.

Jika dikemudian hari ditemukan kecurangan, maka saya bersedia untuk

menerima sanksi berupa pencabutan hak terhadap ijazah dan gelar yang saya

terima.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Pontianak, 10 Januari 2018

Penulis

(6)

BIODATA PENULIS

Nama : Siti Fatimah

TempatTanggalLahir : Pontianak, 14 Februari 1974

JenisKelamin : Perempuan

Agama : Islam

Nama Orang Tua : Ayah H. Abdul Hamid Semongdan

IbuHj. SitiSa’adah

Nama Suami : H. Z.A. Marwan Fidia, SH, Msi

Alamat : Jl. Tabrani Ahmad Komp. GrahaBumiKhatulistiwa

2 No. A6

JENJANG PENDIDIKAN

1. SD : SD 6 Pontianak Tahun1981 - 1986

2. SMP : SMPN5 Pontianak Tahun1986 - 1989

3. SMA : SMF Yarsi Pontianak Tahun1989 - 1993

4. S1 : Program StudiKesehatanMasyarakatFakultasIlmuKesehatan,

PeminatanKesehatanLingkungan Tahun 2012 – 2017

PENGALAMAN PEKERJAAN

(7)

ABSTRAK

FAKULTAS ILMU KESEHATAN SKRIPSI, JANUARI 2018

SITI FATIMAH

FAKTOR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN TB PARU DI RUANG RAWAT INAP PARU RSUD SOEDARSO PONTIANAK

VI Bab + 80 Hal + 1 Gambar + 17 Tabel + 18 Lampiran

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

mycobacterium Tuberculosis (TBC), sebagian besar kuman TBC menyerang paru. Berdasarkan data yang di peroleh dari RSUD Soedarso Pontianak prevalensi kasus TB paru dirawat inap RSUD Soedarso pada tahun 2015 sebanyak 243 kasus (71,89%) dengan 65 kasus TB paru meninggal (19,23%). Pada tahun 2016 sebanyak 283 kasus (73,89%) dengan 61 kasus TB paru meninggal (21,55%). Pada bulan Januari hingga Februari tahun 2017 terdapat 60 pasien TB paru yang dirawat inap di RSUD Soedarso.Keterangan yang diberikan oleh perawat ruang rawat inap Paru RSUD Soedarso sebagian besar pasien rawat inap merupakan pasien ulangan dengan komplikasi.

Tujuan penelitian Untuk mengetahui faktor lingkungan dengan kejadian TB Paru di Ruang Rawat Inap Paru RSUD Soedarso Pontianak.

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif, dengan analisa data penelitian cross sectional dengan total sampel 42.

Hasil penelitian menunjukkan Penderita TB paru yang rawat inap di RSUD Soedarso didominasi jenis kelamin laki-laki (80%), dengan pendidikan dan pendapatan yang tergolong rendah rendah (54,8%; 83,3%). Dari sisi kualitas lingkungan rumah diketahui kepadatan hunian, luas ventilasi, pencahayaan dan suhu cenderung tidak memenuhi syarat (95,2%; 54,8%; 92,2%; 69%), sedangkan merokok dan kelembaban udara cenderung rendah dan memenuhi syarat (31%; 59,5%)

Saran bagi Puskesmas untuk berkoordinasi dengan pemda setempat mengatur regulasi mengenai rumah sehat dengan menciptakan inovasi perilaku dan kebiasaan hidup sehat serta kepatuhan konsumsi obat TB paru.

Kata kunci : kebiasaan merokok, lingkungan,penderita TB paru yang rawat inap.

(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobil’alamin, segalapujisyukurkehadirat Allah SWT yang

telahmemberikankekuatandanpetunjuksehinggaskripsidenganjudul

“GambaranLingkunganRumahPadaPasienTuberkulosisParu Yang

RawatInapDiRsudSoedarsoTahun 2017” bisaselesaidengansebagaimanamestinya.

Skripsiinitidakakanterselesaikandengan optimal

jikatidakmendapatkanbantuandanmotivasidariberbagaipihak yang

ikhlasmemberikanmasukan, kritikdan saran

gunakelancarandankemudahandalampenulisanini. Makauntukitu,

dengansegalaketulusandankeikhlasanhatipenulisucapkan rasa terimakasih yang

sedalam-dalamnyakepada :

1. BapakHelmanFachri, SE, MM selakuRektorUniversitasMuhammadiyah

Pontianak.

2. IbuDr. Linda Suwarni, SKM,

M.KesselakuDekanFakultasIlmuKesehatanUniversitasMuhammadiyah

Pontianak.

3. Bapak Ismael Saleh, SKM, M.Scselakupembimbingutama yang

penuhkesabaranhatitelahbersediameluangkanwaktudalammemberikanbimb

ingandanpengarahandalampenyusunanskripsiini.

4. BapakDediAlamsyah, SKM, M.Kes (Epid) selakupembimbingkedua yang

(10)

5. SeluruhstafdandosenFakultasIlmuKesehatan yang

telahmembantukelancaranpenyelesaianpendidikan di

FakultasIlmuKesehatan UMP.

6. Direktur RSUD Soedarso yang

telahbersediamemberikanijinuntukmelakukanpenelitiansertamemberikan

data-data yang berhubungandenganpenulisanskripsiini.

7. Kedua orang tuaku, suamidananak-anakku yang

dengantulusmemberikanmotivasisertado’a.

8. Rekan-rekan yang namanyatidakmungkindisebutkansatupersatudisini yang

telahbanyakmembantubaikmorilmaupun spiritual

sehinggapenyusunanskripsiinidapatdiselesaikan.

Penulisanskripsiini, penulissangatmenyadarimasihjauhdarisempurna,

karenakesempurnaanituhanyamilik Allah SWT semata,

sedangkankekurangandankesalahanitudatangnyadaripenulissendiri.

Untukitumasukan, kritikdan saran dariberbagaipihaksangatdiperlukan.

Akhir kata penulisberharapsemogaskripsiini,

dapatmemberikanmanfaatbagikitasemua, Amin.

Pontianak, Januari 2018

Peneliti

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………. i

HALAMAN PENGESAHAN ……….. ii

HALAMAN PERSETUJUAN ……….. iii

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ……….. iv

BIODATA ………... v

KATA PENGANTAR ……… vi

DAFTAR ISI ………... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN I.1 LatarBelakang……… 1

I.2 RumusanMasalah ………... 7

I.3 TujuanPenelitian ………. 7

I.4 ManfaatPenelitian ………... 8

I.5 KeaslianPenelitian ……….. 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tuberculosis (TB)……….……… 13

II.2 SanitasiLingkunganRumah ……… 17

II.3 Faktor-Faktoryang MempengaruhiRawatInapPasien TB Paru ……… 21

(12)

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL

III.1 KerangkaKonsep ……… 38

III.2 VariabelPenelitian ……….. 38

III.3 DefinisiOperasional ……… 39

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN IV.1 DesainPenelitian ……… 41

IV.2 WaktudanTempatPenelitian ……… 41

IV.3 PopulasidanSampel ……….. 42

IV.4 TeknikdanInstrumenPengumpulan Data ………. 44

IV.5 TeknikPengolahandanPenyampaian Data ……… 46

IV.6 TeknikAnalisa Data ……… 47

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN V.1 Lokasi dan Gambaran Peneliti ……… 49

V.2 Hasil Penelitian ………50

V.3 Pembahasan ………. 58

V.4 Keterbatasan Peneliti ………... 79

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN VI.1 Kesimpulan ……… 81

VI.2 Saran ……… 86

(13)

DAFTAR TABEL

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

II.1 KerangkaTeori ….………. 37

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : PermohonanIjinPenelitian

Lampiran 2 : LembarPersetujuanResponden

Lampiran 3 : IdentitasResponden

Lampiran 4 : Output SPSS

Lampiran 5 : Master Rekap

Lampiran 6 : Dokumentasi

(16)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman mycobacterium Tuberculosis (TBC), sebagian besar kuman TBC

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes,

2012). Penularan terjadi ketika pasien TB batuk atau bersin, kuman tersebar

ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Infeksi terjadi apabila

orang lain menghirup udara yang mengandung percikan dahak infeksius

tersebut (Kemenkes, 2014).

Penyakit tuberkulosis paru (TB paru) masih menjadi permasalahan

kesehatan masyarakat secara global. TB paru menduduki peringkat ke 2

sebagai penyebab utama kematian akibat penyakit menular setelah Human

Immuno deficiency Virus (HIV). Pada tahun 2014 TB membunuh 1,5 juta

orang (1,1 juta HIV negatif dan sisanya HIV positif) terdiri dari laki-laki

890.000 jiwa, perempuan 480.000 jiwa dan 140.000 jiwa pada anak-anak. Di

Indonesia bertambah seperempat juta kasus baru dan sekitar 140.000

kematian terjadi setiap tahunnya. Pada tahun 2013 angka insidensi TB sebesar

183 per 100.000 penduduk dengan angka kematian TB sebesar 25 per

100.000 penduduk dan pada tahun 2014 angka insidensi meningkat menjadi

399 per 100.000 penduduk dengan angka kematian yang juga meningkat

(17)

Diperkirakan bahwa sepertiga dari populasi dunia terinfeksi dengan

mycobacterium tuberculosis, bakteri udara yang menyebabkan tuberculosis.

Sementara prevalensi mycobacterium tuberculosis terendah adalah Amerika

Serikat, jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Tuberkulosis masih

menjadi masalah kesehatan yang perlu diperhatikan: pada tahun 2006,

prevalensi di AS diperkirakan 3,2 orang per 100.000 populasi. Meskipun

upaya pengobatan TB sudah dilakukan terutama pada pasien rawat jalan,

memeriksa rawat inap untuk pasien TB, namun hal ini masih menjai masalah

kesehatan public (Holmquist, dkk., 2008).

Pada pengobatan TB paru perlu diperhatikan keadaan klinisnya karena

setiap pasien TB paru memiliki keadaan klinis yang berbeda-beda. Bila

keadaan klinisnya buruk dan terdapat indikasi untuk rawat, maka pasien

tersebut harus rawat inap di rumah sakit. Pasien perlu pengobatan tambahan

atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau

mengatasi gejala/keluhan yang akan memperburuk keadaan klinisnya. Pada

pasien TB paru dengan keadaan klinis tertentu diharuskan untuk menjalani

rawat inap. Akan tetapi, di sisi lain rawat inap yang lama (> 7 hari) justru

akan menimbulkan masalah baru. Pada beberapa penelitian diperoleh fakta

bahwa pasien yang menjalani rawat inap yang lama meningkatkan risiko

reinfeksi TB paru oleh bakteri yang resisten atau akan menjadi TB paru yang

MDR (Multi DrugResistance), meningkatkan resiko depresi dan kecemasan

baik pada pasien maupun orang tua pasien, serta kerugian ekonomis (Mulluzi,

(18)

Menurut penelitian Nodieva A et al (2008), Rawat inap dalam jangka

panjang untuk mengobati orang dengan tuberkulosis (TB), baik TB yang

rentan terhadap obat atau yang resistan terhadap obat menempatkan mereka

lebih berisiko terhadap infeksi ulang dengan jenis TB yang resistan terhadap

berbagai jenis obat (TB-MDR) dan TB yang resistan terhadap berbagai jenis

obat secara luas (TB-XDR). Hal ini berdasarkan sebuah penelitian di Latvia

yang dipresentasikan dalam World Lung Health Conference di Paris, Prancis.

Pencegahan dan pemberantasan penyakit tuberkulosis serupa dengan

pencegahan dan pemberantasan pada penyakit menular lainnya yaitu selain

menanggulangi penderitanya juga perlu memperhatikan faktor resikonya

yaitu faktor lingkungan, karena kondisi lingkungan mempunyai peran cukup

besar dalam mempengaruhi derajat kesehatan, di samping perilaku

masyarakat itu sendiri. Upaya untuk meningkatkan kesehatan termasuk

higiene dan sanitasi sangat dipengaruhi oleh kebiasan, status gizi dan cara

hidup masyarakat. Sebagian besar penderita TB adalah golongan miskin dan

penduduk yang tinggal di pemukiman padat. Hal ini serupa dengan data WHO

yang menyatakan bahwa 95% dari angka kematian akibat TB setiap tahun

berada di Negara berkembang yang relatif miskin. 75% penderita TB adalah

mereka yang berusia produktif secara ekonomi (15-50 tahun) (Supriyo, dkk.,

2013).

Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit yang komplek. Masalah

yang ditimbulkan meluas sampai aspek sosial, ekonomi dan budaya. Hingga

(19)

Keadaan klinis pasien TB paru bisa bermacam-macam, jika terdapat

komplikasi maka pasien tersebut diharuskan menjalani rawat inap (Setiawan,

2010). Tuberkulosis paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Tuberkulosis lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan,

dan hampir 85% terjadi pada usia produktif (Sitorus, 2014).

Karakteristik demografi pasien dirawat di rumah sakit terutama untuk

TB dan orang-orang dengan sekunder diagnosis bervariasi berdasarkan usia

dan jenis kelamin. Usia rata-rata pasien rawat inap terutama untuk TB adalah

47,9 tahun-lebih dari 10 tahun lebih muda dari usia rata-rata untuk rawat inap

rata-rata (58,1 tahun). Itu Rata-rata usia pasien dengan diagnosis sekunder,

bagaimanapun, adalah 62,8 tahun, atau empat tahun lebih tua dari rata-rata

rawat inap. Pria lebih mungkin dibandingkan perempuan untuk dirawat di

rumah sakit dengan TB. Sebagai kepala sekolah diagnosis, 64,6 persen pasien

adalah laki-laki; sebagai diagnosis sekunder, lebih dari setengah (52,3 persen)

dari pasien dengan TB adalah laki-laki. Sebaliknya, laki-laki terdiri 46,4

persen tetap untuk rawat inap untuk semua kondisi (Holmquist, dkk., 2008).

Menurut penelitian Setiawan (2010), distribusi determinan internal

pasien rawat inap di RS paru Jember adalah usia >44 tahun, pendidikan

rendah, jenis kelamin pria, pekerjaan petani/ buruh, penghasilan rendah,

seorang perokok, status gizi underweight, status bakteriologis BTA (-),

riwayat terimunisasi BCG. Sedangkan untuk distribusi determinan eksternal

(20)

Pendidikan akan berpengaruh pada pengetahuan dan informasi yang

dimiliki responden. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap

kemampuan penderita untuk menerima informasi tentang penyakit, terutama

TB paru. Kurangnya informasi tentang penyakit TB paru menyebabkan

kurangnya pengertian penderita terhadap penyakit dan bahayanya sehingga

menyebabkan berkurangnya kepatuhan penderita terhadap pengobatan atau

berhenti berobat bila gejala penyakit tidak dirasakan lagi (Yolanda, 2009).

Selain itu, tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap

jenis pekerjaannya. Pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan

keterpaparan khusus dan tingkat/derajat keterpaparan tersebut serta besarnya

risiko menurut sifat pekerjaan, lingkungan kerja, dan sifat sosial-ekonomi

karyawan pada pekerjaan tertentu. Pekerjaan juga mempunyai hubungan

yang erat dengan status sosial ekonomi, sedangkan berbagai jenis penyakit

yang timbul dalam keluarga sering berkaitan dengan jenis pekerjaan yang

mempengaruhi pendapatan keluarga (Nur Nasry, 2008).

Menurut John Gordon, setiap penyakit memiliki analisis yang berbeda

berdasarkan agen, pejamu, atau lingkungannya. Agen pada penyakit TB paru

adalah kuman Mycobacterium tuberculosis yang berbentuk batang dan

mempunyai sifat khusus, yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Pejamu

penyakit ini adalah manusia dimana perilaku hidup seperti kebiasaan

merokok dan kepatuhan meminum obat TB, sedangkan faktor lingkungan

yang mempengaruhi antara lain kepadatan penduduk, pencahayaan dan

(21)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syafri, dkk (2015)

menyebutkan bahwa rumah yang memiliki kondisi pencahayaan yang kurang

berisiko 8,125 kali lebih besar tertular TB paru dibandingkan rumah

responden yang memiliki pencahayaan yang baik . Selain itu kepadatan

penduduk, luas ventilasi, kelembapan dan suhu juga menjadi salah satu faktor

lingkungan yang mempengaruhi TB. Dimana kepandatan penduduk yang

tidak baik memiliki resiko sebesar 13,5 kali dibandingkan rumah yang

mempunyai kepadatan hunian yang baik, luas ventilasi yang kurang baik

memiliki resiko sebesar 30,5 kali dibandingkan rumah yang mempunyai luas

ventilasi yang baik, suhu ruangan yang tidak baik memiliki resiko sebesar

27,5 kali dibandingkan rumah yang mempunyai suhu ruangan yang baik dan

kelembapan yang kurang baik memiliki resiko 84,3 kali dibandingkan rumah

yang mempunyai kelembapan yang baik (Siregar dkk, 2012).

Data Riskesdas tahun 2013 diketahui prevalensi penduduk Indonesia

yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013 tidak berbeda

dengan 2007, yakni berjumlah 0.4%. Prevalensi penduduk dengan gejala TB

paru batuk ≥ 2 minggu sebesar 3,9% dan batuk darah 2,8%. Berdasarkan

karakteristik penduduk, prevalensi TB paru cenderung meningkat dengan

bertambahnya umur, pada pendidikan rendah, tidak bekerja. Prevalensi TB

paru terendah pada kuintil teratas.

Berdasarkan data yang di peroleh dari RSUD Soedarso Pontianak

diketahui prevalensi kasus TB paru dirawat inap RSUD Soedarso pada tahun

(22)

(19,23%). Sedangkan pada tahun 2016 sebanyak 283 kasus (73,89%) dengan

61 kasus TB paru meninggal (21,55%). Pada bulan Januari hingga Februari

tahun 2017 terdapat 60 pasien TB paru yang dirawat inap di RSUD Soedarso.

Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh perawat ruang rawat inap Paru

RSUD Soedarso mengatakan bahwa sebagian besar pasien rawat inap dengan

penyakit TB Paru merupakan pasien ulangan yang memiliki masalah

komplikasi kesehatan akibat menurunnya kemampuan kerja organ baik

paru-paru, ginjal maupun liver akibat paparan obat TB yang dikonsumsi, perilaku

lainnya yang mempengaruhi adalah kebiasaan merokok.

Berdasarkan data tersebut diketahui adanya peningkatan pasien TB

paru tahun 2016, maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai

Gambaran Lingkungan rumah dengan kejadian TB paru di ruang rawat inap

paru RSUD Soedarso Pontianak.

I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah penelitian

ini adalah “Bagaimana Gambaran Lingkungan Rumah Penderita TB Paru yang Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak?”.

(23)

I.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor lingkungan dengan kejadian TB Paru di

Ruang Rawat Inap Paru RSUD Soedarso Pontianak.

I.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui karakteristik pasien TB Paru yang Rawat Inap di

RSUD Soedarso Pontianak.

b. Untuk mengetahui kebiasaan merokok pada pasien TB Paru yang

Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak.

c. Untuk mengetahui kepadatan hunian pada pasien TB Paru yang Rawat

Inap di RSUD Soedarso Pontianak.

d. Untuk mengetahui luas ventilasi pada pasien TB Paru yang Rawat Inap

di RSUD Soedarso Pontianak.

e. Untuk mengetahui kondisi pencahayaan pada pasien TB Paru yang

Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak.

f. Untuk mengetahui kelembaban pada pasien TB Paru yang Rawat Inap

di RSUD Soedarso Pontianak.

g. Untuk mengetahui suhu pada pasien TB Paru yang Rawat Inap di

RSUD Soedarso Pontianak.

(24)

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai upaya

meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pengaruh

lingkungan terhadap kejadian TB paru.

1.4.2 Bagi Institusi Terkait

Bermanfaat bagi RSUD dr. Soedarso Pontianak dalam

mengambil kebijakan dan strategi dalam pelaksanaan program

pencegahan TB Paru.

1.4.3 Bagi Fakultas Ilmu Kesehatan

Diharapkan dapat menambah bahan bacaan dan bisa sebagai

data untuk peneliti selanjutnya dan dapat dijadikan sebagai acuan

bagi akademik dalam menerapkan ilmu yang digunakan sesuai

dengan penerapan yang ada di lapanan selama proses belajar

mengajar.

1.4.4 Bagi Peneliti

Bermanfaat menambah pengetahuan dan kemampuan

penulis dalam penelitian ilmiah di bidang kesehatan, khususnya

mengenai kajian tentang faktor lingkungan yang mempengaruhi TB

Paru.

I.5 Keaslian Penelitian

Tabel I.I

(25)

dengan Komplikasi yang Rawat Inap Di RSUD

Rantauprapat Tahun 2012/ Surya Honesty Sitorus/ Petani (41,1%), Luar wilayah

Rantauprapat (52,3%), proporsi komplikasi TB paru terbesar Efusi pleura (57,9%). Proporsi berdasarkan status rawatan tertinggi adalah keluhan utama batuk 40,2%, tipe penderita kambuh 71,0%, kategori pengobatan kategori 2 88,8%, lama rawatan rata-rata 5 hari, keadaan sewaktu pulang pulang berobat jalan 49,5%, sumber biaya bukan biaya sendiri 86,0%. Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara tipe penderita berdasarkan

komplikasi, Lama rawatan rata-rata berdasarkan komplikasi.

2 Determinan Lama Pasien TB Paru Menjalani Rawat Inap Di Rumah Sakit Paru Jember/ Ali Sibra Mulluzi/ 2010

Lama rawat inap pasien TB Paru

(26)

multivariat tidak ada variabel yang

mempengaruhi lama rawat inap pasien TB Paru secara

signifikan(p>0,05)

3 Determinan

Indikasi Rawat Inap Pada Pasien TB Paru Di Rs Paru Jember/ Bambang Eko Setiawan/ 2010

Cross-Sectional

V. Independen:

determinan internal yaitu : usia, jenis inap pada pasien TB paru usia, pendidikan dan status gizi; bahwa variabel yang dominan

berpengaruh adalah usia dan status gizi.

4 Tuberculosis Stays in U.S. Hospitals, 2006/ Laurel Holmquist, M.A., C. Allison Russo, M.P.H., and Anne Elixhauser, Ph.D./ 2008

Kohort V. Independen:

the with a secondary diagnosis

V. Dependen:

Demographic characteristics of patients hospitalized principally for TB and those with a secondary

(27)

Tuberculosis Stays in U.S. Hospitals

principally for TB was 47.9

years—more than 10 years younger than the mean age for the average

hospitalization (58.1 years). The

average age of patients with a secondary diagnosis, however, was 62.8 years, or four years older than

the average

hospitalization. Men were more likely than women to be hospitalized with TB. As a principal diagnosis, 64.6 percent of patients were male; as a secondary diagnosis, just over half (52.3 percent) of

patients with TB were male. Conversely, men comprised 46.4 percent of stays for hospitalizations for all

conditions.

(28)

1,123) dengan tuberculosis

Berdasarkan orisinalitas penelitian, persamaan dan perbedaan penelitian ini

dengan penilitian terdahulu dapat dilihat dari subjek penelitian, variabel penelitian,

metodelogi penelitian, serta tempat dan waktu penelitian.

1. Variabel penelitian, memiliki persamaan yakni mengenai karakteristik pasien,

kepadatan hunian, luas ventilasi, pencahayaan, kelembaban, dan suhu.

2. Metode penelitian, memiliki perbedaan, yakni observasional deskriptif dengan

pendekan cross sectional.

3. Subjek penelitian, memiliki perbedaan karena meneliti pada pasien TB paru

yang rawat inap di RSUD Soedarso Kota Pontianak.

4. Tempat dan waktu : memiliki perbedaan karena penelitian ini dilakukan di

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tuberculosis(TB)

II.1.1 Etiologi Tuberculosis(TB)

Tuberkulosis (TB) bukan merupakan penyakit yang baru, penyakit ini

sudah ada sejak jaman kuno, diperkirakan organisme ini ada sekitar 15.000– 20.000 tahun yang lalu. Diketahui penyebab penyakit tuberkulosis

disebabkan oleh suatu bakteri yaitu Mycobacterium tuberculosis maka dapat

diupayakan berbagai tindakan baik pencegahan maupun pengobatan yang

terkait dengan penyakit ini. Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri yang dapat

menyebar dari seseorang penderita ke orang laian melalui udara. Pada

umumnya menginfeksi paru-paru, namun dapat juga menginfeksi bagian lain

seperti otak, tulang, ginjal dan bagian tubuh lainnya. Penyakit ini dapat

diobati, namun dapat menyebabkan kematian jika tidak mendapatkan

pengobatan yang tepat (WHO, 2009).

Cara penularan penyakit ini adalah melalui sumber penularan yaitu

pasien TB BTA positif. Ditularkan melaui media udara dari percikan dahak

(droplet nuclei), dimana sekali batuk/bersih dapat menghasilkan 3000

percikan dahak, percikan ini dapat bertahan lama, namun dengan sinar

matarahari langsung kuman dapat dimatikan. Makin tinggi derajat

keposistifan dari hasil pemeriksaan dahaknya maka makin banyak pula

(30)

Pada tahun 1944, antibiotik pertama diberikan pada pasien TB kritis

dengan menggunakan Streptomysin, dan memberikan efek yang sangat

mengesankan dan menunjukan pemulihan yang cepat dari penderita, namun

memiliki efek samping pada pendengarannya (terdapat gangguan pada telinga

bagian dalam). Ternyata dalam perkembangannya, penggunaan satu macam

obat antibiotik memunculkan mutan resistensi obat dalam beberapa bulan.

Maka pengobatan TB pada saat ini mengunakan 2 -4 paduan regimen

antibiotik untuk menghindari timbulnya resistensi. Saat ini pengobatan TB

diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

1. Tahap intensif, pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi seara

langsung mencegah terjadinya resistensi obat, jika diberikan secara

tepat maka dalam 2 minggu pasien menjadi tidak menular. Dan

sebagian besar pasien TB BTA + menjadi BTA - (konversi) dalam

2 bulan.

2. Tahap lanjutan, pasien akan mendapatkan jenis obat lebih sedikit

namun dengan jangka waktu yang lebih lama, hal ini dilakukan

untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah

kekambuhan.

Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian

Tuberkulosis di indonesia menggunakan 2 kategori/kriteria ditambah dengan

paduan obat sisipan (HRZE) (Depkes RI, 2006).

Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 Selama 2 bulan minum obat INH,

(31)

bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu

(tahap lanjutan). Diberikan kepada Penderita baru TBC paru BTA positif dan

Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.

Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3 Diberikan kepada Penderita kambuh,

Penderita gagal terapi atau Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum

obat.

Kategori 3: 2HRZ/4H3R3 DiberikankepadaPenderita BTA (-) dan

rontgen paru mendukung aktif. Obat yang digunakan untuk TB digolongkan

atas dua kelompok yaitu :

1. Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin,

Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan

toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat

disembuhkan dengan obat-obat ini.

2. Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin,

Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.

II.1.2 Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis paru yang menyerang jaringan

paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan

dahak, tuberkulosis paru dibagi dalam:

1. Tuberkulosis paru BTA positif. Sekurang-kurangnya dua dari tiga

spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif atau satu spesimen dahak SPS

hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukan gambaran

(32)

2. Tuberkulosis patu BTA negatif. Pemeriksaan tiga spesimen dahak SPS

hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukan tuberkulosis paru

aktif. Tuberkulosis paru negatif tetapi rontgen positif dibagi berdasarkan

tingkat keparahan penyakitnya, yaitu berat atau ringan.

Tipe penderita di tentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya. Menurut Tjoktonegoro dan Utama dalam retno (2007), tipe

penderita di bagi dalam:

1. Kasus baru adalah penderita yang tidak mendapat obat anti tuberkulosis

paru (OAT) lebih dari satu bulan.

2. Kasus kambuh (relaps) adalah penderita yang pernah di nyatakan sembuh

dari tuberkulosis paru tetapi kemudian timbul lagi tuberkulosis paru

aktifnya.

3. Gagal adalah penderita BTA positif yang masih positif atau kembali

menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir

pengobatan) atau lebih. Gagal adalah penderita dengan hasil BTA negatif

rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

4. Kasus kronik adalah penderita yang BTA-nya tetap positif setelah

mendapat pengobatan ulang lengkap yang di superfisi dengan baik.

Menurut Depkes RI (2002), tipe penderita dibagi kedalam beberapa tipe,

yaitu kasus baru, kambuh (relaps), pindahan (transfer in), setelah lalai

(33)

II.2 Sanitasi Lingkungan Rumah

Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang berada di dalam rumah.

Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik serta lingkungan sosial.

Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik dimana orang

menggunakannya untuk tempat berlindung. Lingkungan dari struktur tersebut

juga semua fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang

berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosial yang baik

untuk keluarga dan individu. Lingkungan rumah yang sehat dapat diartikan

sebagai lingkungan yang dapat memberikan tempat untuk berlindung atau

bernaung dan tempat untuk beristirahat serta dapat menumbuhkan kehidupan

yang sempurna baik fisik, psikologis maupun sosial. Lingkungan rumah

merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status

kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003).

Rumah disamping merupakan lingkungan fisik manusia sebagai tempat

tinggal, juga dapat merupakan tempat yang menyebabkan penyakit, hal ini

akan terjadi bila kriteria rumah sehat belum terpenuhi. Menurut Winslow dan

APHA, rumah yang sehat harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain

(Suyono,2010):

1. Memenuhi Kebutuhan Fisiologis

a. Pencahayaan yang cukup, baik cahaya alam (sinar matahari) maupun

cahaya buatan (lampu). Pencahayaan yang memenuhi syarat sebesar 60

(34)

b. Perhawaan (ventilasi) yang cukup untuk proses pergantian udara dalam

ruangan. Kualitas udara dalam rumah yang memenuhi syarat adalah

bertemperatur ruangan sebesar 18ᵒ – 30ᵒ C dengan kelembaban udara sebesar 40 % - 70 %. Ukuran ventilasi memenuhi syarat 10% luas

lantai.

c. Tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari luar maupun dari

dalam rumah (termasuk radiasi).

d. Cukup tempat bermain bagi anak-anak dan untuk belajar.

2. Memenuhi Kebutuhan Psikologis

a. Setiap anggota keluarga terjamin ketenangannya dan kebebasannya.

b. Mempunyai ruang untuk berkumpulnya anggota keluarga.

c. Lingkungan yang sesuai, homogen, tidak telalu ada perbedaan tingkat

yang ekstrem di lingkungannya. Misalnya tingkat ekonomi.

d. Mempunyai fasilitas kamar mandi dan WC sendiri.

e. Jumlah kamar tidur dan pengaturannya harus disesuaikan dengan umur

dan jenis kelaminnya. Orang tua dan anak dibawah 2 tahun boleh satu

kamar. Anak diatas 10 tahun dipisahkan antara laki-laki dan

perempuan. Anak umur 17 tahun ke atas diberi kamar sendiri.

f. Jarak antara tempat tidur minimal 90 cm untuk terjaminnya keleluasaan

bergerak, bernapas dan untuk memudahkan membersihkan lantai.

g. Ukuran ruang tidur anak yang berumur  5 tahun sebesar 4,5 m3, dan

umurnya 5 tahun adalah 9 m3. Artinya dalam satu ruangan anak yang

(35)

ruangan 1,5 x 1 x 3 m3, dan  5 tahun menggunakan ruangan 3 x 1 x 3

m3.

h. Mempunyai halaman yang dapat ditanami pepohonan.

i. Hewan/ternak yang akan mengotori ruangan dan ribut/ bising

hendaknya dipindahkan dari rumah dan dibuat kandang tersendiri dan

mudah dibersihkan.

3. Pencegahan Penularan Penyakit

a. Tersedia air bersih untuk minum yang memenuhi syarat kesehatan.

b. Tidak memberi kesempatan serangga (nyamuk, lalat), tikus dan

binatang lainnya bersarang di dalam dan di sekitar rumah.

c. Pembuangan kotoran/tinja dan air limbah memenuhi syarat kesehatan.

d. Pembuangan sampah pada tempat yang baik, kuat dan higienis.

e. Luas kamar tidur maksimal 3,5 m2 perorang dan tinggi langit-langit

maksimal 2,75 m. Ruangan yang terlalu luas akan menyebabkan mudah

masuk angin, tidak nyaman secara psikologis, sedangkan apabila terlalu

sempit akan menyebabkan sesak napas dan memudahkan penularan

penyakit karena terlalu dekat kontak.

f. Tempat masak dan menyimpan makanan harus bersih dan bebas dari

pencemaran atau gangguan serangga, tikus dan debu.

4. Pencegahan terjadinya Kecelakaan

a. Cukup ventilasi untuk mengeluarkan gas atau racun dari dalam ruangan

(36)

b. Cukup cahaya dalam ruangan untuk mencegah bersarangnya serangga

atau tikus,mencegah terjadinya kecelakaan dalam rumah karena gelap.

c. Bahan bangunan atau konstruksi rumah harus memenuhi syarat

bangunan sipil, terdiri dari bahan yang baik dan kuat.

d. Jarak ujung atap dengan ujung atap tetangga minimal 3 m, lebar

halaman antara atap tersebut minimal sama dengan tinggi atap tersebut.

Hal ini tidak berlaku bagi perumahan yang bergandengan (couple).

e. Rumah agar jauh dari rindangan pohon- pohon besar yang rapuh/

mudah patah.

f. Hindari menaruh benda-benda tajam dam obat-obatan atau racun

serangga sembarangan apabila didalam rumah terdapat anak kecil.

g. Pemasangan instalasi listrik (kabel-kabel, stop kontak, fitting dll) harus

memenuhi standar PLN.

h. Apabila terdapat tangga naik/ turun, lebar anak tangga minimal 25cm,

tinggi anak tangga maksimal 18 cm, kemiringan tangga antara 30-36.

Tangga harus diberi pegangan yang kuat dan aman.

II.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Rawat Inap Pasien TB Paru

Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit yang komplek. Masalah

yang ditimbulkan meluas sampai aspek sosial, ekonomi dan budaya. Keadaan

(37)

pasien tersebut diharuskan menjalani rawat inap. Menurut John Gordon,

setiap penyakit memiliki analisis yang berbeda berdasarkan agen, pejamu,

atau lingkungannya.

Berdasarkan penelitian Setiawan tahun 2010, adapun faktor-faktor yang

mempengaruhi rawat inap pasien TB Paru, antara lain:

II.3.1 Karakteristik

II.3.1. Umur

Menurut Notoatmodjo (2011), umur adalah variabel yang selalu

diperhatikan di dalam penyelidikan-penyelidikan epidemiologi.

Angka-angka kesakitan maupun kematian di dalam hampir semua keadaan

menunjukkan hubungan dengan umur. Untuk keperluan perbandingan

maka WHO menganjurkan pembagian umur sebagai berikut :

1. Menurut tingkat kedewasaan, yaitu :

 0-14 tahun : bayi dan anak-anak

 15-49 tahun : orang muda dan dewasa

 50 tahun keatas : orang tua

2. Interval 5 tahun :

 kurang dari 1 tahun,

 1-4 tahun,

 5-9 tahun,

 10-14, dan seterusnya

3. Untuk mempelajari penyakit anak

(38)

 5-10 bulan

 11-23 bulan

 2-4 tahun

 5-9 tahun

 9-14 tahun

Hasil penelitian Sitorus (2014) menyebutkan, proporsi berdasarkan

sosiodemografi tertinggi pada kelompok umur produktif 15-55 tahun

(81,3%). Umur mempengaruhi perjalanan penyakit TB paru dikarenakan

semakin bertambahnya usia semakin menurunnya sistem imun tubuh

seseorang begitu juga status gizi seseorang. Status gizi yang buruk

menyebabkan tubuh menjadi lemah dan memperburuk keadaan klinis

pasien tersebut. Determinan pasien dirawat inap berumur diatas 44 tahun

(Setiawan, 2010).

II.3.2. Jenis Kelamin

Tuberkulosis lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan

perempuan (Sitorus, 2014). Angka-angka dari luar negeri menunjukkan

bahwa angka kesakitan lebih tinggi dikalangan wanita sedangkan angka

kematian lebih tinggi pada pria pada semua golongan umur. Yang pertama

diduga meliputi faktor keturunan yang terkait dengan jenis kelamin, atau

perbedaan hormonal, sedangkan yang kedua diduga karena berperannya

faktor-faktor lingkungan (lebih banyak pria merokok, minum-minuman

keras, candu, bekerja berat, berhadapan dengan pekerjaan berbahaya, dan

(39)

II.3.3. Pendidikan

Pendidikan akan menggambarkan perilaku seseorang dalam

kesehatan. Semakin rendah pendidikan mengakibatkan pengetahuan di

bidang kesehatan rendah, maka secara langsung maupun tidak langsung

dapat mempengaruhi lingkungan fisik, lingkungan biologis dan

lingkungan sosial yang merugikan kesehatan dan dapat mempengaruhi

penyakit TB sehingga pada akhirnya mempengaruhi tingginya kasus TB

yang ada (Muaz, 2014).

Menurut Sadiman tahun 2007 dalam Syafri (2015), tingkat

pendidikan responden pada penderita TB Paru BTA + 21,1% tidak

sekolah, 52,6% memiliki pendidikan yang rendah (SD-SMP). sedangkan

pada kontrol 15,8% tidak sekolah dan 57,9% pendidikan rendah

(SD-SMP). Pendidikan yang rendah akan akan mempengaruhi pengetahuan

seseorang, karena biasanya mereka yang mempunyai pendidikan yang

lebih tinggi lebih mudah menyerap dan menerima informasi masalah

kesehatan.

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem

Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa, Pemerintah dan Pemerintah

Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya

pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan

lima belas tahun. Hal ini berarti masyarakat harus menempuh pendidikan

(40)

II.3.4. Pekerjaan

Belilovsky et al. (2010), menyebutkan status pasien TB rawat inap

yang tidak bekerja berhubungan signifikan terhadap ketidakteraturan

minum obat (ors=1,1-2,8) (Farmani, 2015).

Menurut penelitian Syafri (2015), proporsi jenis pekerjaan

responden menunjukkan bahwa dari 38 responden, 28,9% tidak bekerja

dan 71,1% memiliki pekerjaan yang menghasilkan pendapatan. Pada

responden kasus penderita TB Paru BTA + 31,6% tidak bekerja dan

proporsi jenis pekerjaan paling banyak 36,8% adalah buruh (buruh tani,

buruh kayu pembuat kusen, pintu, jendela rumah dan buruh pabrik). Jenis

pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap

individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel

debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada

saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat

meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran

pernafasan dan umumnya TB Paru.

II.3.5. Pendapatan Keluarga

Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat

kesejahteraan masyarakat sebagai hasil pembangunan. Perubahan

pendapatan akan mempengaruhi pengeluaran. Di negara berkembang

tingkat pendapatan penduduk masih rendah dan pengeluaran untuk makan

merupakan bagian terbesar dari seluruh pengeluaran Rumah tangga. Akan

(41)

makan, melainkan untuk biaya kesehatan, pendidikan, olah raga, pajak dan

jasa-jasa atau pengeluaran non makan lainnya (Putra, 2011).

Menurut Elvina Karyadi (2002) dari SEAMEO-TROPMEND pusat

kajian gizi regional Universitas Indonesia dari hasil penelitiannya

menyatakan bahwa ekonomi lemah atau miskin mempengaruhi seseorang

mendapatkan penyakit TB Paru. Hal ini disebabkan daya tahan tubuh yang

rendah, begitu juga kebutuhan akan rumah yang layak huni tidak di

dapatkan, ditambah dengan penghuni yang ramai dan sesak. Keadaan ini

akan mempermudah penularan penyakit terutama penyakit saluran

pernafasan seperti penyakit TB Paru.

Menteri Tenaga Kerja RI 1999 melalui Peraturan Menteri Tenaga

Kerja Nomor: PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum Regional

(UMR), telah menetapkan besaran upah minimum yang bias diperoleh

pekerja berdasarkan wilayah. Pendapatan yang dihasilkan oleh keluarga

selama 1 bulan yang berada di kawasan tingkat kabupaten menggunakan

Upah Minimum Kabupaten (UMK) sebagai standar pendapatan minimum

keluarga. UMK Kalimantan Barat tahun 2017 sebesar Rp.1.882.900,- dan

UMK Kota Pontianak tahun 2017 sebesar Rp.1.972.000,-.

II.3.2 Faktor Perilaku Merokok

Ada berbagai perilaku manusia yang mempengaruhi pasien TB Paru

harus dirawat inap atau mengalami kekambuhan, salah satunya adalah

Kebiasaan Merokok. Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian

(42)

(2014) adalah mereka yang merokok setiap hari untuk jangka waktu minimal

6 bulan selama hidupnya.

Penelitian Triman (2002), menyatakan bahwa ada hubungan antara

kebiasaan merokok dengan kekambuhan TB paru (p=0,015, OR= 5,445). Ini

berarti seseorang yang memiliki kebiasaan merokok mempunyai 5,4 kali

untuk mengalami kekambuhan dibanding yang tidak memiliki kebiasaan

merokok. Hal ini karena merokok dapat merusak saluran pernafasan yang

dapat memudahkan invasi kuman TB. Hasil ini sesuai dengan fakta yang ada,

dalam jangka panjang yaitu 10-20 tahun pengaruh risiko merokok terhadap

TB paru adalah bila merokok 1-10 batang per hari meningkatkan risiko 15

kali, bila merokok 20-30 batang per hari meningkatkan risiko 40-50 kali dan

bila merokok 40-50 batang per hari meningkatkan risiko 70-80 kali.

Penghentian kebiasaan merokok, baru akan menunjukkan penurunan risiko

setelah 3 tahun dan akan menunjukkan risiko yang sama dengan bukan

perokok setelah 10-13 tahun.

II.3.3 Pengawas Menelan Obat

Secara program TB ketidakteraturan minum obat didefinisikan sebagai

ketidaksesuaian seorang pasien dalam mengikuti jadwal pengobatan yang

telah ditentukan. Pasien TB seharusnya mengikuti ketentuan tersebut agar mendapat hasil pengobatan yang optimal. Ketidakteraturan minum obat pada

pasien TB seharusnya tidak terjadi apabila keberadaan pengawas menelan

(43)

minum obat yang 14 tidak teratur akan mempersulit kesembuhan terhadap

suatu penyakit (Hapsari, 2010).

Zubaidah (2013), menyebutkan bahwa rendahnya angka keberhasilan

pengobatan menandakan bahwa masih banyak penderita Tuberkulosis Paru

yang belum sembuh, hal ini tidak hanya berpengaruh pada penularan yang

akan semakin banyak terjadi pada keluarga penderita maupun orang-orang di

lingkungan penderita tetapi ditakutkan akan terjadi kekebalan ganda terhadap

Obat Anti Tuberkulosis sehingga proses kesembuhan akan semakin sulit.

Salah satu indikator dalam menentukan Keberhasilan Pengobatan (Success

Rate) Tuberkulosis Paru adalah keberadaan atau peran dari Pengawas

Menelan Obat (PMO). Pasien yang kurang mendapatkan pengawasan dari

Pengawas Menelan Obat (PMO) 1,83 kali berisiko untuk tidak sembuh

dibanding dengan pasien yang diawasi dengan baik oleh Pengawas Menelan

Obat (PMO) (Saharieng, dkk., 2014).

II.3.4 Faktor Lingkungan Rumah

Adapun faktor lingkungan rumah yang dimaksud sebagai variabel

penelitian yaitu :

1. Kelembaban Udara

Kelembaban udara adalah presentase jumlah kandungan air dalam

udara. Kelembaban terdiri dari 2 jenis yaitu Kelembaban Absolut dan

Kelembaban Nisbi (Relatif). Kelembaban absolut adalah berat uap air per

unit volume udara, sedangkan kelembaban nisbi adalah banyaknya uap air

(44)

udara jenuh denga uap air pada temperatur tersebut. Secara umum

penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan hygrometer.

Dalam SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) yang menjelaskan

tentang indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang

memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-70 % dan kelembaban

udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 70 %

(Depkes RI, 2001).Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang

memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya.

Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan

mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus.

Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara.

Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa

hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang

mikroorganisme. Bakteri Mycobacterium tuberculosa seperti halnya

bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan

kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80 % volume sel

bakteri dan merupakan hal yang esensial untuk pertumbuhan dan

kelangsungan hidup sel bakteri (Gould dan Brooker, 2003). Selain itu

menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban udara yang meningkat

merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk

bakteri tuberkulosis.

(45)

Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang

menyenangkan dan menyehatkan manusia. Berdasarkan kejadiannya,

maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:

a. Ventilasi Alam Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu:

daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara

karena perubahan temperatur. Ventilasi alam ini mengandalkan

pergerakan udara bebas (angin), temperatur udara dan

kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan lubang angin, maka

ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat

poros dinding ruangan, atap dan lantai.

b. Ventilasi Buatan Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan

dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat

tersebut diantaranya adalah kipas angin dan AC (air conditioner).

Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut :

1) Luas lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan,

sedangkan luas lubang ventilasi insidentil ( dapat dibuka dan

ditutup) minimal 5% dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi

10% dari luas lantai rumah.

2) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah

atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-lain.

3) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan

lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini

(46)

lemari, dinding, sekat dan lain-lain. Secara umum, penilaian

ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi

dan luas lantai rumah dengan menggunakan Role meter. Menurut

indikator pengawasan rumah, luas ventilasi yang memenuhi

syarat kesehatan adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi

yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai

rumah (Depkes RI, 2001).

Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan

akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Menurut Azwar (1990) dan

Notoatmodjo (2003), salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran

udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang < 10

% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan

berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi

karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu,

tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban

ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan

penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang

baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen

termasuk kuman tuberkulosis. Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah

untuk membebaskan udara ruangan dari bakteribakteri, terutama bakteri

patogen seperti tuberkulosis, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang

terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir

(47)

3. Suhu Rumah

Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan

satuan derajat tertentu. Suhu udara dibedakan menjadi suhu kering dan

suhu basah. Suhu kering yaitu suhu yang ditunjukan oleh termometer suhu

ruangan setelah di adaptasi selama kurang lebih sepuluh menit, umumnya

suhu kering antara 24 – 34 ºC. Suhu basah yaitu suhu yang menunjukkan bahwa udara telah jenuh oleh uap air, umumnya lebih rendah daripada

suhu kering yaitu antara 22-30 ºC. Secara umum, penilaian suhu rumah

dengan menggunakan termometer ruangan. Berdasarkan indikator

pengawasan perumahan, suhu rumah terutama suhu kamar yang

memenuhi syarat kesehatan adalah antara 22-30 ºC dan yang tidak

memenuhi syarat adalah < 22 ºC atau > 30 ºC. Suhu dalam rumah akan

membawa pengaruh bagi penghuninya. Menurut Walton, suhu berperan

penting dalam metabolisme tubuh, konsumsi oksigen dan tekanan darah.

Sedangkan Lennihan dan Fletter, mengemukakan bahwa suhu rumah yang

tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan kehilangan panas

tubuh dan tubuh akan berusaha menyeimbangkan dengan suhu lingkungan

melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini akan menurunkan

vitalitas tubuh dan merupakan predisposisi untuk terkena infeksi terutama

infeksi saluran nafas oleh agen yang menular. Sedangkan menurut Gould

dan Brooker (2003), bakteri Mycobacteriumtuberculosa memiliki rentan

suhu yang disukai, tetapi di dalam rentan ini terdapat suatu suhu optimum

(48)

mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-40 º C, akan tetapi akan

tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 º C (Gould & Brooker, 2003).

4. Pencahayaan Alami

Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang

bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang

memungkinkan untuk masuknya cahaya alamiah. Misalnya melalui

jendela atau genting kaca (Notoatmodjo, 2003). Cahaya berdasarkan

sumbernya dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu cahaya alamiah dan cahaya

buatan. Cahaya matahari sangat penting, karena dapat membunuh

bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya bakteri-bakteri penyebab penyakit TBC.

Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya

yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya

15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah.

Perlu diperhatikan dalam membuat jendela diusahakan agar sinar matahari

dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan

lain. Fungsi jendela disini, disamping sebagai ventilasi, juga sebagai jalan

masuk cahaya (Notoatmodjo,2007). Lokasi penempatan jendela pun harus

diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lebih lama menyinari

lantai (bukan menyinari dinding), maka sebaiknya jendela itu harus di

tengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jalan masuknya cahaya alamiah

juga diusahakan dengan genteng kaca. Genteng kaca pun dapat dibuat

(49)

pembuatannya, kemudian menutupnya dengan pecahan kaca

(Notoatmodjo,2007).

5. Kepadatan Penghuni Rumah

Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah

dengan jumlah anggota keluarga dalam suatu rumah tinggal. Persyaratan

kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per

orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas

bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana,

minimum 9 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 3 m²/orang.

Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri

dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi

penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota

keluarga lainnya.Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan

menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni

yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas

lantai dengan jumlah penghuni 9 m²/orang dan kepadatan penghuni tidak

memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai

dengan jumlah penghuni < 9 m²/orang (Lubis dalam penelitian Evi Naria,

2008). Kepadatan penghuni dalam suatu rumah tinggal akan memberikan

pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan

jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal

ini tidak sehat karena disamping menyebabkan kurangnya konsumsi

(50)

terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga yang

lain (Notoatmodjo, 2003). Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang

Kesehatan (2000), didapatkan data bahwa : a. Rumah tangga yang

penderita mempunyai kebiasaan tidur dengan balita mempunyai resiko

terkena TB 2,8 kali dibanding dengan yang tidur terpisah. b. Tingkat

penularan TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana

seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam

rumahnya. c. Besar risiko terjadinya penularan untuk tangga dengan

penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan

hanya 1 orang penderita TB.

II.3.5 Komplikasi Obat TB

Pada pengobatan TB paru perlu diperhatikan keadaan klinisnya karena

setiap pasien TB paru memiliki keadaan klinis yang berbeda-beda. Bila

keadaan klinisnya buruk dan terdapat indikasi untuk rawat, maka pasien

tersebut harus rawat inap di rumah sakit. Pasien perlu pengobatan tambahan

atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau

mengatasi gejala/keluhan yang akan memperburuk keadaan klinisnya. Pada

pasien TB paru dengan keadaan klinis tertentu diharuskan untuk menjalani

rawat inap. Akan tetapi, di sisi lain rawat inap yang lama justru akan

menimbulkan masalah baru (Mulluzi, 2010).

Komplikasi Obat TB pada penderita Tuberkulosis Paru:

1. Pneumutoraks spontan terjadi bila udara memasuki rongga pleura sesudah

(51)

2. Cor pulmonale adalah gagal jantung kongestif karena tekanan balik akibat

kerusakan paru, dapat terjadi bila terdapat destruksi paru yang amat luas.

Aspergilomata dimana kavitas tuberkulosis paru yang sudah di obati

dengan baik dan sudah sembuh kadang-kadang tinggal terbuka dan dapat

terinfeksi dengan jamur aspergillus fumigtus.

3. Hemoptis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat

mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan

nafas.

4. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.

5. Bronkhiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan

jaringan ikat pada proses pemulihan) pada paru.

6. Insufisiensi cardio pulmoner.

7.

Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal

dan sebagainya (Depkes RI,2002).

II.3.6 Status Gizi

Status gizi yang buruk menyebabkan tubuh menjadi lemah dan

memperburuk keadaan klinis pasien tersebut. Secara umum kekurangan gizi,

atau gizi buruk akan berpengaruh terhadap kekuatan, daya tahan dan respon

imun terhadap serangan penyakit. Menurut penelitian Toyalis (2010) dalam

Muaz (2014) menyebutkan bahwa faktor kurang gizi atau gizi buruk akan

meningkatkan angka kesakitan/ kejadian TB paru, terutama TB paru pertama

sakit. Sedangkan penelitian Setiawan (2010) menyebutkan bahwa status gizi

(52)

II.3.7 Riwayat Imunisasi

Hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian tuberkulosis,

bahwa anak yang divaksinasi BCG memiliki risiko 0,6 kali untuk terinfeksi

tuberculosis dibandingkan anak-anak yang belum divaksinasi. Walaupun

imunisasi BCG tidak mencegah infeksi tuberkulosis namun dapat

mengurangi risiko tuberkulosis berat seperti meningitis tuberkulosa dan

tuberkulosis milier (Muaz, 2014).

II.4 Kerangka Teori

Penderita TB Paru

Pejamu(Manusia) : 1.Kebiasaan merokok 2.Karakteristik Pasien TB

Paru:

 Umur

 Jenis Kelamin  Pendidikan  Pekerjaan

 Pendapatan Keluarga  Status Gizi

 PMO

Penderita TB paru Rawat Inap

di RSUD Soedarso

Lingkungan:

 Kepadatan Hunian  Luas ventilasi  Pencahayaan  Kelembaban  Suhu

Komplikasi obat TB

Riwayat imunisasi

(53)

Keterangan

: Variabel yang diteliti : Variabelyang tidak diteliti

(54)

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

III.1 Kerangka Konsep

1. Pejamu (Manusia) a. Karakteristik

b. Perilaku

2. Lingkungan Rumah

Gambar III.1 Kerangka Konsep

III.2 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin,

pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kebiasaan merokok, kepadatan hunian,

luas ventilasi, pencahayaan, kelembaban dan suhu.

Penderita TB Paru yang Rawat Inap di RSUD Soedarso

a. Kepadatan hunian b. Luas ventilasi c. Pencahayaan d. Kelembaban e. Suhu

Kebiasaan merokok

a. Umur

(55)

III.3 Definisi Operational

Tabel 3.3

No. Variabel Definisi

Operasional Cara Ukur

Alat

Ukur Hasil Ukur

Skala Ukur

1 Umur Umur responden

saat dirawat inap

Wawancara Kuesioner 0. ≤ 44 tahun

1. > 44 tahun

Wawancara Kuesioner 0. Perempuan

1. Laki-laki

Nominal

3 Pendidikan Pendidikan

formal tertinggi yang pernah diselesaikan oleh responden pada institusi atau lembaga

pendidikan yang diakui oleh pemerintah.

Wawancara Kuesioner 0. Tinggi

(SMA s/d

yang dilakukan oleh ibu yang menghasilkan uang

Wawancara Kuesioner 0. Tidak

Berkerja

1. Berkerja

Nominal

5 Pendapatan Pendapatan yang

dihasilkan oleh keluarga selama 1 bulan berdasarkan UMK Kota Pontianak tahun 2017

Wawancara Kuesioner 0. Tinggi (≥

Rp.1.972.0 minimal 6 bulan selama

hidupnya

Wawancara Kuesioner 0.Tidak

merokok

1.Merokok

(minimal 6 bulan)

(56)

7 Kepadatan

Observasi Kuesioner 0. memenuhi

syarat (9 ventilasi dan luas lantai rumah

Observasi Role

meter

9 Pencahayaan penerangan yang

bersumber dari

Observasi Role

meter

10 Kelembaban Frekuensi

(57)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

IV.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan deskriptif.

Desain penelitian yang akan digunakan adalah cross sectional dimana

tujuanutama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan

secara objektif(Notoatmodjo, 2010). Dalam hal ini yaitu memberi gambaran

mengenai Lingkungan rumah dengan kejadian TB paru di ruang rawat inap

paru RSUD Soedarso Pontianak.

IV.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan 22 September 2017

sampai dengan tanggal 13 Desember 2017 di Kota Pontianak dan wilayah

Kubu Raya.

Alasan pemilihan lokasi adalahkarena jumlah kasus TB paru yang

rawat inap di RSUD Soedarso Kota Pontianakselalu meningkat yakni dari

71,89% pada tahun 2015 menjadi 73,89% pada tahun 2016.

IV.3 Populasi dan Sampel IV.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah sejumlah subyek besar yang

(58)

sesuai dengan ranah dan tujuan penelitian (Notoatmojo, 2010).

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB paru yang

rawat inap di RSUD dr Soedarso. Jumlah populasi pada saat

penelitian adalah sebanyak196 orang, berdasarkan jumlah

kunjungan, bulan Januari sampai bulan Juli tahun 2017.

IV.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti

dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmojo, 2010).

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari jumlah pasien TB

paru yang rawat inap di RSUD Soedarso Kota Pontianak, yang

berjumlah 42 orang.

Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus estimasi proporsi Lemeshow (1997), sebagai berikut:

Z21-α/2p(1-p)N

n =

d2(N-1) + Z1-α/2p(1-p)

Keterangan:

P = Estimasi Proporsi 73,89% = 0,7389

q = 1-p→(1-0,7389)= 0,2611

d = Tingkat presisi yang sebesar 5% = 0,05

Z = Tingkat kepercayaan yang sebesar 90 % = 1,645

n = Besar sampel

N = Populasi (jumlah pasien rawat inap di RSUD Soedarso Kota Pontianak)

(59)

Berdasarkan rumus tersebut maka jumlah sampelnya adalah:

1,6452x 0,2611 (1-0,2611)196 n =

0,12(196-1) + 1,6452(0, 2611)(1-0, 2611)

2,706 x 0,2611x 0,7389 x 196 n =

0.01 x 195+ 2,706 x 0,2611 x 0,7389

0,5220598937 x 196 n =

1,95 + 0,5220598937

102,32373917 n =

2,4720598937

n = 41,392095487

n = 42 Sampel

Untuk memudahkan peneliti, peneliti menentukan kriteria

inklusi dan kriteria eksklusi. Adapun kriteria inklusi pada penelitian

ini adalah:

1. Kriteria Inklusi

a. Pasien yang dirawat di ruang rawatinap paru (RI)RSUD Dr

Soedarso Pontianak

b. Berdomisili di Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya

c. Bersedia menjadi responden

2. Kriteria Eksklusi

(60)

b. Pasien yang dirawat lebih dari 1 bulan.

IV.3.3 Teknik Sampling

Teknik penggunaan sampling dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan teknik non-probability sampling lebih

khususnya sampling accidental, yaitu teknik penentuan sampel

berdasarkan kebetulan. Siapa saja yang secara kebetulan bertemu

dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel. Teknik ini

digunakan karena topik yang diteliti adalah faktor lingkungan

terhadap TB paru pada pasien yang sedang melakukan rawat inap di

RSUD Dr. Soedarso yang dimana semua anggota keluarga dari

pasien dapat memberikan keterangan mengenai kondisi fisik

lingkungan rumah penderita TB Paru(Sugiyono, 2007).

IV.4 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Teknik dan instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah :

IV.4.1 Data Primer

Data primer diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan

mengenakan alat pengukuran atau alat pengambil data, langsung

pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari (Saryono, 2010).

Data primer dalam penelitian ini didapat dari wawancara dan

observasi langsung dengan subjek penelitian dengan menggunakan

kuesioner terstruktur.

(61)

a. Umur

b. Jenis Kelamin

c. Pendidikan

d. Pekerjaan

e. Pendapatan

f. Kebiasaan merokok

g. Kepadatan hunian

h. Luas ventilasi

i. Pencahayaan

j. Kelembaban

k. Suhu

IV.4.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain,

tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya.

(Saryono,2010).Data sekunder yang di gunakan dalam penelitian

ini seperti catatan rekam medik yang didapat dari RSUD dr

Soedarso.

IV.5 Teknik Pengolahan dan Penyampaian Data

Data yang telah didapat,dikumpulkan dan diolah dengan langkah-langkah

sebagai berikut :

IV.5.1 Teknik Pengolahan Data

(62)

Memeriksa kelengkapan data, kesinambungan data, keseragaman

data secara keseluruhan dari variabel-variabel penelitian, baik

kuisioner maupun hasil pengamatan secara langsung semua termuat

dalam formulir secara survei dan pemeriksaan kesesuian jawaban.

2. Coding

Mengklasifikasikan data-data dari masing-masing variabel dengan

kode-kode tertentu dari ukuran penelitian yang digunakan.

3. Scoring

Memberikan skor terhadap item-item jawaban dari variabel untuk

memudahkan dalam melakukan entri data.

4. Entry

Proses memasukan data yang sudah diberi kode ke program statistic

komputer.

5. Tabulating

Setelah dilakukan pengolahan data selanjutnya data disajikan dalam

bentuk tabel dan grafik untuk melihat kecenderungan dari suatu

faktor determinan masalah kesehatan.

IV.5.2 Teknik Penyajian Data

Cara penyajian data dilakukan melalui berbagai bentuk. Pada

umunya dikelompokkan menjadi 3 yaitu penyajian dalam bentuk teks,

Gambar

Tabel I.I Keaslian Penelitian
Gambar III.1
Tabel 3.3 Alat Skala
Gambar V.1. Gambaran Proses Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kelemahan dari desain ketiga adalah kurang mempertimbangkan dari segi cost, contohnya, untuk mendapatkan efek spring pada tumit tanpda menggunakan pegas, maka diperlukan

Dari analisis data yang dilakukan dengan program SPSS dinyatakan bahwa biaya periklanan dan biaya promosi penjualan secara parsial berpengaruh positif dan signifikan, sedangkan

Hasil penelitian disimpulkan secara umum, pelaksanaan promosi di Dinas Pendidikan Palopo kurang sesuai dengan syarat-syarat yaitu pendidikan, pengalaman dan prestasi

Pada akuifer bebas dikenal istilah muka airtanah bebas yang artinya adalah kedalaman air yang akan ditemui jika kita melakukan suatu penggalian sumur atau

Perbedaan tersebut menunjukkan, bahwa masing-masing perlakuan memiliki pengaruh yang berbeda dari eksplan yang ditanam pada media MS yang dimodifikasi dengan pemberian

Berdasarkan uraian diatas, bahwa kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian tersebut dalam Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Lembaga Negara (Pemerintah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan pengaruh kebiasaan membaca dan penguasaan kosakata terhadap kemampuan berbicara bahasa Inggris. Metode penelitian