GAMBARAN LINGKUNGAN RUMAH PADA PASIEN
TUBERKULOSIS
PARU YANG RAWAT INAP
DI RSUD SOEDARSO
TAHUN 2017
SKRIPSI
Oleh :
SITI FATIMAH
NPM.121510244
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK
TAHUN 2017
GAMBARAN LINGKUNGAN RUMAH PADA PASIEN
TUBERKULOSIS
PARU YANG RAWAT INAP
DI RSUD SOEDARSO
TAHUN 2017
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan Untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Menjadi
Sarjana Kesehatan Masyarakat (S.K.M.)
Oleh :
SITI FATIMAH
NPM.121510244
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan
judul“GAMBARAN LINGKUNGAN RUMAH PADA PASIEN TUBERKULOSIS
PARU YANG RAWAT INAPDI RSUD SOEDARSOTAHUN 2017”.Dibuat untuk
melengkapi sebagian persyaratan program studi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Ilmu Kesehatan Jenjang Pendidikan Strata 1 bukan merupakan tiruan atau duplikasi
dari Skripsi yang sudah dipublikasikan dan atau pernah dipakai untuk mendapatkan
gelar kesarjanaan dilingkungan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Pontianak maupun di Perguruan Tinggi atau instansi manapun,
kecuali bagian yang sumber informasinya dicantumkan sebagaimana mestinya.
Jika dikemudian hari ditemukan kecurangan, maka saya bersedia untuk
menerima sanksi berupa pencabutan hak terhadap ijazah dan gelar yang saya
terima.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Pontianak, 10 Januari 2018
Penulis
BIODATA PENULIS
Nama : Siti Fatimah
TempatTanggalLahir : Pontianak, 14 Februari 1974
JenisKelamin : Perempuan
Agama : Islam
Nama Orang Tua : Ayah H. Abdul Hamid Semongdan
IbuHj. SitiSa’adah
Nama Suami : H. Z.A. Marwan Fidia, SH, Msi
Alamat : Jl. Tabrani Ahmad Komp. GrahaBumiKhatulistiwa
2 No. A6
JENJANG PENDIDIKAN
1. SD : SD 6 Pontianak Tahun1981 - 1986
2. SMP : SMPN5 Pontianak Tahun1986 - 1989
3. SMA : SMF Yarsi Pontianak Tahun1989 - 1993
4. S1 : Program StudiKesehatanMasyarakatFakultasIlmuKesehatan,
PeminatanKesehatanLingkungan Tahun 2012 – 2017
PENGALAMAN PEKERJAAN
ABSTRAK
FAKULTAS ILMU KESEHATAN SKRIPSI, JANUARI 2018
SITI FATIMAH
FAKTOR LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN TB PARU DI RUANG RAWAT INAP PARU RSUD SOEDARSO PONTIANAK
VI Bab + 80 Hal + 1 Gambar + 17 Tabel + 18 Lampiran
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
mycobacterium Tuberculosis (TBC), sebagian besar kuman TBC menyerang paru. Berdasarkan data yang di peroleh dari RSUD Soedarso Pontianak prevalensi kasus TB paru dirawat inap RSUD Soedarso pada tahun 2015 sebanyak 243 kasus (71,89%) dengan 65 kasus TB paru meninggal (19,23%). Pada tahun 2016 sebanyak 283 kasus (73,89%) dengan 61 kasus TB paru meninggal (21,55%). Pada bulan Januari hingga Februari tahun 2017 terdapat 60 pasien TB paru yang dirawat inap di RSUD Soedarso.Keterangan yang diberikan oleh perawat ruang rawat inap Paru RSUD Soedarso sebagian besar pasien rawat inap merupakan pasien ulangan dengan komplikasi.
Tujuan penelitian Untuk mengetahui faktor lingkungan dengan kejadian TB Paru di Ruang Rawat Inap Paru RSUD Soedarso Pontianak.
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif, dengan analisa data penelitian cross sectional dengan total sampel 42.
Hasil penelitian menunjukkan Penderita TB paru yang rawat inap di RSUD Soedarso didominasi jenis kelamin laki-laki (80%), dengan pendidikan dan pendapatan yang tergolong rendah rendah (54,8%; 83,3%). Dari sisi kualitas lingkungan rumah diketahui kepadatan hunian, luas ventilasi, pencahayaan dan suhu cenderung tidak memenuhi syarat (95,2%; 54,8%; 92,2%; 69%), sedangkan merokok dan kelembaban udara cenderung rendah dan memenuhi syarat (31%; 59,5%)
Saran bagi Puskesmas untuk berkoordinasi dengan pemda setempat mengatur regulasi mengenai rumah sehat dengan menciptakan inovasi perilaku dan kebiasaan hidup sehat serta kepatuhan konsumsi obat TB paru.
Kata kunci : kebiasaan merokok, lingkungan,penderita TB paru yang rawat inap.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobil’alamin, segalapujisyukurkehadirat Allah SWT yang
telahmemberikankekuatandanpetunjuksehinggaskripsidenganjudul
“GambaranLingkunganRumahPadaPasienTuberkulosisParu Yang
RawatInapDiRsudSoedarsoTahun 2017” bisaselesaidengansebagaimanamestinya.
Skripsiinitidakakanterselesaikandengan optimal
jikatidakmendapatkanbantuandanmotivasidariberbagaipihak yang
ikhlasmemberikanmasukan, kritikdan saran
gunakelancarandankemudahandalampenulisanini. Makauntukitu,
dengansegalaketulusandankeikhlasanhatipenulisucapkan rasa terimakasih yang
sedalam-dalamnyakepada :
1. BapakHelmanFachri, SE, MM selakuRektorUniversitasMuhammadiyah
Pontianak.
2. IbuDr. Linda Suwarni, SKM,
M.KesselakuDekanFakultasIlmuKesehatanUniversitasMuhammadiyah
Pontianak.
3. Bapak Ismael Saleh, SKM, M.Scselakupembimbingutama yang
penuhkesabaranhatitelahbersediameluangkanwaktudalammemberikanbimb
ingandanpengarahandalampenyusunanskripsiini.
4. BapakDediAlamsyah, SKM, M.Kes (Epid) selakupembimbingkedua yang
5. SeluruhstafdandosenFakultasIlmuKesehatan yang
telahmembantukelancaranpenyelesaianpendidikan di
FakultasIlmuKesehatan UMP.
6. Direktur RSUD Soedarso yang
telahbersediamemberikanijinuntukmelakukanpenelitiansertamemberikan
data-data yang berhubungandenganpenulisanskripsiini.
7. Kedua orang tuaku, suamidananak-anakku yang
dengantulusmemberikanmotivasisertado’a.
8. Rekan-rekan yang namanyatidakmungkindisebutkansatupersatudisini yang
telahbanyakmembantubaikmorilmaupun spiritual
sehinggapenyusunanskripsiinidapatdiselesaikan.
Penulisanskripsiini, penulissangatmenyadarimasihjauhdarisempurna,
karenakesempurnaanituhanyamilik Allah SWT semata,
sedangkankekurangandankesalahanitudatangnyadaripenulissendiri.
Untukitumasukan, kritikdan saran dariberbagaipihaksangatdiperlukan.
Akhir kata penulisberharapsemogaskripsiini,
dapatmemberikanmanfaatbagikitasemua, Amin.
Pontianak, Januari 2018
Peneliti
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………. i
HALAMAN PENGESAHAN ……….. ii
HALAMAN PERSETUJUAN ……….. iii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ……….. iv
BIODATA ………... v
KATA PENGANTAR ……… vi
DAFTAR ISI ………... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN I.1 LatarBelakang……… 1
I.2 RumusanMasalah ………... 7
I.3 TujuanPenelitian ………. 7
I.4 ManfaatPenelitian ………... 8
I.5 KeaslianPenelitian ……….. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tuberculosis (TB)……….……… 13
II.2 SanitasiLingkunganRumah ……… 17
II.3 Faktor-Faktoryang MempengaruhiRawatInapPasien TB Paru ……… 21
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL
III.1 KerangkaKonsep ……… 38
III.2 VariabelPenelitian ……….. 38
III.3 DefinisiOperasional ……… 39
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN IV.1 DesainPenelitian ……… 41
IV.2 WaktudanTempatPenelitian ……… 41
IV.3 PopulasidanSampel ……….. 42
IV.4 TeknikdanInstrumenPengumpulan Data ………. 44
IV.5 TeknikPengolahandanPenyampaian Data ……… 46
IV.6 TeknikAnalisa Data ……… 47
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN V.1 Lokasi dan Gambaran Peneliti ……… 49
V.2 Hasil Penelitian ………50
V.3 Pembahasan ………. 58
V.4 Keterbatasan Peneliti ………... 79
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN VI.1 Kesimpulan ……… 81
VI.2 Saran ……… 86
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Halaman
II.1 KerangkaTeori ….………. 37
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : PermohonanIjinPenelitian
Lampiran 2 : LembarPersetujuanResponden
Lampiran 3 : IdentitasResponden
Lampiran 4 : Output SPSS
Lampiran 5 : Master Rekap
Lampiran 6 : Dokumentasi
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman mycobacterium Tuberculosis (TBC), sebagian besar kuman TBC
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Kemenkes,
2012). Penularan terjadi ketika pasien TB batuk atau bersin, kuman tersebar
ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Infeksi terjadi apabila
orang lain menghirup udara yang mengandung percikan dahak infeksius
tersebut (Kemenkes, 2014).
Penyakit tuberkulosis paru (TB paru) masih menjadi permasalahan
kesehatan masyarakat secara global. TB paru menduduki peringkat ke 2
sebagai penyebab utama kematian akibat penyakit menular setelah Human
Immuno deficiency Virus (HIV). Pada tahun 2014 TB membunuh 1,5 juta
orang (1,1 juta HIV negatif dan sisanya HIV positif) terdiri dari laki-laki
890.000 jiwa, perempuan 480.000 jiwa dan 140.000 jiwa pada anak-anak. Di
Indonesia bertambah seperempat juta kasus baru dan sekitar 140.000
kematian terjadi setiap tahunnya. Pada tahun 2013 angka insidensi TB sebesar
183 per 100.000 penduduk dengan angka kematian TB sebesar 25 per
100.000 penduduk dan pada tahun 2014 angka insidensi meningkat menjadi
399 per 100.000 penduduk dengan angka kematian yang juga meningkat
Diperkirakan bahwa sepertiga dari populasi dunia terinfeksi dengan
mycobacterium tuberculosis, bakteri udara yang menyebabkan tuberculosis.
Sementara prevalensi mycobacterium tuberculosis terendah adalah Amerika
Serikat, jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Tuberkulosis masih
menjadi masalah kesehatan yang perlu diperhatikan: pada tahun 2006,
prevalensi di AS diperkirakan 3,2 orang per 100.000 populasi. Meskipun
upaya pengobatan TB sudah dilakukan terutama pada pasien rawat jalan,
memeriksa rawat inap untuk pasien TB, namun hal ini masih menjai masalah
kesehatan public (Holmquist, dkk., 2008).
Pada pengobatan TB paru perlu diperhatikan keadaan klinisnya karena
setiap pasien TB paru memiliki keadaan klinis yang berbeda-beda. Bila
keadaan klinisnya buruk dan terdapat indikasi untuk rawat, maka pasien
tersebut harus rawat inap di rumah sakit. Pasien perlu pengobatan tambahan
atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan yang akan memperburuk keadaan klinisnya. Pada
pasien TB paru dengan keadaan klinis tertentu diharuskan untuk menjalani
rawat inap. Akan tetapi, di sisi lain rawat inap yang lama (> 7 hari) justru
akan menimbulkan masalah baru. Pada beberapa penelitian diperoleh fakta
bahwa pasien yang menjalani rawat inap yang lama meningkatkan risiko
reinfeksi TB paru oleh bakteri yang resisten atau akan menjadi TB paru yang
MDR (Multi DrugResistance), meningkatkan resiko depresi dan kecemasan
baik pada pasien maupun orang tua pasien, serta kerugian ekonomis (Mulluzi,
Menurut penelitian Nodieva A et al (2008), Rawat inap dalam jangka
panjang untuk mengobati orang dengan tuberkulosis (TB), baik TB yang
rentan terhadap obat atau yang resistan terhadap obat menempatkan mereka
lebih berisiko terhadap infeksi ulang dengan jenis TB yang resistan terhadap
berbagai jenis obat (TB-MDR) dan TB yang resistan terhadap berbagai jenis
obat secara luas (TB-XDR). Hal ini berdasarkan sebuah penelitian di Latvia
yang dipresentasikan dalam World Lung Health Conference di Paris, Prancis.
Pencegahan dan pemberantasan penyakit tuberkulosis serupa dengan
pencegahan dan pemberantasan pada penyakit menular lainnya yaitu selain
menanggulangi penderitanya juga perlu memperhatikan faktor resikonya
yaitu faktor lingkungan, karena kondisi lingkungan mempunyai peran cukup
besar dalam mempengaruhi derajat kesehatan, di samping perilaku
masyarakat itu sendiri. Upaya untuk meningkatkan kesehatan termasuk
higiene dan sanitasi sangat dipengaruhi oleh kebiasan, status gizi dan cara
hidup masyarakat. Sebagian besar penderita TB adalah golongan miskin dan
penduduk yang tinggal di pemukiman padat. Hal ini serupa dengan data WHO
yang menyatakan bahwa 95% dari angka kematian akibat TB setiap tahun
berada di Negara berkembang yang relatif miskin. 75% penderita TB adalah
mereka yang berusia produktif secara ekonomi (15-50 tahun) (Supriyo, dkk.,
2013).
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit yang komplek. Masalah
yang ditimbulkan meluas sampai aspek sosial, ekonomi dan budaya. Hingga
Keadaan klinis pasien TB paru bisa bermacam-macam, jika terdapat
komplikasi maka pasien tersebut diharuskan menjalani rawat inap (Setiawan,
2010). Tuberkulosis paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Tuberkulosis lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan,
dan hampir 85% terjadi pada usia produktif (Sitorus, 2014).
Karakteristik demografi pasien dirawat di rumah sakit terutama untuk
TB dan orang-orang dengan sekunder diagnosis bervariasi berdasarkan usia
dan jenis kelamin. Usia rata-rata pasien rawat inap terutama untuk TB adalah
47,9 tahun-lebih dari 10 tahun lebih muda dari usia rata-rata untuk rawat inap
rata-rata (58,1 tahun). Itu Rata-rata usia pasien dengan diagnosis sekunder,
bagaimanapun, adalah 62,8 tahun, atau empat tahun lebih tua dari rata-rata
rawat inap. Pria lebih mungkin dibandingkan perempuan untuk dirawat di
rumah sakit dengan TB. Sebagai kepala sekolah diagnosis, 64,6 persen pasien
adalah laki-laki; sebagai diagnosis sekunder, lebih dari setengah (52,3 persen)
dari pasien dengan TB adalah laki-laki. Sebaliknya, laki-laki terdiri 46,4
persen tetap untuk rawat inap untuk semua kondisi (Holmquist, dkk., 2008).
Menurut penelitian Setiawan (2010), distribusi determinan internal
pasien rawat inap di RS paru Jember adalah usia >44 tahun, pendidikan
rendah, jenis kelamin pria, pekerjaan petani/ buruh, penghasilan rendah,
seorang perokok, status gizi underweight, status bakteriologis BTA (-),
riwayat terimunisasi BCG. Sedangkan untuk distribusi determinan eksternal
Pendidikan akan berpengaruh pada pengetahuan dan informasi yang
dimiliki responden. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap
kemampuan penderita untuk menerima informasi tentang penyakit, terutama
TB paru. Kurangnya informasi tentang penyakit TB paru menyebabkan
kurangnya pengertian penderita terhadap penyakit dan bahayanya sehingga
menyebabkan berkurangnya kepatuhan penderita terhadap pengobatan atau
berhenti berobat bila gejala penyakit tidak dirasakan lagi (Yolanda, 2009).
Selain itu, tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap
jenis pekerjaannya. Pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan
keterpaparan khusus dan tingkat/derajat keterpaparan tersebut serta besarnya
risiko menurut sifat pekerjaan, lingkungan kerja, dan sifat sosial-ekonomi
karyawan pada pekerjaan tertentu. Pekerjaan juga mempunyai hubungan
yang erat dengan status sosial ekonomi, sedangkan berbagai jenis penyakit
yang timbul dalam keluarga sering berkaitan dengan jenis pekerjaan yang
mempengaruhi pendapatan keluarga (Nur Nasry, 2008).
Menurut John Gordon, setiap penyakit memiliki analisis yang berbeda
berdasarkan agen, pejamu, atau lingkungannya. Agen pada penyakit TB paru
adalah kuman Mycobacterium tuberculosis yang berbentuk batang dan
mempunyai sifat khusus, yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Pejamu
penyakit ini adalah manusia dimana perilaku hidup seperti kebiasaan
merokok dan kepatuhan meminum obat TB, sedangkan faktor lingkungan
yang mempengaruhi antara lain kepadatan penduduk, pencahayaan dan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syafri, dkk (2015)
menyebutkan bahwa rumah yang memiliki kondisi pencahayaan yang kurang
berisiko 8,125 kali lebih besar tertular TB paru dibandingkan rumah
responden yang memiliki pencahayaan yang baik . Selain itu kepadatan
penduduk, luas ventilasi, kelembapan dan suhu juga menjadi salah satu faktor
lingkungan yang mempengaruhi TB. Dimana kepandatan penduduk yang
tidak baik memiliki resiko sebesar 13,5 kali dibandingkan rumah yang
mempunyai kepadatan hunian yang baik, luas ventilasi yang kurang baik
memiliki resiko sebesar 30,5 kali dibandingkan rumah yang mempunyai luas
ventilasi yang baik, suhu ruangan yang tidak baik memiliki resiko sebesar
27,5 kali dibandingkan rumah yang mempunyai suhu ruangan yang baik dan
kelembapan yang kurang baik memiliki resiko 84,3 kali dibandingkan rumah
yang mempunyai kelembapan yang baik (Siregar dkk, 2012).
Data Riskesdas tahun 2013 diketahui prevalensi penduduk Indonesia
yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan tahun 2013 tidak berbeda
dengan 2007, yakni berjumlah 0.4%. Prevalensi penduduk dengan gejala TB
paru batuk ≥ 2 minggu sebesar 3,9% dan batuk darah 2,8%. Berdasarkan
karakteristik penduduk, prevalensi TB paru cenderung meningkat dengan
bertambahnya umur, pada pendidikan rendah, tidak bekerja. Prevalensi TB
paru terendah pada kuintil teratas.
Berdasarkan data yang di peroleh dari RSUD Soedarso Pontianak
diketahui prevalensi kasus TB paru dirawat inap RSUD Soedarso pada tahun
(19,23%). Sedangkan pada tahun 2016 sebanyak 283 kasus (73,89%) dengan
61 kasus TB paru meninggal (21,55%). Pada bulan Januari hingga Februari
tahun 2017 terdapat 60 pasien TB paru yang dirawat inap di RSUD Soedarso.
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh perawat ruang rawat inap Paru
RSUD Soedarso mengatakan bahwa sebagian besar pasien rawat inap dengan
penyakit TB Paru merupakan pasien ulangan yang memiliki masalah
komplikasi kesehatan akibat menurunnya kemampuan kerja organ baik
paru-paru, ginjal maupun liver akibat paparan obat TB yang dikonsumsi, perilaku
lainnya yang mempengaruhi adalah kebiasaan merokok.
Berdasarkan data tersebut diketahui adanya peningkatan pasien TB
paru tahun 2016, maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai
Gambaran Lingkungan rumah dengan kejadian TB paru di ruang rawat inap
paru RSUD Soedarso Pontianak.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah penelitian
ini adalah “Bagaimana Gambaran Lingkungan Rumah Penderita TB Paru yang Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak?”.
I.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor lingkungan dengan kejadian TB Paru di
Ruang Rawat Inap Paru RSUD Soedarso Pontianak.
I.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik pasien TB Paru yang Rawat Inap di
RSUD Soedarso Pontianak.
b. Untuk mengetahui kebiasaan merokok pada pasien TB Paru yang
Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak.
c. Untuk mengetahui kepadatan hunian pada pasien TB Paru yang Rawat
Inap di RSUD Soedarso Pontianak.
d. Untuk mengetahui luas ventilasi pada pasien TB Paru yang Rawat Inap
di RSUD Soedarso Pontianak.
e. Untuk mengetahui kondisi pencahayaan pada pasien TB Paru yang
Rawat Inap di RSUD Soedarso Pontianak.
f. Untuk mengetahui kelembaban pada pasien TB Paru yang Rawat Inap
di RSUD Soedarso Pontianak.
g. Untuk mengetahui suhu pada pasien TB Paru yang Rawat Inap di
RSUD Soedarso Pontianak.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai upaya
meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pengaruh
lingkungan terhadap kejadian TB paru.
1.4.2 Bagi Institusi Terkait
Bermanfaat bagi RSUD dr. Soedarso Pontianak dalam
mengambil kebijakan dan strategi dalam pelaksanaan program
pencegahan TB Paru.
1.4.3 Bagi Fakultas Ilmu Kesehatan
Diharapkan dapat menambah bahan bacaan dan bisa sebagai
data untuk peneliti selanjutnya dan dapat dijadikan sebagai acuan
bagi akademik dalam menerapkan ilmu yang digunakan sesuai
dengan penerapan yang ada di lapanan selama proses belajar
mengajar.
1.4.4 Bagi Peneliti
Bermanfaat menambah pengetahuan dan kemampuan
penulis dalam penelitian ilmiah di bidang kesehatan, khususnya
mengenai kajian tentang faktor lingkungan yang mempengaruhi TB
Paru.
I.5 Keaslian Penelitian
Tabel I.I
dengan Komplikasi yang Rawat Inap Di RSUD
Rantauprapat Tahun 2012/ Surya Honesty Sitorus/ Petani (41,1%), Luar wilayah
Rantauprapat (52,3%), proporsi komplikasi TB paru terbesar Efusi pleura (57,9%). Proporsi berdasarkan status rawatan tertinggi adalah keluhan utama batuk 40,2%, tipe penderita kambuh 71,0%, kategori pengobatan kategori 2 88,8%, lama rawatan rata-rata 5 hari, keadaan sewaktu pulang pulang berobat jalan 49,5%, sumber biaya bukan biaya sendiri 86,0%. Tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara tipe penderita berdasarkan
komplikasi, Lama rawatan rata-rata berdasarkan komplikasi.
2 Determinan Lama Pasien TB Paru Menjalani Rawat Inap Di Rumah Sakit Paru Jember/ Ali Sibra Mulluzi/ 2010
Lama rawat inap pasien TB Paru
multivariat tidak ada variabel yang
mempengaruhi lama rawat inap pasien TB Paru secara
signifikan(p>0,05)
3 Determinan
Indikasi Rawat Inap Pada Pasien TB Paru Di Rs Paru Jember/ Bambang Eko Setiawan/ 2010
Cross-Sectional
V. Independen:
determinan internal yaitu : usia, jenis inap pada pasien TB paru usia, pendidikan dan status gizi; bahwa variabel yang dominan
berpengaruh adalah usia dan status gizi.
4 Tuberculosis Stays in U.S. Hospitals, 2006/ Laurel Holmquist, M.A., C. Allison Russo, M.P.H., and Anne Elixhauser, Ph.D./ 2008
Kohort V. Independen:
the with a secondary diagnosis
V. Dependen:
Demographic characteristics of patients hospitalized principally for TB and those with a secondary
Tuberculosis Stays in U.S. Hospitals
principally for TB was 47.9
years—more than 10 years younger than the mean age for the average
hospitalization (58.1 years). The
average age of patients with a secondary diagnosis, however, was 62.8 years, or four years older than
the average
hospitalization. Men were more likely than women to be hospitalized with TB. As a principal diagnosis, 64.6 percent of patients were male; as a secondary diagnosis, just over half (52.3 percent) of
patients with TB were male. Conversely, men comprised 46.4 percent of stays for hospitalizations for all
conditions.
1,123) dengan tuberculosis
Berdasarkan orisinalitas penelitian, persamaan dan perbedaan penelitian ini
dengan penilitian terdahulu dapat dilihat dari subjek penelitian, variabel penelitian,
metodelogi penelitian, serta tempat dan waktu penelitian.
1. Variabel penelitian, memiliki persamaan yakni mengenai karakteristik pasien,
kepadatan hunian, luas ventilasi, pencahayaan, kelembaban, dan suhu.
2. Metode penelitian, memiliki perbedaan, yakni observasional deskriptif dengan
pendekan cross sectional.
3. Subjek penelitian, memiliki perbedaan karena meneliti pada pasien TB paru
yang rawat inap di RSUD Soedarso Kota Pontianak.
4. Tempat dan waktu : memiliki perbedaan karena penelitian ini dilakukan di
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Tuberculosis(TB)
II.1.1 Etiologi Tuberculosis(TB)
Tuberkulosis (TB) bukan merupakan penyakit yang baru, penyakit ini
sudah ada sejak jaman kuno, diperkirakan organisme ini ada sekitar 15.000– 20.000 tahun yang lalu. Diketahui penyebab penyakit tuberkulosis
disebabkan oleh suatu bakteri yaitu Mycobacterium tuberculosis maka dapat
diupayakan berbagai tindakan baik pencegahan maupun pengobatan yang
terkait dengan penyakit ini. Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri yang dapat
menyebar dari seseorang penderita ke orang laian melalui udara. Pada
umumnya menginfeksi paru-paru, namun dapat juga menginfeksi bagian lain
seperti otak, tulang, ginjal dan bagian tubuh lainnya. Penyakit ini dapat
diobati, namun dapat menyebabkan kematian jika tidak mendapatkan
pengobatan yang tepat (WHO, 2009).
Cara penularan penyakit ini adalah melalui sumber penularan yaitu
pasien TB BTA positif. Ditularkan melaui media udara dari percikan dahak
(droplet nuclei), dimana sekali batuk/bersih dapat menghasilkan 3000
percikan dahak, percikan ini dapat bertahan lama, namun dengan sinar
matarahari langsung kuman dapat dimatikan. Makin tinggi derajat
keposistifan dari hasil pemeriksaan dahaknya maka makin banyak pula
Pada tahun 1944, antibiotik pertama diberikan pada pasien TB kritis
dengan menggunakan Streptomysin, dan memberikan efek yang sangat
mengesankan dan menunjukan pemulihan yang cepat dari penderita, namun
memiliki efek samping pada pendengarannya (terdapat gangguan pada telinga
bagian dalam). Ternyata dalam perkembangannya, penggunaan satu macam
obat antibiotik memunculkan mutan resistensi obat dalam beberapa bulan.
Maka pengobatan TB pada saat ini mengunakan 2 -4 paduan regimen
antibiotik untuk menghindari timbulnya resistensi. Saat ini pengobatan TB
diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1. Tahap intensif, pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi seara
langsung mencegah terjadinya resistensi obat, jika diberikan secara
tepat maka dalam 2 minggu pasien menjadi tidak menular. Dan
sebagian besar pasien TB BTA + menjadi BTA - (konversi) dalam
2 bulan.
2. Tahap lanjutan, pasien akan mendapatkan jenis obat lebih sedikit
namun dengan jangka waktu yang lebih lama, hal ini dilakukan
untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di indonesia menggunakan 2 kategori/kriteria ditambah dengan
paduan obat sisipan (HRZE) (Depkes RI, 2006).
Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3 Selama 2 bulan minum obat INH,
bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu
(tahap lanjutan). Diberikan kepada Penderita baru TBC paru BTA positif dan
Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat.
Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3 Diberikan kepada Penderita kambuh,
Penderita gagal terapi atau Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum
obat.
Kategori 3: 2HRZ/4H3R3 DiberikankepadaPenderita BTA (-) dan
rontgen paru mendukung aktif. Obat yang digunakan untuk TB digolongkan
atas dua kelompok yaitu :
1. Obat primer : INH (isoniazid), Rifampisin, Etambutol, Streptomisin,
Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan
toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat
disembuhkan dengan obat-obat ini.
2. Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin,
Amikasin, Kapreomisin dan Kanamisin.
II.1.2 Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis paru yang menyerang jaringan
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan
dahak, tuberkulosis paru dibagi dalam:
1. Tuberkulosis paru BTA positif. Sekurang-kurangnya dua dari tiga
spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif atau satu spesimen dahak SPS
hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukan gambaran
2. Tuberkulosis patu BTA negatif. Pemeriksaan tiga spesimen dahak SPS
hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukan tuberkulosis paru
aktif. Tuberkulosis paru negatif tetapi rontgen positif dibagi berdasarkan
tingkat keparahan penyakitnya, yaitu berat atau ringan.
Tipe penderita di tentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Menurut Tjoktonegoro dan Utama dalam retno (2007), tipe
penderita di bagi dalam:
1. Kasus baru adalah penderita yang tidak mendapat obat anti tuberkulosis
paru (OAT) lebih dari satu bulan.
2. Kasus kambuh (relaps) adalah penderita yang pernah di nyatakan sembuh
dari tuberkulosis paru tetapi kemudian timbul lagi tuberkulosis paru
aktifnya.
3. Gagal adalah penderita BTA positif yang masih positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau lebih. Gagal adalah penderita dengan hasil BTA negatif
rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
4. Kasus kronik adalah penderita yang BTA-nya tetap positif setelah
mendapat pengobatan ulang lengkap yang di superfisi dengan baik.
Menurut Depkes RI (2002), tipe penderita dibagi kedalam beberapa tipe,
yaitu kasus baru, kambuh (relaps), pindahan (transfer in), setelah lalai
II.2 Sanitasi Lingkungan Rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang berada di dalam rumah.
Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik serta lingkungan sosial.
Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik dimana orang
menggunakannya untuk tempat berlindung. Lingkungan dari struktur tersebut
juga semua fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang
berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosial yang baik
untuk keluarga dan individu. Lingkungan rumah yang sehat dapat diartikan
sebagai lingkungan yang dapat memberikan tempat untuk berlindung atau
bernaung dan tempat untuk beristirahat serta dapat menumbuhkan kehidupan
yang sempurna baik fisik, psikologis maupun sosial. Lingkungan rumah
merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status
kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003).
Rumah disamping merupakan lingkungan fisik manusia sebagai tempat
tinggal, juga dapat merupakan tempat yang menyebabkan penyakit, hal ini
akan terjadi bila kriteria rumah sehat belum terpenuhi. Menurut Winslow dan
APHA, rumah yang sehat harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain
(Suyono,2010):
1. Memenuhi Kebutuhan Fisiologis
a. Pencahayaan yang cukup, baik cahaya alam (sinar matahari) maupun
cahaya buatan (lampu). Pencahayaan yang memenuhi syarat sebesar 60
b. Perhawaan (ventilasi) yang cukup untuk proses pergantian udara dalam
ruangan. Kualitas udara dalam rumah yang memenuhi syarat adalah
bertemperatur ruangan sebesar 18ᵒ – 30ᵒ C dengan kelembaban udara sebesar 40 % - 70 %. Ukuran ventilasi memenuhi syarat 10% luas
lantai.
c. Tidak terganggu oleh suara-suara yang berasal dari luar maupun dari
dalam rumah (termasuk radiasi).
d. Cukup tempat bermain bagi anak-anak dan untuk belajar.
2. Memenuhi Kebutuhan Psikologis
a. Setiap anggota keluarga terjamin ketenangannya dan kebebasannya.
b. Mempunyai ruang untuk berkumpulnya anggota keluarga.
c. Lingkungan yang sesuai, homogen, tidak telalu ada perbedaan tingkat
yang ekstrem di lingkungannya. Misalnya tingkat ekonomi.
d. Mempunyai fasilitas kamar mandi dan WC sendiri.
e. Jumlah kamar tidur dan pengaturannya harus disesuaikan dengan umur
dan jenis kelaminnya. Orang tua dan anak dibawah 2 tahun boleh satu
kamar. Anak diatas 10 tahun dipisahkan antara laki-laki dan
perempuan. Anak umur 17 tahun ke atas diberi kamar sendiri.
f. Jarak antara tempat tidur minimal 90 cm untuk terjaminnya keleluasaan
bergerak, bernapas dan untuk memudahkan membersihkan lantai.
g. Ukuran ruang tidur anak yang berumur 5 tahun sebesar 4,5 m3, dan
umurnya 5 tahun adalah 9 m3. Artinya dalam satu ruangan anak yang
ruangan 1,5 x 1 x 3 m3, dan 5 tahun menggunakan ruangan 3 x 1 x 3
m3.
h. Mempunyai halaman yang dapat ditanami pepohonan.
i. Hewan/ternak yang akan mengotori ruangan dan ribut/ bising
hendaknya dipindahkan dari rumah dan dibuat kandang tersendiri dan
mudah dibersihkan.
3. Pencegahan Penularan Penyakit
a. Tersedia air bersih untuk minum yang memenuhi syarat kesehatan.
b. Tidak memberi kesempatan serangga (nyamuk, lalat), tikus dan
binatang lainnya bersarang di dalam dan di sekitar rumah.
c. Pembuangan kotoran/tinja dan air limbah memenuhi syarat kesehatan.
d. Pembuangan sampah pada tempat yang baik, kuat dan higienis.
e. Luas kamar tidur maksimal 3,5 m2 perorang dan tinggi langit-langit
maksimal 2,75 m. Ruangan yang terlalu luas akan menyebabkan mudah
masuk angin, tidak nyaman secara psikologis, sedangkan apabila terlalu
sempit akan menyebabkan sesak napas dan memudahkan penularan
penyakit karena terlalu dekat kontak.
f. Tempat masak dan menyimpan makanan harus bersih dan bebas dari
pencemaran atau gangguan serangga, tikus dan debu.
4. Pencegahan terjadinya Kecelakaan
a. Cukup ventilasi untuk mengeluarkan gas atau racun dari dalam ruangan
b. Cukup cahaya dalam ruangan untuk mencegah bersarangnya serangga
atau tikus,mencegah terjadinya kecelakaan dalam rumah karena gelap.
c. Bahan bangunan atau konstruksi rumah harus memenuhi syarat
bangunan sipil, terdiri dari bahan yang baik dan kuat.
d. Jarak ujung atap dengan ujung atap tetangga minimal 3 m, lebar
halaman antara atap tersebut minimal sama dengan tinggi atap tersebut.
Hal ini tidak berlaku bagi perumahan yang bergandengan (couple).
e. Rumah agar jauh dari rindangan pohon- pohon besar yang rapuh/
mudah patah.
f. Hindari menaruh benda-benda tajam dam obat-obatan atau racun
serangga sembarangan apabila didalam rumah terdapat anak kecil.
g. Pemasangan instalasi listrik (kabel-kabel, stop kontak, fitting dll) harus
memenuhi standar PLN.
h. Apabila terdapat tangga naik/ turun, lebar anak tangga minimal 25cm,
tinggi anak tangga maksimal 18 cm, kemiringan tangga antara 30-36.
Tangga harus diberi pegangan yang kuat dan aman.
II.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Rawat Inap Pasien TB Paru
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit yang komplek. Masalah
yang ditimbulkan meluas sampai aspek sosial, ekonomi dan budaya. Keadaan
pasien tersebut diharuskan menjalani rawat inap. Menurut John Gordon,
setiap penyakit memiliki analisis yang berbeda berdasarkan agen, pejamu,
atau lingkungannya.
Berdasarkan penelitian Setiawan tahun 2010, adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi rawat inap pasien TB Paru, antara lain:
II.3.1 Karakteristik
II.3.1. Umur
Menurut Notoatmodjo (2011), umur adalah variabel yang selalu
diperhatikan di dalam penyelidikan-penyelidikan epidemiologi.
Angka-angka kesakitan maupun kematian di dalam hampir semua keadaan
menunjukkan hubungan dengan umur. Untuk keperluan perbandingan
maka WHO menganjurkan pembagian umur sebagai berikut :
1. Menurut tingkat kedewasaan, yaitu :
0-14 tahun : bayi dan anak-anak
15-49 tahun : orang muda dan dewasa
50 tahun keatas : orang tua
2. Interval 5 tahun :
kurang dari 1 tahun,
1-4 tahun,
5-9 tahun,
10-14, dan seterusnya
3. Untuk mempelajari penyakit anak
5-10 bulan
11-23 bulan
2-4 tahun
5-9 tahun
9-14 tahun
Hasil penelitian Sitorus (2014) menyebutkan, proporsi berdasarkan
sosiodemografi tertinggi pada kelompok umur produktif 15-55 tahun
(81,3%). Umur mempengaruhi perjalanan penyakit TB paru dikarenakan
semakin bertambahnya usia semakin menurunnya sistem imun tubuh
seseorang begitu juga status gizi seseorang. Status gizi yang buruk
menyebabkan tubuh menjadi lemah dan memperburuk keadaan klinis
pasien tersebut. Determinan pasien dirawat inap berumur diatas 44 tahun
(Setiawan, 2010).
II.3.2. Jenis Kelamin
Tuberkulosis lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan
perempuan (Sitorus, 2014). Angka-angka dari luar negeri menunjukkan
bahwa angka kesakitan lebih tinggi dikalangan wanita sedangkan angka
kematian lebih tinggi pada pria pada semua golongan umur. Yang pertama
diduga meliputi faktor keturunan yang terkait dengan jenis kelamin, atau
perbedaan hormonal, sedangkan yang kedua diduga karena berperannya
faktor-faktor lingkungan (lebih banyak pria merokok, minum-minuman
keras, candu, bekerja berat, berhadapan dengan pekerjaan berbahaya, dan
II.3.3. Pendidikan
Pendidikan akan menggambarkan perilaku seseorang dalam
kesehatan. Semakin rendah pendidikan mengakibatkan pengetahuan di
bidang kesehatan rendah, maka secara langsung maupun tidak langsung
dapat mempengaruhi lingkungan fisik, lingkungan biologis dan
lingkungan sosial yang merugikan kesehatan dan dapat mempengaruhi
penyakit TB sehingga pada akhirnya mempengaruhi tingginya kasus TB
yang ada (Muaz, 2014).
Menurut Sadiman tahun 2007 dalam Syafri (2015), tingkat
pendidikan responden pada penderita TB Paru BTA + 21,1% tidak
sekolah, 52,6% memiliki pendidikan yang rendah (SD-SMP). sedangkan
pada kontrol 15,8% tidak sekolah dan 57,9% pendidikan rendah
(SD-SMP). Pendidikan yang rendah akan akan mempengaruhi pengetahuan
seseorang, karena biasanya mereka yang mempunyai pendidikan yang
lebih tinggi lebih mudah menyerap dan menerima informasi masalah
kesehatan.
Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem
Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa, Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan
lima belas tahun. Hal ini berarti masyarakat harus menempuh pendidikan
II.3.4. Pekerjaan
Belilovsky et al. (2010), menyebutkan status pasien TB rawat inap
yang tidak bekerja berhubungan signifikan terhadap ketidakteraturan
minum obat (ors=1,1-2,8) (Farmani, 2015).
Menurut penelitian Syafri (2015), proporsi jenis pekerjaan
responden menunjukkan bahwa dari 38 responden, 28,9% tidak bekerja
dan 71,1% memiliki pekerjaan yang menghasilkan pendapatan. Pada
responden kasus penderita TB Paru BTA + 31,6% tidak bekerja dan
proporsi jenis pekerjaan paling banyak 36,8% adalah buruh (buruh tani,
buruh kayu pembuat kusen, pintu, jendela rumah dan buruh pabrik). Jenis
pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap
individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel
debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada
saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat
meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran
pernafasan dan umumnya TB Paru.
II.3.5. Pendapatan Keluarga
Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat
kesejahteraan masyarakat sebagai hasil pembangunan. Perubahan
pendapatan akan mempengaruhi pengeluaran. Di negara berkembang
tingkat pendapatan penduduk masih rendah dan pengeluaran untuk makan
merupakan bagian terbesar dari seluruh pengeluaran Rumah tangga. Akan
makan, melainkan untuk biaya kesehatan, pendidikan, olah raga, pajak dan
jasa-jasa atau pengeluaran non makan lainnya (Putra, 2011).
Menurut Elvina Karyadi (2002) dari SEAMEO-TROPMEND pusat
kajian gizi regional Universitas Indonesia dari hasil penelitiannya
menyatakan bahwa ekonomi lemah atau miskin mempengaruhi seseorang
mendapatkan penyakit TB Paru. Hal ini disebabkan daya tahan tubuh yang
rendah, begitu juga kebutuhan akan rumah yang layak huni tidak di
dapatkan, ditambah dengan penghuni yang ramai dan sesak. Keadaan ini
akan mempermudah penularan penyakit terutama penyakit saluran
pernafasan seperti penyakit TB Paru.
Menteri Tenaga Kerja RI 1999 melalui Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor: PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum Regional
(UMR), telah menetapkan besaran upah minimum yang bias diperoleh
pekerja berdasarkan wilayah. Pendapatan yang dihasilkan oleh keluarga
selama 1 bulan yang berada di kawasan tingkat kabupaten menggunakan
Upah Minimum Kabupaten (UMK) sebagai standar pendapatan minimum
keluarga. UMK Kalimantan Barat tahun 2017 sebesar Rp.1.882.900,- dan
UMK Kota Pontianak tahun 2017 sebesar Rp.1.972.000,-.
II.3.2 Faktor Perilaku Merokok
Ada berbagai perilaku manusia yang mempengaruhi pasien TB Paru
harus dirawat inap atau mengalami kekambuhan, salah satunya adalah
Kebiasaan Merokok. Merokok adalah membakar tembakau yang kemudian
(2014) adalah mereka yang merokok setiap hari untuk jangka waktu minimal
6 bulan selama hidupnya.
Penelitian Triman (2002), menyatakan bahwa ada hubungan antara
kebiasaan merokok dengan kekambuhan TB paru (p=0,015, OR= 5,445). Ini
berarti seseorang yang memiliki kebiasaan merokok mempunyai 5,4 kali
untuk mengalami kekambuhan dibanding yang tidak memiliki kebiasaan
merokok. Hal ini karena merokok dapat merusak saluran pernafasan yang
dapat memudahkan invasi kuman TB. Hasil ini sesuai dengan fakta yang ada,
dalam jangka panjang yaitu 10-20 tahun pengaruh risiko merokok terhadap
TB paru adalah bila merokok 1-10 batang per hari meningkatkan risiko 15
kali, bila merokok 20-30 batang per hari meningkatkan risiko 40-50 kali dan
bila merokok 40-50 batang per hari meningkatkan risiko 70-80 kali.
Penghentian kebiasaan merokok, baru akan menunjukkan penurunan risiko
setelah 3 tahun dan akan menunjukkan risiko yang sama dengan bukan
perokok setelah 10-13 tahun.
II.3.3 Pengawas Menelan Obat
Secara program TB ketidakteraturan minum obat didefinisikan sebagai
ketidaksesuaian seorang pasien dalam mengikuti jadwal pengobatan yang
telah ditentukan. Pasien TB seharusnya mengikuti ketentuan tersebut agar mendapat hasil pengobatan yang optimal. Ketidakteraturan minum obat pada
pasien TB seharusnya tidak terjadi apabila keberadaan pengawas menelan
minum obat yang 14 tidak teratur akan mempersulit kesembuhan terhadap
suatu penyakit (Hapsari, 2010).
Zubaidah (2013), menyebutkan bahwa rendahnya angka keberhasilan
pengobatan menandakan bahwa masih banyak penderita Tuberkulosis Paru
yang belum sembuh, hal ini tidak hanya berpengaruh pada penularan yang
akan semakin banyak terjadi pada keluarga penderita maupun orang-orang di
lingkungan penderita tetapi ditakutkan akan terjadi kekebalan ganda terhadap
Obat Anti Tuberkulosis sehingga proses kesembuhan akan semakin sulit.
Salah satu indikator dalam menentukan Keberhasilan Pengobatan (Success
Rate) Tuberkulosis Paru adalah keberadaan atau peran dari Pengawas
Menelan Obat (PMO). Pasien yang kurang mendapatkan pengawasan dari
Pengawas Menelan Obat (PMO) 1,83 kali berisiko untuk tidak sembuh
dibanding dengan pasien yang diawasi dengan baik oleh Pengawas Menelan
Obat (PMO) (Saharieng, dkk., 2014).
II.3.4 Faktor Lingkungan Rumah
Adapun faktor lingkungan rumah yang dimaksud sebagai variabel
penelitian yaitu :
1. Kelembaban Udara
Kelembaban udara adalah presentase jumlah kandungan air dalam
udara. Kelembaban terdiri dari 2 jenis yaitu Kelembaban Absolut dan
Kelembaban Nisbi (Relatif). Kelembaban absolut adalah berat uap air per
unit volume udara, sedangkan kelembaban nisbi adalah banyaknya uap air
udara jenuh denga uap air pada temperatur tersebut. Secara umum
penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan hygrometer.
Dalam SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) yang menjelaskan
tentang indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang
memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-70 % dan kelembaban
udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 70 %
(Depkes RI, 2001).Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang
memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya.
Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus.
Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara.
Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa
hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang
mikroorganisme. Bakteri Mycobacterium tuberculosa seperti halnya
bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan
kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80 % volume sel
bakteri dan merupakan hal yang esensial untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel bakteri (Gould dan Brooker, 2003). Selain itu
menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban udara yang meningkat
merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk
bakteri tuberkulosis.
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang
menyenangkan dan menyehatkan manusia. Berdasarkan kejadiannya,
maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:
a. Ventilasi Alam Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu:
daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara
karena perubahan temperatur. Ventilasi alam ini mengandalkan
pergerakan udara bebas (angin), temperatur udara dan
kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan lubang angin, maka
ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat
poros dinding ruangan, atap dan lantai.
b. Ventilasi Buatan Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan
dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat
tersebut diantaranya adalah kipas angin dan AC (air conditioner).
Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut :
1) Luas lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan,
sedangkan luas lubang ventilasi insidentil ( dapat dibuka dan
ditutup) minimal 5% dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi
10% dari luas lantai rumah.
2) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah
atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-lain.
3) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan
lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini
lemari, dinding, sekat dan lain-lain. Secara umum, penilaian
ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi
dan luas lantai rumah dengan menggunakan Role meter. Menurut
indikator pengawasan rumah, luas ventilasi yang memenuhi
syarat kesehatan adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai
rumah (Depkes RI, 2001).
Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan
akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Menurut Azwar (1990) dan
Notoatmodjo (2003), salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran
udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang < 10
% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan
berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi
karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu,
tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban
ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan
penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang
baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen
termasuk kuman tuberkulosis. Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah
untuk membebaskan udara ruangan dari bakteribakteri, terutama bakteri
patogen seperti tuberkulosis, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang
terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir
3. Suhu Rumah
Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan
satuan derajat tertentu. Suhu udara dibedakan menjadi suhu kering dan
suhu basah. Suhu kering yaitu suhu yang ditunjukan oleh termometer suhu
ruangan setelah di adaptasi selama kurang lebih sepuluh menit, umumnya
suhu kering antara 24 – 34 ºC. Suhu basah yaitu suhu yang menunjukkan bahwa udara telah jenuh oleh uap air, umumnya lebih rendah daripada
suhu kering yaitu antara 22-30 ºC. Secara umum, penilaian suhu rumah
dengan menggunakan termometer ruangan. Berdasarkan indikator
pengawasan perumahan, suhu rumah terutama suhu kamar yang
memenuhi syarat kesehatan adalah antara 22-30 ºC dan yang tidak
memenuhi syarat adalah < 22 ºC atau > 30 ºC. Suhu dalam rumah akan
membawa pengaruh bagi penghuninya. Menurut Walton, suhu berperan
penting dalam metabolisme tubuh, konsumsi oksigen dan tekanan darah.
Sedangkan Lennihan dan Fletter, mengemukakan bahwa suhu rumah yang
tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan kehilangan panas
tubuh dan tubuh akan berusaha menyeimbangkan dengan suhu lingkungan
melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini akan menurunkan
vitalitas tubuh dan merupakan predisposisi untuk terkena infeksi terutama
infeksi saluran nafas oleh agen yang menular. Sedangkan menurut Gould
dan Brooker (2003), bakteri Mycobacteriumtuberculosa memiliki rentan
suhu yang disukai, tetapi di dalam rentan ini terdapat suatu suhu optimum
mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-40 º C, akan tetapi akan
tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 º C (Gould & Brooker, 2003).
4. Pencahayaan Alami
Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang
bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang
memungkinkan untuk masuknya cahaya alamiah. Misalnya melalui
jendela atau genting kaca (Notoatmodjo, 2003). Cahaya berdasarkan
sumbernya dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu cahaya alamiah dan cahaya
buatan. Cahaya matahari sangat penting, karena dapat membunuh
bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, misalnya bakteri-bakteri penyebab penyakit TBC.
Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya
yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya
15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah.
Perlu diperhatikan dalam membuat jendela diusahakan agar sinar matahari
dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan
lain. Fungsi jendela disini, disamping sebagai ventilasi, juga sebagai jalan
masuk cahaya (Notoatmodjo,2007). Lokasi penempatan jendela pun harus
diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lebih lama menyinari
lantai (bukan menyinari dinding), maka sebaiknya jendela itu harus di
tengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jalan masuknya cahaya alamiah
juga diusahakan dengan genteng kaca. Genteng kaca pun dapat dibuat
pembuatannya, kemudian menutupnya dengan pecahan kaca
(Notoatmodjo,2007).
5. Kepadatan Penghuni Rumah
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah
dengan jumlah anggota keluarga dalam suatu rumah tinggal. Persyaratan
kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m² per
orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas
bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana,
minimum 9 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 3 m²/orang.
Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri
dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi
penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota
keluarga lainnya.Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan
menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni
yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas
lantai dengan jumlah penghuni 9 m²/orang dan kepadatan penghuni tidak
memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai
dengan jumlah penghuni < 9 m²/orang (Lubis dalam penelitian Evi Naria,
2008). Kepadatan penghuni dalam suatu rumah tinggal akan memberikan
pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan
jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal
ini tidak sehat karena disamping menyebabkan kurangnya konsumsi
terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga yang
lain (Notoatmodjo, 2003). Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang
Kesehatan (2000), didapatkan data bahwa : a. Rumah tangga yang
penderita mempunyai kebiasaan tidur dengan balita mempunyai resiko
terkena TB 2,8 kali dibanding dengan yang tidur terpisah. b. Tingkat
penularan TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi, dimana
seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang di dalam
rumahnya. c. Besar risiko terjadinya penularan untuk tangga dengan
penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan
hanya 1 orang penderita TB.
II.3.5 Komplikasi Obat TB
Pada pengobatan TB paru perlu diperhatikan keadaan klinisnya karena
setiap pasien TB paru memiliki keadaan klinis yang berbeda-beda. Bila
keadaan klinisnya buruk dan terdapat indikasi untuk rawat, maka pasien
tersebut harus rawat inap di rumah sakit. Pasien perlu pengobatan tambahan
atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan yang akan memperburuk keadaan klinisnya. Pada
pasien TB paru dengan keadaan klinis tertentu diharuskan untuk menjalani
rawat inap. Akan tetapi, di sisi lain rawat inap yang lama justru akan
menimbulkan masalah baru (Mulluzi, 2010).
Komplikasi Obat TB pada penderita Tuberkulosis Paru:
1. Pneumutoraks spontan terjadi bila udara memasuki rongga pleura sesudah
2. Cor pulmonale adalah gagal jantung kongestif karena tekanan balik akibat
kerusakan paru, dapat terjadi bila terdapat destruksi paru yang amat luas.
Aspergilomata dimana kavitas tuberkulosis paru yang sudah di obati
dengan baik dan sudah sembuh kadang-kadang tinggal terbuka dan dapat
terinfeksi dengan jamur aspergillus fumigtus.
3. Hemoptis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan
nafas.
4. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.
5. Bronkhiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan
jaringan ikat pada proses pemulihan) pada paru.
6. Insufisiensi cardio pulmoner.
7.
Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjaldan sebagainya (Depkes RI,2002).
II.3.6 Status Gizi
Status gizi yang buruk menyebabkan tubuh menjadi lemah dan
memperburuk keadaan klinis pasien tersebut. Secara umum kekurangan gizi,
atau gizi buruk akan berpengaruh terhadap kekuatan, daya tahan dan respon
imun terhadap serangan penyakit. Menurut penelitian Toyalis (2010) dalam
Muaz (2014) menyebutkan bahwa faktor kurang gizi atau gizi buruk akan
meningkatkan angka kesakitan/ kejadian TB paru, terutama TB paru pertama
sakit. Sedangkan penelitian Setiawan (2010) menyebutkan bahwa status gizi
II.3.7 Riwayat Imunisasi
Hubungan kekebalan (status imunisasi) dengan kejadian tuberkulosis,
bahwa anak yang divaksinasi BCG memiliki risiko 0,6 kali untuk terinfeksi
tuberculosis dibandingkan anak-anak yang belum divaksinasi. Walaupun
imunisasi BCG tidak mencegah infeksi tuberkulosis namun dapat
mengurangi risiko tuberkulosis berat seperti meningitis tuberkulosa dan
tuberkulosis milier (Muaz, 2014).
II.4 Kerangka Teori
Penderita TB Paru
Pejamu(Manusia) : 1.Kebiasaan merokok 2.Karakteristik Pasien TB
Paru:
Umur
Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan
Pendapatan Keluarga Status Gizi
PMO
Penderita TB paru Rawat Inap
di RSUD Soedarso
Lingkungan:
Kepadatan Hunian Luas ventilasi Pencahayaan Kelembaban Suhu
Komplikasi obat TB
Riwayat imunisasi
Keterangan
: Variabel yang diteliti : Variabelyang tidak diteliti
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
III.1 Kerangka Konsep1. Pejamu (Manusia) a. Karakteristik
b. Perilaku
2. Lingkungan Rumah
Gambar III.1 Kerangka Konsep
III.2 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kebiasaan merokok, kepadatan hunian,
luas ventilasi, pencahayaan, kelembaban dan suhu.
Penderita TB Paru yang Rawat Inap di RSUD Soedarso
a. Kepadatan hunian b. Luas ventilasi c. Pencahayaan d. Kelembaban e. Suhu
Kebiasaan merokok
a. Umur
III.3 Definisi Operational
Tabel 3.3
No. Variabel Definisi
Operasional Cara Ukur
Alat
Ukur Hasil Ukur
Skala Ukur
1 Umur Umur responden
saat dirawat inap
Wawancara Kuesioner 0. ≤ 44 tahun
1. > 44 tahun
Wawancara Kuesioner 0. Perempuan
1. Laki-laki
Nominal
3 Pendidikan Pendidikan
formal tertinggi yang pernah diselesaikan oleh responden pada institusi atau lembaga
pendidikan yang diakui oleh pemerintah.
Wawancara Kuesioner 0. Tinggi
(SMA s/d
yang dilakukan oleh ibu yang menghasilkan uang
Wawancara Kuesioner 0. Tidak
Berkerja
1. Berkerja
Nominal
5 Pendapatan Pendapatan yang
dihasilkan oleh keluarga selama 1 bulan berdasarkan UMK Kota Pontianak tahun 2017
Wawancara Kuesioner 0. Tinggi (≥
Rp.1.972.0 minimal 6 bulan selama
hidupnya
Wawancara Kuesioner 0.Tidak
merokok
1.Merokok
(minimal 6 bulan)
7 Kepadatan
Observasi Kuesioner 0. memenuhi
syarat (9 ventilasi dan luas lantai rumah
Observasi Role
meter
9 Pencahayaan penerangan yang
bersumber dari
Observasi Role
meter
10 Kelembaban Frekuensi
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
IV.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan deskriptif.
Desain penelitian yang akan digunakan adalah cross sectional dimana
tujuanutama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan
secara objektif(Notoatmodjo, 2010). Dalam hal ini yaitu memberi gambaran
mengenai Lingkungan rumah dengan kejadian TB paru di ruang rawat inap
paru RSUD Soedarso Pontianak.
IV.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan 22 September 2017
sampai dengan tanggal 13 Desember 2017 di Kota Pontianak dan wilayah
Kubu Raya.
Alasan pemilihan lokasi adalahkarena jumlah kasus TB paru yang
rawat inap di RSUD Soedarso Kota Pontianakselalu meningkat yakni dari
71,89% pada tahun 2015 menjadi 73,89% pada tahun 2016.
IV.3 Populasi dan Sampel IV.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah sejumlah subyek besar yang
sesuai dengan ranah dan tujuan penelitian (Notoatmojo, 2010).
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB paru yang
rawat inap di RSUD dr Soedarso. Jumlah populasi pada saat
penelitian adalah sebanyak196 orang, berdasarkan jumlah
kunjungan, bulan Januari sampai bulan Juli tahun 2017.
IV.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti
dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmojo, 2010).
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari jumlah pasien TB
paru yang rawat inap di RSUD Soedarso Kota Pontianak, yang
berjumlah 42 orang.
Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus estimasi proporsi Lemeshow (1997), sebagai berikut:
Z21-α/2p(1-p)N
n =
d2(N-1) + Z1-α/2p(1-p)
Keterangan:
P = Estimasi Proporsi 73,89% = 0,7389
q = 1-p→(1-0,7389)= 0,2611
d = Tingkat presisi yang sebesar 5% = 0,05
Z = Tingkat kepercayaan yang sebesar 90 % = 1,645
n = Besar sampel
N = Populasi (jumlah pasien rawat inap di RSUD Soedarso Kota Pontianak)
Berdasarkan rumus tersebut maka jumlah sampelnya adalah:
1,6452x 0,2611 (1-0,2611)196 n =
0,12(196-1) + 1,6452(0, 2611)(1-0, 2611)
2,706 x 0,2611x 0,7389 x 196 n =
0.01 x 195+ 2,706 x 0,2611 x 0,7389
0,5220598937 x 196 n =
1,95 + 0,5220598937
102,32373917 n =
2,4720598937
n = 41,392095487
n = 42 Sampel
Untuk memudahkan peneliti, peneliti menentukan kriteria
inklusi dan kriteria eksklusi. Adapun kriteria inklusi pada penelitian
ini adalah:
1. Kriteria Inklusi
a. Pasien yang dirawat di ruang rawatinap paru (RI)RSUD Dr
Soedarso Pontianak
b. Berdomisili di Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya
c. Bersedia menjadi responden
2. Kriteria Eksklusi
b. Pasien yang dirawat lebih dari 1 bulan.
IV.3.3 Teknik Sampling
Teknik penggunaan sampling dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan teknik non-probability sampling lebih
khususnya sampling accidental, yaitu teknik penentuan sampel
berdasarkan kebetulan. Siapa saja yang secara kebetulan bertemu
dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel. Teknik ini
digunakan karena topik yang diteliti adalah faktor lingkungan
terhadap TB paru pada pasien yang sedang melakukan rawat inap di
RSUD Dr. Soedarso yang dimana semua anggota keluarga dari
pasien dapat memberikan keterangan mengenai kondisi fisik
lingkungan rumah penderita TB Paru(Sugiyono, 2007).
IV.4 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Teknik dan instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah :
IV.4.1 Data Primer
Data primer diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan
mengenakan alat pengukuran atau alat pengambil data, langsung
pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari (Saryono, 2010).
Data primer dalam penelitian ini didapat dari wawancara dan
observasi langsung dengan subjek penelitian dengan menggunakan
kuesioner terstruktur.
a. Umur
b. Jenis Kelamin
c. Pendidikan
d. Pekerjaan
e. Pendapatan
f. Kebiasaan merokok
g. Kepadatan hunian
h. Luas ventilasi
i. Pencahayaan
j. Kelembaban
k. Suhu
IV.4.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain,
tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitiannya.
(Saryono,2010).Data sekunder yang di gunakan dalam penelitian
ini seperti catatan rekam medik yang didapat dari RSUD dr
Soedarso.
IV.5 Teknik Pengolahan dan Penyampaian Data
Data yang telah didapat,dikumpulkan dan diolah dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
IV.5.1 Teknik Pengolahan Data
Memeriksa kelengkapan data, kesinambungan data, keseragaman
data secara keseluruhan dari variabel-variabel penelitian, baik
kuisioner maupun hasil pengamatan secara langsung semua termuat
dalam formulir secara survei dan pemeriksaan kesesuian jawaban.
2. Coding
Mengklasifikasikan data-data dari masing-masing variabel dengan
kode-kode tertentu dari ukuran penelitian yang digunakan.
3. Scoring
Memberikan skor terhadap item-item jawaban dari variabel untuk
memudahkan dalam melakukan entri data.
4. Entry
Proses memasukan data yang sudah diberi kode ke program statistic
komputer.
5. Tabulating
Setelah dilakukan pengolahan data selanjutnya data disajikan dalam
bentuk tabel dan grafik untuk melihat kecenderungan dari suatu
faktor determinan masalah kesehatan.
IV.5.2 Teknik Penyajian Data
Cara penyajian data dilakukan melalui berbagai bentuk. Pada
umunya dikelompokkan menjadi 3 yaitu penyajian dalam bentuk teks,