• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN TEORITIS

A. Kajian Pustaka

4. Status Sosial Guru

Kehidupan status sosial guru sangat mempengaruhi prestis guru, karena dalam kehidupan sosial guru dapat dinilai dan dicontoh oleh masyarakat jika dapat menunjukkan martabat dan budi pekerti yang baik. Masyarakatlah yang nantinya akan menghormati dan menyegani keberadaan guru karena memiliki status sosial yang tinggi.

Menurut Edman dalam Yuniyanti (2005:12), menggambarkan peranan guru dalam kontek antar budaya mencakup dua hal, yaitu:

a. Peranannya ialah melaksanakan apa yang diamanatkan masyarakat melalui sekolah agar dapat mempersiapkan anak didik sesuai tujuan yang diharapkan masyarakat.

b. Peranannya ialah melaksanakan tujuan yang diserahkan kepadanya baik di dalam kelas sehari-hari maupun dalam hubungannya dengan tuntutan masyarakat.

Sedangkan menurut Waten dalam Yuniyanti (2005:13) peran guru antara lain:

a. Sebagai tokoh terhormat dalam masyarakat, sebab ia nampak sebagai seseorang yang punya wibawa.

b. Sebagai penilai, ia member penilaian c. Sebagai nara sumber

d. Sebagai pembantu e. Sebagai wasit f. Sebagai detektif

g. Sebagai objek identifikasi h. Sebagai penyangga rasa takut

i. Sebagai orang yang menolong memahami didik (super ego) j. Sebagai pimpinan kelompok

k. Sebagai orang tua/ wali (parent/surrogates)

l. Sebagai orang yang membina dan memberikan layanan m. Sebagai pembawa rasa kasih sayang

Seorang guru dipandang oleh masyarakat mempunyai peranan. Adapun peranan guru dalam suatu masyarakat terdapat beberapa unsur, yaitu: a. Guru bergaul dengan masyarakatnya, dengan tetap memelihara statusnya

bahwa dia adalah orang yang digugu dan ditiru dimana saja dia berada. b. Guru menjauhkan diri untuk memasuki kegiatan-kegiatan masyarakat

tertentu.

c. Guru menerima peranan secara tidak bertentangan dengan kenyataan yang dihadapi.

d. Guru memegang suatu kode tingkah laku tertentu.

e. Guru menyayangi semua golongan sebab kehidupan guru dan keahliannya dicontoh dan diteladani oleh seluruh masyarakat.

f. Guru merupakan perintis pembangunan pada segala bidang kehidupan dalam masyarakat.

Dari uraian tentang persepsi dan status sosial guru yang telah di jelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi mahasiswa terhadap status sosial guru adalah suatu aktivitas mental mahasiswa dalam proses pengorganisasian dan penerjemahan kesan-kesan, penilaian, dan pendapat dalam merasakan serta menginterpretasikan status sosial guru berdasarkan informasi yang ditampilkan seorang guru. Persepsi mahasiswa terhadap status sosial guru itu berbeda untuk masing-masing mahasiswa sesuai dengan hasil pengalaman mahasiswa tersebut, latar pendidikan, dan karakter psikologi.

Supriadi (2003:34) mengatakan bahwa:

Status sosial profesi guru dan kesejahteraannya berkaitan sangat erat. Kesejahteraan yang tinggi akan membuat profesi ini memiliki status yang tinggi di masyarakat. Sebaliknya, akibat kesejahteraan guru yang rendah (dengan indikator utama gaji), maka status sosialnyapun tidak begitu baik dalam masyarakat. Agak berbeda dengan profesi lain (misalnya kedokteran), tingginya penghormatan pada guru karena perannya yang sangat penting dalam pendidikan tidak dengan sendirinya menjadi jaminan bagi lebih baiknya tingkat kesejahteraan mereka. Sejarah juga mencatat bahwa status sosial, sistem penghargaan dan penggajian guru serta beasiswa bagi (sebagian) calon guru berbeda dari zaman ke zaman, namun intinya adalah makin menurun.

Persepsi terhadap status sosial dan kesejahteraan guru menurut Supriadi (2003:34) adalah sebagai berikut:

Masalah (rendahnya) status sosial dan kesejahteraan guru selalu merupakan isu hangat sepanjang sejarah profesi ini di Indonesia, bahkan sejak lebih dari 1,5 abad yang lalu tatkala untuk pertama kalinya Pemerintah Hindia Belanda mendidik para calon guru dari kalangan Bumiputera. Sekolah guru (Kweekschool, KS) pertama didirikan pada tahun 1852 (Watson, 1975; Ricklefs, 2001). Para siswanya direkrut dari kalangan priyai Jawa yang memiliki status sosial yang tinggi dalam masyarakat, dan materi pendidikannya lebih mengutamakan kebudayaan Jawa. Namun karena prestise dan gaji guru dinilai tidak setara dengan status ningrat Jawa yang sangat terhormat itu, maka tidak mudah merekrut calon guru dari kalangan mereka. Satu-satunya keuntungan yang diperoleh anak- anak priyai Jawa dengan memasuki sekolah guru dan menjadi guru adalah kemampuan kepemimpinannya yang tidak mereka dapatkan dari statusnya semata-mata sebagai priyai. Mengenai hal ini, Watson (1975:61) mencatat:

Teaching positions for members of the higher aristocracy were not in keeping with their status in Javanese society, for the pay and prestige were low… teachers, especially on Java, were regarded by the priyai as inferior because of their low pay and prestige. Yet education provided teachers with the possibilityof leadership. A movement offering the promise for a better future might easily secure the support of teachers dissatisfied with colonial and traditional rule alike.

Suroso (2002:65) mengemukakan:

Guru sebagai aktor utama dalam praksis pendidikan selama ini belum memperoleh apresiasi yang baik oleh pemerintah termasuk masyarakat. Sebagai penyandang profesi, kedudukan guru belum bisa disejajarkan dengan dokter, hakim, insinyur, wartawan, pengacara, dan akuntan. Padahal tugas yang disandang guru tidak lebih ringan bila dibandingkan dengan profesi tersebut di atas karena guru berhadapan dengan manusia yang senantiasa menghabiskan energi psikis daripada fisik.

Lebih lanjut (Suroso, 2002: 66) menemukakan:

Dalam kehidupan masyarakat seperti sekarang ini tidak terlalu banyak masyarakat yang menghormati kondisi guru yang miskin. Saat ini, banyak orang menomorduakan kasih sayang, akal budi, dan kejujuran dan menomorsatukan materi dan kekayaan. Akibatnya mereka tidak memiliki sense of belonging kepada guru yang pernah mengajarkan nilai-nilai, etika moral, kedisiplinan, dan tanggung jawab. Hanya sedikit saja anggota masyarakat yang memberi apresiasi yang baik kepada guru.

Denni Iskandar (Webmaster, 26 November 2007) memandang bahwa: Peningkatan kesejahteraan juga akan menimbulkan image (citra) positif, sehingga profesi guru akan mempunyai prestise yang sejajar dengan profesi lainnya. Kesejahteraan yang memadai secara perlahan tapi pasti akan mengubah cara pandang masyarakat yang menganggap profesi guru merupakan profesi marginal ditinjau dari sudut finansial. Kesejahteraan akan menjadi magnit yang kuat untuk mencuri simpati anak-anak berintelegensi tinggi bercita-cita menjadi guru. Kesejahteraan juga akan mengubah rasa enggan anak-anak kita menjadi rasa suka terhadap profesi guru.

1. Pengertian Prestasi Belajar

Winkel (1996:162) mengatakan bahwa prestasi belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya.

Menurut Sunaryo (1993:10), prestasi belajar adalah perubahan kemampuan yang meliputi kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Sedangkan menurut Nasution (1996:17), prestasi belajar adalah: Kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berpikir, merasa, dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, afektif, dan psikomotor; sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar

Secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar menurut Syah (1997:132) dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:

a. Faktor internal (faktor dari dalam diri siswa)

Faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri meliputi dua aspek, yakni aspek fisiologis (bersifat jasmaniah) dan aspek psikologis (bersifat rohaniah).

1) Aspek fisiologis

Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran.

2) Aspek psikologis

Faktor yang termasuk aspek psikologis yang dipandang esensial dan dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran siswa adalah sebagai berikut:

a) Intelegensi siswa b) Sikap siswa c) Bakat siswa d) Minat siswa e) Motivasi siswa ™ Motivasi intrinsik ™ Motivasi ekstrinsik

b. Faktor eksternal (faktor dari luar siswa)

Faktor eksternal siswa juga terdiri atas dua macam, yakni faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan non sosial.

1) Lingkungan sosial

Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, staf administrasi, dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang siswa. Yang termasuk dalam lingkungan sosial siswa adalah masyarakat, tetangga, dan juga teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut.

2) Lingkungan non sosial

Faktor-faktor yang termasuk lingkungan non sosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal siswa dan letaknya,

alat-alat belajar,keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa. Faktor-faktor non sosial ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.

c. Faktor pendekatan belajar, yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran. Faktor pendekatan belajar juga berpengaruh terhadap taraf keberhasilan siswa yang bersangkutan.

Indikator prestasi belajar menurut Syah (1997:150), pada prinsipnya pengungkapan hasil belajar ideal meliputi segenap ranah psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa, namun pengungkapan perubahan tingkah laku seluruh ranah tersebut sangat sulit. Kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar siswa adalah dengan mengetahui garis-garis besar indikator dikaitkan dengan prestasi yang hendak diukur.

Prestasi belajar merupakan salah satu ukuran bagi keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan sesuatu. Prestasi belajar umumnya di ukur dengan menggunakan tes dan tampak hasilnya pada angka nilai yang diberikan oleh guru dalam raport siswa.

Dokumen terkait