• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Bertahan Dalam Mempertahankan Usahanya Dari Persaingan

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.5. Strategi Bertahan Dalam Mempertahankan Usahanya Dari Persaingan

Selain strategi bertahan dalam menghadapi razia petugas patroli universitas, tentu harus ada juga strategi bertahan dalam mempertahankan usaha dari persaingan antar sesama pedagang. Kedua hal ini harus dimiliki oleh pedagang, karena mereka tidak dapat bertahan apabila hanya memiliki strategi dalam menghadapi razia petugas saja, sebab persaingan dalam menarik pelanggan juga penting, jadi kedua hal ini harus sejalan untuk dilakukan. Misalnya saja pedagang sudah dapat melakukan strategi dalam menghadapi razia petugas patroli, tetapi ia tidak memiliki strategi dalam hal mempertahankan usaha dari persaingan. Otomatis pedagang akan mengalami kerugian akibat tidak lakunya barang jualan mereka, dan begitu juga sebaliknya. Pedagang juga pasti akhirnya tidak dapat bertahan dalam berjualan di sekitar kampus Universitas Sumatera

Utara. Oleh sebab itu, pedagang memiliki strategi dalam mempertahankan usaha mereka dari persaingan diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Membangun Relasi dengan Pembeli (Mahasiswa)

Selain membangun relasi dengan satpam dan sesama pedagang, pedagang juga membangun relasi dengan pembeli yaitu mahasiswa. Membangun relasi dengan mahasiswa ini juga tidak kalah pentingnya, karena komponen ini merupakan penentu penghasilan atau omzet yang didapat pedagang setiap harinya dan bertahan atau tidaknya suatu usaha. Oleh sebab itu, pedagang yang berjualan di lokasi ini pada umumnya ramah tamah, mereka berkomunikasi dengan pembeli pun sangat baik. Tidak jarang mereka menggunakan bahasa Inggris, tetapi dicampur dengan bahasa Indonesia atau bahasa gaul. Pedagang di lokasi ini juga menyesuaikan diri dengan para mahasiswa yang telah dianggap manusia berintelektual tinggi. Mahasiswa pun juga menjawabnya dengan bahasa Inggris, atau dengan bahasa-bahasa gaul zaman sekarang. Seperti yang diungkapkan oleh Bang Antoni Delle (37 tahun) selaku penjual es pisang ijo sebagai berikut:

“Karena umumnya di sinikan yang beli mahasiswa,manusia berintelektual tinggi kan, jadi Abang menyesuaikan aja sama mereka. Kadang mahasiswa sering pake bahasa inggris, misalnya “thank you” ya Abang pun balas dengan yes he,,he,,he gitu-gitu lah. Bahasa anak gaul, dan macem-macem lah. Itu kan menarik pelanggan juga, jadi udah ada keakraban dari segi bahasa kita di sini”.

Hasil wawancara di atas senada dengan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti. Pada saat peneliti membeli makanan pada salah satu pedagang, pedagang menyapa dengan sopan, seperti akrab dan suka becanda. Tentu peneliti juga menanggapi hal tersebut dengan baik. Pedagang suka menggunakan bahasa-bahasa gaul zaman sekarang, sehingga suasana pun mencair.

Pedagang sengaja melakukan hal itu supaya terasa lebih akrab. Kepada calon pembeli pedagang juga kadang memanggil dengan sapaan-sapaan yang akrap, seperti, “Bang, kak, bro, nak, say” sehingga suasana pun mencair menjadi riuh. Kemudian pedagang juga suka menanyai alamat mahasiswa, semester berapa, jurusan apa, dan lain-lain. Sehingga pedagang cepat sekali akrab dengan mahasiswa. Pada saat membeli, mahasiswa pun diperlakukan seperti raja dan ratu. Pembeli dapat dengan sesuka hati mengambil sendiri bumbu makanan yang sesuai dengan keinginan mereka. Hal ini dingkapkan oleh Lilis (22 tahun) mahasiswa FISIP sebagai berikut:

“Ya kami udah kenal sama abang penjual taiso kejar tayang itu, abang itu pun ramah,gaul, baik pula. Sampai-sampai kami di suruh ambil sendiri bumbunya dan cekernya juga sesuka hati kita. Jadi uda dekat”.

Mahasiswa juga merasa sudah mengenal para pedagang. Terlihat pada saat membeli, mahasiswa sudah bersikap akrab kepada pedagang. Mereka pun sudah sering saling bercanda, baik kepada yang baru membeli dan juga pelanggan tetap. Pada saat-saat ramainya pembeli, pembeli lainnya juga rela antri dengan menunggu giliran untuk dilayani. Walau terkadang sedikit lama mengantrinya, namun pembeli tetap menunggu. Kemudian apabila pedagang melarikan diri akibat ada razia petugas patroli, mahasiswa pun rela menunggu sampai pedagang tersebut kembali ke tempat semula. Begitu juga apabila ada pembeli yang belum sempat membayarnya, ia juga menunggu sampai pedagang tersebut kembali ke tempat jualan semula. Seperti yang telah diungkapkan oleh Winda (22 tahun) mahasiswa Fakultas Ekonomi sebagai berikut:

“Kalau pedagang lagi kabur ke tempat lain, biasanya saya dan teman-teman tetap nunggu. Karena pasti mereka balik lagi kemari. Pedagangnya sendiri juga ngomong seperti itu. Pernah saya lagi beli dan belum bayar

tiba-tiba satpam ada razia, ya saya santai aja karena mereka pasti balik lagi”.

Selain pedagang sangat ramah tamah, jajanan yang dijual oleh pedagang banyak sekali disukai oleh para pembeli khususnya mahasiswa. Harga yang murah serta rasanya yang enak membuat jajanan tersebut selalu laris manis. Lagi pula, tidak semua mahasiswa mampu untuk makan di kantin fakultas dengan harga makanannya yang lumayan mahal. Sehingga, mahasiswa lebih suka jajan dengan harga yang murah, enak serta dapat sekedar mengganjal perut yang sedang lapar.

Mahasiswa juga mengaku sangat membutuhkan pedagang. Mereka butuh untuk mengisi perut sebagai penunda lapar. Ada juga mahasiswa yang mengaku justru selera dengan makanan ataupun minuman yang dijual meskipun mereka tidak merasa lapar, namun mereka tetap membelinya. Hal ini juga diungkapkan oleh Virdha (24 tahun) mahasiswa ekstensi sebagai berikut:

“Kalau pedagang gak jualan susah juga. Karena jajan di sini bisa untuk mengganjal perut yang sudah lapar. Kadang kalau gak lapar pun tetap jajan, he,he,he, karena selera. Lagipula enak, trus murah. Gak mungkin tiap hari makan di kantin, tumpur lah kita.Di kantin kan lumayan mahal. Kalau jajan di sini murah meriah”.

Dari penjelasan di atas, pedagang sudah dapat dikatakan berhasil dalam membangun relasi dengan mahasiswa. Dengan sikap ramah tamahnya pedagang membuat mahasiswa nyaman untuk membeli makanan atau minuman yang mereka jual. Pedagang pun makin laris manis dengan selalu habisnya barang jualan yang setiap hari mereka bawa.

Pada umumnya pedagang selalu bersikap ramah tamah dengan para pembeli. Hubungan baik tersebut selalu dijaga oleh pedagang untuk menarik pembeli, sehingga jualan mereka tetap laris. Hal tersebut juga serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2012) bahwa pedagang saling beramah

tamah kepada mahasiswa yang membelinya. Bahkan mereka sudah terlihat sangat akrab. Pedagang menjalin hubungan baik tersebut dengan harapan barang jualannya selalu laris manis. Dalam hal ini, pedagang telah melakukan jaringan sosial dalam strategi untuk bertahan. Jaringan sosial tersebut berupa hubungan baik yang terjalin antara pedagang dengan para pembeli. Dengan adanya relasi tersebut, maka pedagang akan selalu mendapat emzet yang lebih banyak setiap harinya.

2. Persaingan dalam Cita Rasa

Dalam menjalankan sebuah usaha, baik yang berskala kecil ataupun berskala besar, pasti akan dihadapkan dengan yang namanya persaingan. Persaingan ada yang bersifat sehat dan adapula yang bersifat curang. Namun, persaingan yang terlihat pada pedagang yang berjualan di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara bersifat sehat. Pedagang akan mengatasi persaingan yang ada dengan strategi yang mereka ciptakan sendiri.

Pedagang memiliki strategi dalam menghadapi persaingan dengan pedagang lain yang menjual jenis makanan ataupun minuman yang sama di lokasi tersebut. Dalam mengatasi persaingan tersebut, salah satu strategi yang dilakukan pedagang adalah menjaga kualitas barang jualan mereka. Dengan cita rasa yang mereka ciptakan membuat rasa makanan atau minuman yang mereka jual berbeda dengan pedagang yang lain. Dengan begitu, pembeli tetap ketagihan untuk membeli makanan tersebut karena citarasanya yang tidak berubah dan kemungkinan mereka akan memutuskan menjadi pelanggan, sehingga jualan mereka tetap laris dan dapat bertahan. Seperti yang telah diungkapkan oleh Bu Suri (31 tahun) sebagai penjual pecal sebagai berikut:

“Kalau ibu, biar supaya laris, supaya tetap jualan terus ya ibu masaknya tetap enak lah. Ibu jaga la citarasanya, karena kan di USU ini udah banyak yang jualan mie pecal kan,,,terus kebersihan gerobak jualan ibu ini lah, harus dijaga kebersihannya. Lalu, harus ramah lah kita jualan ini, apalagi mahasiswa yang beli”.

Bu Suri mengaku berjualan di kampus seperti ini harus mempertahankan kualitas barang jualannya serta cita rasa makanannya agar tetap laris dan bertahan. Karena banyaknya penjual mie pecal di lokasi tersebut, ia pun memasak mie pecalnya dengan mie yang lembut, serta bumbu yang enak dengan sentuhan gula aren yang asli, sehingga pembeli selera melihatnya kemudian tertarik untuk membelinya. Kemudian Bu Suri juga menggunakan minyak goreng yang berkualitas dalam memasak masakannya dan menggoreng kue-kuenya. Apalagi pembelinya adalah mahasiswa yang intelektualnya tinggi, mereka pasti memilih-milih mana yang barang jualannya baik dikonsumsi atau tidak. Selanjutnya, juga telah dituturkan oleh Bang Alex Pratama (30 tahun) selaku penjual taiso sebagai berikut:

“Kalau abang yaa,.berhubung yang jual taiso udah banyak, jadi abang buat kuah taiso yang agak berbeda. Kalau yang lain kan kuahnya agak kental, kalau taiso punya abang encer. Trus ada kuah sotonya juga, ada kecap yang bagus punya, abang tambahin juga kare ceker sebagai penariknya, terus, pembeli ngambil sendiri bumbu dan kari cekernya sesuai selera masing-masing”.

Bang Alex merupakan penjual taiso yang banyak digemari oleh para pembeli dengan rasa kuah taisonya yang enak dan kari cekernya yang khas. Bang Alex juga menyediakan beberapa jenis kuah untuk campuran taisonya. Ada bumbu kari ayam, soto ayam, saos cabe, kecap, bumbu kacang, cabe halus dan kriuk sebagai penikmatnya. Kemudian ia juga menyediakan sendok plastik yang dapat memudahkan untuk memakannya. Hal ini yang membuat taiso Bang Alex berbeda dengan yang lain. Kebetulan di lokasi tersebut ada banyak yang menjual

jajanan taiso, namun masing-masing penjual memiliki karakteristik rasa yang berbeda-beda. Seperti ada yang kuah taisonya kental dengan menggunakan kacang tanah. Pemebeli hanya tinggal memilih sesuai selera mereka.

Kemudian hal sedana juga diungkapkan oleh Pak Tono (45 tahun) selaku penjual nasi sarapan sebagai berikut:

“kalau bapak jual nasi dengan harga Rp. 5000,- dapat gratis aqua gelas satu, jadi kan mahasiswa ini makan uda langsung ada minumnya, apalagi khusus bagi yang gak bawa bekal air minum. Trus, telurnya di masak berbagai macam, ada yang didadar, dimata sapi, dan telur bulat aja. Itu lah penariknya saya buat untuk melariskan jualan ini”.

Pak Tono telah memberikan gratis air mineral cup untuk setiap pembelian nasi sarapan satu bungkus. Hal ini dilakukan agar setiap pembeli yang ingin makan tidak repot-repot lagi membeli air mineral ke tempat lain. Pembeli juga merasa dimanjakan dengan pilihan lauk yang disediakan oleh Pak Tono. Pembeli akan ditawari dengan lauk telur mata sapi, telur bulat atau telur dadar sesuai selera.

Sama halnya dengan yang dilakukan oleh pedagang lain. Saipul juga sangat menjaga kualitas es tebunya. Banyaknya pedagang yang berjualan es tebu di lokasi tersebut membuat Saipul terus mengeluarkan inovasi-inovasi dalam membuat es tebunya. Saipul sengaja membeli tebu asli langsung dari Kota Brastagi yang terkenal sangat manis. Maka, tak heran jika es tebu yang dijual oleh Saipul rasanya sangat manis dengan warna asli air tebu. Es tebu yang ia jual juga bersih dari serat tebu yang digiling dengan mesin. Berbeda dengan es tebu yang lain, yang masih ada serat tebunya sehingga membuat tenggorokan merasa gatal. Hal itu terjadi karena jenis mesin penggiling tebu yang digunakan masing-masing pedagang berbeda. Sebagai wadahnnya, ia juga menggunakan cup agar dapat

dengan mudah dipegang, sedangkan masih banyak pedagang lain yang masih menggunakan plastik. Hal ini menjadi strategi-strategi tersendiri bagi para pedagang untuk menarik pembeli.

Dari pernyataan di atas, terlihat para pedagang masing-masing membuat inovasi- inovasi baru dalam mengolah makanan yang akan mereka jual dalam menghadapi persaingan dengan pedagang yang lain. Mereka melakukan hal tersebut karena untuk mempertahankan pembeli dan pelanggan. Persaingan seperti yang dilakukan pedagang tersebut sangat posotif sekali. Mereka bersaing dengan suportifitas yang tinggi agar sama-sama dapat bertahan berjualan di lokasi tersebut.

3. Mengatur Waktu Berjualan

Pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara harus pandai mengatur waktu berjualan mereka. Pedagang tidak dapat hanya berdiam diri pasrah dengan keadaan. Artinya, mereka tidak bisa berjualan di satu titik lokasi, namun ada saat-saat tertentu dimana mereka harus pindah ke lokasi yang lebih ramai mahasiswa yang berlalulalang. Pada waktu sekitar pukul 09.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB, biasanya pedagang akan berjualan di satu titik yang tersembunyi. Mereka harus berjuang dengan adanya waktu-waktu saat petugas patroli datang merazia. Ketika razia datang setiap 2 jam, pedagang harus melarikan diri sehingga waktu berjualan mereka terbuang sia-sia dengan adanya razia tersebut. Untuk membayar waktu yang terbuang sia-sia tersebut, pedagang mengganti waktunya dengan berjualan sampai sore hari atau bahkan malam hari.

Secara umum, pedagang yang berjualan di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara melakukan aktivitas berjualannya antara 8 jam sampai dengan 9 jam dalam satu hari. Hal ini dilakukan karena, pedagang sengaja berjualan sampai malam hari karena mengganti waktu yang terbuang disebabkan adanya razia petugasS. Pedagang juga menunggu ramainya mahasiswa ekstensi yang jadwal kuliah mereka memang malam hari. Dalam hal ini, pedagang tidak ingin melewatkan kesempatan emas yang ada, karena waktu berjualan yang mereka miliki sangat terbatas dan menyesuaikan dengan jadwal perkuliahan mahasiswa pada umumnya. Seperti yang diungkapkan oleh Bang Alex Pratama (30 Tahun) selaku penjual taiso sebagai berikut:

“Karna Abang kan jualan di USU ini ngikuti jadwal kuliah mahasiswa,terus mengganti waktu yang terbuang karena razia itu. Jadi selagi ada kesempatan ya harus dimanfaatkan la. Makanya Abang jualan sampek malam nuggu anak ekstensi juga”.

Pedagang juga harus pintar-pintar dalam mengatur waktu berjualan mereka. Dalam arti, waktu-waktu tertentu dapat digunakan untuk berjualan ke lokasi lain yang juga strategis. Pada pukul 16.00 Wib kebanyakan dari mahasiswa reguler sudah tidak ada yang masuk kuliah, sehingga lokasi dekat kampus yang biasa ditempati pedagang akan sepi dari lalulalang mahasiswa. Dalam kondisi seperti ini biasanya pedagang akan berpindah lokasi jualan ke trotoar jalan protokol yang ada di lingkungan kampus Universitas Sumatera Utara. Salah satu lokasi yang sangat ramai pedagang adalah mulai dari jalan protokol pintu satu sampai di depan Fakultas Hukum. Lokasi ini dipilih karena pada sore hari banyak sekali mahasiswa yang berlalu lalang dan ada juga yang sengaja ingin bersantai bersama teman-temannya dengan duduk-duduk di ruas jalan sambil menikmati

makanan dan minuman. Seperti yang diungkapkan oleh Bu Suri (31 tahun) selaku penjual mie pecal sebagai berikut:

“kalo udah sore kan anak kuliah udah pada pulang, jadi Ibuk pindah ke depan jalan sana la. Di situ banyak mahasiswa duduk santai, pokoknya rame lah di situ. Jadi tetap banyak yang beli.”.

Hal senada juga diungkapkan oleh Janri (22 tahun) selaku penjual es tebu sebagai berikut:

“Kalau uda sore aku pindah ke jalan protokol itu. Di situ rame anak-anak mahasiswa nongrong. Pokoknya dimana ada jualan makanan di situlah aku nonggoknya”.

Pada saat seperti itu biasanya semakin banyak pedaganga kaki lima yang menggelar jualannya di trotoar jalan protokol universitas. Kebetulan sudah tidak ada lagi razia yang dilakukan petugas patroli ketika pukul 16.00 Wib. Pedagang pun dengan bebasnya berjualan dan pasti akan laris manis, kecuali hujan lebat saat sore hari. Kebanyakan di saat sore hari seperti itu pedagang sudah menambah stok barang jualannya. Biasanya stok barang tersebut diantar oleh anggota keluarga mereka ke lokasi jualannya.

Mengatur waktu berjualan yang dilakukan pedagang tersebut sangat mempengaruhi hasil pendapatan mereka. Kegiatan usaha yang tidak terorganisir ini memang selalu membutuhkan perjuangan yang keras untuk selalu membuahkan hasil. Karena, kegiatan usaha ini telah memunculkan banyak perlawanan dari berbagai pihak akibat dari keberadaannya yang tidak dikehendaki oleh pengambil kebijakan yaitu pihak Universitas Sumatera Utara.

Dari hasil wawancara yang diungkapkan informan di atas sejalan dengan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti. Peneliti menemukan bahwa pada saat razia sudah tidak dilakukan, yaitu mulai pukul 16.00 WIB banyak sekali pedagang

kaki lima yang berjualan di trotoar jalan universitas. Lokasi tersebut tepatnya di sepanjang trotoar jalan mulai dari pintu satu sampai di depan Fakultas Hukum. Para mahasiswa sengaja duduk-duduk santai di ruas jalan dengan menikmati makanan dan minuman bersama teman-teman mereka. Jalan protokol yang satu ini memang sangat ramai pada saat sore hari. Keramaian tersebut disebabkan oleh mahasiswa yang berlalulalang dan para pedagang kaki lima yang menjajakan jualannya. Kondisi tersebut terlihat seperti pasar kuliner yang digelar di sore hari.

Jalan protokol pintu satu ini juga terlihat tidak teratur dan kotor akibat sampah plastik. Hal ini dikarenakan mahasiswa sembarangan saja memarkirkan mobil atau sepeda motor mereka. Kemudian mereka juga membuang sampah bungkus jajanannya secara sembarangan, sehingga terlihat sangat tidak teratur dan kotor. Pemandangan seperti itu sudah sangat biasa dilihat oleh siapa pun yang melewati jalan protokol pintu satu. Bahkan pada hari libur, dimana mahasiswa tidak sedang kuliah pun lokasi tersebut juga ramai oleh para pedagang kaki lima dan orang-orang yang duduk santai di ruas jalan tersebut.

BAB V PENUTUP 4.1. Kesimpulan

Kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kegiatan sektor informal salah satunya adalah pedagang kaki lima saat ini telah banyak dijumpai di kota-kota besar. Pedagang kaki lima biasanya melakukan aktivitas di tempat umum seperti: sekolah, pusat perbelanjaan, perkantoran, dan lokasi strategis lainnya. Universitas Sumatera Utara merupakan salah satu lokasi yang di dalamnya terdapat banyak pedagang kaki lima sedang melakukan aktivitas berjualan. Mereka berjualan dengan cara berpindah-pindah. Pembeli (mahasiswa) juga merasa membutuhkan pedagang dengan larisnya barang jualan yang ada. Melihat kondisi seperti itu pedagang pun ketagihan untuk kembali berjualan di lokasi tersebut.

2. Pihak Universitas Sumatera Utara sudah mulai resah dengan keberadaan pedagang kaki lima yang sudah mengganggu kebersihan, ketertiban, keindahan lingkungan kampus. Sehingga, pihak universitas mengeluarkan kebijakan tentang tidak diperbolehkannya berjualan di dalam lingkungan kampus tanpa izin. Hal tersebut dipertegas dengan dibuatnya razia satpam yang diadakan setia 2 jam dalam satu hari. Kemudian diberlakukannya sanksi apabila pedagang tertangkap razia tersebut dengan dibawa gerobak jualan mereka ke kantor biro rektorat.

3. Bertahannya pedagang kaki lima berjualan di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara karena alasan, kebutuhan ekonomi keluarga yang mendesak

dan Universitas Sumatera Utara merupakan pangsa pasar yang menjanjikan bagi pedagang kaki lima. Maka, dengan alasan tersebut pedagang memiliki strategi bertahan agar tetap berjualan dengan cara menjalin hubungan pertemanan dengan petugas patroli, Kucing-kucingan dengan petugas patroli, membangun relasi dengan sesama pedagang berupa pertukaran informasi, melakukan penyamaran dan memilih lokasi berjualan yang tepat. Hal tersebut merupakan strategi aktif sekaligus strategi pengamanan bagi pedagang. Kemudian strategi bertahan dalam mempertahankan usahanya dari persaingan yaitu dengan cara membangun relasi dengan pembeli dalam bentuk komunikasi yang ramah tamah, persaingan dalam cita rasa dengan melakukan inovasi dengan menguatkan cita rasa dalam masakan yang mereka jual sebagai daya tarik terhadap pembeli, dan mengatur waktu berjualan.

4.2. Saran

1. Aktivitas pedagang kaki lima merupakan kegiatan pemenuhan kebutuhan keluarga yang bersifat mandiri dan subsistensi. Hendaknya kegiatan ini diberi ruang untuk terus dibina dan dikembangkan sehingga dapat menumbuhkan ekonomi di perkotaan.

2. Begitu juga dengan pedagang kaki lima yang berjualan di Universitas Sumatera Utara. Pedagang hendaknya jangan diusir saja, tetapi diberi ruang atau lokasi jualan yang memadai. Mereka hanya menginginkan lokasi sebesar 1x 1½ dan biaya sewa/tahun dengan harga yang kira-kira tidak memberatkan pedagang. Hal ini disarankan, karena mahasiswa dan pedagang juga saling membutuhkan. Mahasiswa juga tidak semua berkelas ekonomi menengah ke atas yang mempu setiap harinya makan di kantin kampus yang terbilang mahal. Oleh sebab itu,

ketika ada pedagang kaki lima tersebut dapat memudahkan mahasiswa berjajan untuk sekedar mengganjal perut yang sedang lapar.

3. Dengan disediakannya lokasi bagi para pedagang kaki lima tersebut, pihak universitas juga tidak perlu melakukan razia satpam, tetapi diganti tugasnya dengan mengutip retribusi. Hal di atas patut direalisasikan, karena dengan dibuat peraturan pelarangan berjualan terhadap pedagang kaki lima, tetap saja