UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
STRATEGI BERTAHAN PEDAGANG KAKI LIMA DI
SEKITAR KAMPUS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
NIM: 090901018
May Hermawani
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
Medan
ABSTRAK
Penulisan skripsi yang berjudul “Strategi Bertahan Pedagang Kaki Lima Di Sekitar kampus Universitas Sumatera Utara” berawal dari ketertarikan penulis dalam melihat terjadinya dilema dalam hal keberadaan pedagang kaki lima di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara. Di satu sisi keberadaannya juga dibutuhkan oleh mahasiswa, namun di sisi lain keberadaannya justru mengganggu ketertiban, kebersihan, dan kenyamanan kampus Universitas Sumatera Utara. Menghadapi hal itu, akhirnya pihak universitas mengeluarkan peraturan berupa larangan berjualan di kampus Universitas Sumatera Utara tanpa izin. Hal ini dipertegas dengan diadakannya razia yang dilakukan oleh petugas patroli universitas. Oleh sebab itu, pedagang kaki lima tidak hanya tinggal diam dalam menghadapi peraturan tersebut. Para pedagang akan melakukan strategi-strategi agar mereka tetap bertahan berjualan di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan menggunakan metode kualitatif peneliti dapat dengan mudah untuk mendapatkan informasi dan data yang jelas serta terperinci mengenai strategi bertahan pedagang kaki lima di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara, serta melihat secara langsung kegiatan berjualan yang dilakukan oleh pedagang kaki lima tersebut.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Strategi Bertahan Pedagang Kaki Lima Di Sekitar Kampus Universitas Sumatera Utara” disusun sebagai salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Sosiologi, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Secara ringkas skripsi
ini mendeskripsikan dalam melihat strategi bertahan pedagang kaki lima di sekitar
kampus Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari
berbagai pihak skripsi ini tidak akan terselesaikan. Penghargaan yang tinggi dan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada kedua
orangtua tersayang yang telah melahirkan dan membesarkan serta mendidik
penulis dengan penuh kasih sayang dan kesabaran dalam mendidik anak. Inilah
persembahan yang dapat penulis berikan sebagai tanda ucapan terima kasih dan
tanda bakti penulis kepada kedua orangtua.
Dalam penulisan ini penulis menyampaikan penghargaan yang
tulus dan ucapan terima kasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah
membantu penyelesaian skripsi ini kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku ketua Departemen Sosiologi dan
Drs. T. Ilham Saladin, M.SP, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi
3. Terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si,
selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang telah banyak meluangkan
waktu, tenaga, ide-ide dan pemikiran dalam membimbing penulis dari
awal hingga penyelesaian penulisan skripsi ini.
4. Terima kasih kepada Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku dosen penguji
skripsi penulis.
5. Terima kasih kepada para dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
terutama dosen Departemen Sosiologi yang telah membimbing,
memberikan sumbangsih pemikiran dalam aspek sosiologis serta
pengalaman penelitian dari proses pembuatan proposal penelitian lalu
terjun langsung di lapangan dalam melihat realitas sosial, serta pengolahan
data penelitian sejak awal perkuliahan hingga selesai kepada penulis.
6. Terima kasih juga kepada seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Feni Khairifa, Kak Sugi Astuti,
kak Betty dan Kak Ade yang telah banyak membantu penulis selama masa
perkuliahan dalam hal administrasi.
7. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada
Ayahanda dan Ibunda yang sangat penulis sayangi dan cintai, yang telah
mencurahkan kasih sayangnya tiada terhingga dan tiada batasnya, selalu
memberikan doa, semangat, nasehat dan mendidik penulis dengan
dukungan moril maupun materil pada masa kuliah.
8. Terima kasih buat teman terdekat penulis Eka Dhanari Sirait yang selalu
9. Terima kasih kepada teman-teman Sosiologi stambuk 2009 yaitu Lilis,
Heni, Winda Ketaren, Putri, Siti, May junjungan, Ria, Sauma, Nova,
Winda Purwani, Siska, Rani, Bernita, Noni, Elisabet2, Syahid, Cristian,
Nasrul. Welly, Risman, Johan, Joni, Dedek, Youhan, Edi, James, Nela,
Fitria, sri mariati, onka, siska, bernita, dan teman-teman yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu sejak awal kuliah hinggga saat ini sudah
sangat banyak memberikan kenangan indah. Terima kasih juga buat Adik
penulis yaitu Putri Aulia Rahma dan Rizky Akbar yang selalu mendoakan
dan memberi semanagat kepada penulis. Kemudian terima kasih juga buat
teman-teman Anbu Research yang tiada terhingga, kebersamaan kita yang
hanya 10 hari akan selalu penulis ingat sampai kapan pun. Terima kasih
juga buat teman-teman kost 448 A yaitu Elvi, Kak Virda, Devi, Murni,
Nining, yang sudah bersama-sama menjalani hari-hari dengan keceriaan.
Penulis merasa bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
berbagai kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis sangat mengharapkan
masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, harapan saya agar tulisan ini
dapat berguna bagi pembacanya, dan akhir kata dengan kerendahan hati,
penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah
membantu penulisan skripsi ini.
Medan, November 2013
(Penulis)
DAFTAR ISI
1.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
2.3. Teori Struktural Fungsional ... 15
2.4. Strategi Adaptasi ... 17
2.5. Jaringan Sosial ... 22
BAB III. METODE PENELITIAN ... 24
3.1. Jenis Penelitian ... 24
3.2. Lokasi Penelitian ... 24
3.3. Unit Analisis dan Informan ... 25
3.3.1. Unit Analisis ... 25
3.3.2. Informan ... 25
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 25
3.5. Interpretasi Data ... 26
3.6. Jadwal Kegiatan ... 28
3.7. Keterbatasan Penelitian ... 29
BAB IV.DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN ... 30
4.1. Sejarah Universitas Sumatera Utara ... 30
4.3. Bertahannya Pedagang Kaki Lima Berjualan Di Sekitar Kampus Universitas
Sumatera utara ... 38
4.3.1. Kebutuhan Ekonomi Keluarga yang Mendesak ... 39
4.3.2. Universitas Sumatera Utara Merupakan Pangsa Pasar yang Menjanjikan Bagi Pedagang Kaki Lima ... 43
4.4. Strategi Bertahan Yang Dilakukan Pedagang Kaki Lima Agar Tetap Berjualan Di Sekitar Kampus Universitas Sumatera Utara ... 48
4.5. Strategi Bertahan Dalam Mempertahankan Usahany Dari Persainga... 68
BAB V. PENUTUP ... 79
5.1. Kesimpulan ... 79
5.2. Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 82
Daftar Tabel
Halaman
ABSTRAK
Penulisan skripsi yang berjudul “Strategi Bertahan Pedagang Kaki Lima Di Sekitar kampus Universitas Sumatera Utara” berawal dari ketertarikan penulis dalam melihat terjadinya dilema dalam hal keberadaan pedagang kaki lima di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara. Di satu sisi keberadaannya juga dibutuhkan oleh mahasiswa, namun di sisi lain keberadaannya justru mengganggu ketertiban, kebersihan, dan kenyamanan kampus Universitas Sumatera Utara. Menghadapi hal itu, akhirnya pihak universitas mengeluarkan peraturan berupa larangan berjualan di kampus Universitas Sumatera Utara tanpa izin. Hal ini dipertegas dengan diadakannya razia yang dilakukan oleh petugas patroli universitas. Oleh sebab itu, pedagang kaki lima tidak hanya tinggal diam dalam menghadapi peraturan tersebut. Para pedagang akan melakukan strategi-strategi agar mereka tetap bertahan berjualan di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dengan menggunakan metode kualitatif peneliti dapat dengan mudah untuk mendapatkan informasi dan data yang jelas serta terperinci mengenai strategi bertahan pedagang kaki lima di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara, serta melihat secara langsung kegiatan berjualan yang dilakukan oleh pedagang kaki lima tersebut.
BAB I PENDAHULUAN
I.I.Latar Belakang Masalah
Kota Medan merupakan Ibukota Propinsi Sumatera Utara. Kota Medan
juga telah mengalami perkembangan dan pertumbuhan penduduk yang semakin
pesat sehingga menimbulkan berbagai permasalahan. Permasalahan yang sampai
saat ini sulit untuk diatasi adalah permasalahan pengangguran. Berdasarkan
sumber dari BPS Sumatera Utara bahwa pengangguran pada Februari 2012
sebanyak 0,41 juta orang dan jumlah angkatan kerja sebanyak 6,56 juta orang.
Setiap tahunnya jumlah angkatan kerja semakin tinggi, sedangkan serapan tenaga
kerja di sektor formal sangat terbatas. Selanjutnya, data yang menunjukkan bahwa
penduduk yang bekerja pada kegiatan formal pada Februari 2012 sebesar 34,02%,
dan yang bekerja pada kegiatan informal sebesar 65,98%.
Masyarakat yang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal terpaksa
harus beralih ke sektor informal. Mengingat sektor informal ini bersifat lentur
atau mudah untuk dimasuki dan memiliki kapasitas luar biasa dalam menampung
setiap penambahan jumlah tenaga kerja baru. Sektor informal yang paling banyak
diminati masyarakat perkotaan adalah pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima
merupakan kelompok sektor informal yang memiliki keunggulan kompetitif
dibandingkan dengan jenis sektor informal lainnya, karena kemampuannya yang
Pedagang kaki lima merupakan alternatif pekerjaan yang terbilang mudah
dan tetap bertahan sampai saat ini. Keberadaannya juga kurang diperhatikan,
padahal dalam kenyataannya kegiatan ekonomi informal ini sangat menyumbang
majunya perekonomian kota. Pada awalnya pekerjaan ini mereka lakukan hanya
untuk mengisi kekosongan waktu daripada mereka menjadi pengangguran,
kemudian permodalannya juga kecil, keuntungannya sedikit, dan yang terpenting
pendapatan dari berjualan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
mereka. Tempat berjualan yang mereka pergunakan juga seadanya dengan
memanfaatkan trotoar jalan, dan tempat strategis lainnya yang mendukung mereka
untuk menjajakan jualannya.
Menurut Limbong (2006: 7-8) untuk memenuhi kebutuhan keluarga maka
sebagian para penganggur terjun dalam kegiatan sektor informal seperti pedagang
kaki lima ( PKL), sehingga peranan sektor informal menyerap pedagang kaki lima
menjadi urgen sebagai upaya untuk bertahan hidup. Pedagang kaki lima
tergolong usaha kecil dalam sektor informal yang melakukan kegiatan usaha di
trotoar dan jalan-jalan umum. Selanjutnya menurut Limbong (2006: 52) jika
pertumbuhan alami kota rata-rata 2% atau kurang sedikit maka pertumbuhan
sektor informal adalah 2% atau lebih, karena sebagian besar dari migran dan
pertumbuhan alami akan masuk ke dalam sektor informal.
Pedagang kaki lima banyak dijumpai di kota Medan, salah satunya di
Universitas Sumatera Utara . Universitas Sumatera Utara merupakan universitas
Negeri yang ada di kota Medan. Kampus ini berlokasi di Padang Bulan, dengan
sebuah area yang hijau dan rindang seluas 120 ha (hektar) yang terletak di tengah
kegiatan perkuliahan dan praktikum mahasiswa. Dengan jumlah mahasiswa
mencapai 37.000, jumlah dosen 1.613, jumlah pegawai administrasi 931 dan
jumlah pegawai honorer 722 yang tersebar di 13 Fakultas
pukul 13.12 Wib). Kemudian dengan tersedia lahan kampus yang luas, serta
taman, dan bangku-bangku yang ada di pinggir kolam di sekitar perpustakaan
Universitas Sumatera Utara digunakan untuk para mahasiswa beristirahat sambil
menunggu perkuliahan selanjutnya. Di sela-sela seperti ini banyak pedagang kaki
lima yang memanfaatkan waktu ini dengan menggelar usahanya di trotoar jalan di
dalam lingkungan kampus Universitas Sumatera Utara, seperti di sekitar
Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, di area kampus FMIPA dan
FARMASI. Padahal di sepanjang trotoar atau di lingkungan kampus yang lain
banyak plang yang bertuliskan “dilarang berjualan di kampus Universitas
Sumatera Utara tanpa izin”. Tetapi para padagang kaki lima tidak lagi
memperdulikannya dan tetap melanjutkan kegiatan berjualan di area tersebut.
Pedagang kaki lima yang dimaksud di sini adalah pedagang yang berjualan di
dalam lingkungan kampus Universitas Sumatera Utara, seperti di trotoar jalan, di
sekitar perpustakaan universitas, dan di area Fakultas MIPA dan FARMASI.
Jenis barang jualan yang dijual di sini adalah makanan, seperti mie pecal,
taiso, buah, roti, es pisang ijo, tahu medan, nasi sarapan, es krim, es tebu dan
bakso bakar dengan jumlah pedagang sebanyak 27 orang. Pada saat para
pedagang menjajakan barang jualannya di area sekitar kampus banyak sekali
pembeli yang berdatangan dan antri menunggu untuk sementara waktu, karena
pembeli yang baru datang rela antri menunggu untuk dilayani juga. Kondisi ini
membuat para pedagang ketagihan untuk terus berjualan di area sekitar kampus
Universitas Sumatera Utara. Berdasarkan pengalaman yang mereka alami bahwa
jualan yang mereka jajakan laris manis, sehingga pedagang membawa stok
barang jualan mereka untuk dijual kembali. Melihat situasi seperti ini, telah terjadi
simbiosis mutualisme antara pedagang dengan pembeli, terlihat dari selalu
larisnya barang jualan yang dijajakan oleh pedagang. Namun, ada efek dari
banyaknya pedagang kaki lima yang berjualan di area sekitar kampus Universitas
Sumatera Utara yaitu berseraknya sampah plastik makanan yang dihasilkan oleh
pembeli yang membuang sampah sembarangan. Oleh sebab itu, pedagang kaki
lima telah melanggar aturan yang dibuat oleh pihak Universitas Sumatera Utara
yaitu dilarang berjualan di area sekitar kampus dengan semangat kebersihan
lingkungan kampus, keindahan, ketertiban, kenyamanan, dan keamanan kampus
yang akan terganggu bila ada pedagang kaki lima yang berjualan di area sekitar
kampus Universitas Sumatera Utara.
Dalam menjajakan barang jualannya, para pedagang sering mendapatkan
rintangan dalam kegiatan berjualannya yaitu harus diusir oleh petugas patroli
kampus yang sengaja ditugaskan untuk menertibkan para pedagang yang
berjualan di area sekitar kampus. Tidak jarang ada pedagang yang terkena
jaringan razia petugas ini, dan apabila tertangkap oleh petugas maka gerobak dan
barang jualan mereka akan disita dan dibawa ke kantor biro rektorat untuk
ditindak lanjuti. Pedagang akan diberi sanksi berupa penahanan gerobak jualan
selama satu sampai dua hari. Menghadapi hal ini, daripada mereka ditangkap dan
dengan petugas razia supaya tetap dapat berjualan demi mencari nafkah untuk
keluarga. Pedagang kaki lima ini sepertinya sudah hafal mengenai waktu kapan
saja satpam kampus akan menggelar razia, jadi mereka sudah siap-siap akan
menyelamatkan diri ketika petugas patroli datang merazia.
Oleh sebab itu masalah ini penting untuk diteliti, karena telah terjadi
dilema dalam hal keberadaan pedagang kaki lima tersebut. Disatu sisi
keberadaannya juga dibutuhkan oleh para mahasiswa yang memang mereka
membutuhkan makanan untuk sekedar mengganjal perut yang sedang lapar, atau
digunakan oleh mahasiswa yang menunggu masuk perkuliahan selanjutnya
dengan berjajan di taman-taman sekitar kampus, dan juga dapat membantu
pertumbuhan ekonomi kota. Namun, di sisi lain keberadaannya mengganggu
kebersihan, keindahan, dan kenyamanan kampus Universitas Sumatera Utara.
Kemudian nasib para pedagang kecil yang harus mencari nafkah untuk
melangsungkan kehidupan keluarganya. Terlihat lagi pada saat para pedagang ini
dirazia oleh petugas patroli, sikap mahasiswa juga akan tetap menunggu sampai
pedagang tersebut kembali ketempat berjualan sebelumnya. Situasi ini tampak
jelas bahwa pedagang kaki lima dan mahasiswa saling membutuhkan, dan para
pedagang merasa laris manis terhadap barang jualannya sehingga mereka ingin
terus berdagang di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara.
Situasi seperti ini merupakan lahan usaha yang baik bagi pedagang kaki
lima karena, sulitnya mencari pekerjaan di sektor formal dengan pendidikan dan
skill yang mereka punya. Namun, keberadaan mereka malah kurang dikehendaki
oleh pengambil kebijakan yaitu pihak Universitas Sumatera Utara. Persoalan
bertahan agar tetap bisa berjualan demi keberlangsungan hidup keluarga mereka
serta strategi dalam menghadapi kebijakan yang di buat oleh Universitas Sumatera
Utara.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam latar belakang masalah
tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Mengapa pedagang kaki lima tetap berupaya untuk dapat berjualan meskipun
ada larangan berjualan dan ditangkap oleh petugas patroli?
2. Bagaimana strategi bertahan pedagang kaki lima agar tetap bisa berjualan di
sekitar kampus Universitas Sumatera Utara?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi bertahan pedagang kaki
lima di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara.
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan yang lebih tentang strategi bertahan pedagang kaki lima,
kemudian dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu sosiologi
khususnya sosiologi ekonomi.
b. Manfaat Praktis
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan
realitas sosial pedagang kaki lima khususnya serta diharapkan dapat
menjadi rujukan atau referensi untuk penelitian selanjutnya.
1.5. Defenisi Konsep
Konsep adalah suat hasil pemaknaan di dalam intelektual manusia yang
merujuk pada kenyataan yang benar-benar nyata dari segi empiris dan bukan
merupakan refleksi sempurna (Suyanto,dkk 2005:49). Adapun konsep yang
digunakan sesuai dengan konteks penelitian ini adalah:
1. Startegi bertahan adalah cara atau metode yang dilakukan oleh
masyarakat untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Strategi
bertahan dalam penelitian ini adalah cara yang dilakukan pedagang
kaki lima agar tetap bisa berjualan di area sekitar kampus Universitas
Sumatera Utara.
2. Strategi jaringan adalah cara atau metode yang dilakukan oleh
masyarakat untuk menjalin hubungan yang memiliki makna subjektif
dan dikaitkan dengan sesuatu sebagai simpul dan ikatan. Strategi
jaringan dalam konteks penelitian ini adalah cara pedagang menjalin
hubungan baik dengan satpam Universitas Sumatera Utara agar bisa
bernegoisasi saat petugas patroli menggelar razia.
3. Adaptasi adalah penyesuaian baik secara individu, kelompok, maupun
unit-unit sosial terhadap norama-norma, proses perubahan atau suatu
kondisi yang tercipta. Adaptasi dalam konteks penelitian ini adalah
bagaimana pedagang kaki lima dapat beradaptasi dengan lingkungan
4. Pedagang kaki lima adalah pedagang yang berjualan di suatu tempat
umum, berpindah-pindah secara tidak menetap, dan tidak memiliki izin
usaha. Pedagang kaki lima dalam konteks penelitian ini adalah
pedagang yang berjualan di trotoar jalan, dan di area sekitar kampus
Universitas Sumatera Utara.
5. Jaringan sosial adalah hubungan antar individu yang memiliki makna
subjektif yang berhubungan dan dikaitkan dengan sesuatu sebagai
simpul dan ikatan (Damsar, 2009:158). Jaringan sosial dalam konteks
penelitian ini yaitu hubungan antara pedagang dengan pedagang
lainnya, kemudian hubungan pedagang dengan petugas patroli kampus
Universitas Sumatera Utara.
6. Strategi pengaman adalah cara atau metode yang dilakukan seseorang
untuk bebas dari kondisi yang tidak aman. Strategi pengaman dalam
konteks penelitian ini adalah cara yang dilakukan oleh para pedagang
supaya tidak terkena razia petugas patroli Universitas Sumatera Utara,
sehingga mereka merasa tetap aman dalam menjajakan barang
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Konsep Sektor Informal
Istilah sektor informal biasanya digunakan untuk menunjukkan sejumlah
kegiatan ekonomi yang berskala kecil. Namun, menurut Safaria,dkk (2003: 4)
kalangan akademisi masih memperdebatkan teori dan konsep mengenai sektor
informal ini. Ada yang menganggap bahwa sektor informal muncul karena
terbatasnya kapasitas industri-industri formal dalam menyerap tenaga kerja yang
ada, sehingga terdapat kecenderungan bahwa sektor informal ini muncul di
pinggiran kota besar. Sebagian yang lain menganggap bahwa sektor informal ini
sudah lama ada. Ini adalah pandangan dari perspektif yang “dualistik”, yang
melihat sektor ”informal” dan “formal” sebagai dikotomi antara model ekonomi
tradisional dan modern.
Menurut Safaria, dkk (2003: 6) sektor informal dipandang sebagai
kekuatan yang semakin signifikan bagi perekonomian lokal dan global, seperti
yang dicantumkan dalam pernyataan visi WIEGO (Woman In Informal
Employment Globalizing and Organizing) yaitu mayoritas pekerja di dunia kini
bekerja di sektor informal dan proporsinya terus membengkak sebagai dampak
dari globalisasi: mobilitas capital, restrukturisasi produksi barang dan jasa, dan
deregulasi pasar tenaga kerja mendorong semakin banyak pekerja ke sektor
informal. Menurut ILO (Internasional Labour organization) dalam Yustika
(2000:193) yang dimaksud sektor informal adalah aktivitas-aktivitas ekonomi
yang antara lain ditandai dengan mudah untuk dimasuki, bersandar pada sumber
teknologinya bersifat adaptif, ketrampilan diperoleh dari luar sistem sekolah
formal, dan tidak terkena langsung oleh regulasi dan pasarnya bersifat kompetitif.
Menurut Breman ( dalam Manning, Eds.1991: 139) bahwa sektor informal
merupakan suatu istilah yang mencakup dalam istilah “usaha sendiri”, merupakan
jenis kesempatan kerja yank kurang terorganisir, sulit di cacah, sering dilupakan
dalam sensus resmi, persyaratan kerjanya jarang dijangkau oleh aturan hukum.
Mereka adalah kumpulan pedagang, pekerja yang tidak terikat dan tidak terampil,
serta golongan-golongan lain dengan pendapatan rendah dan tidak tetap, hidupnya
serba susah dan semi kriminal dalam batas-batas perekonomian kota.
Kemudian menurut Hart ( dalam Manning, Eds. 1991: 76) mereka yang
terlibat dalam sektor informal pada umumnya miskin, kebanyakan dalam usia
kerja utama (prime age), bependidikan rendah, upah yang diterima di bawah upah
minimum, modal usaha rendah, serta sektor ini memberikan kemungkinan untuk
mobilitas vertikal. Menurut Breman ( dalam Manning, Eds. 1991:142) sektor
informal memiliki ciri-ciri sebagai berikut: padat karya, tingkat produktivitas yang
rendah, pelanggan yang sedikit dan biasanya miskin, tingkat pendidikan formal
yang rendah, penggunaan teknologi menengah, sebagian besar pekerja keluarga
dan pemilik usaha oleh keluarga, gampangnya keluar masuk usaha, serta
kurangnya dukungan dan pengakuan pemerintah.
Jenis-jenis Sektor Informal
Menurut Hart (dalam Manning, Eds.1991: 79) ada dua macam kesempatan
memperoleh penghasilan yang informal, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder, pertanian, perkebunan yang
berorientasi pasar, kontraktor bangunan, pengrajin usaha sendiri dan
lain-lain.
2. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar, perumahan, transportasi,
usaha-usaha untuk kepentingan umum, kegiatan sewa-menyewa dan
lain-lain.
3. Distribusi kecil-kecilan seperti pedagang kaki lima, pedagang pasar,
pedagang kelontong, pedagang asongan dan lain-lain.
4. Transaksi pribadi seperti pinjam-meminjam, pengemis.
5. Jasa yang lain seperti pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur,
pembuang sampah dan lain-lain.
b. Kesempatan memperoleh penghasilan yang tidak sah, meliputi:
1. Jasa : kegiatan dan perdagangan gelap pada umumnya: penadah
barang-barang curian, lintah darat, perdagangan obat bius, penyelundupan,
pelacuran dan lain-lain.
2. Transaksi : pencurian kecil (pencopetan), pencurian besar (perampokan
bersenjata), pemalsuan uang, perjudian dan lain-lain.
2.2. Konsep Pedagang Kaki Lima
Pengertian pedagang secara etimologi adalah orang yang berdagang atau
biasa juga disebut saudagar. Jadi pedagang adalah orang-orang yang melakukan
kegiatan-kegiatan perdagangan sehari-hari sebagai mata pencaharian mereka.
Menurut Bromley ( dalam manning, Eds. 1991: 228) pedagang kaki lima
(street trading) adalah salah satu pekerjaan yang paling nyata dan penting
meskipun penting pedagang-pedagang kaki lima hanya sedikit saja memperoleh
perhatian akademik dibandingkan dengan kelompok pekerjaan utama yang lain.
Pedagang kaki lima biasanya digambarkan sebagai perwujudan pengangguran
tersembunyi atau setengah pengangguran yang luas dan pertumbuhan yang luar
biasa dari jenis pekerjaan sektor tersier yang sederhana di Kota di Dunia Ketiga.
Yustika (2000) menggambarkan pedagang kaki lima adalah kelompok
masyarakat marjinal dan tidak berdaya. Mereka rata-rata tersisih dari arus
kehidupan kota dan bahkan tertelikung oleh kemajuan kota itu sendiri dan tidak
terjangkau dan terlindungi oleh hukum, posisi tawar rendah, serta menjadi obyek
penertiban dan peralatan kota yang represif.
Menurut Alisyahbana (2005:43-44) berdasarkan penelitianya di kota
Surabaya telah mengkategorikan pedagang kaki lima menjadi 4 tipologi. Keempat
tipologi tersebut adalah: Pertama pedagang kaki lima murni yang masih bisa
dikategorikan pedagang kaki lima adalah dengan skala modal terbatas, dikerjakan
oleh orang yang tidak mempunyai pekerjaan selain pedagang kaki lima,
ketrampilan terbatas, tenaga kerja yang bekerja adalah anggota keluarga. Kedua,
pedagang kaki lima yang hanya berdagang ketika ada bazar (pasar murah/pasar
rakyat, berjualan di Masjid pada hari Jumat, halaman kantor-kantor). Ketiga,
pedagang kaki lima yang sudah melampaui ciri pedagang kaki pertama dan kedua,
yakni pedagang kaki lima yang telah mampu mempekerjakan orang lain. Ia
mempunyai karyawan, dengan membawa barang daganganya dan peraganya
dengan mobil, dan bahkan ada yang mempunyai stan lebih dari satu tempat.
Termasuk dalam tipologi ini adalah pedagang kaki lima yang berpindah-pindah
yang termasuk pengusaha kaki lima. Mereka hanya mengkoordinasikan tenaga
kerja yang menjualkan barang-barangnya. Termasuk pedagang kaki lima jenis ini
yaitu padagang kaki lima yang mempunyai toko, dimana tokonya berperan
sebagai grosir yang menjual barang daganganya kepada pedagang kaki lima tak
bermodal dan barang yang diambil baru dibayar setelah barang tersebut laku.
Ciri pedagang kaki lima yang juga sangat menonjol adalah bersifat
subsistensi. Mereka berdagang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Apa yang diperoleh pada hari ini digunakan sebagai konsumsi hari yang
sama pula bagi semua anggota keluarganya dengan demikian kemampuan untuk
menabung juga rendah. Kondisi ini menyebabkan para pedagang kaki lima
menjadi sangat kawatir terhadap berbagai tindakan aparat yang dapat mengganggu
kehidupan subsistensinya.
Menurut Limbong (2006:92) alasan mengapa seseorang menjadi pedagang
kaki lima diantaranya karena tidak mempunyai keahlian lain selain berdagang
yang dinyatakan oleh 67,3% responden, kemudian ada alasan lain yang cukup
signifian yaitu karena mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), yang
dinyatakan oleh 12,7% responden. Hal ini berarti kegiatan berdagang sebagai
pedagang kaki lima pada sektor informal dapat sebagai solusi atau jawaban
sebagai pengganti hilangnya pekerjaan di sektor formal. Berdasarkan
pengamatannya, kondisi usaha pedagang kaki lima di Kota Medan adalah sebagai
berikut:
a. Bahwa pedagang kaki lima melakukan kegiatan berdagang umumnya di
tempat-tempat umum, seperti di sisi jalan, trotoar jalan, perempatan jalan, dekat
Sekitar sekolahan/perkantoran/perbankan/pertokoan/ supermall, maupun di
sekitar blok perumahan.
b. Para pedagang kaki lima tidak memiliki izin untuk berdagang, dan berdagang
dimana saja, tetapi tidak termasuk pelaku tindak kriminal.
c. Tidak dikenai pajak, tetapi dikenai retribusi keamanan, retribusi kebersihan.
d. Usaha dimiliki secara perorangan dengan tenaga kerja sendiri atau oleh anggota
keluarga.
e. Tenaga kerja dalam kegiatan usaha kaki lima tidak dilindungi dengan jaminan
sosial atau standar upah/gaji, juga tidak dilindungi dengan jaminan tunjangan
hari tua.
f. Melakukan usaha dagang dengan modal terbatas dan umumnya modal berasal
dari tabungan sendiri atau meminjam sejumlah uang dari keluarga atau
rentenir.
g. Melakukan usaha di suatu tempat secara menetap pada suatu tempat yang
disediakan ataupun tidak oleh pemerintah setempat, kemudian ada juga yang
melakukan usaha secara bergerak baik dengan menggunakan alat transportasi
seperti kereta dorong, sepeda, dan kendaraan bermotor ataupun yang dijajahkan
secara keliling.
h. Manajemen usaha dilakukan dengan sederhana.
Demikian beberapa pengertian tentang pedagang kaki lima, dimana
pedagang kaki lima adalah salah satu jenis pekerjaan di sektor informal yang
mempunyai tempat kerja yang tidak menetap di jalan, tidak memiliki izin usaha
dan manajemen usaha sangat sederhana. Mereka berpindah dari satu tempat ke
sektor kota, terutama di tempat-tempat pemberhentian sepanjang jalur bus atau
trotoar jalan, dan pusat-pusat hiburan dan tempat strategis lainnya yang dapat
menarik sejumlah besar penduduk untuk membeli.
2.3. Teori Struktural Fungsional
Teori struktural fungsional Parsons dimulai dengan empat fungsi penting
untuk semua sistem “tindakan”, terkenal dengan skema AGIL. Suatu fungsi
(function) adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan
kebutuhan tertentu system. Menurut Parsons ada empat fungsi penting diperlukan
semua system-adaptation (A), goal attainment (G), integration (I), dan latency
(L), atau pemeliharaan pola. Secara berasama-saama, keempat imperative
fungsional ini dikenal dengan skema AGIL. Agar tetap bertahan (survive), suatu
sistem harus memiliki empat fungsi ini:
1. Adaptation (adaptasi): sebuah sistem harus menanggulangi situasi
eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan
dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhan.
2. Goal attainment (pencapaian tujuan): sebuah sistem harus mendefenisikan
dan mencapai tujuan utamanya.
3. Integration (integrasi): sebuah system harus mengatur antar hubungan
bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola
antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L,).
4. Latency (latensi atau pemeliharaan pola): sebuah sistem harus
memperlengkapi, memeliharaan dan memperbaiki, baik motivasi
individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang
Agar tetap bertahan, maka suatu sistem harus mempunyai keempat fungsi
ini. Parsons mendisain skema AGIL ini untuk digunakan di semua tingkat dalam
system teorinya, yang aplikasinya adalah sebagai berikut:
1. Organisme prilaku adalah sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi
dengan menyesuaikan diri dengan dan mengubah lingkungan eksternal.
2. Sistem kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan
menetapkan tujuan sistem dan mobilisasi sumber daya yang ada untuk
mencapai.
3. Sistem sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan
bagian-bagian yang menjadi komponennya.
4. Terakhir, sistem kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan
menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka
untuk bertindak (Ritzer, 2009:257).
Masyarakat adalah bagian dari kolektifitas dalam sistem sosial yang
menjadi perhatian Parsons. Mengutip pendapat Rocher, Parsons menyatakan
masyarakat sebagai kolektifitas yang relatif mencukupi kebutuhannya sendiri.
Sebagai seorang fungsionalis struktural, Parsons membedakan antara empat
struktur atau subsistem dalam masyarakat dalam fungsi (AGIL) yang
dilaksanakan masyarakat. Ekonomi, subsistem yang melaksanakan fungsi
masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap lingungan melalui tenaga kerja,
produksi dan alokasi. Melalui pekerjaan, ekonomi menyesuaikan dengan
lingkungan kebutuhan dan membantu masyarakat menyesuaikan diri dengan
realitas eksternal. Sistem pemerintahan, atau sistem politik melaksanakan fungsi
aktor dan berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan. Sistem Fiducari
(keluarga, sekolah) menjalankan fungsi pemeliharaan pola dengan menyebarkan
kultur (norma dan nilai) kepada aktor sehingga aktor menginternalisasikan kultur
tersebut. Komunitas kemasyarakatan, (contoh, hukum) melaksanakan fungsi
integrasi yang mengkordinasikan berbagai komponen masyarakat (Ritzer,
2008:127-128).
Dalam hal ini, pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar kampus
Universitas Sumatera Utara mampu beradaptasi dengan lingkungan sosialnya,
sehingga dapat bertahan demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Setelah mampu
melakukan adaptasi terhadap lingkungannya, kemudian pedagang pun bisa tetap
berjualan dengan tujuan dapat memenuhi kebutuhan keluarga mereka.
Selanjutnya, pedagang juga telah menjalin hubungan baik dengan sesama
pedagang, dan petugas patroli. Pedagang juga mengubah pola kebiasaan mereka
yaitu dahulu semasih ada PAJUS (Pajak USU) mereka berjualan di satu lokasi.
Namun, setelah ada peraturan tersebut, pedagang berjualan secara
berpindah-pindah. Semua strategi-strategi yang dilakukan pedagang kaki lima tersebut hanya
semata bertujuan untuk mempertahankan usaha mereka demi loyalitas dan
tanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga.
2.4. Strategi Adaptasi
Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungannya.
Individu memiliki hubungan dengan lingkungannya yang menggiatkannya,
merangsang perkembangannya, atau memberikan sesuatu yang ia perlukan.
Penyesuaian diri yaitu mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan atau
Selanjutnya Suharto (2003) menyatakan strategi bertahan (Coping
Strategi) dalam perekonomian dilakukan dengan berbagai cara. Cara-cara tersebut
dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu:
1. Strategi Aktif
Yaitu startegi yang mengoptimalkan segala potensi untuk
melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan
sumber atau tanaman liar dan lingkungan sekitar dan sebagainya. Dalam
hal ini, pedagang juga telah melakukan strategi aktif dalam berjualannya
agar terhindar dari razia satpam. Salah satu strategi aktifnya yaitu
melarikan diri atau istilah yang biasa disebut pedagang “kucing-kucingan”,
dan melakukan penyamaran yang berpura-pura menjadi mahasiswa di
dalam kampus. Hal tersebut mereka lakukan agar mereka tetap bertahan
dalam berjualan.
2. Strategi pasif
Yaitu startegi yang mengurangi pengeluaran guna memenuhi
kebutuhan. Misalnya: pengeluaran sandang, pangan dan pendidikan.
3. Strategi Jaringan Pengaman
Yaitu strategi yang mencakup dalam menjalin relasi, baik secara
formal maupun informal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan
kelembagaan. Misalnya: meminjam uang ke Bank, rentenir, meminjam
uang tetangga, mengutang ke warung, dan sebagainya. Dalam hal ini,
strategi jaringan pengaman yang dilakukan pedagang adalah dengan cara
menjalin hubungan pertemanan dengan petugas patroli universitas,
terhadap bertahannya suatu usaha pedagang yang beroperasi di sekitar
kampus Universitas Sumatera Utara. Selain pedagang harus memiliki
strategi bertahan dalam menghadapi razia satpam, pedagang juga harus
memiliki strategi dalam persaingan untuk menarik pembeli sehingga dapat
bertahan.
Menurut Damsar (2009: 45) pada umumnya sebuah tindakan ekonomi
terjadi dalam konteks hubungan sosial dengan orang lain. Oleh sebab itu, tindakan
ekonomi dapat berlangsung dengan melibatkan kerjasama, kepercayaan dan
jaringan. Maka dari itu, dalam strategi berjualan pedagang kaki lima, agar bisa
bertahan harus diwujudkan dalam tindakan sosial yang dalam arti dilakukan oleh
pedagang itu sendiri. Perwujudan dari tindakan sosial yang dilakukan pedagang
adalah dengan cara melakukan strategi. Strategi tersebut yaitu dalam bentuk kerja
sama dengan petugas patroli, membangun relasi dengan pembeli (mahasiswa) dan
sesama pedagang agar tetap bertahan dalam berjualan.
Menurut Suparlan (1993: 2) adaptasi itu sendiri pada haki katnya adalah
suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan
kehidupan. Syarat-syarat tersebut mencakup:
1. Syarat dasar alamiah-biologi (manusia harus makan dan minum untuk
menjaga kestabilan temperature tubuhnya agar tetap berfungsi dalam
hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh
lainnya).
2. Syarat kewajiban (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari
3. Syarat dasar sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat
melangsungkan keturunan, untuk dapat mempertahankan diri dari
serangan musuh, dan lain-lain).
Soekanto (2000:10-11) memberikan beberapa batasan pengertian dari
adaptasi sosial, yakni:
1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
2. Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan.
3. Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.
4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.
5. Memanfaatkan sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan
system.
6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi ilmiah.
Dalam kehidupannya, manusia hidup dengan alam secara timbal balik,
yakni bagaimana manusia beradaptasi dengan alam agar tetap bertahan demi
keberlangsungan hidupnya dengan mengalihkan energi dari alam pada dirinya.
Adaptasi merupakan sifat sosial dari setiap manusia yang akan muncul akibat
adanya kebutuhan tujuan, dan hasrat para individu.
Aminuddin (2000: 38) menyebutkan bahwa penyesuaian dilakukan dengan
tujuan-tujuan tertentu , diantaranya:
1. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
2. Menyalurkan ketegangan sosial.
3. Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial.
Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi
merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian diri individu, kelompok, maupun
unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang
diciptakan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Bandar Lampung oleh
Ratnasari, dkk (2007: 132) bahwa strategi responden dalam upaya menghadapi
kebijakan pemerintah Kota Bandar Lampung khususnya dalam hal razia, dan
pelokalisasian, mayoritas responden memiliki strategi yang sama. Dalam
menghadapi razia, mayoritas responden (50%) berstrategi saling bertukar
informasi antara sesama pedagang kaki lima agar tidak terkena razia dan jika
sudah kena razia 90% responden berstrategi melakukan negoisasi pada petugas
dengan uang damai.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Ningsih (2012) menemukan
bahwa untuk menjaga kelangsungan usaha para pelaku sektor informal ada
berbagai cara yang ditempuhnya. Modal usaha menjadi salah satu faktor penentu
kelangsungan usaha pedagang asongan, strategi lokasi, pendapatan/keuntungan,
kiat berjualan, waktu berjualan dan semangat pentang menyerah.
Dengan demikian, berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan
Limbong bahwa ada kemungkinan pedagang yang ada di sekitar Universitas
Sumatera Utara juga mengalami hal yang sama. Kemudian juga penelitian yang
dilakukan oleh Ratnasari bahwa tidak terlepas dari kemungkinan pedagang yang
berada di area Universitas Sumatera Utara juga melakukan hal yang sama, begitu
juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningsih, karena sepertinya pedagang
saja demi untuk tetap bisa berjualan di area tersebut, guna untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga.
2.5. Jaringan Sosial
Dalam jaringan sosial terdapat pada kelompok sosial yang terbentuk secara
tradisional atau pedesaan berdasarkan kesamaan garis keturunan (Linige).
Pengalaman-pengalaman sosial turun-temurun (Repated Social Experiences) dan
kesamaan kepercayaan pada dimensi ketuhanan (Religius Belief) cenderung
memiliki kohesifitas yang tinggi (Hasbullah, 2006:63).
Jaringan sosial juga memainkan peranan penting dalam penjualan.
Jaringan tersebut merupakan ikatan antar pribadi yang mengikat para penjual,
melalui ikatan kekerabatan, persahabatan dan komunitas yang sama. Jaringan
sosial memudahkan penjual dalam bertahan ditengah kota yang sangat maju.
Jaringan sosial yang dimaksud adalah bentuk pertukaran informasi dan dukungan
financial.
Strategi dapat dikembangkan dalam suatu jaringan sosial. Pola kerja sama
yang dapat diterapkan (pedagang) yaitu:
1. Jaringan sosial antara sesama pedagang yang mana jaringan sosial yang
dikembangkan secara timbal balik.
2. Jaringan sosial yang dibentuk yaitu pola kerja sama pedagang dengan
orang-orang yang berada di daerah sekitar.
Menurut survei awal yang dilakukan oleh peneliti, jaringan sosial yang
terjalin antara sesama pedagang yaitu mereka saling memberitahu atau
menginformasikan lewat alat komunikasi (handphone) apabila ada razia oleh
sudah saling bertukaran nomor handphone sebagai bentuk kerja sama mereka
dalam berdagang dan agar bisa tetap bertahan. Mereka saling bertukaran nomor
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi
deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah
metode yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan
lain-lain secara holostik dan dengan menggunakan pendekatan deskriptif dalam
bentuk kata-kata dan bahasa dalam suatu konteks khusus yang alamiah dan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Maleong, 2006: 6). Dengan menggunakan
metode kualitatif peneliti dapat dengan mudah untuk mendapatkan informasi dan
data yang jelas serta terperinci mengenai strategi bertahan pedagang kaki lima di
sekitar kampus Universitas Sumatera Utara, serta melihat secara langsung
kegiatan berjualan yang dilakukan oleh pedagang kaki lima tersebut.
3.2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di sekitar kampus Universitas Sumatera
Utara Medan. Lokasi ini dipilih untuk diteliti karena Universitas Sumatera Utara
telah mengeluarkan kebijakan untuk tidak memperbolehkan berjualan di sekitar
kampus, tetapi pedagang kaki lima masih saja tetap berdagang di area ini walau
setiap hari ada razia yang dilakukan oleh petugas patroli kampus Universitas
3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1. Unit Analisis
Unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek
penelitian (Arikunto, 1999:22). Adapun unit analisis dalam penelitian ini adalah
pedagang kaki lima yang berada di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara.
3.3.2. Informan
Informan adalah orang yang diwawancarai, dimintai informasi oleh
pewawancara. Informan dianggap orang yang menguasai dan memahami data,
informasi, ataupun fakta dari suatu objek penelitian (Bungin 2008: 108).
Ada pun orang-orang yang dimintai keterangan untuk kelengkapan data
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar kampus Universitas Sumatera
Utara sebanyak 10 orang.
2. Petugas patroli Universitas Sumatera Utara sebanyak 2 orang.
3. Pembeli (mahasiswa) sebanyak 4 orang.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Observasi, yaitu pengamatan yang dilakukan oleh peneliti secara langsung di
lokasi penelitian untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Observasi
dilakukan untuk mengamati objek di lapangan yaitu pedagang kaki lima yang
berjualan di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara. Hal ini dimaksudkan
agar peneliti dapat merasakan dan menggambarkan situasi yang ada di
mendapatkan data mengenai strategi bertahan pedagang kaki lima di sekitar
kampus Universitas Sumatera Utara.
2. Wawancara mendalam, dilakukan dengan melakukan tanya jawab secara
langsung kepada informan untuk memperoleh data atau informasi secara detail
yang diperlukan untuk menyusun laporan penelitian. Wawancara kepada
pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar kampus Universitas Sumatera
Utara, ditujukan untuk mengetahui alasan pedagang tetap berjualan meskipun
ada larangan berjualan dan ditangkap oleh petugas patroli. Selain itu ditujukan
untuk mengetahui strategi bertahan pedagang kaki lima agar tetap bias
berjualan di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara.
3. Studi kepustakaan, pengumpulan data dilakukan dengan menelusuri
literatur-literatur yang terkait dengan permasalahan penelitian. Literatur-literatur-literatur
tersebut dapat diperoleh dari buku-buku, majalah, surat kabar, arsip,
dokumen-dokumen, dan media elektronik seperti internet dan televisi. Literatur-literatur
yang ditelusuri adalah yang terkait dengan penelitian ini, yaitu strategi bertahan
pedagang kaki lima di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara, serta
literatur-literatur lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
3.5. Interpretasi Data
Interpretasi data merupakan upaya yang dilakukan dengan mengolah data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mensistesiskan, membuat ikhtisarnya, dan menemukan apa yang penting
dipelajari dan memutuskan apa yang diceritakan kepada orang lain. Tujuannya
adalah menyederhanakan seluruh data yang terkumpul, menyajikannya dalam
Interpretasi data dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di
lapangan, dan setelah selesai dilapangan sampai akhirnya pada tahap akhir
penyusunan laporan penelitian, untuk mendapatkan kesimpulan yang baik dari
3.6. Jadwal Kegiatan
Penelitian ke lapangan, Pengumpulan Data
3.7. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini mencakup kemampuan dan pengalaman
yang dimiliki oleh peneliti untuk melakukan penelitian ilmiah. Keterbatasan
dalam hal teknis penelitian di lapangan adalah pada saat mengumpulkan data
melalui wawancara mendalam dengan beberapa pedagang kaki lima di lokasi
penelitian. Wawancara mendalam dilakukan pada saat pedagang sedang berjualan,
sehingga agak sedikit mengganggu proses wawancara yang sedang berlangsung
ketika ramai pembeli. Pada saat ramai pembeli seperti itu, komunikasi yang
sedang berlangsung secara otomatis dihentikan sejenak oleh pedagang.
Selanjutnya, kendala yang dihadapi peneliti adalah sulitnya melakukan
wawancara dengan satpam Universitas Sumatera Utara. Beberapa diantara mereka
takut untuk memberikan informasi mengenai pedagang kaki lima yang masi
berjualan di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara. Mereka tidak bersedia
diwawancarai dengan alasan takut diketahui oleh komandan mereka.
Terlepas dari permasalahan teknis penelitian dan kendala di lapangan,
peneliti telah menyadari keterbatasan peneliti mengenai metode menyebabkan
lambatnya proses penelitian yang dilakukan, dan masih terdapat keterbatasan
dalam hal kemampuan pengalaman melakukan penelitian ilmiah serta referensi
buku atau jurnal yang sedikit dikuasai peneliti. Walaupun demikian peneliti
berusaha untuk melaksanakan kegiatan penelitian ini dengan maksimal agar data
BAB IV
DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1. Sejarah Universitas Sumatera Utara
Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) dimulai dengan berdirinya
Yayasan Universitas Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1952. Pendirian yayasan
ini dipelopori oleh Gubernur Sumatera Utara untuk memenuhi keinginan
masyarakat Sumatera Utara khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Pada
zaman pendudukan Jepang, beberapa orang terkemuka di Medan termasuk Dr.
Pringadi dan Dr. T. Mansoer membuat rancangan perguruan tinggi Kedokteran
Indonesia, pemerintah mengangkat Dr. Mohd. Djamil di bukit tinggi sebagai
ketua panitia. Setelah pemulihan kedaulatan akibat clash pada tahun 1947,
Gubernur Abdul Hakim mengambil inisiatif menganjurkan kepada rakyat di
seluruh Sumatera Utara mengumpulkan uang untuk pendirian sebuah Universitas
di daerah ini.
Pada tanggal 31 Desember 1951 dibentuk panitia persiapan pendirian
perguruan tinggi yang diketuai oleh Dr. Soemarsono yang anggotanya terdiri dari
Dr. Ahmad Sofian, Ir. Danunagoro, dan sekretaris Mr. Djaidin Purba. Sebagai
hasil kerjasama dan bantuan moril dan material dari seluruh masyarakat Sumatera
Utara yang pada waktu itu meliputi juga Daerah Istimewa Aceh, pada tanggal 20
Agustus 1952 berhasil didirikan Fakultas kedokteran di Jalan Seram dengan dua
puluh tujuh orang mahasiswa yang diantaranya dua orang wanita.
Kemudian disusul dengan berdirinya Fakultas Hukum dan Pengetahuan
Pertanian (1956). Pada tanggal 20 November 1957, Universitas Sumatera Utara
diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Dr. Ir. Soekarno menjadi universitas
negeri yang ketujuh di Indonesia. Pada tahun 1959, dibuka Fakultas Teknik di
Medan dan Fakultas Ekonomi di Kutaradja (Banda Aceh) yang diresmikan secara
meriah oleh presiden R.I. Kemudian disusul berdirinya Fakultas kedokteran
Hewan dan Peternakan (1960) di Banda Aceh. Sehingga pada waktu itu,
Universitas Sumatera Utara terdiri dari lima fakultas di Medan dan dua fakultas di
Banda Aceh.
Selanjutnya menyusul berdirinya Fakultas Kedokteran Gigi (1961),
Fakultas Sastra (1965), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (1965),
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (1982), Sekolah Pascasarjana (1992),
Fakultas Kesehatan Masyarakat (1993), Fakultas Farmasi (2006), dan Fakultas
Psikologi (2007), serta Fakultas Keperawatan (2009).
Pada tahun 2003, Universitas Sumatera Utara berubah status dari suatu
peruruan tinggi negeri (PTN) menjadi suatu perguruan tinggi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN). Perubahan status Universitas Sumatera Utara dari PTN menjadi
BHMN merupakan yang kelima di Indonesia. Sebelumnya telah berubah status
UI, UGM, ITB, dan IPB pada tahun 2000. Setelah Universitas Sumatera utara
kemudian disusul perubahan status UPI (2004) dan UNAIR (2006).
Dalam perkembangannya, beberapa fakultas di lingkungan Universitas
Sumatera Utara telah menjadi embrio berdirinya tiga perguruan tinggi negeri baru,
yaitu Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh, yang embrionya adalah Fakultas
Ekonomi dan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan Universitas Sumatera
Pendidikan (IKIP) Negeri Medan (1964), yang sekarang berubah menjadi
Uniersitas Negeri Medan (UNIMED) yang embrionya adalah Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sumatera Utara. Setelah itu, berdiri Politeknik
Negeri Medan (1999), yang semula adalah Politeknik Universitas Sumatera Utara.
Kampus Universitas sumatera Utara berlokasi di Padang Bulan, sebuah
area yang hijau dan rindang seluas 120 ha yang terletak di tengah kota medan.
Zona akademik seluas 90 ha menampung hampir seluruh kegiatan perkuliahan
dan praktikum mahasiswa.
Dalam usianya yang sudah tua Universitas Sumatera Utara memasuki
babak baru dalam sejarah keberadaannya, yakni ditetapkannya Universitas
Sumatera Utara berdasarkan Peraturan Pemerinntah Nomor : 56 Tahun 2003
tanggal 11 November 2003 sebagai Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik
Negara ke-5 di Indonesia dan yang pertama di luar Pulau Jawa. Dengan jumlah
mahasiswa mencapai 37.000, jumlah dosen 1.613, jumlah pegawai administrasi
931 dan jumlah pegawai honorer 722 yang tersebar di 13 Fakultas.
Dengan berdirinya 13 Fakultas yang tersebar di dalam lingkungan
Universitas Sumatera Utara dan 37.000 mahasiswa, ternyata juga menimbulkan
banyaknya pedagang kaki lima yang mencoba mengais rizki dengan berjualan
makanan dan minuman di lokasi tersebut. Tujuan pedagang berjualan di sekitar
kampus Universitas Sumatera Utara yaitu agar dapat memenuhi kebutuhan
4.2. Gambaran Umum Pedagang Kaki Lima Di Sekitar Kampus Universitas Sumatera Utara
Perkembangan sektor informal salah satunya pedagang kaki lima saat ini
telah menjamur di dalam lingkungan kampus Universitas Sumatera Utara untuk
menunnjukkan eksistensi mereka dengan menawarkan barang jualannya.
Universitas Sumatera Utara sebagai universitas terbesar di Sumatera Utara serta
memiliki lahan kampus yang sangat luas, membuat kondisi ini dapat langsung
dimanfaatkan oleh pelaku sektor informal yaitu pedagang kaki lima sebagai lahan
basah tempat mereka menggantungkan hidupnya dengan berjualan makanan dan
minuman.
Aktivitas pedagang kaki lima sudah bisa dilihat mulai dari Simpang
Sumber yang merupakan jalan pintas yang digunakan oleh kebanyakan
mahasiswa. Jalan pintas ini pun sudah macet sekali akibat banyaknya mahasiswa
yang berlalu lalang dan pedagang kaki lima yang memakan sebagian ruas jalan.
Kemudian di Persimpangan yang berdekatan dengan perpustakaan universitas,
yaitu tepatnya di depan PAJUS (pajak USU) yang lama. Sepanjang trotoar jalan
sudah dipenuhi oleh pedagang kaki lima. Belum lagi ada yang
sembunyi-sembunyi di belakang gedung kampus dan tempat strategis lainnya yang ada di
dalam Universitas Sumatera Utara.
Pedagang kaki lima melakukan aktivitasnya ketika kampus dalam keadaan
aktif, artinya diluar masa aktif kuliah seperti: libur semester, libur hari besar, dan
libur sabtu, minggu pedagang tidak berjualan dan mencari lokasi jualan di tempat
lain. Sejak tahun 1990-an pedagang kaki lima sudah ada. Pada tahun 1990-an
sangat berbeda keadaannya dengan yang sekarang, dahulu masing-masing
transportasi dalam berjualan sehingga membantu mereka untuk menjajakan
barang jualannya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan yang dikemukakan oleh
Pak H. Sukimin (70 tahun) selaku penjual rujak sebagai berikut:
“Kalau zaman dulu enak jualan di sini, sekitar tahun 1990-an lah kakek jualan di sini. Justru kami dulu dikasih modal usaha berupa sepeda untuk transportasi dalam berjualan di USU ini. Istilahnya kami dulu di bina lah, makanya enak gak kayak sekarang”.
Beliau sudah berjualan di Universitas Sumatera Utara ini selama 15 tahun
sebagai penjual rujak, sejak tahun 1998. Jadi ia sudah berpengalaman dalam
berjualan di kampus Universitas Sumatera Utara.
Kemudian semakin banyaknya pedagang yang berjualan di sekitar kampus
Universitas Sumatera Utara dan seiring berjalannya waktu maka berdirilah pajak
yang menjual berbagai macam kebutuhan mahasiswa, mulai dari alat tulis kantor,
makanan, pernak-pernik bahkan pakaian juga ada, yang terletak di dalam
lingkungan kampus Universitas Sumatera utara atau disingkat PAJUS.
Dengan berdirinya PAJUS ini, maka pedagang kaki lima semakin banyak
yang mencoba mencari rezeki dengan berjualan berbagai macam makanan dan
minuman. Mereka pun mengaku sangat laris sekali ketika masih berdirinya
PAJUS, karena banyak pengunjung yang setiap harinya berdatangan. Pengunjung
yang datang bukan dari kalangan mahasiswa saja tetapi juga anak SMA dan SMP.
Seperti yang diungkapkan oleh Pak Parjono (50 tahun) selaku penjual tahu medan
sebagai berikut:
“Kalau dulu masih ada PAJUS lumayan kali la jualan bapak, laku terus. Tapi sekarang sudah mulai payah, tapi masi syukur lah masih laku juga”.
Namun, pada tahun 2010 yang lalu pedagang dan mahasiswa dikejutkan
aktivitas berjualannya. Kondisi ini menyebabkan para pedagang kehilangan
tempat berjualan mereka. Sejak peristiwa kebakaran(PR II) tersebut PAJUS pun
dipindahkan kesejumlah tempat di luar kampus Universitas Sumatera Utara. Para
pedagang yang tidak memiliki modal banyak untuk menyewa stand-stand yang di
tawarkan oleh pihak penguruus PAJUS terpaksa mereka tetap menjadi pedagang
kaki lima di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara. Mereka berjualan di area
yang cukup strategis, seperti: di sekitar perpustakaan universitas yang berdekatan
dengan Fakultas Ekonomi, Fakultas Pertanian, kemudian di sekitar Fakultas
Farmasi dan berdekatan juga dengan Fakultas MIPA, dan di sekitar trotoar jalan di
depan PAJUS yang lama.
Semakin maraknya aktivitas pedagang kaki lima di sekitar kampus, pihak
Universitas Sumatera Utara mulai resah dengan keberadaan pedagang tersebut.
Khususnya Pembantu Rektor II yang memerintahkan untuk melarang aktivitas
pedagang kaki lima di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara. Aktivitas
pedagang kaki lima tersebut telah menimbulkan efek negatif yaitu terganggunya
ketertiban di dalam lingkungan kampus serta berserakannya sampah plastik yang
diakibatkan dari mahasiswa yang berjajan dan membuang bungkus jajan tersebut
secara sembarangan. Dengan ini, pihak kampus mengeluarkan peraturan yang
melarang siapa pun untuk berjualan di dalam lingkungan kampus Universitas
Sumatera Utara tanpa izin, dan pihak kampus juga akan memberikan sanksi
kepada siapa pun yang melanggar peraturan tersebut. lalu mempertegasnya lagi
dengan memasang plang-plang di sepanjang trotoar jalan di dalam lingkungan
kampus yang bertuliskan “dilarang berjualan di dalam kampus Universitas
pihak kampus mengadakan patroli setiap harinya setiap dua jam dalam satu hari
yang dilakukan oleh petugas patroli universitas untuk merazia pedagang kaki lima
yang berjualan di dalam lingkungan kampus Universitas Sumatera Utara.
Dengan adanya peraturan tersebut, pedagang kaki lima yang berjualan di
sekitar kampus Universitas Sumatera Utara selalu mengalami kondisi sosial yang
berubah-ubah, seperti razia petugas patroli yang dilakukan oleh pihak Universitas
Sumatera Utara setiap dua jam dalam sehari. Kondisi ini membuat pedagang harus
melakukan penyesuaian diri terhadap proses perubahan yang ada di lingkungan
kampus Universitas Sumatera Utara demi pencapaian tujuan yaitu tetap bertahan
dalam berjualan di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara.
Pedagang kaki lima yang baru beraktivitas di universitas ini biasanya
hanya mengikuti kebiasaan-kebiasaan pedagang lain yang sama-sama berjualan.
Seperti yang diungkapkan oleh Saipul (18 tahun) selaku penjual es tebu sebagai
berikut:
“Awalnya aku ngikut bapak-bapak di sini aja, kalau ada komandan petugas patroi mereka lari, aku pun ikut lari, kalau ada satpam yang minta makanan ya aku tawari juga minum es tebu ini. Lama-kelamaan ya aku uda biasa sama kondisi kayak gini”.
Semua pedagang mengalami hal yang sama seperti yang dialami Saipul,
mereka hanya mengikut kebiasaan pedagang yang sudah lama berjualan di
kampus Universitas Sumatera Utara ini, dan pada akhirnya sudah terbiasa dengan
kondisi yang ada. Sebelum ada peraturan dilarangnya pedagang berjualan di
Universitas Sumatera Utara, pedagang sangat leluasa berjualan di lokasi tersebut.
Mereka tidak merasakan kekhawatiran akibat akan datangnya petugas patroli
satpam yang merazia. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Parjono (50 tahun)
“Sebelum ada peraturan ini, kami yang udah lama—lama jualan di sini ya enak, gak ada rasa was-was takut petugas patroli datang. Tapi sekarang uda lain la, ya kami menyesuaikan diri aja dengan kondisi yang ada sekarang, yang penting masih bisa jualan di sini”.
Pedagang kaki lima yang berjualan di lokasi tersebut pada umumnya
langsung melakukan penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial mereka yang
mengalami perubahan. Perubahan tersebut baik secara fisik maupun abstrak.
Perubahan secara fisik yang dialami pedagang yaitu perubahan lokasi tempat
mereka berjualan. Dahulu pedagang berjualan secara terbuka dengan menempati
trotoar jalan yang ada di lingkungan kampus universitas. Saat ini, dengan adanya
peraturan tersebut pedagang terpaksa menempati lokasi yang tersembunyi jauh
dari jalan protokol universitas.
Perubahan secara abstrak merupakan perubahan yang berupa adanya
peraturan yang dibuat oleh pihak Universitas Sumatera Utara. Peraturan tersebut
berupa larangan berjualan bagi para pedagang yang tidak memiliki izin. Mereka
mempertegasnya dengan melakukan razia patroli yang dilakukan oleh petugas
patroli universitas. Hal inilah yang membuat pedagang kaki lima melakukan
penyesuaian diri terhadap kondisi yang ada.
Para pedagang kaki lima ini mengaku senang berjualan di kampus
Universitas Sumatera Utara, karena menurut mereka berjualan di kampus ini
merupakan lahan basah, walaupun mereka tahu bahwa mereka melanggar aturan
yang di buat oleh pihak universitas. Seperti yang telah diungkapkan oleh Pak
Parjono (50 tahun) selaku penjual tahu medan berikut ini:
Pak Parjono merupakan penjual tahu Medan yang mengaku sangat
bersyukur dapat berjualan di kampus Universitas Sumatera Utara ini, karena
cukup kekeluargaan. Seperti yang kita ketahui di universitas mana pun tidak ada
pedagang kaki lima yang memperbolehkan berjualan di dalam lingkungan
kampusnya.
Semakin banyak saja pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar kampus
Universitas Sumatera Utara. Pedagang dapat dengan mudah mengelabuhi petugas
patroli, sehingga peraturan yang dibuat oleh pihak universitas hanya sekedar
formalitas saja. Pedagang pun bebas berjualan bahkan pada saat sore hari, trotoal
jalan di dalam lingkungan kampus Universitas Sumatera Utara sudah seperti pasar
kuliner.
4.3. Bertahannya Pedagang Kaki Lima Berjualan Di Sekitar Kampus Universitas Sumatera Utara
Pedagang kaki lima yang berjualan di sekitar kampus Universitas
Sumatera Utara sampai saat ini masih melakukan aktivitas berjualannya walaupun
sudah dilarang dan di razia oleh petugas patroli. Pedagang mengaku tidak sedikit
pun akan merubah niat mereka dengan tidak berjualan lagi di sekitar kampus
Universitas Sumatera Utara. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa alasan
pedagang kaki lima tetap berjualan di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara
antara lain karena:
1. Kebutuhan ekonomi keluarga yang mendesak.
2. Universitas Sumatera Utara merupakan pangsa pasar yang menjanjikan bagi
4.3.1. Kebutuhan Ekonomi Keluarga yang Mendesak
Kebutuhan ekonomi keluarga merupakan kebutuhan primer yang harus
segera dipenuhi. Masyarakat rela melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan
keluarga mereka dengan bekerja di sektor formal atau informal. Salah satu contoh
kongkrit pekerjaan di sektor informal adalah pedagang kaki lima yang berjualan
di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara. Pengusaha yang satu ini memang
sering dihadapkan dengan persoalan yang sangat rumit, yaitu antara melanggar
peraturan dan mencari nafkah. Dengan kata lain, tidak makan sama sekali atau
makan tetapi melanggar peraturan. Dalam hal ini, melanggar peraturan sering
dianggap nomor dua, asalkan mereka dapat penghasilan untuk kebutuhan makan
dan lain-lain. Pedagang rela berjualan dengan kondisi yang tidak aman setiap
harinya, dengan adanya razia yang dilakukan oleh petugas patroli Universitas
Sumatera Utara. Hal tersebut tidak mengurangi semangat mereka untuk tetap
dapat berjualan, sehingga kebutuhan ekonomi keluarga dapat terpenuhi.
Kebutuhan ekonomi keluarga yang mendesak merupakan alasan utama pedagang
tetap melakukan aktivitas di jalanan menjadi pedagang kaki lima dan berjualan di
sekitar kampus Universitas Sumatera Utara. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh
Bang Alex Pratama (30 tahun) selaku penjual taiso sebagai berikut:
“Abang jualan di sini karena kebutuhan ekonomi keluarga yang mendesak, kayak makan anak, istri, sekolah anak lagi. Kalau Abang gak jualan ya gak ada pemasukan la. Gak bisa makan la anak, istri”.
Selanjutnya, hal senada juga diungkaapkan oleh Bu Suri (31 tahun) selaku
penjual mie pecal sebagai berikut:
Dari pernyataan di atas, tergambar bahwa secara umum pedagang kaki
lima yang berjualan di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara melakukan
kegiatan berjualan hanya semata untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang
mendesak dan harus terpenuhi. Profesi sebagai pedagang kaki lima yang mereka
lakoni juga menjadi mata pencarian utama, karena dianggap penghasilan yang
didapat dari berjualan tersebut sangat memenuhi kebutuhan pokok keluarga
mereka. Pedagang pada umumnya mengaku bahwa pendapatan bersih dari
berjualan rata-rata sebesar Rp.200.000,-/ hari. Kemudian pendapatan tersebut
sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Seperti yang telah
diungkapkan oleh Pak Harahap (45 tahun) selaku penjual mie pecal sebagai
berikut:
“Berjualan di sini ya mata pencarian pokok bapak la. Hasilnya pun Alhamdulillah cukup untuk biaya keluarga. Dengan penghasilan bersihnya Rp.200.000,- / hari”.
Pendapatan hasil berjualan digunakan untuk keperluan keluarga terutama
adalah kebutuhan untuk makan. Terlebih lagi pada saat sekarang ini harga
sembako semakin mahal, Seperti: beras, lauk pauk, sayur dan lain-lain. Setiap
harinya mereka pun mengeluarkan uang untuk keperluan makan sebesar
Rp.30.000,- sampai dengan Rp.50.000,-/hari. Uang tersebut sudah dapat membeli
beras, lauk pauk, dan sayur untuk dihabiskan dalam satu hari saja. Mereka makan
dengan lauk seadanya, tidak harus bermewah-mewah. Bagi mereka yang
terpenting bisa makan dengan sayur dan lauk, walau pun kadang lauknya tempe
dan yang penting tetap bergizi. Seperti Bang Antoni Delle yang mengaku tidak