• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

7. Strategi Coping Stres

Sejumlah peneliti mengatakan bahwa respon coping yang diberikan individu memegang peran yang sangat penting dalam menentukan makna dan pengaruh dari kejadian-kejadian dalam hidupnya yang dapat menimbulkan stres. Salah seorang ahli, yaitu Folkman dan Lazarus, (1984) mengemukakan pentingnya mempelajari peran individu dalam menilai stressor, dan bagaimana individu tersebut aktif bertahan untuk melawan ancaman atau bahaya yang diasosiasikan dengan stressor. Selain itu Klauer dan Filipp (dalam Schwarzer, 1989) mengidentifikasikan lima strategi coping yang digunakan sebagai dimensi dalam sebuah analisis fakor: (1) Mencari integrasi sosial, (2) refleksi atau mediasi, (3) meminimalkan ancaman, (4) berpaling pada agama, (5) mencari informasi.

Carver, Sceiser, dan Weintraub (dalam Buari, 2000) menggolongkan srtategi coping menjadi tigabelas bentuk yang terdiri atas lima

bentuk strategi coping yang tergolong dalam Problem Focused Coping (PFC)

dan delapan bentuk strategi coping yang tergolong dalam Emotion Focused Coping (EFC).

a. Problem-Focused Coping: yaitu strategi ya ng mencoba untuk menghadapi dan menangani langsung tuntutan dari situasi atau upaya untuk mengubah situasi tersebut strategi yang tergolong dalam

Problem Focused Coping meliputi:

1) Active coping atau coping aktif, merupakan salah satu bentuk

coping yang ditandai dengan adanya langkah nyata yang dilakukan individu untuk menyelesaikan atau menghadapi masalah, berjuang untuk menyelesaikan masalah serta adanya keputusan untuk mengambil langkah yang bijaksana sebagai pemecahan masalah. 2) Planning atau membuat perencanaan, merupakan bentuk coping

yang ditandai dengan adanya usaha untuk memikirkan cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi stressor atau dapat juga berupa usaha untuk membuat rencana penyelesaian masalah.

3) Suppression of competing activities atau menekan aktifitas tandingan, merupakan salah satu bentuk coping yang ditandai dengan adanya usaha individu untuk mengurangi perhatian dari aktivitas lain sehingga individu dapat lebih memfokuskan diri pada permasalahan yang sedang dihadapi.

4) Restraint coping atau menunggu waktu yang tepat untuk bertindak, merupakan salah satu bentuk coping yang ditandai

dengan usaha individu untuk menunggu waktu dan kesempatan yang tepat untuk bertindak. Individu berusaha untuk menahan diri dan tidak tergesa- gesa dalam bertindak.

5) Seeking social support for instrumental reason atau mencari dukungan sosial untuk alasan instrumental, merupakan salah satu bentuk coping yang terwujud dalam usaha individu untuk mencari saran, bantuan dan informasi dari orang lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah.

b. Emotion-focused coping: dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan diitmbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Strategi yang tergolong dalam Emotion-focused coping

meliputi:

1) Seeking social support for emotional reason atau mencari dukungan sosial untuk alasan emosional, merupakan salah satu bentuk coping yang ditandai dengan adanya usaha individu untuk mencari dukungan moral, simpati dan pemahaman dari orang lain. 2) Positive reinterpretation atau penilaian kembali secara positif,

ditandai dengan adanya usaha untuk memaknai semua kejadian yang dialami sebagai suatu kenyataan ya ng harus dihadapi.

3) Acceptance atau penerimaan, diartikan sebagai adanya sikap untuk menerima kejadian dan peristiwa sebagai suatu kenyataan yang harus dihadapi.

4) Denial atau penyangkalan, merupakan usaha individu untuk menolak atau menyangkal kejadian sebagai sebuah kenyataan yang harus dihadapi.

5) Turning to religion atau berpaling pada agama, merupakan salah satu bentuk coping yang ditandai oleh adanya usaha untuk mencari kenyamanan dan rasa aman dengan cara berpaling pada agama. Biasanya diwujudkan dalam doa, meminta bantuan pada Tuhan dan adanya sikap pasrah pada Tuhan.

6) Focusing on and venting emotions atau berfokus pada emosi dan penyaluran emosi, merupakan salah satu bentuk coping yang ditandai dengan adanya usaha untuk meningkatkan kesadaran akan adanya tekanan emosional dan secara bersamaan melakukan upaya untuk menyalurkan atau meluapkan perasaan tersebut.

7) Behavioral disengagement atau pelepasan secara perilaku, merupakan salah satu bentuk coping yang ditandai dengan adanya penurunan usaha untuk menghadapi stressor (menyerah pada situasi yang dialami). Bentuk coping ini juga dikenal dengan istilah putus asa.

8) Mental Disengagement atau pelepasan secara mental, merupakan usaha individu untuk mengalihkan perhatian dari permasalahan yang dialami dengan melakukan aktivitas lain seperti berkhayal atau tidur.

Lazarus dan Folkman, (1984) lebih mengembangkan aspek strategi

coping tersebut menjadi:

1) Cautiousness atau kehati- hatian, yaitu strategi yang mempertimbangkan beberapa alternatif pemecahan masalah dan selali bersikap hati-hati sebelum bertindak.

2) Instrumental Action merupakan bentuk strategi yang selalu membuat perencanaan penyelesaian secara logis.

3) Negotiation adalah bentuk strategi yang mencoba menyelesaikan masalahnya dengan cara melakukan pendekatan terhadap sumber masalah.

4) Escapism atau pelarian dari masalah adalah bentuk strategi yang selalu menghindari masalah dengan cara berkhayal, makan, minum- minuman dan merokok.

5) Minimisation atau menganggap kecil adalah bent uk strategi yang menganggap bahwa masalah itu tidak ada.

6) Self blame atau menyalahkan diri sendiri adalah bentuk strategi yang menyalahkan dan menghukum diri sendiri serta menyesali apa yang sudah terjadi.

7) Seeking meaning atau pencarian makna kegagala n yang dialaminya bagi dirinya serta melihat segi-segi yang penting dalam kehidupan, seperti mencoba untuk menemukan jawaban masalah melalui kepercayaan yang dianutnya.

Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan penjabaran sebelumnya adalah strategi coping yang dipakai dalam penelitian ini adalah strategi coping yang dikemukakan oleh Carver, Sceiser, dan Weintraub yang mengelola stres ke dalam dua kelompok besar seperti Problem-Focused Coping, dan Emotion-Focused Coping.

8. Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping Stres

Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi kesehatan fisik atau energi, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial dan dukungan sosial dan materi seperti yang dikemukakan passer & Smith (2004).

a. Kesehatan Fisik

Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar

b. Keyakinan atau pandangan positif

Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (eksternal locus of control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness)

yang akan menurunkan kemampuan strategi coping tipe yaitu:

problem-solving focused coping

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

d. Keterampilan sosial

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.

e. Dukungan sosial

Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya. f. Materi

Dukungan ini meliputi sumber daya daya berupa uang, barang barang atau layanan yang biasanya dapat dibeli.

Berdasarkan beberapa kategori strategi coping yang dikemukakan di atas, terlihat bahwa sesungguhnya usaha coping yang dilakukan tidak harus selalu mengarah pada penyelesaian masalah secara tuntas. Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana dengan usaha coping yang dilakukan individu dalam menghadapi stres, individu tersebut dapat bertahan untuk tidak terlalu larut

dalam masalah yang dihadapinya, maka penelitian ini akan memakai salah satu strategi coping dari penelitian Carver, Sceiser, dan Weintraub.

B. Penderita HIV/AIDS 1. Pengertian HIV/AIDS

Perjalanan kasus HIV/AIDS pertama kali terjadi sekitar tahun 1981 oleh ahli kesehatan di kota Los Angeles, Amerika Serikat (Kompas 23 Mei 2003). Ketika sedang melakukan sebuah penelitian kasus seri terhadap empat pemuda/mahasiswa. Ternyata dalam tubuh keempat pemuda tadi ditemukan penyakit phenumonia yang disertai dengan penurunan kekebalan tubuh (Imunitas).

AIDS sendiri adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency

Syndrome yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih adalah Sindrom Cacat Kekebalan Dapatan, artinya cacat kekebalan tubuh akibat suatu penyakit yang didapat dalam perjalanan hidup penderita (Pelkesi, 1995). AIDS adalah sejenis penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh disebabkan oleh jenis virus yang khas untuk penyakit ini. Penyakit ini bukan sejenis penyakit keturunan yang diwariskan dari orangtua pada anak-anaknya melainkan penyakit yang didapat dalam perjalanan hidup seseorang. Akibat penurunan daya tahan tubuh penderita, maka berbagai kuman dan jazad renik, yang dalam keadaan normal dapat ditahan dengan baik, akan menyerbu ke dalam darah dan jaringan-jaringan tubuh penderita tersebut.

Kuman-kuman tersebut dikatakan bersifat “opportunistic” karena mereka memanfaatkan kesempatan yang terbuka untuk menyerbu dan berkembang biak. Beberapa sel abnormal (kanker) memanfaatkan pula kesempatan tersebut untuk memperbanyak diri dan menyebabkan kanker. Manifestasi klinis penyakit ini bukan merupakan gejala gangguan sistem kekebalan tubuh itu sendiri melainkan gejala penyakit infeksi dan kanker

oportunistis tersebut yang akan menimbulkan kumpulan gejala klinis (sindrom) yang menentukan tingkat keparahan penyakit AIDS. Montagnier (dalam Rasad.1987) mengungkapkan bahwa jarang sekali terjadi bahwa suatu kejadian telah menarik perhatian media penerbit sedemikian besarnya seperti pada AIDS.

Dengan arti yang lain, sebelum orang menderita AIDS, tubuhnya terlebih dahulu telah terjadi kerusakan sistem kekebalan tubuh. Akibatnya kerusakan sistem kekebalan tubuh ini, penderita akan menjadi peka terhadap infeksi termasuk kuman yang dalam keadaan normal sebenarnya tidak berbahaya.

Pengidap AIDS sebagian besar penderita sebelumnya terinfeksi virus HIV. Penyakit ini merupakan penyakit kedua yang menyebabkan kematian pada pria kelompok usia 25 sampai 44 tahun (Rachimhadhi, 1996:24)

Gejala penyakit penderita AIDS mirip dengan penyakit biasa seperti demam, bronchitis, dan flu. Akan tetapi, pada penyakit ini biasanya lebih parah dan berlangsung pada waktu yang lama. Richardson mengemukakan gejala umum AIDS mencakup hal sebagai berikut:

a. Kelelahan yang sangat, yang berlangsung selama beberapa minggu tanpa sebab yang jelas.

b. Demam tanpa sebab yang jelas, menggigil kedinginan atau berkeringat berlebihan di malam hari, berlangsung beberapa minggu.

c. Hilangnya berat badan lebih dari lima kg dalam waktu kurang dari dua bulan.

d. Pembengkakan kelenjar, terutama di leher atau ketiak.

e. Sariawan atau terdapat sejenis bisul dan luka bernanah di mulut atau tenggorokan. Sariawan adalah sejenis infeksi yang umumnya terjadi di vagina, mengakibatkan keluarnya cairan berwarna putih yang mengganggu. Pada lelaki, jamur ini mungkin timbul berupa bintik-bintik putih yang mengganggu di ujung penis atau munculnya kotoran putih yang keluar dari anus.

f. Diare terus-menerus.

g. Nafas menjadi pendek, lambat laun menjadi buruk setelah beberapa minggu, disertai batuk kering yang tidak diakibatkan oleh rokok dan berlangsung lebih lama daripada batuk karena flu berat.

h. Bisul atau jerawat baru, berwarna merah muda atau ungu, biasanya tidak sakit, muncul di kulit bagian mana saja, termasuk di mulut atau kelopak mata.

Dalam banyak kasus luka- luka tersebut dapat juga timbul organ bagian dalam seperti selaput paru-paru, usus, atau anus. Awalnya, luka-luka itu tampak seperti luka melepuh berdarah atau memar, tetapi tidak memucat jika

ditekan dan tidak hilang. Biasanya luka melepuh ini adalah salah satu bentuk kanker kulit yang dikenal dengan leaposis sarcoma. Untuk beberapa alasan yang tidak sepenuhnya dipahami, kanker ini bukanlah gejala umum pada perempuan yang menderita AIDS.

Human Immunadeficiency Virus (HIV) yaitu suatu virus menyerang sistem kekebalan tubuh (Richardson, 2002 : 1). Jika sistem kekebalan tubuh rusak, tubuh menjadi rentan terhadap infeksi dan kanker, apabila sistem kekebalan tubuhnya baik dapat menangkis penyakit tersebut. HIV secara terus menerus memperlemah sistem kekebalan tubuh dengan cara menyerang dan menghancurkan kelompok sel darah putih tertentu yaitu sel T – helper, sel ini berperan penting pada pencegahan infeksi. HIV tidak hanya merusak sistem kekebalan tubuh saja, tetapi juga merusak otak dan sistem saraf pusat.

Virus ini akan diderita seumur hidup oleh si penderita dan sangat mudah menular melalui berbagai macam cara, yaitu hubungan heteroseksual, entah dari laki- laki ataupun dari perempuan (Richardson, 2002). Selain melalui jarum suntik, perempuan yang terinfeksi HIV juga dapat menularkannya pada anak-anak selama kehamilannya. Hal yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua orang yang terinfeksi HIV langsung menunjukkan gejala klinik, bahkan si penderita virus tersebut tidak mengetahui, apalagi keluarga maupun lingkungannya dia tinggal. Bisa dibayangkan penularan virus ini akan berkembang dengan pesat. Untuk mengetahui terinfeksi HIV diperlukan uji klinis yang berulang untuk memastikan positif HIV. Di sisi lain, bila si pengidap HIV tersebut mengetahui uji klinisnya menunjukkan bahwa

dia reaktif, dia tidak mau memberitahukan kepada orang lain termasuk orang terdekat, karena dia tidak mau dikucilkan atau tidak diterima oleh keluarga dan masyarakat. HIV merupakan virus penyebab AIDS, namun tidak semua penderita akhirnya mengidap AIDS, berdasarkan studi yang pertama menunjukkan, sekitar satu dari sepuluh orang yang tertular virus ini akhir nya menderita AIDS. Berdasarkan studi tentang penyakit ini, dalam tujuh tahun studi terakhir menunjukkan bahwa 30% orang yang terinfeksi HIV akan terjangkit AIDS karena waktu antara infeksi dan munculnya gejala memakan waktu beberapa tahun, maka waktu pun akan memperlihatkan bahwa angka 30% juga terlalu rendah (Richardson, 2002)

Dokumen terkait