• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Relasi Muhammadiyah dan Negara

2. Strategi Islam Struktural Muhammadiyah (1937-1971)

Perubahan orientasi Muhammadiyah dari orientasi religius-kultural kepada orientasi politik / struktural terjadi sejak tahun 1937 dalam era kepemimpinan KH. Mas Mansur (1936-1942). Pada tahun 1937 Muhammadiyah memprakarsai berdirinya gerakan politik Islam yang disebut MIAI (Majlisul Islam A’la Indonesia), disusul dengan memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938, Masyumi tahun 1945, dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada 1968. Pendeknya sejak 1937 energi Muhammadiyah banyak tersita dalam persoalan politik melalui partai yang di prakarsainya. Baru pada tahun 1971 Muhammadiyah lepas sama sekali dan bersikap netral terhadap partai politik manapun.

Faktor-faktor yang mendorong perubahan orientasi Muhammadiyah adalah perpaduan dari dorongan internal kepemimpinan Mas Mansur dengan tuntutan keadaan eksternal dimana kekuatan partai-partai politik melemah namun situasi atau suhu politik justru meningkat.

Yang dimaksud dengan dorongan internal kepemimpinan Mas Mansur ialah selain diri pribadi Mas Mansur selaku pemimpin Muhammadiyah yang lebih condong ke politik, demikian pula beberapa pemimpin lain seperti Haji Sudjak, Faried Ma‟ruf dan Abdul Kahar Mudzakkir punya kecenderungan yang sama.

Sedangkan keadaan eksternal yang ditandai oleh lemahnya kekuatan- kekuatan partai politik dapat ditengok pada penangkapan tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir dalam tahun 1933/1934, yang kemudian diasingkan ke Flores (Soekarno) dan Boven Digul (Hatta, Syahrir dan lain-lain). Dengan demikian, setelah tahun 1934 gerakan anti kolonialisme radikal yang berdasar asas non-kooperatif benar-benar padam dan kemudian beralih ke strategi moderat dengan asas-kooperatif (Suwarno, 2001:29).

Kembali pada MIAI, sebenarnya tidak hanya di prakarsai oleh Muhammadiyah, tetapi juga oleh NU dan PSII. Hanya saja Haji Abu Bakar Aceh, peran Muhammadiyah sangat besar melalui Ketuanya Mas Mansur yang berinisiatif mengadakan pertemuan dengan KH. Wahab Hasbullah (NU), Wondo- amiseno (PSII) dan beberapa tokoh lain di Surabaya pada 18-21 September 1937, yang kemudian melahirkan MIAI. MIAI merupakan federasi dari organisasi sosial-politik Islam se-Indonesia (Noer, 1982:262).

Muhammadiyah juga menyadari bahwa MIAI tidak mungkin dapat memenuhi semua kepentingan dan aspirasinya, khususnya untuk berdakwah di kalangan terpelajar (intelektual) muslim berpendidikan Barat. Oleh karena itu, Mas Mansur pada bulan Juli 1938 mengambil inisiatif untuk mendirikan sebuah forum diskusi yang disebut Islam Study Club ini bertujuan “untuk menjembatani pertentangan antara kaum inteltual muslim dengan kaum muslimin, meningkatkan pengetahuan Islam dan untuk mempercepat kerjasama antara kaum muslimin dengan para intelektual muslim bagi kepentingan Islam.” Islam Study Club inilah yang menjadi embrio lahirnya Partai Islam Indonesia (PII) pada 4 Desember 1938 (Noer, 1982:176).

Tabel 2.2 Susunan pengurus PII adalah sebagai berikut: Susun Pengurus Partai Islam Indonesia (PII) Ketua Wiwoho Purbohadidjojo Wakil Ketua Dr. Sukiman Wirjosandjojo Sekretaris I Mr. Ahmad Kasmat

Sekretaris II Wali al-Fatah Bendahara I Dr. Sukardi

Bendahara II Haji Abdul Hamid Bkn Bendahara II Haji Anwar bin Nata Komisaris KH. Ki Bagus Hadikusumo

KH. Mas Mansur H. M. Faried Ma‟ruf

H. Abdul Kahar Mudzakkir H. Rasyidi

Sumber: Deliar Noer (1982:176)

Pimpinan pusat Partai Islam Indonesia (PII) didominasi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dimana seluruh anggota komisaris adalah tokoh Muhammadiyah. Disamping itu, Wiwoho, Dr. Sukiman dan Ahmad Kasmat juga dikenal memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Muhammadiyah.

Menurut Noer (1982:177) Akan tetapi, partisipasi Mas Mansur sebagai Ketua Muhammadiyah dalam pimpinan pusat partai telah menimbulkan perdebatan dikalangan anggota Muhammadiyah. Perdebatan itu melahirkan sikap pro-kontra. Yang setuju (pro) menyerahkan soal itu kepada Mas Mansur sendiri, sementara yang tidak setuju (kontra) menghendaki agar Muhammadiyah terbebas dari pertikaian politik apapun dengan mengambil sikap netral terhadap partai- partai. Menurut Suwarno (2001:32) Sidang Majlis Tanwir Muhammadiyah pada 1939 akhirnya memutuskan untuk mengizinkan Mas Mansur duduk dalam pengurus pusat PII. Rupanya Mas Mansur seorang yang tahu diri karena pada 1940 dia mundur dari pengurus PII dan hanya menjadi penasehat partai.

Meskipun pada era kepepimpinan Mas Mansur (1936-1942) dan pada masa pendudukan Jepang serta masa revolusi fisik (1945-1949) Muhammadiyah tetap berstatus sebagai gerakan sosial-keagamaan (1942-1945) yang bernuansa kultural (setidaknya dilihat dari ciri pokok dan tujuan) tetapi ia telah berorientasi politis / struktural jika ditinjau dari sifat, metode, sarana dan jangkauan.

Menurut Masruri (2005:87) Sikap politik Muhammadiyah terhadap pemerintah pendudukan Jepang adalah kritik yang nampak pada kebijakan Ketua Pengurus Besar setelah KH. Mas Mansur yaitu Ki Bagus Hadikusumo (dipilih sejak tahun 1942-1953) yang berani menentang kebijakan Jepang yang berlawanan dengan Ajaran Islam. Salah satu contohnya adalah saikeirei, yakni penghormatan kepada Tenno Haika dengan membungkukkan badan seperti halnya gerakan ruku dalam salat. Melalui Majlis Tarjih akhirnya diputuskan bahwa

hukum saikeirei adalah terlarang (haram) menurut hukum Syara karena menjurus kepada syirik (perbuatan menyekutukan Allah).

Menurut Benda (1980) Kebijakan politik Jepang berbeda dengan dibandingkan dengan Belanda terhadap umat Islam. Bila Belanda berusaha memecah belah umat Islam dan menganakemaskan golongan kebangsaan untuk dijadikan sebagai batu pijak sistem kolonial, Jepang justru berupaya merangkul umat Islam, terutama melalui para ulamanya, untuk membantu tercapainya kemenangan dalam perang Asia Timur Raya. Bahkan Jepang memberikan kontribusi bagi umat Islam melalui; pembentukan Kantor Urusan Agama (Shumubu) pada 1942 (Benda, 1980:272), mempersatukan organisasi-organisasi Muslim dalam satu wadah yang disebut Masyumi pada 1943, dan pembentukan Hizbullah, semacam organisasi militer bagi para pemuda Muslim.

Menurut Sularto dan Yunarti (2010) Ketika pemerintah pendudukan Jepang membentuk BPUPKI pada tanggal 29 April 1945 dan selanjutnya PPKI pada tanggal 7 Agustus 1945, Muhammadiyah sebagai bagian dari umat juga ikut memberikan kontribusi yang penting. Banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah yang duduk dan terlibat dalam BPUPKI seperti Abdul Kahar Mudzakkir dan Ki Bagus Hadikusumo turut dalam barisan golongan nasionalis Islam yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara berhadapan dengan vis a vis dengan golongan nasionalis kebangsaan atau sekuler yang menginginkan negara persatuan dengan memisahkan urusan agama dan urusan politik. Piagam Jakarta yang ditandatangani pada 22 Juni 1945 pada hakikatnya merupakan hasil kompromi, jalan tengah, atau “kesepakatan kehormatan” (gentlement agreement)

antara golongan nasionalis Islam dengan golongan nasionalis kebangsaan atau sekuler.

Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1942-1953, memberikan kontribusi yang sangat berarti ketika dilakukan beberapa perubahan dalam UUD 1945 pada 18 Agustus 1945 karena adanya ancaman disintegrasi dari Indonesia bagian Timur setelah proklamasi kemerdekaan RI sehari sebelumnya. Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan perubahan anak kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya” dalam pembukaan UUD 1945 menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” (Sila 1 Pancasila). Alasan Ki Bagus, istilah Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki esensi yang sama dengan tauhid, ajaran pokok agama Islam yang ditariknya dari QS Al-Ikhlas ayat 1-4 (Anshari, 1981).

Muktamar/Konggres umat Islam se-Indonesia pada 7-8 November 1945 yang berlangsung digedung Madrasah Mu‟allimin Muhammadiyah Yogyakarta telah melahirkan berdirinya Partai Islam Masyumi. Dalam muktamar / konggres itu Masyumi di posisikan sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia yang akan memperjuangan nasib politik umat Islam Indonesia. Adapun pengaruh Masyumi pada periode awal tersebut meliputi Majlis Syuro yang diketuai oleh KH. Hasyim Asy‟ari dan Pengurus Besar (Badan Eksekutif) yang diketuai oleh Sukiman Wirjosandjojo. Sedangkan tujuan Masyumi adalah “terlaksananya ajaran dan hukum Islam didalam kehidupan orang seorang, masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi.

Posisi dan peran Muhammadiyah didalam Masyumi cukup besar dan dominan. Kedudukan Muhammadiyah sebagai anggota istimewa didalam Masyumi telah membuat Muhammadiyah seolah-olah identik dengan Masyumi. Sebagaian besar warga Muhammadiyah memandang Masyumi sebagai tempat berjuang dan Muhammadiyah tempat beramal. Seorang anggota Muhammadiyah suatu ketika dapat mengakui sebagai anggota Masyumi dan tidak kebalikannya. Umumnya anggota Muhammadiyah adalah anggota Masyumi atau sekurang- kurangnya sebagai pendukungnya, dan hal ini berlangsung sampai Masyumi bubar pada 1960. Dominasi Muhammadiyah terhadap Masyumi juga dapat dilihat dari proporsi wakil Muhammadiyah didalam kepengurusan PP Masyumi, seperti tabel dibawah ini:

Tabel 2.3 Proporsi wakil Muhammadiyah dalam PP Masyumi Tahun Jumlah Anggota

PP Masyumi Jumlah Wakil Muhammadiyah Presentase Rata-Rata 1945 24 orang 11 orang 45,83 % 1949 14 orang 4 orang 28,57 % 1951 16 orang 9 orang 56,25 % 1952 13 orang 7 orang 53,85 % 1954 15 orang 8 orang 53,33 % 1956 19 orang 12 orang 63,16 % 1959 19 orang 13 orang 68,42 %

Jumlah 120 orang 66 orang 55 %

Sumber: Suwarno (2001:37)

Sejak Masyumi dibubarkan pada 1960 hingga runtuhnya Demokrasi Terpimpin, Muhammadiyah pada khususnya dan kalangan Islam modernis pada umumnya kehilangan saluran politik formal yang menampung aspirasi dan kepentingan mereka. Menurut Sutrisno (Suwarno, 2001:39) Muhammadiyah dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu: (1) melanjutkan perjuangan untuk merehabilitasi Masyumi, (2) berubah menjadi partai politik, dan (3) membentuk

partai Islam baru yang memiliki kesamaan orientasi ideologi seperti Masyumi. Akhirnya Muhammadiyah memilih alternatif nomor tigas (3) dengan ikut memprakarsai lahirnya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada 7 April 1967, dengan dipimpin oleh Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun.

Bagi Muhammadiyah, kehadiran Parmusi memang merupakan kebutuhan dalam melancarkan gerakan dakwah Muhammadiyah dibidang politik. Relevansi hal ini dikuatkan oleh keputusan sidang Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo dalam tahun 1969 bahwa “parpol sebagai salah satu alat perjuangan dan kegiatan dakwah melalui saluran politik.” Tetapi ketika Parmusi yang dipandang sebagai alat perjuangan dan kegiatan dakwah Muhammadiyah dibidang politik dilanda oleh konflik interes yang berkepanjangan, tidak ada alasan bagi Muhammadiyah untuk mempertahankannya dan lebih aman untuk melepaskan hubungan sama sekali.

Untuk memperkuat teori diatas Menurut Karim (Suwarno, 1999:15) Konsep Islam mengenai relasi antara agama dan negara bermuara pada tiga paradigma yang berbeda. Pertama, paradigma integratif, yang berupaya mengintegrasikan Islam kedalam Negara, sehingga negara atau politik ditarik menjadi wilayah agama. Kedua, paradigma simbiosis, yang memandang agama dan negara saling terkait erat satu sama lain. Ketiga, paradigma instrumental, yang menganggap negara sebagai alat untuk mengembangkan dan merealisasikan nilai-nilai agama (Islam).

Menurut teori yang di sampaiakan oleh Karim selama masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang letak Relasi Muhammadiyah dengan negara menganut paradigma yang kedua (simbiosis). Bahwa agama (Islam) memiliki hubungan yang erat dengan negara, meskipun pada waktu itu, negara masih dalam belenggu penajajahan. Sebagai bukti dapat di tampilkan ketika pada tahun 1925, Muhammadiyah berani bersikap kritis dengan menolak penerapan Guru Ordonansi 1925 penolakan ini di pandang oleh Muhammadiyah negara membatasi dan bertindak represif terhadap agama (Islam) dikarenakan seorang guru agama Islam yang mengajar di sekolahan wajib memperoleh surat izin dari pejabat berwenang.

Menurut Hadikusumo (1973:19) Dalam pendudukan Jepang Muhamamdiyah juga berani melancarkan protes untuk menentang praktik saikeirei, yang cenderung syirik. Muhammadiyah memandang, kewajiban saikeirei terhadap umat Islam merupakan indikasi bahwa negara bersikap represif terhadap negara. Pada saat perjuangan untuk mencapai negara merdeka banyak dari tokoh Muhammadiyah yang berjuang demi kemerdekaan bangsa Indonesia. Menurut Anshari (1981:56) Kontribusi Muhammadiyah yang paling besar yang diberikan oleh tokoh Muhamamdiyah pada tahun 1944-1953, atas perubahan sila pertama Pancasila Piagam Jakarta ketika dasar negara itu akan disahkan pada 18 agustus 1945, ketika itu muncul ancaman disintegrasi dari masyarakat Indonesia bagian Timur, pada saat itu Bung Hatta memanggil tokoh dari golongan nasionalis Islam termasuk Ki Bagus Hadikusumo, disitulah Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai

pengganti “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Ki Bagus, usulannya itu memiliki esensi yang sama dengan Tauhid, ajaran pokok Islam, sebagaimana termuat dalam QS Al Ikhlas ayat 1-4.

Dokumen terkait