• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemikiran Politik dalam Keilmuan PKn 1. Pemikiran Politik - Adha Abdul Malik BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemikiran Politik dalam Keilmuan PKn 1. Pemikiran Politik - Adha Abdul Malik BAB II"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemikiran Politik dalam Keilmuan PKn 1. Pemikiran Politik

Menurut Syafe‟i (Yusuf, 2012:101) Istilah politik dalam bahasa Arab

disebut siyasyah dan dalam bahasa Inggris disebut politics. Politik dalam pembicaraan keseharian diartikan sebagai suatu cara untuk mewujudkan suatu tujuan. Asal usul kata politik itu sendiri berasal dari kata polis yang berarti negara kota, sehingga dengan politik berarti ada hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama, yang dalam hubungan tersebut timbullah aturan, kewenangan, legalitas kekuasaan.

Secara spesifik politik diartikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan (sistem pemerintahan) atau segala urusan dan tindakan (kebijakan,siasat) mengenai pemerintahan negara, atau dapat pula diartikan sebagai cara bertindak dalam menghadapi dan menangani suatu masalah. Menurut Bagus (Yusuf, 2012:101) menjelaskan beberapa pengertian politik atau politikos (Yunani), yang antara lain adalah perkara yang berkaitan dengan mengelola, mengarahkan, dan menyelenggarakan kebijaksanaan umum atau kebijaksanaan yang menyangkut partai-partai politik yang berperan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

(2)

bersama manusia (bukan hanya untuk individu atau golongan) yaitu suatu kehidupan yang berkeadilan, berkesejahteraan, dan berketentraman dan harus dalam bingkai moralitas dan spiritualitas.

Berkaitan dengan pembahasan mengenai hubungan negara dan agama peneliti menggunakan pemikiran politik Islam, peneliti akan menyampaikan mengenai pandangan-pandangan berkaitan dengan politik atau siyasah dalam konteks (agama dan negara) yang di gagas oleh para filosof Islam, adapun menurut Iqbal dan Nasution (2015: 54) pemikiran politik Islam, menurut filosof Islam antara lain:

Menurut pandangan al-Mawardi mengenai pemikiran politik bahwasanya selepas jaman kenabian (nubuwwah) dalam rangka melindungi agama dan mengatur kehidupan dunia maka di butuhkan seorang imamah (pemimpin). Pelembagaan imamah menurutnya adalah “fardhu kifayah” berdasarkan “ijma” ulama. Pandangannya ini juga sejalan dengan kaidah ushul yang menyatakan “ma

la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib”(suatu kewajiban tidak sempurna kecuali melalui sarana atau alat, maka sarana atau alat itu juga hukumnya wajib).

(3)

(warga negara) itu sangat penting didalam menjaga kehidupan baik hubungan dengan agama maupun dengan negara (dunia).

Berkaitan dengan pemikiran politik Ghazali sependapat dengan al-Mawardi bahwa mendirikan imamah adalah wajib. Al-Ghazali menggambarkan hubungan antara agama dan kekuasaan politik dengan ungkapan :

“Sultan (disini berarti kekuasaan politik) adalah wajib untuk ketertiban dunia; ketertiban dunia wajib bagi ketertiban agama; ketertiban agama wajib bagi keberhasilan di akhirat. Inilah tujuan sebenarnya para rasul. Jadi, wajib adanya imam merupakan kewajiban agama dan tidak ada jalan untuk meninggalkannya”.

Ungkapan yang disampaikan oleh al-Ghazali ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh al-Mawardi diatas, tentang bentuk pemerintahan, kewajiban mendirikan suatu pemerintahan dan mengangkat imam yang berfungsi untuk mengurusi persoalan agama dan dunia. Menurut al-Ghazali manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Disinilah perlunya hidup bermasyarakat dan bernegara. Pembentukan negara bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan praktis duniawi, melainkan juga untuk persiapan bagi kehidupan akhirat.

(4)

kehidupan sosial tersebut. Ibn Taimiyah juga menekankan hubungan antara agama dan negara yang sangat penting.

Ibn Khaldun berpandangan bahwa agama adalah faktor penting yang dapat mempersatukan berbagai perbedaan dalam masyarakat. Agama harus di gandengkan dengan solidaritas kelompok, sehingga mampu memberikan kontribusi yang nyata bagi kekuasaan politik. Sebaliknya, bila agama dan solidaritas kelompok ini dipertentangkan, maka yang terjadi adalah disintegrasi. Jadi, kalau solidaritas kelompok merupakan perintis bagi eksistensi suatu negara, maka agama akan menjadi penopang kekuasaan (negara) tersebut.

Ibn Khaldun memandang bahwa agama memainkan peranan penting. Bagi Ibn Khaldun, kehancuran suatu dinasti atau negara didahului oleh tidak berjalannya peran strategis agama dalam mengarahkan kekuasaan.

Menurut Syaifullah (Fajar dan Faridli, 2017:8) ada tiga teori mengenai pemikiran politik Islam modern yang muncul didunia Islam, yaitu teori revivalisme, teori sekularisme, dan teori modernisme, antara lain:

(5)

belakangi oleh suatu keyakinan bahwa segala sesuatunya ada dalam al-Qur‟an, termasuk sistem politik.

Menurut Iqbal dan Nasution (2015:75) Teori ini tercermin dalam pemikiran Mohammad Rasyid Ridha, Ikhwanul Muslimin, dan Mawdudi. Ridha berpandangan bahwa keutuhan umat Islam hanya dapat terwujud melalui Jami’ah Islamiyah atau Pan Islamisme (bersatunya umat Islam), dengan mempertahankan lembaga kekuasaan Usmaniyah murni dibawah pimpinan Sultan Abdul Hamid II yang mempersatukan seluruh umat Islam, dengan tujuan memperkuat wibawa dan kemampuan Sultan dalam menghadapi tantangan dan kekuatan asing. Keinginan kuat Ridha untuk mempertahankan lembaga khalifah ini tampak jelas dari kesungguhannya untuk mendirikan lembaga khalifah baru. Upaya untuk mewujudkan lembaga khalifah yang baru ini adalah dengan mengadakan Muktamar Akbar di Mesir pada 1926. Upaya seperti itu pernah dicoba di Makkah pada 1925, yang dihadiri oleh Ridha. Namun, kedua muktamar tersebut berakhir dengan kegagalan.

(6)

keadilan penguasa, ketaatan rakyat, dan permusyawaratan antar penguasa dan rakyat.

Menurut Abul A‟ala Al-Mawdudi (Iqbal dan Nasution, 2015:168) juga sebagai wakil teori ini, mendasarkan pandangan politik Islam pada tiga keyakinan. (1). Islam adalah agama paripurna, lengkap dengan petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan politik, yang berarti bahwa dalam Islam terdapat pula sistem politik. Oleh karenya, dalam bernegara, umat Islam tidak perlu atau bahkan dilarang meniru sistem Barat. (2). Kekuasaan atau kedaulatan tertinggi adalah pada Allah atau khalifah-khalifah Allah dibumi. (3). Sistem politik Islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal batas, ikatan geografis, bahasa, dan kebangsaan. Uraian singkat tentang gagasan-gagasan pokok tokoh-tokoh diatas menunjukan adanya kesamaan pemikiran, yang mencerminkan teori revivalisme.

Kedua, teori Sekularisme, teori ini berpandangan bahwa Al-Qur‟an tidak mengatur masalah politik atau negara lebih jauh. Pendukung teori ini berpandangan bahwa Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa dengan tugas tunggal, yakni mengajak manusia kembali pada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi Muhammad tidak pernah bermaksud untuk mendirikan dan mengepalai negara atau politik. Teori ini disebut sekularisme, suatu paham yang memisahkan agama dan negara atau politik.

(7)

adalah sesuatu yang lain. Dan, sesungguhnya politik sistem pemerintahan dan pembentukan negara adalah atas dasar manfaat-manfaat amaliah, bukan atas dasar sesuatu yang lain. Al-Qur‟an tidak mengatur sistem pemerintahan, baik secara umum maupun secara khusus. Teori ini berpandangan bahwa pemerintahan Nabi di Madinah maupun khalifah-khalifah sesudahnya bukanlah pemerintahan yang didasarkan pada wahyu, melainkan pemerintahan insani, sehingga tidak pantas jika dianggap sakral. Pandangan yang diungkapkan oleh Thaha Husein atas dasar kalo memang pemerintahan yang dijalankan Nabi Muhammad itu seluruhnya atas perintah Allah, tentu tidak seorang pun yang diajaknya bermusyawarah. Baiat (sumpah setia) selalu diminta oleh Nabi dan kedua sahabatnya (Abu Bakar dan Umar Ibnu Khattab) pada kaum muslimin.

(8)

menggunakan instrumen akal, walaupun tujuan akhirnya adalah tuntutan untuk memeluk suatu agama. Baik Thaha Husein maupun Ali Abd al-Raziq mempunyai pandangan politik yang paralel, yang mencerminkan corak teori sekularisme.

Ketiga, teori Modernisme, teori ini berpandangan bahwa dalam al-Qur‟an tidak terdapat sistem politik, tetapi terdapat seperangkat tata-nilai etika bagi kehidupan berpolitik. Walaupun Muhammad Abduh lebih merupakan tokoh pembaru agama, pemikiran politiknya cukup mewakili alirin ini. Seperti dikutip oleh Syaifullah, Abduh mengatakan sesungguhnya dalam Islam tidak terdapat kekuasaan kegamaan selain kewenangan untuk memberikan peringatan secara baik, mengajak orang lain kearah kebaikan, dan menariknya dari kebutuhan. Kewenangan ini diberikan kepada setiap muslimin, baik yang berpangkat tinggi maupun rakyat biasa. Pandangan Muhammad Abduh ini mencerminkan bahwa misi Islam yang menjadi tugas muslimin adalah seruan Amar Makruf Nahi Munkar. Dengan kata lain, diluar wilayah agama atau keyakinan, misi

kemanusiaan adalah sebatas seruan kebaikan, tentu saja dengan panduan dasar-dasar etika Islam.

(9)

akan keesaan Tuhan; percaya adanya hukum alam dari Tuhan (sunatullah); dan persamaan. Sejarah umat manusia, perbedaan keyakinan dasar selalu menjadi penyebab keresahan masyarakat atau negara. Oleh sebab itu, Islam mengajak umat manusia untuk menyetujui suatu keyakinan dasar sebagai asas tunggal bagi kehidupan bersama, yaitu percaya pada keesaan Tuhan (tauhid) sesuai dengan firman Allah, surat An-Nisa ayat 48. Allah tidak akan mengampuni perbuatan menyekutukan Tuhan, dan Dia akan mengampuni dosa-dosa lain bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Sedangkan yang percaya akan keesaan Allah tidak hanya umat Islam, banyak umat agama-agama lain juga percaya akan keesaan Allah, termasuk umat Yahudi.

Tentang prinsip hukum alam (sunatullah), Islam percaya bahwa alam semesta ini, termasuk kehidupan umat manusia, tunduk pada sunah Allah, atau hukum alam dari Allah, yang sifatnya pasti, serta tidak pernah tidak akan berubah. Dalam konteks ini, Syaifullah memberi komentar bahwa Haikal, tampaknya ingin mengatakan bahwa dalam pengelolaan masyarakat atau negara agar diperhatikan watak-watak manusia sesuai dengan fitrah alamiahnya.

(10)

Tiga prinsip yang dikemukakan oleh Husein Haikal tersebut dapat dijadikan panduan bagi peradaban manusia dan perilaku manusia dalam bermasyarakat dan bernegara.

Teori modernisme diwakili Muhammad Abduh dan Muhammad Husein Haikal, berpandangan bahwa agama dan negara (politik) berhubungan secara simbiotis, yaitu agama memerlukan negara (politik), karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika. Pandangan tentang simbiosis agama dan negara dapat ditemukan dalam, pemikiran Al-Mawardi, Al-Ghazali, Muhammad Abduh. Dalam karyanya yang terkenal, Al-Ahkam wa Al-Sultaniyah, Al-Mawardi menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian, guna memelihara agama dan mengatur dunia. Al-Ghazali mengisyaratkan hubungan setara atau sejajar antara agama dan negara, seperti kesetaraan nabi dan raja, yang berarti raja (atau negara) yang berstatus tinggi berhubungan dalam kesejajaran dengan nabi (atau agama). Jika Tuhan mengirimkan para nabi dan memberi mereka wahyu, maka Dia juga telah mengirim para raja dan memberi mereka “kekuatan Ilahi” (farriizadi). Keduanya

(11)

penguasa, lengkap dengan aparatnya. Tugas ini merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahannya.

Dengan demikian, baik al-Mawardi, al-Ghazali, maupun Muhammad Abduh mengenalkan hubungan timbal balik, hidup bersama (simbiosis), serta kesetaraan antara agama dan negara (politik). Adanya konsep hubungan timbal balik antara agama dan politik di satu sisi, dan prinsip dasar yang ditunjukan Islam pada wilayah politik, membuka peluang besar untuk melakukan ijtihad politik, di sisi yang lain.

Berdasarkan ketiga teori tentang pemikiran politik Islam Modern diatas sehingga dapat dijadikan dasar tela‟ah yang di lakukan peneliti dalam menganalisa pergerakan Muhammadiyah dalam realitas perpolitikan di Indonesia.

2. Hubungan Pemikiran Politik dalam Keilmuan PKn

(12)

Perjalanan panjang sejarah politik Islam di Indonesia dan perjuangannya terkait dengan kontekstualisasi dan artikulasi relasi agama dan negara dalam konteks kebangsan dan keindonesiaan dipandang oleh Ki Bagus Hadikusumo bahwasanya ajaran agama Islam pantas dan layak untuk dijadikan sebagai dasar bagi berdirinya negara Indonesia. Pemikiran politik oleh Ki Bagus Hadikusumo dipandang sebagai sesuatu yang memiliki tujuan untuk menegakan hukum kebenaran dan keadilan. Menurut Hadikusumo (1973:24) Pandangan politik yang dianut oleh Ki Bagus Hadikusumo yang ahirnya membuat Ki Bagus Hadikusumo turut serta didalam perjuangan politik untuk menghasilkan kemerdekaan bagi bangsa dan tanah airnya, dan agama Islam. Kemerdekaan menurut Ki Bagus Hadikusumo memiliki esensi bahwa kemerdekaan itu harus mampu memenuhi hajat hidup rakyat, jasmani, dan rohani.

Ki Bagus Hadikusumo merupakan salah seorang tokoh bangsa yang sangat fenomenal di kalangan intelektual-cendekiawan-muslim Indonesia terutama sejak masa Indonesia sebelum merdeka. Ki Bagus Hadikusumo merupakan seorang tokoh dari Muhammadiyah yang termasuk didalam golongan nasionalis Islam yang berusaha merumuskan pola hubungan agama dengan negara.

(13)

negara, untuk itu Ki Bagus Hadikusumo turut terlibat perjuangannya didalam politik.

Hubungan agama dan negara dalam konteks dunia Islam kiranya masih menjadi isu yang strategis untuk mewujudkan demokrasi di Indonesia. Menurut Maarif (2017:214) dalam hal ini mengkritisi bahwa ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara dalam Islam disulut oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan Negara (dawlah). Berbagai eksperimen telah diselesaikan untuk menyelaraskan antara din dan dawlah dengan konsep dan kultur masyarakat muslim. Perdebatan Islam dan Negara berangkat dari pandangan dominan, Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli) yang mengatur semua kehidupan manusia, termasuk persoalan politik. Dari sudut pandang Islam sebagai agama yang komprehensif, hal ini pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama (din) dan politik (dawlah). Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad saw. Menurut Azra (2007: 38) di kota Madinah Muhammad berperan ganda, satu sisi beliau sebagai seorang pemimpin agama sekaligus sebagai kepala negara yang memimpin sebuah sistem pemerintahan awal Islam yang oleh kebanyakan pakar dinilai sangat modern di masanya.

(14)

sosiokultural yang di implementasikan oleh Ki Bagus Hadikusumo tersebut merupakan suatu pola yang patut disuriteladani dengan pengembangan kajian keilmuwan dan pola pemberdayaan warga negara yang dapat mengedepankan civic culture dalam kehidupan masyarakat dan bangsa, serta menjadi bagian dari

warga global dalam membangun tatanan dunia yang rahmatan li al-alamin.

Gerakan sosiokultural kewarganegaraan yang dilakukan oleh Ki Bagus Hadikusumo telah membuat sejarah bangsa berubah dimana kaum santri yang dalam teori Clifford Geertz (Rozak, 2015:61) diidentikkan sebagai kaum sarungan, kolot, tradisional dan menolak modernitas, tampil dengan pola pikir dalam ”identitas baru” yang lebih intelek, progresif dan modern, dengan

merumuskan pola hubungan antara agama dan negara.

Menurut Winataputra (Rozak, 2015:82) Secara konseptual dipandang bahwa “pendidikan kewarganegaraan” atau citizenship education merupakan bidang kajian ilmiah pendidikan disiplin ilmu sosial yang bersifat “lintas bidang keilmuan” dengan intinya ilmu politik, yang secara paradigmatik memiliki saling

keterpautan yang bersifat komplementatif dengan pendidikan ilmu sosial secara keseluruhan. Dalam hal ini, bahwa (a) social studies berpijak terutama pada konsep-konsep dan metode berpikir ilmu-ilmu sosial secara keseluruhan, sedang citizenship education berpijak terutama pada ilmu politik dan sejarah; (b) salah

satu dimensi dari social studies adalah citizenship education.

(15)

didalam domain ilmiah civic education sebagai integrated knowledge system dan domain sosial kultural berupa pemikiran para tokoh intelektual. Dalam penelitian, kedua domain tersebut memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain.

Secara paradigmatik sistem pendidikan kewarganegaraan memiliki tiga komponen, yakni: (a) kajian ilmiah pendidikan ilmu kewarganegaraan; (b) program kurikuler Pendidikan Kewarganegaraan; dan (c) gerakan sosial-kultural kewarganegaraan (Winataputra, 2001), yang secara koheren bertolak dari esensi dan bermuara pada upaya pengembangan pengetahuan kewarganegaraan, nilai dan sikap kewarganegaraan, dan keterampilan kewarganegaraan. Sedangkan secara kontekstual logika internal dan dinamika eksternal sistem pendidikan kewarganegaraan dipengaruhi oleh aspek-aspek pengetahuan intraseptif berupa Agama dan Pancasila; pengetahuan ekstraseptif ilmu, teknologi, dan seni; cita-cita, Nilai, konsep, prinsip, dan praksis demokrasi; masalah-masalah kontemporer Indonesia; kecenderungan dan masalah globalisasi; dan kristalisasi civic virtue dan civic culture untuk masyarakat madani Indonesia-masyarakat negara kebangsaan Indonesia yang berdemokrasi konstitusional. Aspek esensial yang menjadi faktor perekat (integrating forces) dari ketiga komponen sistem pendidikan kewarganegaraan sehingga membentuk suatu kerangka paradigmatik yang koheren adalah konsep warga negara yang cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius sebagai perangkat kompetensi kewarganegaraan (civic knowledge, civic disposition and civic skills-civic virtue) yang berkembang secara

(16)

Istilah PKn yang digunakan didalam penelitian adalah PKn dalam arti citizenship education yaitu sebagai istilah generik yang mencakup pengalaman

belajar di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan dan sebagai kerangka konseptual dan sistematik dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait dengan berbagai upaya pengembangan dan penguatan keilmuan pendidikan kewarganegaraan. Menurut Rozak (2015:75) citizenship education memiliki visi sosio-pedagogis yaitu mendidik warganegara yang demokratis dalam konteks yang lebih luas, yang mencakup konteks pendidikan formal dan pendidikan non-formal. Pendidikan kewarganegaraan (citizenship education–civic education) secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warganegara yang cerdas dan baik (good and smart citizenship) untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Sampai saat ini bidang itu sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima status, diantaranya :

1. Pendidikan kewarganegaraan sebagai mata pelajaran di persekolahan. 2. pendidikan kewarganegaraan sebagai mata kuliah di perguruan tinggi. 3. pendidikan kewarganegaraan sebagai salah satu cabang pendidikan disiplin

ilmu pengetahuan sosial dalam kerangka program pendidikan guru.

4. Pendidikan kewarganegaraan sebagai program pendidikan politik, pendidikan demokrasi dan HAM dalam ranah pendidikan kemasyarakatan. 5. Pendidikan kewarganegaraan sebagai kerangka konseptual dan sistematik

(17)

berbagai langkah dalam pengembangan keilmuan pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bidang kajian ilmiah yang melandasi dan sekaligus menaungi pendidikan kewarganegaran.

Penelitian ini merupakan bagian dari instrumen dan praksis PKn dalam status kelima dari kelima status diatas, yaitu sebagai kerangka konseptual dan sistematik dalam bentuk pemikiran individual dan kelompok pakar terkait dengan berbagai langkah dalam pengembangan keilmuan PKn sebagian bidang kajian ilmiah yang mendasari dan sekaligus menaungi PKn (Winataputra, 2012:73)

Dalam konteks proses menuju Indonesia baru dengan konsepsi masyarakat madani sebagai tatanan ideal sosial-kulturalnya, maka pendidikan kewarganegaraan (Wahab dan Sapriya, 2011) mengemban misi sebagai berikut: sosio-pedagogis, sosio-kultural, dan substantif-akademis.

(18)

mengenai dan yang berkenaan dengan civic virtue (keadaban kewarganegaraan) dan civic culture (budaya kewarganegaraan) melalui kegiatan penelitian dan pengembangan (fungsi epistemologis) dan memfasilitasi praksis sosio-pedagogis dan sosio-kultural dengan hasil penelitian dan pengembangannya itu (fungsi aksiologis).

Perwujudan ketiga misi tersebut akan memfasilitasi pengembangan pendidikan kewarganegaraan sebagai proto science dalam rangka menjadi disiplin baru dan dalam waktu bersamaan secara sinergistik akan dapat meningkatkan kualitas isi dan proses pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler pendidikan politik, pendidikan demokrasi dan HAM serta kegiatan sosio-kultural dalam koteks makro pendidikan nasional. Sebagai suatu domain kajian pendidikan ilmu, pendidikan kewarganegaraan memerlukan kelembagaan yang berfungsi sebagai sarana institusional yang memfasilitasi pengembangan epistemologi dan perwujudan aksiologi kedisiplinannya, dan komunitas ilmiah yang berperan sebagai kelompok pemikir wacana akademisnya dan pengembang sarana programatiknya.

(19)

yang masuk kedalam golongan nasionalis Islam Indonesia seperti Ki Bagus Hadikusumo adalah menjadi bagian integral dari obyek telaah keilmuan pendidikan kewarganegaraan. Dengan memasukkan pemikiran politik kaum intelektual muslim Indonesia seperti Ki Bagus Hadikusumo, pendidikan kewarganegaraan Indonesia memiliki karakteristik dan menjadi nilai beda dengan telaahan keilmuan pendidikan kewarganegaraan pada umumnya. Begitu juga dengan gerakan sosiokultural kewarganegaraan yang dilakukan oleh Ki Bagus Hadikusumo dapat menambah khazanah dan model obyek pengembangan dari ranah dimensi ontologis keilmuan pendidikan kewarganegaraan. Dengan kata lain kajian penelitian ini memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan dimensi ontologis keilmuan pendidikan kewarganegaraan. Adapun objek pengembangan adalah keseluruhan ranah sosio-psikologis peserta didik, yakni ranah kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik yang menyangkut status, hak, dan kewajibannya sebagai warga negara, yang perlu dimuliakan dan dikembangkan secara programatik guna mencapai kualitas warga negara yang “cerdas, dan baik, demokratis, religius, dan berkeadaban dalam konteks

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(20)

mencakup metodologi penelitian dan pengembangan. Metodologi penelitian digunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru melalui metode penelitian kuantitatif yang menonjolkan proses pengukuran dan generalisasi untuk mendukung proses konseptualisasi, dan metode penelitian kualitatif yang menonjolkan pemahaman holistik terhadap fenomena alamiah untuk membangun suatu teori. Metodologi pengembangan digunakan untuk mendapatkan paradigma pedagogis dan rekayasa kurikuler yang relevan guna mengembangkan aspek-aspek sosial-psikologis peserta didik, dengan cara mengorganisasikan berbagai unsur instrumental dan kontekstual dalam pendidikan kewarganegaraan.

Selanjutnya yang termasuk ke dalam aspek aksiologi pendidikan kewarganegaraan adalah berbagai manfaat dari hasil penelitian dan pengembangan dalam bidang kajian pendidikan kewarganegaraan yang telah dicapai, bagi dunia pendidikan persekolahan dan pendidikan kemasyarakatan. Hasil-hasil penelitian dan pengembangan citizenship education dan civic education dalam dunia pendidikan persekolahan banyak memberi manfaat dalam

merancang program pendidikan guru, meningkatkan kualitas kemampuan guru, meningkatkan kualitas proses pembelajaran, meningkatkan kualitas sarana dan sumber belajar, dan meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan dalam rangka revitalisasi pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan politik, pendidikan demokrasi dan HAM sekaligus sebagai pendidikan karakter bangsa.

(21)

sosial kultural); (b) epistemologi research, development, and diffusion dalam bentuk kajian ilmiah dan pengembangan program kurikuler, perilaku dan konteks sosial kultural warganegara, serta komunikasi akademis, kurikuler, dan sosial dalam rangka penerapan hasil kajian ilmiah dan pengembangan kurikuler dan instruksional dalam praksis pendidikan demokrasi untuk warganegara di sekolah dan masyarakat; dan (c) aksiologi untuk memfasilitasi pengembangan body of knowledge sistem pengetahuan atau disiplin pendidikan kewarganegaraan; melandasi dan memfasilitasi pengembangan dan pelaksanaan pendidikan demokrasi di sekolah dan diluar sekolah; dan membingkai serta memfasilitasi berkembangnya koridor proses demokratisasi secara sosial kultural dalam masyarakat.

Dengan mengakomodasi pemikiran politik kaum intelektual muslim Indonesia sebagai bagian dari materi kajian Pendidikan Kewarganegaraan, keberadaan dan posisi Pendidikan Kewarganegaraan yang secara legal formal dalam Undang-undang Sistem Pendidikan nasional Nomor 20 tahun 2003 sebagai sesuatu bahan kajian yang harus ada dalam kurikulum persekolahan mulai jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi jenjang sarjana akan semakin efektif peran yang dapat dilakukan oleh Pendidikan Kewarganegaraan dalam rangka pelaksanaan fungsi dan perwujudan tujuan pendidikan nasional. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa” (pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

(22)

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) adalah “untuk berkembangnya potensi

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman ban bertaqwa kepada tuhan yang maha esa, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggung jawab”.

B. Konsep Negara 1. Pengertian Negara

Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing: state (Inggris), staat (Belanda dan Jerman), atau etat (Perancis). Menurut Mahmuda (2017:287) Secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif yang pada hakikatnya harus dimiliki oleh suatu negara berdaulat: masyarakat (rakyat), wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Ketiga unsur ini perlu ditunjang dengan unsur lainnya seperti adanya konstitusi dan pengakuan dunia internasional yang oleh Mahfud M.D. disebut dengan unsur deklaratif.

2. Bentuk-Bentuk Negara

(23)

Negara kesatuan adalah bentuk suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Namun dalam pelaksanaannya, negara kesatuan ini terbagi ke dalam dua macam sistem pemerintahan: sentral dan otonomi.

Negara serikat atau federasi merupakan bentuk negara gabungan yang terdiri dari beberapa negara bagian dari sebuah negara serikat. Pada mulanya negara-negara bagian tersebut merupakan negara yang merdeka, berdaulat, dan berdiri sendiri. Setelah menggabungkan diri dengan negara serikat, dengan sendirinya negara tersebut melepaskan sebagian dari kekuasaannya dan menyerahkannya kepada negara serikat.

Di samping dua bentuk ini, dari sisi pelaksana dan mekanisme pemilihannya, bentuk negara dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok: monarki, oligarki, dan demokrasi.

(24)

Model pemerintahan oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.

Pemerintahan model demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan rakyat atau mendasarkan kekuasaannya pada pilihan dan kehendak rakyat melalui mekanisme pemilihan umum (pemilu).

3. Teori Terbentuknya Negara

Menurut Ubaedillah dan Rozak (2012:123) Bentuk-bentuk negara yang telah disebutkan di atas ada teori tentang pembentukannya. Di antara teori-teori terbentuknya sebuah negara, yaitu:

a. Teori Kontrak Sosial (Social Contract)

Teori kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat beranggapan bahwa negara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat dalam tradisi sosial masyarakat. Teori ini meletakkan negara untuk tidak berpotensi menjadi negara tirani, karena keberlangsungannya bersandar pada kontrak-kontrak sosial antara warga negara dengan lembaga negara. Penganut mazhab pemikiran ini antara lain Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Roussae.

b. Teori Ketuhanan (Teokrasi)

(25)

(atau negara) yang berstatus tinggi berhubungan dalam kesejajaran dengan nabi (atau agama).

Menurut pandangan Al-Ghazali jika Tuhan mengirimkan para nabi dan memberi mereka wahyu, maka Dia juga telah mengirim para raja dan memberi mereka “kekuatan Ilahi” (farriizadi). Keduanya memiliki tujuan

yang sama, yaitu kemaslahatan kehidupan manusia. Muhammad Abduh mengakui bahwa Islam bukan agama semata-mata, melainkan juga mempunyai hukum-hukum yang mengatur hubungan sesama muslimin dan sesama hidup, yang untuk pelaksanaan dan pengawasan berlakunya memerlukan penguasa, lengkap dengan aparatnya. Tugas ini merupakan tanggung jawab kepala negara beserta perangkat pemerintahannya.

c. Teori Kekuatan

Secara sederhana teori ini dapat diartikan bahwa negara terbentuk karena adanya dominasi negara kuat melalui penjajahan. Menurut teori ini, kekuatan menjadi pembenaran (raison d‟etre) dari terbentuknya sebuah

(26)

4. Konsep Negara Islam

Menurut teori-teori politik Islam klasik, konsep negara merupakan inti filsafat politik Islam. Istilah negara (dawlah) dalam literatur Islam yaitu Al Qur‟an, memang tidak ditemukan satu ayatpun, tetapi unsur-unsur esensial yang

menjadi dasar Negara dapat ditemukan dalam kitab suci Al Quran.

M. Natsir berpandangan bahwa Islam merupakan agama yang ajarannya komprehensif dan mengatur segala aspek kehidupan manusia di muka bumi ini.

Menurut Ibn Hajar (Kashim, 2012:95) membagi negara Islam, Dawlah al-Islamiyyah, kedalam tiga komponen penting, yaitu:

a. Tanah yang didiami oleh umat Islam pada asalnya dan dipimpin oleh seorang yang beragama Islam. Sebagai contoh sebagaimana yang berlaku di al-Madinah al-Munawwarah.

b. Tanah yang dibuka oleh umat Islam melalui peperangan atau persefahaman. Pada asalnya tanah itu didiami oleh orang kafir, selepas kemenangan umat Islam dalam peperangan, golongan yang dikira sebagai penduduk asal sebelum ini sanggup dan bersetuju untuk membayar al-jizyah kepada umat Islam bagi membolehkan mereka terus tinggal di tanah yang dibuka itu tadi. c. Negara yang didiami oleh umat Islam dan kemudiannya negara tersebut telah

dijajah oleh orang kafir.

(27)

a. Hukum bukan Islam dilaksanakan di negeri tersebut seperti amalan riba, arak, judi dan memilih pemimpin selain yang beragama Islam.

b. Negeri itu tidak mempunyai perhubungan langsung dengan orang Islam, malah dari segi geografi ia terhalang daripada negara Islam. Sekiranya kawasan bukan Islam itu mempunyai hubungan dan dikelilingi oleh kawasan Islam, ia tidak dikategorikan sebagai Dar-al-Harb.

c. Tiada seorang Muslim atau dzimmi yang hidup dalam keadaan aman sebagaimana keamanan yang dinikmati oleh masyarakat Muslim awal. Mazhab Shafi‟i juga menegaskan sebuah negara Islam itu mestilah memiliki

sebagian daripada ciri-ciri negara Islam seperti berikut:

a. Undang-undang Islam dilaksanakan sepenuhnya dalam negara Islam tersebut.

b. Umat Islam bebas melaksanakan segala tuntutan syariat tanpa ada larangan daripada pihak yang berkuasa.

c. Pemimpin negara itu mestilah terdiri daripada orang yang beragama Islam.

5. Konsep Negara Demokrasi

Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata

(28)

kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat. Rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.

Menurut Nando (2018:32) Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Abul A‟la Maududi yang kemudian dikenal dengan "sosok guru

demokrasi". Menurutnya, prinsip-prinsip demokrasi adalah sebagai berikut: 1) Kedaulatan rakyat. Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi. Dalam Negara

demokrasi, pemilik kedaulatan adalah rakyat bukan penguasa.

2) Pemerintahan didasarkan pada persetujuan rakyat. Prinsip ini menghendaki adanya pengawasan rakyat terhadap pemerintahan. Dalam hal ini, penguasa Negara tidak bisa dan tidak boleh menjalankan kehidupan Negara berdasarkan kemauannya sendiri.

3) Pemerintahan mayoritas dan perlindungan hak-hak minoritas. Prinsip ini menghendaki adanya keadilan dalam keputusan. Keputusan yang sesuai dengan kehendak rakyat.

4) Persamaan di depan hukum. Prinsip ini menghendaki adaanya persamaan politik.

5) Perlindungan hukum. Prinsip ini menghendaki adanya perlindungan hukum warga Negara dari tindakan sewenang-wenang oleh Negara.

(29)

7) Penghargaan terhadap nilai-nilai demokrasi. Prinsip ini menghendaki agar kehidupan Negara senantiasa diwarnai oleh toleransi, kemanfaatan, kerjasama dan konsesus.

C. Relasi Muhammadiyah dan Negara

Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada 8 Dzulhijah 1330 H bertepatan dengan 18 November 1912. Tokoh yang nama kecilnya Muhammad Darwis ini lahir di Kampung Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1868 M. Sejak awal berdirinya Muhammadiyah bukan dimaksudkan sebagai organisasi politik melainkan organisasi sosial-keagamaan yang terutama bergerak pada lahan dakwah dan pendidikan.

Meskipun Muhammadiyah merupakan organisasi yang murni sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar yang mencurahkan perhatian utama pada bidang keagamaan, sosial dan pendidikan. Akan tetapi dilihat dari sejarahnya banyak dari tokoh Muhammadiyah yang berjuang dan terlibat didalam kelembagaan politik didalam memerjuangkan kemerdekaan negara Indonesia. Menurut Taufik Abdullah (Suwarno, 2001:17) Perjuangan Muhammadiyah hanya mungkin dapat dipahami kalau sejarahnya ditempatkan dalam konteks dinamika hubungan “masyarakat dan negara” di tanah air kita ini. Penilaian Taufik

(30)

sosial-politik yang luas di Indonesia, sebagaimana telah dibuktikan disepanjang sejarah perjuangannya.

Didalam mengkaji berkaitan dengan relasi antara Muhammadiyah dan negara, Menurut Suwarno (2001:19) pendekatan yang dipakai untuk menelusuri sikap dan perilaku politik Muhammadiyah dalam perspektif historis, dengan menggunakan dua strategi perjuangan umat Islam, yakni kultural dan struktural. Tabel 2.1 Stategi Islam Kultural dan Struktural

Indikator Perbedaan Strategi

Metode Penyadaran dan moral force Permberdayaan dan aliansi Sarana Simposium, seminar2, diskusi,

Jangkauan Titik berat pada individu untuk keperluan jangka panjang.

Mobilisasi kolektivitas untuk keperluan jangka pendek. Sumber: Suwarno (2001)

Dalam pandangan peneliti, jika mengacu pada dua strategi yang digunakan oleh organisasi Muhammadiyah, yaitu kultural dan struktural, maka dapat di gambarkan bahwa perjalanan historis organisasi Muhammadiyah itu mengalami dua periodesasi, diantaranya:

(31)

Pada periode 1912-1937, Muhammadiyah berorientasi kultural maksudnya strategi dasar yang dipakai oleh Muhammadiyah adalah kultural tetapi ruang gerak orientasinya lebih pada bidang keagamaan (religius). Kemudian Muhammadiyah berorientasi struktural dalam periode 1937-1971 maknanya organisasi ini mengadopsi strategi politis/struktural sebagai strategi dasarnya, baik dengan mengindahkan atau menafikan strategi kultural sebagai basis strategi awalnya.

1. Strategi Islam Kultural Muhammadiyah (1912-1937)

Sebagaimana diketahui, Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) pada 18 November 1912 di Yogyakarta. Tokoh yang bernama kecil Muhammad Darwis ini berasal dari keluarga bangsawan keagamaan.

(32)

praktek-praktek TBC (Takhayul sebagai produk Islam-sinkretis dengan kebudayaan Jawa serta Bid‟ah dan Churafat sebagai produk Islam-tradisionalis).

Menurut Syaifullah (2015:353) Adapun tujuan awal didirikannya organisasi Muhammadiyah oleh KH. Ahmad Dahlan adalah untuk:

a. Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad saw. kepada penduduk bumi-putera, didalam residensi Yogyakarta.

b. Memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.

Menurut Pasha dan Darban (2005:109) Kemudian setelah KH. Ahmad Dahlan meninggal (1923) dan Muhammadiyah telah tersebar hingga luar Jawa, tujuan Muhammadiyah dirumuskan sebagai berikut:

a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama Islam di Hindia Belanda, dan.

b. Memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam kepada sekutu-sekutunya.

(33)

Strategi kultural yang berorientasi keagamaan (religius) juga nampak dari posisi Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid. Tajdid memiliki makna: pembaharuan, inovasi, restorasi, modernisasi. Sebagai gerakan tajdid, maka Muhammadiyah melakukan upaya memperbarui pengertian kaum muslimin mengenai agamanya, mencerahkan hati dan pikiran umat dengan cara mengenalkan kembali ajaran Islam sejati yang bersumber pada Al-Quran dan as-Sunnah. Muhammadiyah berusaha merubah pandangan negatif umat Islam yang serba mengharamkan seperti dalam hal menuntut pengetahuan umum, menerjemahkan Al-Quran, menyampaikan khutbah Jumat dalam bahasa selain Arab, dan lain-lain; berusaha diubah dan diluruskan oleh Muhammadiyah.

Orientasi yang dilakukan oleh organisasi Muhammadiyah dibidang keagamaan dalam periode 1912-1937, tidak berarti Muhamamdiyah menafikan bidang-bidang yang lain seperti sosial dan politik. Dibidang sosial, Muhammadiyah meletakan dasar dan pengembangan organisasi dengan membentuk lembaga-lembaga/majelis seperti pendidikan untuk mengurusi sekolah-sekolah yang didirikan, tabligh, wanita, kesejahteraan sosial dan tarjih. Dibidang politik, Muhammadiyah Sejak awal bersikap hati-hati, menyatakan diri untuk tidak berpolitik, dan membebaskan para anggotanya untuk memasuki organisasi-organisasi politik yang disukai dan dipilihnya.

(34)

“Muhamamdiyah tidak mengutamakan salah satu partai politik Indonesia dan melebihkan dibandingkan partai lainnya; dalam hal ini Muhammadiyah menghormati partai-partai itu secara sepadan, namun Muhammadiyah sendiri akan mengutamakan peran serta dalam melaksanakan kewajiban tertentu untuk mempertahankan keselamatan tanah air Indonesia.”

Pilihan Muhammadiyah sejak awal berdiri sebagai gerakan kultural dan tidak berpolitik praktis merupakan pilihan yang cerdas (the intelligent choice). Sebab dengan pilihan ini, pada satu sisi, Muhammadiyah terhindar dari konfrontasi secara langsung dengan pemerintah kolonial Belanda dan sikap kooperatifnya malahan mendapat kesan yang positif.

Akan tetapi sikap kooperatif Muhammadiyah yang menimbulkan kesan positif pemerintah kolonial Belanda tidak berarti bahwa Muhammadiyah tidak berani bersikap kritis. Menurut Benda (1980:101) Hal ini ditunjukan oleh Muhammadiyah ketika kolonial Belanda mengganti Ordonansi 1905 dengan Guru Ordonansi 1925, Muhammadiyah bersikap kritis karena memandang Guru Ordonansi 1925 itu masih sangat membahayakan aktivitas kegamaannya.

(35)

melibatkan gerakan massa yang diorganisasi secara teratur lewat rapat-rapat umum sejak pertengahan sampai akhir tahun 1928. Gerakan aksi massa yang digerakan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah untuk menentang Guru Ordonansi itu akhirnya berhasil dengan tidak diberlakukannya peraturan tersebut di Sumatera Barat (Benda, 1980:104).

Meskipun Muhammadiyah yang berkembang di Minangkabau lebih cenderung berorientasi politis, akan tetapi banyak mendapat respon positif dari masyarakat Minangkabau ini terlihat dari masuknya Muhammadiyah di Minangkabau pada tahun 1925 telah berkembang pesat sampai tahun 1930-an.

2. Strategi Islam Struktural Muhammadiyah (1937-1971)

Perubahan orientasi Muhammadiyah dari orientasi religius-kultural kepada orientasi politik / struktural terjadi sejak tahun 1937 dalam era kepemimpinan KH. Mas Mansur (1936-1942). Pada tahun 1937 Muhammadiyah memprakarsai berdirinya gerakan politik Islam yang disebut MIAI (Majlisul Islam A’la Indonesia), disusul dengan memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII)

(36)

Faktor-faktor yang mendorong perubahan orientasi Muhammadiyah adalah perpaduan dari dorongan internal kepemimpinan Mas Mansur dengan tuntutan keadaan eksternal dimana kekuatan partai-partai politik melemah namun situasi atau suhu politik justru meningkat.

Yang dimaksud dengan dorongan internal kepemimpinan Mas Mansur ialah selain diri pribadi Mas Mansur selaku pemimpin Muhammadiyah yang lebih condong ke politik, demikian pula beberapa pemimpin lain seperti Haji Sudjak, Faried Ma‟ruf dan Abdul Kahar Mudzakkir punya kecenderungan yang sama.

Sedangkan keadaan eksternal yang ditandai oleh lemahnya kekuatan-kekuatan partai politik dapat ditengok pada penangkapan tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir dalam tahun 1933/1934, yang kemudian diasingkan ke Flores (Soekarno) dan Boven Digul (Hatta, Syahrir dan lain-lain). Dengan demikian, setelah tahun 1934 gerakan anti kolonialisme radikal yang berdasar asas non-kooperatif benar-benar padam dan kemudian beralih ke strategi moderat dengan asas-kooperatif (Suwarno, 2001:29).

(37)

Muhammadiyah juga menyadari bahwa MIAI tidak mungkin dapat memenuhi semua kepentingan dan aspirasinya, khususnya untuk berdakwah di kalangan terpelajar (intelektual) muslim berpendidikan Barat. Oleh karena itu, Mas Mansur pada bulan Juli 1938 mengambil inisiatif untuk mendirikan sebuah forum diskusi yang disebut Islam Study Club ini bertujuan “untuk menjembatani pertentangan antara kaum inteltual muslim dengan kaum muslimin, meningkatkan pengetahuan Islam dan untuk mempercepat kerjasama antara kaum muslimin dengan para intelektual muslim bagi kepentingan Islam.” Islam Study Club inilah

yang menjadi embrio lahirnya Partai Islam Indonesia (PII) pada 4 Desember 1938 (Noer, 1982:176).

Tabel 2.2 Susunan pengurus PII adalah sebagai berikut: Susun Pengurus Partai Islam Indonesia (PII)

Bendahara II Haji Abdul Hamid Bkn Bendahara II Haji Anwar bin Nata Komisaris KH. Ki Bagus Hadikusumo

(38)

Menurut Noer (1982:177) Akan tetapi, partisipasi Mas Mansur sebagai Ketua Muhammadiyah dalam pimpinan pusat partai telah menimbulkan perdebatan dikalangan anggota Muhammadiyah. Perdebatan itu melahirkan sikap pro-kontra. Yang setuju (pro) menyerahkan soal itu kepada Mas Mansur sendiri, sementara yang tidak setuju (kontra) menghendaki agar Muhammadiyah terbebas dari pertikaian politik apapun dengan mengambil sikap netral terhadap partai-partai. Menurut Suwarno (2001:32) Sidang Majlis Tanwir Muhammadiyah pada 1939 akhirnya memutuskan untuk mengizinkan Mas Mansur duduk dalam pengurus pusat PII. Rupanya Mas Mansur seorang yang tahu diri karena pada 1940 dia mundur dari pengurus PII dan hanya menjadi penasehat partai.

Meskipun pada era kepepimpinan Mas Mansur (1936-1942) dan pada masa pendudukan Jepang serta masa revolusi fisik (1945-1949) Muhammadiyah tetap berstatus sebagai gerakan sosial-keagamaan (1942-1945) yang bernuansa kultural (setidaknya dilihat dari ciri pokok dan tujuan) tetapi ia telah berorientasi politis / struktural jika ditinjau dari sifat, metode, sarana dan jangkauan.

(39)

hukum saikeirei adalah terlarang (haram) menurut hukum Syara karena menjurus kepada syirik (perbuatan menyekutukan Allah).

Menurut Benda (1980) Kebijakan politik Jepang berbeda dengan dibandingkan dengan Belanda terhadap umat Islam. Bila Belanda berusaha memecah belah umat Islam dan menganakemaskan golongan kebangsaan untuk dijadikan sebagai batu pijak sistem kolonial, Jepang justru berupaya merangkul umat Islam, terutama melalui para ulamanya, untuk membantu tercapainya kemenangan dalam perang Asia Timur Raya. Bahkan Jepang memberikan kontribusi bagi umat Islam melalui; pembentukan Kantor Urusan Agama (Shumubu) pada 1942 (Benda, 1980:272), mempersatukan organisasi-organisasi Muslim dalam satu wadah yang disebut Masyumi pada 1943, dan pembentukan Hizbullah, semacam organisasi militer bagi para pemuda Muslim.

(40)

antara golongan nasionalis Islam dengan golongan nasionalis kebangsaan atau sekuler.

Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1942-1953, memberikan kontribusi yang sangat berarti ketika dilakukan beberapa perubahan dalam UUD 1945 pada 18 Agustus 1945 karena adanya ancaman disintegrasi dari Indonesia bagian Timur setelah proklamasi kemerdekaan RI sehari sebelumnya. Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan perubahan anak kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam pembukaan UUD 1945 menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” (Sila 1 Pancasila). Alasan Ki Bagus, istilah Ketuhanan Yang Maha Esa

memiliki esensi yang sama dengan tauhid, ajaran pokok agama Islam yang ditariknya dari QS Al-Ikhlas ayat 1-4 (Anshari, 1981).

Muktamar/Konggres umat Islam se-Indonesia pada 7-8 November 1945 yang berlangsung digedung Madrasah Mu‟allimin Muhammadiyah Yogyakarta

telah melahirkan berdirinya Partai Islam Masyumi. Dalam muktamar / konggres itu Masyumi di posisikan sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia yang akan memperjuangan nasib politik umat Islam Indonesia. Adapun pengaruh Masyumi pada periode awal tersebut meliputi Majlis Syuro yang diketuai oleh KH. Hasyim Asy‟ari dan Pengurus Besar (Badan Eksekutif) yang diketuai oleh Sukiman Wirjosandjojo. Sedangkan tujuan Masyumi adalah “terlaksananya ajaran

(41)

Posisi dan peran Muhammadiyah didalam Masyumi cukup besar dan dominan. Kedudukan Muhammadiyah sebagai anggota istimewa didalam Masyumi telah membuat Muhammadiyah seolah-olah identik dengan Masyumi. Sebagaian besar warga Muhammadiyah memandang Masyumi sebagai tempat berjuang dan Muhammadiyah tempat beramal. Seorang anggota Muhammadiyah suatu ketika dapat mengakui sebagai anggota Masyumi dan tidak kebalikannya. Umumnya anggota Muhammadiyah adalah anggota Masyumi atau sekurang-kurangnya sebagai pendukungnya, dan hal ini berlangsung sampai Masyumi bubar pada 1960. Dominasi Muhammadiyah terhadap Masyumi juga dapat dilihat dari proporsi wakil Muhammadiyah didalam kepengurusan PP Masyumi, seperti tabel dibawah ini:

Tabel 2.3 Proporsi wakil Muhammadiyah dalam PP Masyumi Tahun Jumlah Anggota

(42)

partai Islam baru yang memiliki kesamaan orientasi ideologi seperti Masyumi. Akhirnya Muhammadiyah memilih alternatif nomor tigas (3) dengan ikut memprakarsai lahirnya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada 7 April 1967, dengan dipimpin oleh Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun.

Bagi Muhammadiyah, kehadiran Parmusi memang merupakan kebutuhan dalam melancarkan gerakan dakwah Muhammadiyah dibidang politik. Relevansi hal ini dikuatkan oleh keputusan sidang Tanwir Muhammadiyah di Ponorogo dalam tahun 1969 bahwa “parpol sebagai salah satu alat perjuangan dan kegiatan dakwah melalui saluran politik.” Tetapi ketika Parmusi yang dipandang sebagai

alat perjuangan dan kegiatan dakwah Muhammadiyah dibidang politik dilanda oleh konflik interes yang berkepanjangan, tidak ada alasan bagi Muhammadiyah untuk mempertahankannya dan lebih aman untuk melepaskan hubungan sama sekali.

(43)

Menurut teori yang di sampaiakan oleh Karim selama masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang letak Relasi Muhammadiyah dengan negara menganut paradigma yang kedua (simbiosis). Bahwa agama (Islam) memiliki hubungan yang erat dengan negara, meskipun pada waktu itu, negara masih dalam belenggu penajajahan. Sebagai bukti dapat di tampilkan ketika pada tahun 1925, Muhammadiyah berani bersikap kritis dengan menolak penerapan Guru Ordonansi 1925 penolakan ini di pandang oleh Muhammadiyah negara membatasi dan bertindak represif terhadap agama (Islam) dikarenakan seorang guru agama Islam yang mengajar di sekolahan wajib memperoleh surat izin dari pejabat berwenang.

Menurut Hadikusumo (1973:19) Dalam pendudukan Jepang Muhamamdiyah juga berani melancarkan protes untuk menentang praktik saikeirei, yang cenderung syirik. Muhammadiyah memandang, kewajiban

saikeirei terhadap umat Islam merupakan indikasi bahwa negara bersikap represif

(44)

pengganti “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi

pemeluk-pemeluknya”. Menurut Ki Bagus, usulannya itu memiliki esensi yang sama dengan Tauhid, ajaran pokok Islam, sebagaimana termuat dalam QS Al Ikhlas ayat 1-4.

D. Proses Perumusan Dasar Negara Republik Indonesia

Awal kelahiran Pancasila sebagai dasar negara dimulai pada saat terakhir pendudukan Jepang di Indonesia sekitar tahun 1942. Disaat tentara jepang di Asia tenggara sudah mulai terdesak oleh tentara sekutu.

Dalam kesempatan yang baik ini dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh bangsa Indonesia untuk mendesak pemerintah Jepang juga memberikan kemerdekaan kepada indonesia. Dan desakan seperti ini ditanggapi secara serius oleh pemerintah jepang Untuk mewujudkan kesediaanya itu, pada tanggal 7 september 1944 diumumkan di depan resepsi istimewa “The Imperial Diet” yang ke 85 oleh

(45)

BPUPKI di lantik pada 28 Mei 1945 dan menyelesaikan tugasnya di Gedung Pejambon dalam dua sidang; yang pertama berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, dan yang kedua berlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 17 Juli 1924, dua kali masa sidang telah dapat menyelesaiakan tugas berat. Yaitu berkenan dengan Dasar Negara dan Bentuk Negara.

Dalam setiap sidang bukannya berjalan dengan mulus-mulus saja tapi mereka juga mengalami rintangan-rintangan dalam diskusinya namun dapat diselesaikan karena mereka berpegang teguh pada prinsip demi persatuan dan kesatuan dengan jiwa yang amat besar demi kepentingan bangsa dan negara.

Perdebatan terjadi antar dua golongan besar yaitu Ir. Soekarno menyebutnya dengan golongan Kebangsaan dan golongan islam. Sebutan seperti ini rasanya kurang enak maka akan lebih pas jika disebut saja golongan Nasionalis Kebangsaan dan golongan Nasionalis Islam. Tidak di ragukan lagi pembicaraan

selama persidangan Badan Penyelidik itu dengan jelas mencerminkan adanya dua posisi kelompok. Pada tanggal 31 Mei 1945 Supomo berkata :

Memang benar disini terlihat ada dua faham, ialah : faham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirakan atas Dasar Agama dan “urusan negara” tidak bisa dipisahkan dari “urusan agama”, dan anjuran lain, sebagai telah di anjurkan oleh tuan Mohammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan kata lain perkataan : bukan negara Islam.

(46)

disertai alasan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam. Diantara yang mengusulkan hal ini adalah seorang tokoh Muhammadiyah yaitu Ki Bagus Hadikusumo (ketua umum Muhammadiyah) mengusulkan bahwa Islam harus dijadikan dasar negara Republik Indonesia.

Dilain pihak golongan nasionalis kebangsaan, menyatakan bahwa negara indonesia harus diletakkan diatas dasar kebangsaan, yang oleh supomo dapat dikatakan dapat mengatasi segala golongan dan mempersatukan diri dengan lapisan rakyat seluruhnya. Dan mereka berpendapat bahwa antara urusan agama dan urusan negara harus dipisahkan secara tegas sebagaimana seperti yang diusulkan oleh Mohammad Hatta.

Menanggapi usulan dari golongan nasionalis tersebut, Ki Bagus Hadikusuma menangkisnya dengan telak dengan mengutip salah satu kata-kata seorang anggota-anggota BPUPKI yang secara terang-terangan memperlihatkan ketidak setujuan terhadap usulan negara yang berdasarkan asas Islam. Sidang BPUPKI Pada 31 Mei 1945 pukul 15.00, Ki Bagus Hadikusumo mengeluarkan pernyataan yang intinya “membangun negara di atas dasar ajaran Islam” sebagai

respon atas pidato yang di keluarkan oleh kelompok kebangsaan sebelumnya pada tanggal 29, 30, dan 31 Mei 1945. Dengan penuh keyakinan Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan kepada sidang agar Islam dijadikan dasar negara Republik Indonesia. (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2013:305) Dalam satu pidatonya yang di sampaikan di depan sidang BPUPKI itu Ki Bagus menyatakan:

(47)

putusan rapat, luas berlebar dada, serta tidak memaksakan agama. Kalau benar demikian, dirikanlah pemerintah itu atas Agama Islam, karena ajaran Islam mengandung kesampaiannya sifat-sifat itu. Oleh karena itu tuan-tuan, saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya-pun bangsa Indonesia yang asli dan murni, belum ada campurannya, dan sebagai seorang muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan Merdeka, maka supaya Negara Indonesia itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya mengharapkan akan berdirinya Negara Indonesia ini berdasarkan agama Islam. Sebab itulah yang sesuai dengan keadaan jiwa rakyat yang terbanyak sebagaimana yang sudah saya terangkan tadi. Janganlah hendaknya jiwa yang 99% dari rakyat itu diabaikan saja tidak dipedulikan”.

Ki Bagus Hadikusumo dalam pidatonya itu mengeluarkan dua pernyataan; “(1) Islam itu cakap dan patut untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di

negara kita Indonesia; dan (2) Umat Islam adalah umat yang mempunyai cita-cita yang luhur dan mulia sejak dahulu hingga sekarang ini, seterusnya pada masa yang akan datang, yaitu dimana ada kemungkinan dan kesempatan pastilah umat Islam akan membangunkan negara atau menyusun masyarakat yang didasarkan atas hukum Allah dan agama Islam.

(48)

Ada 3 tokoh yang mengusulkan rancangan Dasar Negara Republik Indonesia diantaranya Mr. Muh Yamin, Prof. Dr. Soepomo dan Ir. Soekarno.

A. Mr. Muh Yamin

Dalam pidatonya tanggal 29 Mei 1945, mengusulkan mengenai rancangan perumusan dasar negara, diantaranya :

Pada sidang tanggal 31 Mei 1945, mengajukan lima rancangan dasar negara yaitu:

Dalam pidatonya tanggal 1 juni mengusulkan rumusan dasar negara, yaitu: 1. Kebangsaan Indonesia

2. Internasionalisme atau Peri kemanusiaan 3. Mufakat atau Demokrasi

4. Kesejahteraan Sosial

5. Ketuhanan yang berkebudayaan

(49)

Dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 29 April 1945 dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Periapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai. Badan ini diketuai oleh bekas ketua Budi Utomo, yaitu dr. Radjiman Widyodiningrat. Ia didampingi oleh dua wakil ketua, masing-masing seorang berkebangsaan Indonesia dan seorang berkebangsaan Jepang.

Badan ini bertujuan untuk mempelajari dan mempersiapkan hal-hal penting mengenai tata pemerintahan Indonesia Merdeka.

Sesudah sidang pertama BPUPKI, berlangsung pertemuan di luar sidang. Pertemuan itu dilakukan oleh para anggota BPUPKI yang tinggal di Jakarta. Pada tanggal 22 Juni 1945. Pertemuan ini dimaksudkan untuk menjembatani perbedaan antara golongan nasionalis dan Islam. Dalam pertemuan itu, diupayakan kompromi antara kedua belah pihak mengenai rumusan dasar negara bagi negara Indonesia.

(50)

Setelah mengadakan pembahasan, panitia ini berhasil menetapkan Rancangan Pembukaan UUD yang kemudian di kenal dengan nama Piagam Jakarta. Pancasila dalam Piagam Jakarta dirumuskan demikian:

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari‟at-syari‟at Islam bagi pemeluk-pemelukNya.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab. 3. Persatuan Indonesia.

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ketika BPUPKI mengadakan sidang kedua pada tanggal 10 Juli sampai 17 Juli 1945, pada tanggal 10 Juli 1945 Soekarno selaku ketua Panitia Sembilan melaporkan hasil usulan Pembukaan UUD di sidang BPUPKI.

Rumusan Piagam Jakarta diterima oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 11 Juli 1945, sekaligus ketua BPUPKI kemudian membentuk Panitia Perancang UUD, diketuai oleh Ir. Soekarno. Lalu ketua Panitia UUD membentuk Panitia Kecil beranggotakan 7 orang diketuai oleh Soepomo untuk membentuk rancangan UUD. Hasil kerja Panitia Kecil dibicarakan pada tanggal 13 Juli 1945 dan diterima oleh Panitia Perancang UUD.

(51)

Hari berikutnya tanggal 15 Juli 1945, dibicarakan rancangan UUD. Setelah Soekarno dan Soepomo memberikan penjelasan umum dan pasal demi pasal, masing-masing anggota memberikan tanggapan.

Mengenai agama, timbul perdebatan sengit. Akan tetapi, pada tanggal 16 Juli 1945 UUD diterima dengan bulat. Dengan demikian tugas BPUPKI selesai dan badan tersebut dibubarkan.

Pada tanggal 7 Agustus 1945 dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), terdiri atas 21 orang. Tugas PPKI adalah melaksanakan kemerdekaan Indonesia dan mengambil langkah-langkah yang perlu untuk membentuk suatu negara. Soekarno ditunjuk sebagai Ketua dan Muhammad Hatta sebagai Wakil Ketua.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI bersidang dan mengambil beberapa keputusan penting, yaitu:

1. Mengesahkan UUD

2. Memilih Presiden dan Wakil Presiden

3. Menetapkan bahwa untuk sementara waktu Presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Diantara kesepakatan mengenai perubahan-perubahan yang dilakukan, terdapat satu perubahan penting, yaitu mengenai rumusan sila pertama Piagam Jakarta. Anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at-syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya” disepakati untuk dihilangkan. Karena itu sila pertama

(52)

Sehari sebelum dilaksanakannya proklamasi ketika itu muncul ancaman disintegrasi dari masyarakat Indonesia bagian timur, pada saat itu Bung Hatta memanggil tokoh dari golongan Nasionalis Islam termasuk Ki Bagus Hadikusumo, disitulah Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Ketuhanan dengan

kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Ki Bagus, usulannya itu memiliki esensi yang sama dengan Tauhid, ajaran pokok Islam.

Dihilangkannya anak kalimat tersebut disetujui oleh semua anggota PPKI. Itu dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa di dalam suatu pernyataan pokok mengenai seluruh bangsa sebaiknya tidak ditempatkan suatu hal yang hanya mengenai sebagian rakyat Indonesia, sekalipun bagian yang terbesar. Pencoretan anak kalimat tersebut adalah untuk menjaga persatuan bangsa dan keutuhan wilayah Indonesia.

E. Profil Ki Bagus Hadikusumo

Pahlawan perintis Kemerdekaan Nasional Indonesia menurut Hadikusumo (1973:7) Kampung Kauman Yogyakarta adalah tempat dimana Ki Bagus Hadikusumo dan saudara-saudaranya dilahirkan, sebuah kampung kecil di sebelah Barat alun-alun Yogyakarta yang letaknya tidak jauh dengan keraton Yogyakarta.

(53)

tertutup, sebab dikampung itu banyak berdomisili para pembesar keraton Yogyakarta, sehingga kalaulah tidak terpaksa atau berkepentingan sungguh, jarang orang dari luar kampung mau memasukinya. Ciri kusus dari masyarakat kampung Kauman tampak dalam masyarakatnya, pergerakan, dan perubahan-perubahan yang terjadi didalamnya. Masyarakat Kauman merupakan masyarakat yang anggotanya mempunyai pertalian darah. Masyarakat yang demikian itu terjadi dari keluarga-keluarga, antar keluarga itu kemudian terjalin pertalian darah. Hubungan pertalian darah antar keluarga yang terkumpul pada suatu tempat tertentu, kemudian membentuk masyarakat yang mempunyai karakteristik tersendiri. Bentuk masyarakat demikian itu mempunyai ikatan yang pekat dan tertutup.

Menurut Darban (2011:4) Suasana semacam itu berlangsung terus menerus hingga kira-kira abad ke-20, namun sejak tahun-tahun berikutnya sudah mulai berangsur-angsur ada perubahan. Dewasa ini sudah tidak ada bedanya dengan kampung-kampung yang lain.

Kampung Kauman Yogyakarta adalah tempat dimana banyak lahir ulama pejuang terkemuka di Indonesia, termasuk pendiri persyarikatan Muhammadiyah K.H.A. Dahlan dan muridnya Ki Bagus Hadikusumo, Ki Bagus Hadikusumo merupakan murid dari K.H.A. Dahlan yang kelak akan menjadi tokoh dan pemimpin umat serta bangsa Indonesia.

(54)

Akhir 1308 H. Ki Bagus Hadikusumo yang dilahirkan dengan jeneng cilik (nama kecil) Hidayat atau Raden Dayat. Menurut Nugroho (2011:82) Jeneng Cilik merupakan kebiasaan yang umum dikalangan priyayi Jawa, dan saat usia anak menginjak dewasa maka ia akan mendapatkan atau memiliki jeneng tuwo (nama dewasa). Nama Ki Bagus Hadikusumo adalah jeneng tuwo dari Hidayat yang memiliki makna elok, Ki merupakan sebutan laki-laki, merupakan fungsi sosial tertentu terutama dalam hal agama seperti Kiai, Bagus adalah panggilan yang biasa berlaku dilingkungan elite Jawa, sementara Hadikusumo adalah nama yang sesungguhnya dan menandakan ia berasal dari kalangan elite priyayi atau golongan bangsawan.

Silsilah dari jalur ayah, memang Raden Dayat atau Hidayat dari keturunan abdi dalem Lurah dilingkungan Keraton, sebab nenek-neneknya secara turun-temurun selalu menjabat kedudukan itu sampai pada ayahnya, sedangkan silsilah dari jalur ibu, Raden Dayat atau Hidayat adalah keturunan ahli agama Islam (Kiyai) di kampung Pabelan Yogyakarta.

(55)

Hadikusumo menuntuk ilmu adalah Pondok Pesantren Wonokromo Yogyakarta dan Pekalongan. Di pesantren itulah Ki Bagus Hadikusumo mulai mendalami secara serius khasanah ilmu pengetahuan Islam terutama masalah akhlak dan tasawuf. (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2013:39) Sedangkan ilmu fiqih diperoleh langsung dari KH. Ahmad Dahlan. Pengetahuan Hadikusumo akan tasawuf Islam makin berkembang dengan kegemarannya membaca karya-karya ahli agama Timur Tengah seperti Ibnu Taimiyah, Imam Syafii, Al Gazali, dan beberapa karya Ibnu Rusyd.

Mengenai watak Ki Bagus Hadikusumo kalau dibandingkan dengan saudara-saudaranya seperti Danial (K.H. Suja) berwatak keras, kalau Jazuli (K.H. Fakhruddin) dan Zaini (K.H. Zaini) juga berwatak keras dan radikal, demikian juga Munjiyah bersifat toleran, maka Raden Dayat atau Hidayat (Ki Bagus Hadikusumo) juga memiliki beberapa sifat yang dimiliki oleh saudara-saudaranya itu, seperti sifat kesederhanaan, sifat supel tetapi tidak pandai bergaul, sifat sosial dan toleran, tetapi juga berwatak keras dan radikal, pemberani, dan berkemauan tinggi serta teguh pendirian.

(56)

berkembang terus mengikuti arus kehidupan Ki Bagus Hadikusumo dan menyatu dengan sifat kedermawanannya.

Menurut Hadikusumo (1973:63) Dalam usia yang masih muda tidak lebih dari 20 tahun, Dayat atau Ki Bagus Hadikusumo sudah menikah dengan seorang gadis dari Pabelan, Yogyakarta, bernama Siti Fatimah putri Raden Kaji Suhud, dari pernikahan dengan Fatimah Ki Bagus Hadikusumo dikarunia lima orang anak (Siti Muhayah, Siti Nurmah, Zuchal, Djarnawi, Siti Harikoh) yang salah satunya nanti menjadi tokoh terkemuka di Muhammadiyah dan di Parmusi yang lebih dikenal dengan nama Djarnawi Hadikusumo. Namun sayang Siti Fatimah meninggal, kemudian Ki Bagus Hadikusumo menikah lagi dengan Mursilah dikarunia tiga orang anak (Wasimah, Hibrizie, Zuhri), seorang pengusaha dari Yogyakarta. Pernikahan keduanya juga tidak berlangsung lama, setelah melahirkan putra ketiga Mursilah meninggal. Pernikahan ketiga dengan seorang perempuan pengusaha bernama Siti Murdiyat dan dikaruniai lima orang anak, empat orang putra dan seorang putri (Jakfal, Basmal, Moh.Barkin, Janikah, Hatief).

Menurut Hatief (Nuskhi, wawancara, 31 Maret 2018) Nama istri ketiga dari Ki Bagus Hadikusumo ialah Siti Murdiyat dan itu dibenarkan oleh putra kandung dari Ki Bagus Hadikusumo yang bernama Hatief Hadikusumo.

(57)

Pasang surutnya dalam usaha itupun pernah beliau alami, begitu juga persaingan didalam usaha itupun Ki Bagus Hadikusumo alami, menurut Ki Bagus Hadikusumo didalam dunia usaha makin meningkat dan berhasil sehingga menjadi besar dan jaya, atau makin menurun dan bangkrut sehingga menjadi gulung tikar itu adalah resiko dan hal-hal yang wajar. Demikianlah yang dialami oleh Ki Bagus Hadikusumo sebagai seorang pengusaha batik, yang pada akhirnya usahanya makin menurun dan bubar.

Meskipun sekolahnya tidak lebih dari sekolah rakyat (sekarang SD) ditambah mengaji dan besar di pesantren. Namun, berkat kerajinan dan ketekunan mempelajari kitab-kitab terkenal akhirnya ia menjadi seorang alim, mubaligh dan pemimpin ummat. Ia merupakan pemimpin Muhammadiyah yang besar andilnya dalam penyusunan Mukadimah UUD 1945, karena ia termasuk anggota “Panitia Delapan” dan “Panitia Dua Puluh Dua” didalam BPUPKI dan anggota Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Peran Ki Bagus sangat besar dalam perumusan Mukadimah UUD 1945 dengan memberikan landasan ketuhanan, kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan. Pokok-pokok pikirannya dengan memberikan landasan-landasan itu disetujui oleh semua anggota PPKI.

(58)

Muhammadiyah pada tahun 1926 yang bertugas melengkapi putusan konggres Muhammadiyah ke 15 di Surabaya khususnya tentang materi Konggres Masyarakat Pendidikan Muhammadiyah.

Menurut Masruri (2005:38) Ki Bagus juga sangat produktif dalam menuliskan buah pikirannya. Karya-karya yang dihasilkan oleh Ki Bagus Hadikusumo diterbitkan semasa penjajahan Belanda. Selama penjajahan Jepang tidak satupun karya yang dihasilkan oleh Ki Bagus Hadikusumo, akan tetapi setelah kemerdekaan Ki Bagus Hadikusumo menerbitkan sebuah buku yang menceritakan mengenai perjuangan Ki Bagus Hadikusumo didalam pembentukan Negara Republik Indonesia. Menurut Masruri (2005:40-41) Dapat dilihat karya-karya pemikiran Ki Bagus Hadikusumo sebelum dan sesudah kemerdekaan antara lain :

Tabel 2.4 Karya-Karya Ki Bagus Hadikusumo

Judul Buku Tahun Terbit Keterangan

Tafsir Juz Amma 1935 Memuat tafsir dalam Al-Qur‟an jus terahir secara lengkap

Ruhul Bayan 1935 Memuat tafsir Surah Jum‟ah dan Munafiqun (berbahasa Jawa) Poestaka Iman 1935 (satu jilid yang terdiri dari 97 halaman) dan berisi pemikiran-pemikiran tentang perlunya masalah Iman dan sejarah perjuangan nabi Muhammad.

Risalah Katresnan Djati 1935 (tiga jilid yang terdiri dari 67 halaman) dan berisi pemikiran-pemikiran tentang masalah-masalah tata cara menjenguk orang sakit,dll. Poestaka Hadi 1936 (lima jilid yang terdiri 170 halaman)

(59)

Poestaka Islam 1940 (satu jilid yang terdiri dari 72 halaman) dan berisi pemikiran-pemikiran tentang masalah-masalah syahadat, salat, zakat, puasa,dll. Poestaka Ihsan 1941 (satu jilid yang terdiri dari 152

halaman) dan berisi

pemikiran-1954 (satu jilid yang terdiri dari 44 halaman) dimana didalam buku ini membahas mengenai perjuangan Ki Bagus Hadikusumo selama proses Sidang BPUPKI.

Sumber: Siswanto Masruri (2005:38-41)

Dari buku-buku karyanya tersebut tercermin komitmennya terhadap etika bahkan juga syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki Bagus Hadikusumo adalah termasuk seorang tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk pelembagaan Islam.

Gambar

Tabel 2.1 Stategi Islam Kultural dan Struktural
Tabel 2.2 Susunan pengurus PII adalah sebagai berikut:
tabel dibawah ini:
Tabel 2.4 Karya-Karya Ki Bagus Hadikusumo
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian etika kerja Islam merupakan variabel bebas yang berpengaruh secara positif, tapi tidak signifikan terhadap komitmen organisasi di Koperasi Karyawan Pura

ekuilibrium bebas penyakit dan titik ekuilibrium endemik penyakit. Menentukan nilai rasio reproduksi dasar. Menganalisa kestabilan dari titik ekuilibirum yang diperoleh dari

kecanduan maka sebagai orangtua ataupun sahabat kita perlu untuk memberikan dukungan dan kekuatan untuk berhenti dan menjauhi narkoba. Pengguna narkoba sebenarnya tidak

PESERTA PLPG TAHAP I SERTIFIKASI GURU KEMENTERIAN AGAMA TAHUN 2013, KAB. BANGKALAN RAYON 142 UNIVERSITAS PGRI ADI

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Berdasarkan dari jajak pendapat terhadap beberapa guru dan karyawan terkait dengan spiritualitas kerja di sekolah yang diartikan suatu panggilan hidup yang mulia yang

Dari hasil pengamatan dan analisis diperoleh kesimpulan bahwa: (1) Pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIII-D SMP Negeri 2 Purwadadi Subang

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian