• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI TUNAKISMA

Livelihood resources yang dimiliki oleh rumah tangga petani tunakisma mengambil peran dalam menentukan pilihan saluran-saluran penghidupan apa yang dapat dilakukan oleh rumah tangga. Berbagai jenis pekerjaan dapat dilakukan oleh anggota rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari- hari. Umumnya penghasilan yang diterima dengan menjual tenaganya hanya dapat memenuhi kebutuhan satu hari sehingga diperlukan cara-cara unik setiap harinya yang tidak hanya bergantung pada satu jenis pekerjaan tetap. Bab ini akan membahas mengenai strategi nakfah yang dilakukan oleh rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga dengan terlebih dahulu mendeskripsikan setiap kesempatan kerja di sektor pertanian maupun non-pertanian yang tersedia, baik yang terdapat di dalam maupun di luar Desa Rajasinga.

Pilihan-Pilihan Kesempatan Kerja

Kesempatan kerja yang tersedia bagi rumah tangga petani tunakisma terdiri dari kesempatan kerja di sektor pertanian dan sektor non-pertanian. Petani dapat menggarap lahan pertanian dengan sistem sewa, gadai maupun hanya sebatas menjadi buruh tani upahan. Di sektor non-pertanian anggota rumah tangga dapat memasuki pekerjaan yang tersedia, baik yang terdapat di dalam maupun di luar desa. Berdasarkan data di lapang, pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh anggota rumah tangga petani tunakisma terdiri atas petani penggarap, buruh tani, indistri bata, pedagang, buruh bangunan, buruh di industri bata, ojek, tukang pijit, TKI dan lainnya. Berikut lebih jelasnya akan dijabarkan setiap pekerjaan yang tersedia.

Tenaga kerja dalam Pertanian

Rumah tangga petani tunakisma yang memiliki lahan garapan, baik dengan sistem sewa tunai, lanja, tanah gadai maupun lahan kering di hutan akan menggerakkan seluruh anggota rumah tangganya yang telah mampu bekerja untuk membantu di lahan pertanian. Dengan demikian, tidak dibutuhan lagi bantuan dari buruh tani upahan, kecuali pembajakan dengan traktor dan kegiatan memanen. Hal ini berbeda dengan petani-petani kaya yang memiliki lahan luas dan modal yang cukup, mereka akan menggerakkan tenaga buruh tani untuk membantu seluruh pekerjaan-pekerjaan di lahan pertaniannya.

Pada musim panen maka buruh tani dapat membantu derep dengan imbalan sebagian padi hasil panenannya. Pekerjaan derep tidak hanya dilakukan oleh petani tunakisma mutlak tetapi petani yang memiliki garapan juga ikut memburuh. Bagi sebagian rumah tangga petani penggarap, hasil lahan yang mereka garap dirasa kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh anggota rumah tangganya sehingga setelah selesai bekerja di lahan garapan sendiri mereka ikut menjadi buruh tani di lahan garapan orang lain. Umumnya mereka hanya ikut memburuh pada saat panen pertama. Hal ini disebabkan karena

pada musim tanam pertama belum ada sistem ceblokan, siapa saja dapat menjadi buruh untuk ikut memanen. Biasanya para buruh tani akan memanen di lahan yang cenderung sama setiap tahunnya dan terlebih dahulu memilih memanen di lahan milik kerabat dan tetangga dekat. Apabila hasil dari memburuh di lahan kerabat maupun tetangga dekat dirasa kurang maka mereka akan mencari lahan orang lain yang siap untuk di panen.

Pada kegiatan memanen maka setiap buruh akan berlomba-lomba memperoleh hasil panenan padi terbanyak dengan memanfaatkan anggota rumah tangga yang sudah dewasa untuk ikut bekerjasama. Kerjasama tersebut terlihat dari pembagian kerja, yakni ada yang bertugas memotong padi dan ada yang bertugas merontokkan padi dengan menggunakan gebotan.

Upah yang diterima oleh buruh tani selain dari pekerjaan derep juga cukup besar. Untuk pekerjaan nandur buruh tani dapat menerima rata-rata upah harian sebesar Rp30 000. Lahan seluas 500 bata dikerjakan oleh rombongan buruh tani untuk nandur seharga Rp600 000. Namun, tawaran untuk menjadi buruh tani tidak setiap hari karena ada waktu-waktu tertentu kapan pekerjaan di lahan pertanian dilakukan. Permintaan akan buruh tani meningkat pada saat musim tanam dan panen, sedangnya untuk pekerjaan perawatan umumnya hanya dilakukan oleh sebagian kecil orang. Pekerjaan di lahan pertanian dimulai dari musim tanam pertama pada awal bulan Januari hingga musim panen kedua pada bulan Juli. Ketika tidak ada tawaran kerja di lahan pertanian karena memang tidak musimnya maka anggota rumah tangga petani tunakisma akan berpencar mencari saluran nafkah di luar sektor pertanian.

Industri Bata Merah

Di Desa Rajasinga, tidak semua lahan bisa diolah menjadi usaha tani. Beberapa hamparan lahan yang berbukit dapat dimanfaatkan sebagai tempat pembuatan bata. Posisi lahan yang dapat dimanfaatkan untuk membuat bata umumnya lebih tinggi dari lahan sawah. Sebagian dari petani tunakisma menyewa lahan dengan posisi yang sedemikian untuk dijadikan pabrik bata karena pekerjaan membuat bata dirasa lebih menguntungkan dibandingkan mengolah lahan pertanian untuk ditanami padi.

Industri bata merah sudah ada sejak lama dan sangat membantu masyarakat dalam mencari pekerjaan. Jumlah industri bata merah paling banyak terdapat di Desa Rajasinga, sedangkan desa-desa tetangga hanya sedikit dan ada yang tidak terdapat sama sekali. Pembuatan bata dilakukan dengan menggali lahan yang posisinya lebih tinggi sehingga tidak jarang setelah permukaan lahan sudah menurun maka dapat dimanfaatkan kembali untuk usaha tani. Peralatan yang digunakan cukup sederhana, yakni dengan menggunakan cangkul dan pencetak bata manual (kecuali bata press). Setelah hasil cetakan mengering maka siap untuk dibakar. Bata yang dicetak secara manual disebut bata kucur.

Industri bata merah di Desa Rajasinga memproduksi dua jenis bata, yaitu bata kucur dan bata press. Mereka yang memiliki modal akan membeli mesin pembuatan bata press sehingga hasil yang diperoleh dua kali lipat dibandingkan dengan produksi bata kucur. Rumah tangga petani tunakisma yang memiliki industri kecil pembuatan bata merah memcetak bata secara manual. Keterbatasan modal menghalangi mereka untuk memproduksi bata press. Mereka tidak mampu

43

membeli mesin pencetak karena harganya sangat mahal. Penyewaan lahan untuk pembuatan bata merah diatur berdasarkan kesepakatan antara pemilik lahan dengan pembuat bata. Berbeda dengan sistem sewa untuk usaha tani, harga lahan yang disewa untuk pembuatan bata dihitung berdasarkan luas lahan per bata, yakni Rp30 000 per satu bata lahan. Mereka yang memiliki cadangan uang yang lebih akan menyewa lahan yang lebih luas sehingga hasil yang diperoleh menjadi banyak.

“Hasil bata Press bisa dua kali lipat banyaknya dibandingkan bata

kucur. Orang-orang sudah menggunakan mesin tetapi saya masih manual saja karena tidak punya uang buat membeli mesin cetak bata press”. (AKS, 40 tahun,petani penggarap)

Selain menjadi pemilik pabrik bata dengan menyewa lahan, para petani tunakisma dapat bekerja sebagai buruh pencetak bata maupun sebagai kuli angkut. Meskipun harus mengeluarkan tenaga yang lebih dibanding berkerja sebagai buruh tani, banyak masyarakat khususnya pemuda yang memilih bekerja di bata. Upah yang diterima tergantung pada banyaknya pekerjaan yang dilakukan setiap hari. Mereka dapat menerima upah sebesar Rp40 000 sampai Rp50 000 untuk satu hari kerja. Biasanya pekerjaan menjadi kuli angkut bata dimulai dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore, sedangkan untuk menjadi buruh dalam proses produksi pada di upah sebesar Rp75 000 per hari tanpa dikasih makan dan rokok.

Pedagang

Pedagang yang dimaksud dalam penelitin ini adalah mereka yang berjualan dengan membuka warung menetap di satu tempat maupun yang berkeliling desa untuk menjual barang dagangannya. Warung-warung di Desa Rajasinga berada di pinggir jalan raya. Mereka yang memiliki modal besar yang mampu menyewa atau membangun warung di pinggir jalan. Hal tersebut berbeda dengan kehidupan rumah tangga petani tunakisma, dengan modal yang terbatas mereka berjualan makanan buatan sendiri atau jajanan kecil anak-anak yang dibeli dari grosiran.

Biasanya pekerjaan ini dilakukan oleh istri. Dengan modal yang terbatas mereka membuka warung kecil-kecilan yang isinya jajanan anak-anak. Ada juga yang berjualan gorengan dan keripik singkong dengan berkeliling desa. Hasil yang diterima oleh istri dengan berjualan diharapkan dapat membantu ekonomi rumah tangga.

Buruh Bangunan

Kesempatan kerja menjadi buruh bangunan sangat terbuka lebar bagi mereka yang memiliki kemampuan di bidang bangunan. Sebagian besar mereka yang menjadi buruh bangunan awalnya hanya ikut-ikutan saudara atau teman yang bekerja dalam sebuah proyek dan akhirnya dengan sendirinya mereka memiliki kemampuan yang cukup di bidang bangunan. Kota-kota yang sering

menjadi lokasi tujuan buruh bangunan yang ada di Desa Rajasinga adalah Jakarta, Bandung, Indramayu, Subang dan Sukabumi.

Umumnya kerja-kerja bangunan yang ada di kota diorganisir secara borongan. Biasanya mereka yang ikut dalam kerja tersebut adalah laki-laki yang usianya cukup muda sehingga masih kuat bekerja. Buruh bangunan memperoleh upah bukan berdasarkan upah harian, melainkan sejumlah uang yang dibayar setelah proyek pembanguan selesai. Proyek bangunan tersebut ada yang berada di desa maupun di luar desa. Untuk proyek pembangunan jalan atau perumahan di kota maka buruh bangunan akan tinggal menetap untuk sementara di lokasi pembangunan sampai proyek tersebut selesai, biasanya memakan waktu 2 sampai 3 bulan lamanya.

TKI

Tren menjadi TKI sudah ada sejak lama di Desa Rajasinga, bahkan sudah berlangsung dari generasi ke generasi. Tidak ada data yang valid terkait jumlah penduduk Desa Rajasinga yang pernah dan sedang menjadi TKI/W. Mayoritas yang bekerja di luar negeri adalah perempuan yang usianya masih muda. Tidak ada syarat pendidikan bagi perempuan yang ingin menjadi TKW, sedangkan bagi laki-laki harus lulus SMA/SMK agar dapat bekerja di pabrik. Untuk menjadi TKW tidak dibutuhkan modal uang karena semua diatur dan diurus oleh lembaga penyalur yang tersedia. Negara bagian timur menjadi wilayah yang paling banyak menjadi tujuan para TKW adalah Arabsaudi, Abudabi, Qatar dan negara lainnya seperti Taiwan, Malaysia.

Syarat umum menjadi seorang TKW adalah harus memiliki kemampuan baca-tulis dan memiliki rentang usia sekitar 20 sampai 35 tahun. Dengan syarat tersebut, para TKW dianggap mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga. Para TKI/W disalurkan oleh agen penyalur (sponsor) yang membantu masyarakat dalam memperoleh informasi, proses dan tata cara menjadi TKI/W. Kecenderungan masyarakat ikut-ikutan melihat saudara maupun tetangganya yang baru pulang sebagai TKI/W sehingga mereka tertarik dan ingin mengikuti jejak tersebut.

Pekerja Lain di Luar Desa

Sarana dan prasaranan transportasi yang telah memadai mempermudah masyarakat untuk pergi ke kota-kota besar mencari pekerjaaan. Umumnya, golongan usia muda lebih tertarik bekerja di kota dibandingkan bekerja di desa sendiri. Pekerjaan yang di lakukan di kota juga cukup beragam, ada yag menjadi sopir angkot, pedagang, maupun bekerja di pabrik. Peluang kerja di pabrik hanya terbuka bagi mereka yang berpendidikan minimal SMA/sederajat sehingga mereka yang memenuhi syaratlah yang mampu masuk dan bekerja di pabrik.

Baik pedagang, sopir angkot maupun pekerja pabrik biasanya menjadi buruh migran yang sifatnya sirkuler. Dalam waktu 1 atau 2 bulan sekali mereka kembali ke desa untuk menyetor hasil kerjanya. Pekerjaan seperti ini dilakukan dengan alasan mencari pengalaman sambil menbantu menambah pendapatan rumah tangga.

45

Bentuk Strategi Nafkah yang Diterapkan Rumah Tangga Petani Tunakisma di Desa Rajasinga

Bentuk strategi nafkah yang diterapkan masing-masing rumah tangga berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh sumber daya yang dimiliki oleh rumah tangga tersebut. Scoones (1998) membagi tiga klasifikasi strategi nafkah (livelihood strategy) yang mungkin dilakukan oleh rumah tangga petani, yaitu: rekayasa sumber nafkah pertanian melalui kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian, pola nafkah ganda (diversifikasi) dan rekayasa sparsial (migrasi). Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada satupun rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga yang menggandalkan pendapatan dari satu jenis pekerjaan atau hanya mengandalkan pendapatan dari kepala rumah tangga saja. Untuk lebih jelas maka berikut diuraikan beberapa penerapan straregi nafkah yang dilakukan rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga.

Intensifikasi Pendapatan Sektor Pertanian

Lahan pertanian merupakan sektor utama mata pencaharian masyarakat di Desa Rajasinga. Tanaman yang menjadi komoditas utama adalah padi dengan jenis ciherang. Masyarakat menanam padi di lahan sawah irigasi maupun di lahan hutan. Agar pemanfaatan lahan pertanian menjadi lebih efektif dan efisien maka perlu dilakukan strategi rekayasa sumber nafkah pertanian. Menurut scoones (1998), rekayasa sumber nafkah pertanian dilakukan dengan memanfaatkan sektor pertanian secara efektif dan efisien baik melalui penambahan input eksternal seperti teknologi dan tenaga kerja (intensifikasi), maupun dengan memperluas lahan garapan (ekstensifikasi).

Intensifikasi pendapatan di sektor pertanian tidak hanya dilakukan oleh rumah tangga petani tunakisma yang memiliki lahan garapan berdasarkan status kepemilikan sementara, tetapi juga rumah tangga petani tunakisma mutlak. Bagi rumah tangga petani penggarap, satu petak sawah yang cukup sempit biasanya ditanami berbagai jenis tanaman. Selain menanam padi maka petani juga memanfaatkan pematang sawah dan lahan kosong yang tidak ditanami padi untuk tanaman palawija dan buah-buahan (pisang, pepaya)

Upaya intensifikasi di sektor pertanian juga dilakukan oleh rumah tangga petani penggarap, yakni mengganti cangkul dengan traktor. Masuknya teknologi traktor telah mempercepat proses mengolah tanah sehingga petani dapat dengan cepat melakukan penanaman padi. Hal ini dilakukan karena petani harus mengejar musim rendeng dan sadhon. Tanpa traktor maka pekerjaan di lahan pertanian menjadi terlambat. Selain kegiatan yang dilakukan dengan traktor, pekerjaan- pekerjaan lain yang ada di lahan pertanian dilakukan dengan menggunakan tenaga kerja rumah tangga. Hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya pengeluaran membayar buruh tani sehingga hasil yang diterima rumah tangga dari sektor pertanian menjadi maksimal.

“Selain pekerjaan yang dilakukan dengan mesin traktor, pekerjaan lain saya lakukan sendiri bersama istri dan anak. Kalau harus upah buruh lagi maka sia-sia garap lahan karena uang yang

Berbeda dengan kegiatan yang dilakukan oleh rumah tangga petani penggarap, buruh tani hanya dapat memanfaatkan tenaga kerja rumah tangga untuk bekerja dari sektor pertanian. Apabila memasuki musim tanam maka suami dan istri akan ikut membantu di lahan pertanian. Mereka bekerja sampai habis masa tanam, yaitu sekitar 2 minggu. Pada musim panen maka rumah tangga buruh tani akan menggerakkan seluruh anggota rumah tangga yang sudah dianggap dewasa untuk melakukan kerja derep di lahan orang lain.

Pekerjaan derep tidak dibatasi oleh waktu sehingga hasil yang diperoleh tergantung pada kemampuan masing-masing rumah tangga buruh tani dalam memperoleh padi. Ada beberapa kasus rumah tangga yang menggoptimalkan tenaga dengan memaksimalkan jumlah jam kerja saat musim panen tiba. Pagi sampai sore hari seluruh anggota rumah tangga yang memburuh melakukan kerja memotong padi dan setelah itu secara bersama-sama merontokkan padi dengan gebotan sampai malam hari. Tidak jarang ditemui dalam satu rumah tangga memiliki jumlah gelaran dan gebotan sekitar 2 sampai 3 buah untuk digunakan buruh tani saat musim panen tiba. Pekerjaan memburuh tidak hanya dilakukan oleh petani tunakisma mutlak, tetapi juga oleh rumah tangga petani penggarap untuk menambah pendapatan.

“Kalau musim panen semua ikut memburuh. Bapak, ibu sama anak-anak sudah tidak sekolah juga diajak. Kadang ibu sama anak yang ngarit dan bapak yang gebot. Pernah juga biar dapat banyak hasilnya jadi kami sama-sama ngarit dan setelah itu baru di gebot sorenya. makanya di rumah udah disediain 3 gebotan buat alat

untuk kerja memanen.” (KDR, 36 tahun, buruh tani)

Usaha ekstensifikasi di bidang pertanian sangat sulit dilakukan oleh rumah tangga petani tunakisma. Keterbatasan modal keuangan menjadi salah satu penyebab mereka tidak memperluas lahan garapannya. Selain itu, lahan garapan untuk pertanian di Desa Rajasinga tidak ada yang kosong karena sudah digarap oleh petani pemilik maupun penyewa lainnya, kecuali mereka mau membuka lahan baru. Biasanya lahan baru tersebut letaknya lebih tinggi dari permukaan sawah yang ada sehingga harus digali dan dimanfaatkan untuk pembuatan bata merah terlebih dahulu, setelah itu baru bisa digarap. Bagi petani yang menggarap di lahan hutan, usaha untuk memperluas lahan garapan sudah tidak mungkin dilakukan karena batas lahan yang diizinkan Perhutani sudah habis digarap.

Pola Nafkah Ganda

Umumnya petani tunakisma di Desa Rajasinga akan memanfaatkan strategi serabutan atau lebih dikenal dengan istilah nafkah ganda. Mereka lebih banyak memainkan human capital baik sebagai buruh tani, buruh bangunan, kuli bata, ojek, tukang pijit, pedagang dan lainnya. Penghasilan suami tidak mampu menopang seluruh kebutuhan anggota rumah tangganya sehingga mengharuskan istri dan anak untuk ikut bekerja baik di sektor pertanian maupun di sektor non- pertanian. Petani biasanya bekerja pada sektor non-pertanian dalam upaya memperoleh sumber pendapatan lain karena pekerjaan di lahan pertanian bersifat musiman. Setelah musim panen petani tunakisma akan memasuki pekerjaan-

47

pekerjaan non-pertanian yang memberikan penghasilan. Menjadi kuli bata merupakan pekerjaan yang paling sering dilakukan. Mereka mencari pekerjaan yang dapat menghasilkan uang setiap harinya karena kebutuhan hidup sifatnya harus dipenuhi setiap hari. Klasifikasi rumah tangga petani tunakisma menurut pekerjaan yang dilakukan dapat dilihat di dalam Tabel 22.

Tabel 22 Jumlah rumah tangga petani tunakisma menurut jenis pekerjaan di sektor pertanian dan non-pertanian

No Non-pertanian Pertanian Penggarap Penggarap + buruh tani Buruh tani Total 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jala ikan Buruh bangunan Buruh bangunan dan pedagang

Industri bata

Buruh di pembuatan bata Buruh di pembuatan bata dan becak

Buruh di pembuatan bata dan warung

Buruh di pembuatan bata dan tukang pijit

Pedagang keliling dan ojek Pegawai Kesenian Serabutan 1 - - 3 2 - - - - 1 - 1 - 2 1 1 1 - - - - - - - - 4 1 - 10 1 3 1 1 - 1 - 1 6 2 4 13 1 3 1 1 1 1 1 Total 8 5 22 35

Tabel 22 menunjukkan bahwa setiap rumah tangga petani tunakisma di Desa Rajasinga melakukan pola nafkah ganda, tidak ada rumah tangga yang hanya mengandalkan pendapatan rumah tangga dari satu sektor saja. Pekerjaan non-pertanian yang paling banyak dilakukan oleh rumah tangga petani pengggarap adalah membuat bata merah. Biasanya lahan yang mereka sewa adalah lahan yang berbukit sehingga dapat dimanfaatkan untuk membuat bata dan setelah itu lahan yang sudah digali dapat digarap dan ditanami padi.

Rumah tangga petani penggarap+buruh tani lebih banyak memadukan pekerjaan non-pertanian dengan menjadi buruh bangunan, sedangkan untuk rumah tangga buruh tani lebih banyak bekerja sebagai sebagai buruh di pembuatan bata. Untuk menjadi buruh bangunan dibutuhkan ketersediaan waktu untuk tingga selama 2 sampai 3 bulan di kota. Buruh tani banyak yang bekerja sebagai kuli di pembuatan bata. Hal ini disebabkan karena pekerjaan tersebut tersedia setiap hari dan hasil yang diterima juga cukup besar, dalam satu hari kerja mencapai Rp40 000 sampi Rp50 000.

Bapak setiap harinya jadi kuli angkut bata kalau lagi tidak ada pekerja di sawah. Terkadang istri juga ikut membantu jadi kuli. Hasilnya lumayan besar, apalagi kalau banyak bata yang harus diangkut ke kota. Satu truk yang isinya 5000 bata dikasih upah angkutnya Rp250 000. Semakin sedikit oarng yang ikut jadi semakin besar upah yang diterima. Sekitar jam 5 subuh warga sini sudah menunggu truk dari kota dipinggir jalan. Kami ikut ke pembuatan bata, di situ kami kerja mengankut bata ke truk dan ikut ke kota dengan truk. Di kota bata-bata itu kami lagi yang turunin.”(KMB, 50 tahun, buruh tani)

Intensifikasi Pendapatan Sektor Non-Pertanian

Intensifikasi di sektor non-pertanain dilakukan rumah tangga petani tunakisma di musim kemarau. Setelah tidak ada pekerjaan di lahan pertanian maka mereka memanfaatkan sektor non-pertanian dengan lebih efektif dan efisien. Kegiataan non-pertanian yang diterapkan rumah tangga cukup beragam. Pekerjaan yang paling banyak dilakukan adalah dengan menjadi buruh di industri pembuatan bata. Mereka bekerja lakukan selama 12 jam, mulai dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore. Sebagai buruh angkut bata, semakin banyak bata yang diangkut maka semakin banyah upah yang diterima.

Sektor non-pertanian kedua yang banyak dilakukan adalah buruh bangunan. Tidak jarang mereka harus bekerja ke luar kota sampai proyek pembangunan yang menjadi tugasnya selesai. Dalam waktu 2 sampau 3 bulan mereka mendapat menghasilan bersih yang bisa dibawah pulang untuk anak dan istri sekitar Rp6 000 000. namun, pekerjaan sebagai buruh bangunan seperti ini tidak selalu ada. Berdasarkan hasil wawancara, buruh tani yang juga bekerja sebagai buruh bangunan cenderung memilih bekerja di bangunan apabila ada tawaran proyek dan meninggalkan desa, sedangkan pekerjaan memburuh tani masih tetap dilakukan oleh istri dan anaknya.

“Kalau dihitung-hitung jadi buruh bangunan kerja 2 bulan bisa bawah penghasilan bersih Rp1 500 000 per bulan. Tapi tidak selalu ada proyek seperti ini jadi begitu ada tawaran proyek saya

pasti langsung terima.” (DMR, 40 tahun, petani penggarap)

Dokumen terkait