• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sosial Ekonomi Masyarakat Periode

STRATEGI PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PANGAN PADA TINGKAT PERUSAHAAN

Sintesis strategi pada tingkat perusahaan didasarkan pada posisi strategis perusahaan. Posisi strategis perusahaan menggambarkan posisi bersaing perusa- haan berdasarkan daya tarik industri dimana perusahaan tersebut beroperasi. Dari hasil analisis, diketahui posisi strategis perusahaan dalam kelompok agroindustri kelapa di Propinsi Jambi berada pada sel selektif dan divestasi. Adapun posisi strategis perusahaan dalam kelompok agroindustri kelapa sawit di Propinsi Jambi berada pada sel pertumbuhan selektif sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 51.

Berdasarkan pada posisi strategis perusahaan dapat ditentukan posisi spesifik yang sesuai dengan tahap pertumbuhan perusahaan. Tabel 65 menyajikan posisi spesifik untuk masing-masing sel pertumbuhan perusahaan agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit di Propinsi Jambi. Adapun ragam strategi untuk masing-masing posisi spesifik perusahaan dapat dilihat pada Lampiran 13.

Tabel 65. Posisi strategis dan spesifik agroindustri kelapa dan agroindustri kelapa sawit di Propinsi Jambi

Jenis Industri Posisi Strategis Posisi Spesifik

Agroindustri Kelapa

Selektif - Menyehatkan Usaha - Memperpanjang Usaha Divestasi - Mengundurkan Diri

- Divestasi Agroindustri

Kelapa Sawit

Pertumbuhan Selektif - Mengejar Posisi Bersaing

- Mempertahankan Posisi Bersaing - Menemukan Ceruk Pasar

- Mengeksploitasi Ceruk Pasar Sumber : Hasil analisis pada Gambar 51.

Strategi Pembangunan Perusahaan Agroindustri Kelapa

Perkembangan perusahaan dalam kelompok agroindustri kelapa di Propin- si Jambi berada dalam dua posisi strategis. Pada posisi selektif terdapat perusa- haan yang berada pada posisi spesifik untuk penyehatan usaha dan perpanjangan usaha. Adapun pada posisi divestasi terdapat perusahaan yang sedang berada pada posisi spesifik untuk mengundurkan diri dan divestasi. Ragam strategi untuk masing-masing posisi spesifik perusahaan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 13. Adapun penentuan prioritas strategi untuk masing-masing posisi spesifik perusahaan menggunakan metode AHP (Saaty, 1993) dengan enam jenjang hirar- ki, yaitu posisi spesifik perusahaan, faktor pendukung, pelaku, tujuan pelaku, ke- bijakan dan strategi (Lampiran 14).

Strategi Penyehatan Usaha

Strategi penyehatan usaha (turnaround strategy) diperlukan oleh perusaha- an yang memiliki posisi bersaing yang lemah dan pertumbuhan pasar yang lambat (Pearce and Robinson, 1996) yang disebabkan oleh ketidakmampuan perusahaan memenuhi kebutuhan pelanggan dengan produk yang dihasilkannya. Dalam hal ini, perusahaan tidak mampu menghasilkan minyak kelapa kasar (CCO) yang kompetitif baik dari segi harga ataupun kualitas. Oleh karena itu diperlukan stra- tegi untuk penyehatan usaha.

Terdapat tiga pilihan ragam strategi yang dapat dikembangkan pada peru- sahaan yang berada pada posisi spesifik untuk penyehatan usaha. Ketiga pilihan ragam strategi tersebut adalah rasionalisasi produksi, rasionalisasi pasar dan efi- siensi. Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 14, Bagian a) diketahui bobot prio- ritas ketiga ragam strategi ini relatif sama dengan urutan prioritas rasionalisasi produksi, diikuti dengan efisiensi dan rasionalisasi pasar (Tabel 66).

Tabel 66. Ragam strategi penyehatan usaha

Ragam Strategi Bobot Prioritas

Rasionalisasi Produksi Efisiensi Rasionalisasi Pasar 0.3480 0.3315 0.3205 1 2 3 Sumber : Hasil analisis pada Lampiran 14, Bagian a.

Strategi Perpanjangan Usaha

Untuk perusahaan agroindustri kelapa yang berada pada posisi spesifik un- tuk memperpanjang usaha tersedia empat pilihan ragam strategi, yaitu integrasi ke belakang, rasionalisasi produksi, rasionalisasi pasar dan efisiensi. Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 14, Bagian b) diketahui prioritas ragam strategi yang dapat dikembangkan oleh perusahaan yang berada pada posisi ini adalah strategi integrasi ke belakang (backward integration) diikuti dengan strategi efisiensi (Tabel 67).

Menurut Pearce and Robinson (1996), ragam strategi integrasi ke belakang diperlukan oleh perusahaan guna mengatasi kelemahan yang dimiliki untuk me- ngejar pertumbuhan eksternal. Pada agroindustri kelapa di Propinsi Jambi, stra- tegi integrasi ke belakang dapat diterapkan melalui kontrak bisnis formal antara perusahaan dengan petani perkebunan kelapa.

Tabel 67. Ragam strategi memperpanjang usaha

Ragam Strategi Bobot Prioritas

Integrasi ke Belakang Efisiensi Rasionalisasi Pasar Rasionalisasi Produksi 0.3800 0.2545 0.2105 0.1550 1 2 3 4 Sumber : Hasil analisis pada Lampiran 14, Bagian b.

Strategi Mengundurkan Diri dan Divestasi

Strategi mengundurkan diri atau divestasi termasuk dalam strategi penciut- an usaha (retrenchment) (Supratikno, dkk, 2003). Kedua strategi ini sesuai digu- nakan untuk mengatasi kelemahan pada perusahaan yang memiliki posisi bersaing yang lemah dan berada pada pasar yang tumbuh lambat (Pearce and Robinson, 1996). Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 14, Bagian c dan d) diketahui prio- ritas ragam strategi yang dapat dikembangkan oleh perusahaan yang berada pada posisi spesifik mengundurkan diri sama dengan prioritas ragam strategi bagi peru- sahaan yang akan divestasi, yaitu rasionalisasi produksi (Tabel 68 dan 69).

Tabel 68. Ragam strategi mengundurkan diri

Ragam Strategi Bobot Prioritas

Rasionalisasi Produksi Rasionalisasi Pasar 0.6100 0.3900 1 2 Sumber : Hasil analisis pada Lampiran 14, Bagian c.

Tabel 69. Ragam strategi divestasi

Ragam Strategi Bobot Prioritas

Rasionalisasi Produksi Rasionalisasi Pasar Bertahan 0.4200 0.3290 0.2510 1 2 3 Sumber : Hasil analisis pada Lampiran 14, Bagian d.

Strategi Pembangunan Perusahaan Agroindustri Kelapa Sawit

Perkembangan perusahaan dalam kelompok agroindustri kelapa sawit ber- ada pada sel pertumbuhan selektif. Pada sel tersebut terdapat perusahaan yang se- dang mengejar atau mempertahankan posisi bersaing serta mencari atau mengeks-

ploitasi ceruk pasar yang dikuasainya. Ragam strategi untuk masing-masing posi- si spesifik perusahaan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 13. Adapun penentu- an prioritas strategi untuk masing-masing posisi spesifik perusahaan mengguna- kan metode AHP (Saaty, 1993) dengan enam jenjang hirarki, yaitu posisi spesifik perusahaan, faktor pendukung, pelaku, tujuan pelaku, kebijakan dan strategi (Lampiran 15).

Strategi Mengejar Posisi Bersaing

Untuk perusahaan agroindustri kelapa sawit yang berada pada tahap me- ngejar posisi bersaing (positioning) tersedia tiga ragam strategi, yaitu utilisasi ka- pasitas produksi, pengembangan pasar baru dan efisiensi. Berdasarkan hasil ana- lisis (Lampiran 15, Bagian a) diketahui prioritas strategi yang dapat dikembang- kan oleh perusahaan yang berada pada tahap ini adalah utilisasi kapasitas produk- si, diikuti dengan strategi pengembangan pasar baru dan efisiensi (Tabel 70).

Tabel 70. Ragam strategi mengejar posisi bersaing

Ragam Strategi Bobot Prioritas

Utilisasi Kapasitas Produksi Pengembangan Pasar Baru Efesiensi 0.4420 0.3745 0.1835 1 2 3 Sumber: Hasil analisis pada Lampiran 15, Bagian a.

Hasil analisis menunjukkan ragam strategi utilitas kapasitas produksi lebih diprioritaskan daripada ragam strategi pengembangan pasar baru bagi perusahaan yang berada pada tahap mengejar posisi bersaing. Hasil analisis ini sesuai dengan diagnosis terhadap perusahaan pengolahan kelapa sawit yang ada di Propinsi Jam- bi yang menunjukkan rata-rata tingkat utilitas perusahaan baru mencapai 68.20% (Disbun Prop. Jambi, 2003a), sehingga upaya perusahaan untuk mengejar posisi bersaing dapat dilakukan melalui strategi peningkatan utilitas, diikuti dengan stra- tegi pengembangan pasar baru.

Strategi Mempertahankan Posisi Bersaing

Untuk perusahaan agroindustri kelapa sawit yang berada pada tahap mem- pertahankan posisi bersaing tersedia dua pilihan strategi, yaitu integrasi ke bela- kang atau efisiensi. Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 15, bagian b) diketahui prioritas strategi yang dapat dikembangkan oleh perusahaan yang berada pada ta- hap ini adalah strategi strategi integrasi ke belakang (backward integration) di- ikuti dengan strategi efisiensi (Tabel 71).

Tabel 71. Ragam strategi mempertahankan posisi bersaing

Ragam Strategi Bobot Prioritas

Integrasi ke Belakang Efisiensi 0.6175 0.3825 1 2 Sumber : Hasil analisis pada Lampiran 15, Bagian b.

Menurut Pearce and Robinson (1996), integrasi vertikal ke belakang ada- lah ragam strategi yang sesuai untuk dikembangkan pada perusahaan yang memi- liki posisi bersaing yang kuat, terutama pada pasar yang tumbuh dengan cepat. Ragam strategi integrasi ke belakang dibutuhkan untuk meningkatkan posisi ber- saing perusahaan melalui peningkatan efisiensi ekonomi sebagai dampak dari ada- nya kombinasi operasi, koordinasi dan pengendalian internal, ekonomi informasi, penghematan biaya transaksi dan stabilitas hubungan dalam rantai produksi. Pada agroindustri kelapa sawit, sebagian besar integrasi ke belakang sudah terjalin sebelum perusahaan berproduksi melalui berbagai pola pembangunan perkebunan. Akan tetapi, karena efek efisiensi ekonomi dari integrasi ke belakang baru dapat dirasakan jika skala ekonomi kedua unit usaha yang berintegrasi mencapai mini- mum economic of scale (Muhammad, 2002), maka penekanan integrasi ke bela- kang pada agroindustri kelapa sawit dititikberatkan pada kemampuan perusahaan untuk menyeimbangkan skala ekonomi pada berbagai tahapan produksi.

Strategi Menemukan Ceruk Pasar

Untuk perusahaan agroindustri kelapa sawit yang sedang berada pada tahap mencari ceruk pasar tersedia tiga ragam strategi, yaitu integrasi ke depan, rasionalisasi produksi dan pengembangan pasar. Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 15, Bagian c) diketahui prioritas strategi yang dapat dikembangkan oleh perusahaan yang berada pada tahap ini adalah strategi rasionalisasi produksi, diikuti dengan strategi integrasi ke depan (forward integration) (Tabel 72).

Tabel 72. Ragam strategi menemukan ceruk pasar

Ragam Strategi Bobot Prioritas

Rasionalisasi Produksi Integrasi ke Depan Pengembangan Pasar 0.4740 0.3790 0.1470 1 2 3 Sumber: Hasil analisis pada Lampiran 15, Bagian c.

Ragam strategi rasionalisasi produksi termasuk dalam kelompok strategi intensif yang diperuntukkan bagi perusahaan yang berada pada posisi memperta- hankan unit usahanya (Supratikno, dkk, 2003). Ragam strategi ini sesuai bagi perusahaan yang berada pada posisi untuk mengatasi kelemahan yang dimilikinya (Pearce and Robinson, 1996) melalui upaya menemukan ceruk pasar bagi produk yang dihasilkannya. Untuk itu, perusahaan harus mampu merasionalisasi produk- si mengikuti dinamika dari pasar sasaran yang akan dimasukinya.

Strategi Eksploitasi Ceruk Pasar

Untuk perusahaan agroindustri kelapa sawit yang sedang berada pada tahap mengeksploitasi ceruk pasar yang sudah dikuasainya tersedia empat pilihan ragam strategi, yaitu: utilisasi kapasitas produksi, efisiensi, pengembangan produk dan pengembangan pasar. Berdasarkan hasil analisis (Lampiran 15, bagian d) di- ketahui prioritas strategi yang dapat dikembangkan oleh perusahaan yang berada pada tahap ini adalah strategi utilisasi kapasitas produksi, diikuti dengan strategi efisiensi (Tabel 73).

Tabel 73. Ragam strategi eksploitasi ceruk pasar

Ragam Strategi Bobot Prioritas

Utilisasi Kapasitas Produksi Efisiensi Pengembangan Produk Pengembangan Pasar 0.3645 0.3330 0.2055 0.0970 1 2 3 4 Sumber: Hasil analisis pada Lampiran 15, Bagian d.

Menurut Pearce and Robinson (1996), ragam strategi utilisasi kapasitas produksi sangat sesuai untuk diterapkan pada perusahaan yang sedang berupaya memaksimalkan kekuatan melalui peningkatan pertumbuhan internal. Dalam hal ini melalui upaya mengeksploitasi ceruk pasar yang sudah dikuasainya dengan ja- lan meningkatkan utilitas kapasitas produksi.

PEMBAHASAN

Perkembangan Agroindustri Pangan Komoditas Pertanian Unggulan

di Propinsi Jambi

Dari hasil analisis situasional diketahui komoditas pertanian unggulan di Propinsi Jambi terdiri dari karet, kelapa, kelapa sawit dan kayu manis. Hasil ini agak berbeda dengan komoditas unggulan yang ditetapkan oleh Dinas Perkebunan Propinsi Jambi yang menempatkan komoditas kopi sebagai komoditas unggulan kelima setelah karet, kelapa, kelapa sawit dan kayu manis (Disbun Propinsi Jambi, 2003b). Tidak dimasukkannya komoditas kopi sebagai komoditas unggulan dalam penelitian ini didasarkan pada hasil analisis basis ekonomi. Dari hasil analisis (Lampiran 8) diketahui di Propinsi Jambi tidak terdapat KSP yang pertumbuhan ekonominya berbasiskan komoditas kopi.

Menurut Budiharjo (2001), komoditas perkebunan sudah menjadi komodi- tas unggulan masyarakat Jambi sejak awal abad XX. Bahkan akar historis per- tumbuhan dan perkembangan perekonomian daerah Jambi berakar pada komodi- tas perkebunan yang memiliki peran sentral pada dinamika kehidupan sosial eko- nomi masyarakat Jambi sejak abad XIX. Panjangnya akar sejarah pembangunan perkebunan di Propinsi Jambi ini dapat menjelaskan mengapa keempat jenis ko- moditas perkebunan unggulan tersebut berkembang pada KSP yang memiliki kon- disi agroekologi yang sesuai sekaligus menjadikannya sebagai basis ekonomi bagi KSP dimana komoditas unggulan tersebut dikembangkan.

Perkembangan usahatani komoditas unggulan pada suatu KSP tidak selalu diikuti dengan pertumbuhan industri pengolahan (agroindustri) pada kawasan ter- sebut. Untuk komoditas karet, pertumbuhan agroindustri pengolahan justru ter- jadi di luar KSP karet. Adapun untuk komoditas kayu manis, sampai saat ini di Propinsi Jambi belum berkembang agroindustri pengolahan kayu manis. Hanya agroindustri kelapa yang tumbuh bersama-sama dengan usahatani kelapa di dalam suatu KSP.

Dengan menggunakan kofisien korelasi-jenjang Spearman diketahui bah- wa produksi kelapa pada suatu KSP berkorelasi dengan kapasitas produksi perusa- haan pengolahan kelapa di dalam KSP tersebut. Hal ini mengindikasikan pada suatu KSP kelapa terdapat keterkaitan produksi antara usahatani dengan usaha

pengolahan. Hasil analisis ini sesuai dengan teori lokasi industri pertanian (agro- industri) yang dikemukakan oleh Isard (Djojodipuro, 1992) yang menyatakan pemilihan lokasi industri pertanian tergantung pada dua faktor utama, yaitu harga tanah dan biaya transportasi. Berdasarkan pertimbangan harga tanah dan biaya transportasi tersebut, maka lokasi industri pertanian umumnya berada pada atau di sekitar sentra produksi pertanian.

Pada sistem agribisnis kelapa sawit, keterkaitan produksi tidak hanya terja- di antara usahatani kelapa sawit dengan perusahaan pengolahan kelapa sawit yang berada pada KSP yang sama. Keterkaitan ini terjadi juga antara usahatani yang berada pada suatu KSP dengan perusahaan pengolahan yang berada di luar KSP. Juga terdapatan keterkaitan produksi antara usahatani yang berada di luar KSP dengan perusahaan pengolahan yang berada di dalam KSP.

Perbedaan pola keterkaitan pada sistem agribisnis kelapa dibandingkan dengan sistem agribisnis kelapa sawit dapat dijelaskan berdasarkan tahap perkem- bangan dan cakupan wilayah pengembangan KSP kedua komoditas unggulan ter- sebut. KSP kelapa di Propinsi Jambi sudah berkembang sejak tahun 1934 (Budi- hardjo, 2001) pada wilayah yang terbatas, yaitu hanya di Kabupaten Tanjung Jabung Barat (KSP Makro A) dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (KSP Makro B). Sedang KSP kelapa sawit baru mulai berkembang pada tahun 1990-an di hampir semua kabupaten yang ada di Propinsi Jambi (BKPMD Propinsi Jambi, 2000). Berdasarkan tahap perkembangannya, KSP kelapa sudah berada pada tahap kedewasaan yang diindikasikan dengan rendahnya tingkat pertumbuhan produksi kelapa, yaitu kurang dari 1% per tahun. Sedangkan perkembangan KSP kelapa sawit masih berada pada tahap pertumbuhan dengan tingkat pertumbuhan produksi lebih dari 20% per tahun (Disbun Propinsi Jambi, 2003a).

Perbedaan tahap perkembangan dan cakupan wilayah pengembangan KSP kelapa dengan kelapa sawit berpengaruh terhadap perkembangan agroindustri pengolahan kedua komoditas unggulan tersebut. Pada sistem agribisnis kelapa, perkembangan sudah sampai pada tahap kedewasaan; pada tahap ini sebagian perusahaan pengolahan sudah terseleksi, hanya perusahaan yang memiliki keung- gulan bersaing yang dapat bertahan. Dengan menggunakan teori lokasi agro- industri Isard (Djojodipuro, 1992), dapat diduga perusahaan yang berada pada

KSP memiliki keunggulan biaya (cost leadership) dibandingkan dengan peru- sahan yang berada di luar KSP. Hal ini menjelaskan adanya keterkaitan produksi antara usahatani kelapa dengan usaha pengolahan kelapa pada suatu KSP. Demi- kian pula halnya pada sistem agribisnis kelapa sawit, terdapat keterkaitan pro- duksi antara usahatani kelapa sawit dengan usaha pengolahan kelapa sawit; hanya saja karena perkembangan sistem agribisnis kelapa sawit masih berada pada tahap pertumbuhan dan karena perkembangan usahatani kelapa sawit tidak terbatas hanya di dalam KSP, maka keterkaitan produksi pada sistem agribisnis kelapa sa- wit juga terjadi antara usahatani yang berada di luar KSP dengan usaha pengo- lahan yang berada di dalam KSP; juga antara usahatani kelapa sawit yang berada pada suatu KSP dengan perusahaan pengolahan kelapa sawit yang berada di luar KSP.

Dari hasil analisis situasional diketahui agroindustri pangan yang berkem- bang di Propinsi Jambi adalah agroindustri minyak nabati kasar (crude vegetable oil, ISIC 15141) yang terdiri dari agroindustri kelapa dengan produk berupa mi- nyak kelapa kasar (crude coconut oil, CCO) dan agroindustri kelapa sawit dengan produk berupa minyak kelapa sawit kasar (crude palm oil, CPO). Berdasarkan pada derajat pengolahannya, kedua produk agroindustri minyak nabati tersebut merupakan produk antara (intermediate products) yang masih memerlukan pengo- lahan lebih lanjut. Akan tetapi, di Propinsi Jambi sampai saat ini yang baru ber- kembang hanyalah industri pengolahan (downstream industry) bagi produk kela- pa, yaitu industri minyak goreng kelapa yang menyerap hampir 40% produksi CCO. Sedangkan industri hilir bagi produk kelapa sawit belum berkembang di Propinsi Jambi, sehingga sebagian besar (lebih dari 95%) produk CPO Propinsi Jambi masih diekspor.

Pengkajian pengembangan industri hilir kelapa sawit di Propinsi Jambi te- lah dilakukan oleh BKPMD dan Balitbangda Propinsi Jambi. Hasil pengkajian kedua lembaga ini menyimpulkan, baik dari aspek teknis maupun ekonomi, indus- tri hilir kelapa sawit berupa industri minyak goreng kelapa sawit dan margarin layak diusahakan di Propinsi Jambi (BKPMD Propinsi Jambi, 2000; Balitbangda Propinsi Jambi, 2002). Akan tetapi, sampai sekarang belum ada investor yang menanamkan investasinya pada kedua jenis industri hilir kelapa sawit tersebut.

Kendala utama pengembangan industri hilir kelapa sawit di Propinsi Jambi berhubungan dengan ketersediaan bahan baku. Walaupun produksi CPO di Pro- pinsi Jambi pada tahun 2002 mencapai 660.320 ton (Disbun Propinsi Jambi, 2003a) dan pada tahun-tahun mendatang akan terus meningkat. Akan tetapi, kare- na sebagian besar produksi CPO tersebut dihasilkan oleh perusahaan kelapa sawit (PKS) yang merupakan anak usaha dari perusahaan yang berada di luar Propinsi Jambi, maka sebagian besar produk CPO yang dihasilkan tidak diperdagangkan di Propinsi Jambi, tetapi diekspor atau dibawa ke luar wilayah Jambi (Riduwan, 2000). Akibatnya tidak ada jaminan ketersediaan bahan baku bagi industri hilir kelapa sawit yang akan dibangun di Propinsi Jambi.

Dari hasil diagnosis diketahui agroindustri kelapa sawit memiliki daya ta- rik yang tinggi, sedangkan daya tarik agroindustri kelapa berada pada posisi se- dang (Gambar 51). Terdapat tiga indikator yang menunjukkan posisi daya tarik agroindustri kelapa tidak sebaik agroindustri kelapa sawit, yaitu: (1) pertumbuhan pasar domestik produk CCO, (2) pertumbuhan pasar ekspor produk CCO, dan (3) perkembangan teknologi yang digunakan dalam agroindustri kelapa lebih rendah daripada perkembangan teknologi pada agroindustri kelapa sawit (Tabel 39).

Dari hasil diagnosis diketahui pertumbuhan pasar domestik produk agro- industri kelapa mengalami kontraksi hingga –1,4% pada tahun 2002 dan akan te- rus menurun hingga mencapai –4,5% dalam jangka waktu 5 tahun mendatang (Ta- bel 32). Adapun pasar ekspor produk CCO mengalami pertumbuhan yang relatif rendah, yaitu 1,4% pada tahun 2002 dan akan turun menjadi 1,3% dalam kurun waktu 5 tahun mendatang sebagai akibat dari penurunan pangsa ekspor CCO da- lam perdagangan minyak nabati dunia (Tabel 74)

Tabel 74. Perkembangan pasar ekspor CCO dunia Perdagangan CCO Dunia

Dekade

Volume (ton) Pangsa (%)

1960-1969 448.000 11.77

1970-1979 955.000 12.63

1980-1989 1.321.000 6.33

1990-1999 1.533.000 6.39

2001 2.079.000 5.99

Kajian lebih dalam terhadap perkembangan perdagangan minyak nabati dunia memperlihatkan, walaupun dalam empat dasawarsa terakhir (1960-2000) terjadi penurunan pangsa ekspor CCO, namun secara absolut dalam periode waktu tersebut terjadi peningkatan volume ekspor CCO dalam perdagangan minyak na-bati dunia (Tabel 74). Hal ini mengindikasikan masih terbukanya peluang bagi upaya pengembangan agroindustri kelapa di Indonesia melalui peningkatan pro-duksi CCO untuk memenuhi kebutuhan CCO dunia (outward looking oriented).

Indonesia berpeluang untuk menjadi produsen dan pengekpor CCO terbe-sar di dunia, mengingat Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia dengan tingkat produksi kelapa pada tahun 2000 sebesar 3.023.900 ton setara ko-pra, lebih tinggi daripada produksi kelapa di Filipina dan India yang merupakan pesaing utama Indonesia dalam perdagangan CCO dunia. Tabel 75 memperlihat-kan data perbandingan luas areal dan produksi perkebunan, serta produksi dan volume ekspor CCO antara Indonesia, Filipina dan India. Dari data tersebut dapat diketahui, walaupun Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia, akan tetapi hanya sekitar 45% dari produksi kelapa tersebut yang diolah menjadi CCO. Sedangkan di Filipina, lebih dari 85% produksi kelapa diolah menjadi CCO. Hal ini berimplikasi pada volume ekspor CCO. Pada tahun 2000 Indonesia hanya mampu mengekspor 734.557 ton CCO, setara dengan 40% produksi kelapa nasio-nal, sedangkan Filipina mampu mengekspor 1.036.922 ton CCO atau setara de-ngan 67.5% produksi kelapa Filipina. Hal ini mengisyaratkan terbukanya peluang untuk merebut pasang ekspor Filipina bagi produk CCO Indonesia, sehingga pem-bangunan agroindustri kelapa harus diarahkan pada upaya meningkatkan produksi CCO untuk memenuhi kebutuhan CCO dunia (export oriented).

Tabel 75. Perbandingan luas areal dan produksi kelapa, produksi dan ekspor CCO

antara Indonesia, Filipina dan India pada tahun 2000

Parameter Indonesia Filipina India Dunia Luas areal perkebunan (ha) 3.684.000 4.090.000 1.768.000 12.725.000 Produksi kelapa (ton) 3.023.900 2.544.000 1.750.000 10.630.014

Produksi CCO (ton)1) 837.500 1.352.600 396.000 3.284.300 Ekspor CCO (ton) 734.557 1.036.922 1.535 2.200.457

Sumber : Taufikkurahman, 2003.

1)Ditjenbun, 2004a.

Peluang ekspor bagi produk CCO masih tetap tinggi, karena permintaan pasar dunia bagi produk CCO masih besar sebagai akibat dari berkembangnya teknologi yang menyebabkan produk CCO tidak hanya digunakan sebagai bahan baku untuk produk pangan (oleopangan), tetapi berkembang menjadi bahan baku untuk produk oleokimia (oleochemical) (Wulan, 2001; Taufikkurahman, 2003). Menurut Libanan (2000), sebagai bahan baku produk oleokimia, CCO memiliki keunggulan dan ceruk pasar yang khas, karena CCO memiliki kandungan asam lemak rantai pendek dan menengah (short and medium fatty acids) dalam kom- posisi yang spesifik. Hampir 65% kandungan asam lemak CCO tergolong sebagai asam lemak rantai pendek dan menengah (Tabel 76).

Tabel 76. Kandungan asam lemak beberapa jenis minyak nabati

Kandungan Asam Lemak (%) Jenis

Asam Lemak CCO PKO CPO Kedelai Zaitun Matahari

Kaprilat (C8) 8 4 - - - - Kaprat (C10) 7 4 - - - - Laurat (C12) 49 50 - - - - Miristat (C14) 18 16 1 - - - Palmitat (C16) 8 8 45 11 14 7 Stearat (C18) 2 2 5 4 2 5 Palmitoleat (C16:1) - - - - 1 - Oleat (C18:1) 6 14 39 23 71 19 Linoleat (C18:2) 2 2 9 53 10 68 -Linoleat (C18:3) - - - 8 1 1 Sumber : Foale, 2003.

Menurut Punchihewa (2000), penurunan pangsa ekspor CCO dalam empat dekade terakhir (1960-2000) adalah akibat tekanan dari pertumbuhan pangsa eks- por produk substitusi CCO, baik yang berasal dari sumber alami (minyak nabati dan lemak hewan) ataupun yang berasal dari produk sintetik (petrokimia). Akan tetapi, seiring dengan menguatnya kesadaran terhadap kelestarian lingkungan hi- dup, peningkatan pendidikan dan pengetahuan kesehatan serta perubahan gaya hidup yang berdampak pada pergeseran preferensi konsumen ke produk yang ra-

mah lingkungan, biodegradable dan renewable menyebabkan terjadinya pergeser- an trend permintaan konsumen dari produk petrokimia ke produk oleokimia (Jen- vanitpanjakul dan Siribangkeadpol, 2001), sehingga dalam perdagangan dunia di masa mendatang, oleokimia dan produk turunannya dapat mengungguli produk petrokimia dan turunannya. Dengan demikian tekanan terhadap pangsa ekspor