• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pendidikan Tauhid dalam Perspektif Pendidikan Islam

Srategi pendidikan tauhid dalam perspektif pendidikan Islam, merupakan sarana untuk membantu peserta didik dalam upaya mengangkat, mengembangkan dan mengarahkan potensi pasif yang dimilikinya menjadi potensi aktif yang dapat teraktualisasi dalam kehidupan secara maksimal. Dimensi ini memberikan pengertian bahwa pendidkan bukan sarana yang berfungsi sebagai indoktrinasi pembentukan corak dan wama kepribadian peserta didik, sebagaimana yang diinginkan oleh pendidik atau sistem pendidikan yang ada. Akan tetapi, pendidikan berfungsi sebagai fasilitator berkembangnya potensi peserta didik secara aktif sesuai dengan potensi masing-masing dan utuh, baik itu potensi flsik maupun psikis.1

Pendidikan tauhid merupakan bagian dari pendidikan Islam, yang dari semula telah mengarah manusia untuk berupaya meningkatkan kualitas hidupnya yang dimulai dari penyadaran diri untuk menyembah kepada Allah. Titik tolaknya adalah pendidikan yang akan mempersiapkan manusia itu menjadi makhluk individual yang bertanggung jawab dan makhluk sosial yang mempunyai rasa kebersamaan dalam mewujudkan kehidupan yang damai, tentram, tertib, dan maju, dimana moral kebaikan (kebenaran, keadilan, dan kasih

1 Samsul Nizar, Sejarah Dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam : Potret Timur Tengah Era AwalDan Indonesia, Ciputat Press, Jakarta, 2005, him. 155

sayang) dapat ditegakkan dengan prinsip-prinsip dan tata nilai yang bersumber dari Allah semata.

Pembentukan pribadi atau karakter tentu menuntut kematangan individu. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan strategi untuk menggapainya. Karena strategi merupakan altem atif dasar yang dipilih dalam upaya meraih tujuan berdasarkan pertimbangan bahwa altematif terpilih itu diperkirakan paling optimal.2

Strategi adalah jantung dari tiap keputusan yang diambil kini dan menyangkut masa depan. Tiap strategi selalu dikaitkan dengan upaya mencapai sesuatu tujuan di masa depan, yang dekat maupun yang jauh. Tanpa tujuan yang ingin diraih, tidak perlu disusun strategi. Selanjutnya, suatu strategi hanya dapat disusun jika terdapat minimal dua pilihan. Tanpa itu, orang cukup menempuh satu-satunya altem atif yang ada dan dapat digali.3

Islam menumt Sayyid Quthb, menjadikan akidah tauhid sebagai kaidah tempat bertumpunya pendidikan yang membentuk masyarakat pergerakan Islam, yang diatas landasan ini ditegakkan eksistensi umat muslim, maka jalan inilah yang membedakan manusia dengan makhluk- mahluk lainnya.4Mengesakan Allah dan memumikan tuhid dan ketaatan kepada-Nya bukan sekedar pemyataan yang di ucapkan lisan. Tetapi

2 Ahmad S. Adnanputra, Strategi Pengembangcm SDM Menumt Konsep Islami,

Mimbar Bmiah Universitas Islam Djakarta, Jakarta, 1994, Him. 7 3 Ibid., him. 8

4 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Q ur’an, Terj. A s’ad Yasin dkk, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, jilid XL, him. 245

merupakan sistem kehidupan yang sempuma, yang dimulai dari konsepsi dan keyakinan dalam hati, dan berakhir dengan keteraturan yang meliputi kehidupan individu dan kelompok.5

Strategi Pendidikan Tauhid menurut Sayyid Quthb adalah pendidikan yang menekankan pada akidah dan tauhid yaitu yang menekankan pada iman kepada Allah SWT beserta seluruh sifat-sifatnya. Iman yang tidak hanya dalam satu aspek saja saja tetapi menyangkut semua aspek kehidupan, Sayyid Quthb dalam Tafsir F i Zhilalil Quran terutama pada surat Al-Baqarah mengatakan bahwa umat islam hams belajar pada umat- umat terdahulu dan tidak mengikuti jejak umat yang salah. Di sana di gambarkan bagaimana umat yahudi dan nasrani melakukan pengingkaran terhadap nabi yang di utus kepada mereka bukan hanya mengingkari nabi dan ajaran yang dibawa tetapi mereka juga mengingkari Allah SWT dengan menyembah berhala.

Dalam surat Al-Baqarah di tunjukan kisah bagaimana sikap kaum Yahudi dan Nasrani untuk dijadikan pelajaran agar kaum muslim tidak mengikuti langkah-langkah mereka, sesuai dengan keadaan zaman sekarang dimana pendidikan Indonesia selalu berkiblat ke Barat dan terbuai dengan mimpi dan angan-angan kosong, dimanjakan oleh budaya materialisme dan hidup hanya untuk mengejar dunia saja. Melupakan pedoman dan petunjuk yang sudah pasti kebenarannya yaitu A1 Qur’an.

Ketika disuruh untuk mengikuti petunjuk yang sudah ada dalam A1 Qur’an merasa berat dan apabila ada orang yang mengikuti A1 Q ur’an mengolok-oloknya sebagai orang garis keras. Padahal ketentuan yang ada dalam A1 Qur’an sudah pasti adanya. Ilmu A1 Qur’an adalah ilmu pasti layaknya 2+2=4. Ketika di akhirat nanti akan ditanya apa kitab sucimu maka dijawab A1 Qur’an tetapi apakah jawaban itu akan diterima begitu saja, tentu tidak karena dibutuhkan satu jawaban lagi yaitu apakah perbuatan yang dilakukan sudah meng-implementasiakan kitab petunjuk dalam kehidupan sehari-hari. Seorang terdakwa, ketika akan menjalani persidangan akan direkontruksi ulang apa yang telah dilakukannya tentu saja ketika nanti, maka akan kembali di lihat apa yang sudah kita lakukan dengan keimanan kita terhadap A1 Qur’an.

Dengan kata lain, cita-cita Islam itu sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya. Sedangkan kerasulan atau misi Nabi Muhammad adalah untuk mengajarkan kepada manusia bahwa Tuhan itu Esa dan tidak ada Tuhan selain Allah. Oleh karena itu dalam beribadah hanya ditunjukan kepada Allah.

Tauhidbagi uniat Islam merupakan fondasi utama dari keharusan berlangsungnya pendidikan. Karena ajaran-ajaran Islam bersifat universal yang mengandung aturan-aturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dalam hubungan-hubungan dengan khaliqnya yang diatur dalam ubudiyah, juga dalam hubungan dengan sesamanya yang diatur dalam

muamalah, masalah berpakaian, jual-beli, aturan budi pekerti yang baik, dan sebagainya.

Keimanan yang mumi membutuhkan pemusnahan total terhadap segala keknasaan atas hati, tindakan dan perilaku. Sehingga tidak tersisa di hati melainkan hanya ketundukan kepada Allah semata-mata dan tidak tersisa lagi penghambaan melainkan hanya untuk Allah Yang M aha Esa Yang tidak ada sesuatupun yang mampu menolak kehendaknya.6

Islam memandang untuk manusia suatu tata tertib untuk kehidupannya sebagai suatu keseluruhan, baik material maupun spiritual. Upaya untuk ini Islam memberikan aturan-aturan peribadatan, sebagai manifestasi rasa syukur bagi makhluq terhadap khaliqnya.

Achmadi menegaskan bahwa pendidikan tauhid adalah untuk mendidik akhlak dan jiw a mereka, menanamkan rasa fadilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas dan jujur.7

Pendidikan merupakan bagian sangat penting dari kehidupan. secara kodrati manusia adalah makhluk pedagogic, maka dasar pendidikan yang dimaksud tidak lain ialah nilai-nilai tertinggi yang dijadikan pandangan hidup suatu masyarakat atau bangsa dimana pendidikan itu berlaku.

6 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilalil Qur'an, Teij. A s’ad Yasin dkk, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, jilid VH, him. 18

7 Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta, 1992,

Pendidikan tauhid merupakan bagian dari pendidikan Islam, maka pandangan hidup yang mendasari seluruh kegiatan pendidikan ini ialah pandangan hidup Islami atau pandangan hidup muslim yang pada hakekatnya merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat transenden, universal dan eternal.8

Sayyid Quthb menegaskan bahwa Islam adalah pendidikan ketauhidan. Pendidikan yang tidak hanya dilakukan untuk mengejar pengetahuan semata tetapi ditujukan untuk meningkatkan keimanan dan perilaku. Pendidikan ketauhidan adalah pendidikan keterbatasan sesuai kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan oleh agama islam yang terkandung dalam pedoman hidup umat islam yaitu Al-Qur’an.

B. Relevansi Strategi Pendidikan Tauhid

Pada era globalisasi yang semakin canggih ini, dunia pendidikan (khususnya Islam) tampaknya dihadapkan pada tantangan-tantangan yang semakin rumit. Betapa tidak, saat ini seperti muncul kesan bahwa pendidikan Islam gagal menanamkan nilai-nilai tauhid yang menjadi ciri ajaran Islam itu sendiri.

Berbagai fenomena yang menggantikan eksistensi (wujud) Allah SWT sebagai wujud tertinggi alam semesta ini marak terjadi. Baik itu dalam bentuk implisit berupa ’pendewaan’ kemajuan ilmu pengetahuan dan

8 Tedi Priatna, Pondasi Dan Fungsi Pendidikan Islam, Mimbar Pustaka, Bandung, 2004,

teknologi (misalnya handphone, televisi, komputer) hingga yang paling fatal adalah dipercayainya batu ajaib yang mampu menyembuhkan segala penyakit, seperti yang terjadi di Jombang, Jawa Timur baru-baru ini. Adalah Ponari, seorang anak Sekolah Dasar berusia sekitar 9 tahun dipercaya mampu menyembuhkan segala penyakit dengan batu yang telah ditemukannya. Batu tersebut ditemukan ketika dia hampir tewas disambar petir. Seperti dilaporkan oleh salah satu stasiun televisi swasta nasional (22/02/2009) ribuan orang rela mengantri untuk memeroleh kesempatan berobat dengannya. Bahkan, beberapa orang sampai pingsan karena berdesak-desakan untuk mendapatkan tiket berobat. Ironisnya, di tempat yang sama dan waktu yang sama, masih ada ’Ponari-Ponari’ kecil lainnya.

Jombang adalah suatu daerah yang juga sering diidentikkan dengan adanya pondok-pondok pesantren sebagai institusi pendidikan Islam. Ini semakin menunjukkan keprihatinan bahwa peran institusi pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai tauhid di tengah-tengah masyarakat mengalami kegagalan. Di sinilah tampaknya umat Islam perlu melakukan revitalisasi pendidikan Islam dalam penanaman nilai-nilai tauhid di tengah-tengah masyarakat yang kini mulai luntur tersebut.

Penegakan Tauhid dalam Pendidikan Islam menurut Muhammad Abduh dalam karyanya berjudul Risalah Tauhid, menyebutkan bahwa asal makna “tauhid” ialah meyakinkan, bahwa Allah SWT adalah “satu”, tidak ada syarikat bagi-Nya. Tauhid juga berarti menetapkan sifat “wahdah”

(satu) bagi Allah SWT dalam Dzat-Nya dan dalam perbuatan-Nya menciptakan alam seluruhnya dan bahwa la sendiri-Nya pula tempat kembali segala alam ini dan penghabisan segala tujuan. Keyakinan tauhid inilah yang menjadi tujuan paling besar bagi kebangkitan Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, ketika ada kelompok orang atau masyarakat yang mengingkari tentang keesaan Allah SWT ini pada dasamya mereka telah melanggar prinsip ajaran Islam yang paling hakiki.

Secara implisit Al-Qur’an mengatakan bahwa pendidikan Islam harus dilandasi oleh nilai-nilai tauhid. Artinya, tauhid adalah ajaran Islam yang fundamental dan pertama harus diemban oleh pendidikan Islam. Sayangnya, peristiwa penyimpangan-penyimpangan tauhid ini terjadi sepanjang sejarah. Pada masa awal Islam, penyimpangan terhadap Keesaan Allah SWT sebenamya juga telah terjadi. Adalah Abdullah bin Saba5 seorang Yahudi yang baru masuk Islam, yang berpura-pura terlalu fanatik mencintai Ali Karamallahu Wajhahu. Dengan sikap kepura-puraannya tersebut, Saba5 mengatakan bahwa Allah telah bertempat pada diri Ali. Ia mendakwakan pula bahwa Ali lah sebenamya yang berhak menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia menyerang Khalifah Usman dengan amat sengitnya, sehingga menyebabkan ia dibuang oleh Khalifah Usman. Pada kenyataannya Saba5 ditentang keras oleh para khalifah setelah Nabi.

Hal ini menandakan bahwa penyimpangan tauhid bagaimanapun adalah tindakan yang tidak bisa ditolerir dan dengan demikian harus

diberantas hingga ke akar-akamya. Pemberantasan penyimpangan tauhid dari akar-akamya inilah sepertinya dapat menjadi peran yang strategis pendidikan Islam, khususnya di Indonesia. Terlebih Indonesia mempunyai ribuan institusi pendidikan Islam baik itu pondok pesantren maupun institusi pendidikan formal yang berada di bawah naungan organisasi Islam seperti halnya Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Persatuan Islam (Persis) dan organisasi Islam lainnya.

Peran pendidikan karena kenyataan, bahwa pendidikan Islam sesungguhnya mempunyai misi utama untuk menegakkan nilai-nilai tauhid, maka dalam konteks ini pendidikan Islam sangat tepat berperan dalam menanamkan nilai-nilai tauhid di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Ini penting untuk dilakukan, terlebih dunia pendidikan kita saat ini cenderung mengarah kepada kondisi yang sekuler. Jangankan institusi pendidikan umum, lembaga pendidikan yang nota bene Islam tidak jarang justru meremehkan mata pelajaran dalam bidang tauhid ini. Misalnya, ditunjukkan dengan porsi jam pelajaran yang sedikit, hanya sebagai muatan lokal, atau dengan menyerahkan mata pelajaran kepada gum pengampu dengan kemampuan yang pas-pasan.

Kondisi sekuler juga ditunjukkan dengan adanya orientasi pendidikan yang diarahkan kepada pembangunan kecerdasan intelektual. Sedangkan, kecerdasan spiritual (ke-Islaman) justm diabaikan atau sekurang-kurangnya dinomorduakan. Misalnya, saat ini sangat santer adanya standar kelulusan

mata pelajaran ujian nasional (yang nota bene mata pelajaran umum) sehingga mengakibatkan mata pelajaran agama (termasuk akidah atau tauhid) terabaikan. Mestinya, pengejaran target yang berorientasi pada kecerdasan intelektual tersebut dibarengi dengan kecerdasan dalam konteks spiritual.

Oleh sebab itu, ada beberapa agenda penting yang dapat dilaknkgn oleh pendidikan Islam terkait misi penanaman nilai-nilai tauhid ini. Pertama, umat Islam perlu melakukan revitalisasi institusi pendidikan Islam khususnya terkait misi pemumian tauhid. Sudahkah institusi pendidikan umat Islam saat ini mempunyai misi yang jelas mengenai kemurnian tauhid ini? Jangan-jangan memang sebagian besar institusi pendidikan Islam tidak mengutamakan misi kemurnian tauhid ini, jika ini yang terjadi maka perlu dirumuskan kembali pemumian tauhid ini dalam institusi pendidikan Islam. Kedua, institusi pendidikan Islam harus menyediakan sumber daya manusia (SDM) yang memadai untuk misi penegakan tauhid ini. Revitalisasi institusi-institusi pendidikan tinggi Islam dalam menghasilkan out put yang berkualitas dalam konteks tauhid yang mumi sangat penting dilakukan. Sehingga, hal ini dapat menjamin tersedianya tenaga-tenaga pengajar yang mempunyai Tauhid yang benar dan shahih di institusi pendidikan mulai tingkat TK, SD, SLTP, SLTA hingga PT. Terakhir, institusi pendidikan Islam perlu memperkuat misi penegakan tauhid yang shahih dalam sistem pendidikan yang selama ini beijalan. Hal ini dapat dilakukan dengan merumuskan kurikulum ataupun sistem pengajaran yang memperkuat

nilai-nilai tauhid. Tidak selalu harus dengan menambah jam mata pelajaran, tetapi bisa saja nilai-nilai tauhid menjadi ruh dalam mata pelajaran yang lain. Oleh sebab ltu, perlu dilakukan perumusan yang serius terkait sistem pendidikan ini.

Akhimya, penanaman nilai-nilai ketauhidan atau akidah dalam dunia pendidikan tentu saja sangat strategis. Sebab, hal ini dapat memotong mata rantai kepercayaan masyarakat yang mulai menyimpang seperti halnya yang teijadi dalam kasus Ponari. Lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah saatnya mampu menjadi pelopor dalam penanaman nilai-nilai tauhid atau akidah ini, sehingga kasus-kasus penyimpangan tauhid yang sangat fatal tidak akan teijadi lagi di kemudian hari.

C. Karakteristik Strategi Pendidikan Tauhid Sayyid Quthb

1. Berpedoman pada A1 Qur’ an dan Hadits

Ini terlihat dalam berpegangnya Sayyid Quthb kepada Al-Qur’an dan sunnah sebagai rujukan penulisan dan penyelidikan. Sayyid mencari inspirasi dan ilham dari keduanya tanpa menyertakan pengetahuan- pengetahuan yang lain, sebab keduanya adalah dua referensi yang valid bagi agama ini. Sungguh, umat Islam telah menjauh dari kedua referensi ini sepanjang sejarah arah mereka dan lalai dannya karena sibuk dengan kitab- kitab yang mendapatkan cap "ilmiah". Padahal ini merupakan salah satu perkara yang menjauhkan mereka dari m ata-m ata air yang deras dan

mengenyangkan. Karena itu, mereka merugi dengan tidak memperoleh kebaikan yang banyak, dan kerugian mereka dalam tataran realita dan sejarah adalah sesuatu yang jelas dan terang.

Sayyid Quthb paham betul fakta ini, maka beliau pim menulis dalam tiga buku: at-Tashw fr al-Fann f i A l-Q ur'an (Ilustrasi Artistik dalam Al-Qur'an), M asydhid al-Qiyamah (Pemandangan-Pemandangan Kiamat), dan F i Zhilalil Qur ’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an).

Dengan menuliskan buku-buku tersebut Sayyid Quthb ingin mengembalikan umat Islam ke Al-Qur’an, sehingga mereka pun bisa menikmatinya sebagai sesuatu yang segar seperti kala Al-Qur’an diturunkan. Dengan gaya bahasanya yang menawan dan pemahamannya yang mendalam akan apa-apa yang ada di balik kalimat dan huruf, mampu menyingkap untuk umat Islam rahasia-rahasia dan makna-makna yang belum pemah diuraikan sebelumnya dan mengantarkan seorang Muslim ke dalam suasana Qur'ani, sehingga ia bisa menghirup keharumannya, menikmati kesegarannya, serta hidup (meski ia hidup pada abad ke-20) dalam naungan Al-Qur’an.

Keseriusan juga tampak pada tema-tema yang diangkatnya dan tulisan-tulisan berharga yang dipersem bahkannya. Quthb m enulis tentang problem atika-problem atika kekinian dan mendesak yang sedang dialami umat Islam serta yang tengah mereka rasakan ekses- ekses negatifnya dan bahaya-bahayanya.

Setiap menulis, Quthb punya dua tujuan utama. Pertama,

menjelaskan sosok Islam seperti yang diturunkan Allah, kedua,

menjelaskan realita umat Islam yang jauh dari sosok tersebut. Dengan kata lain, beliau berusaha keras menjelaskan jahiliyah dan memperlihatkannya sama seperti usaha kerasnya dalam menjelaskan Islam. Dan, memperlihatkannya supaya jelas mana jalan orang-orang beriman dan mana jalan orang-orang kafir, agar ada pemisahan antara keduanya atas dasar akidah.9

Keseriusannya juga terlihat dalam perhatian beliau terhadap masalah-masalah pokok dan asasi. Tetapi, beliau menjauhkan diri dari masalah-masalah cabang dan parsial, masalah yang telah menghabiskan waktu umat Islam dan umumya, misalnya dalam perdebatan masalah- masalah kalam dan perbantahan yang tidak berguna. Sebaliknya, keseriusan beliau tampak pula dalam mengerahkan energi dan tenaga ke akar perkara dan sumber masalah yang pada hakikatnya adalah penyebab problem-problem umat Islam dan ketertinggalannya.10

Karena alasan inilah, kita mendapati buku azh-Zhilall tidak memaparkan rincian-rincian hukum fikih atau perselisihan- perselisihannya. Dalam buku Khashd'ish at-Tashawwur al-Islam i wa M uqawwimdtuh kita juga menclapati bahwa beliau menghindari terminologi-terminologi ahli ilmu kalam dan mazhab-mazhab mereka

9 Ahmad Hasan, Fikih Pergerakan Sayyid Quthb, Uswah, Yogyakarta, 2008, him. 8 10 Ibid., him. 9

yang beragam berikut dialektikanya, supaya pembaca bisa sampai ke hakikat-hakikat akidah seperti yang terbaca secara eksplisit dari nash Al- Qur’an.

2. Jelas dan Sederhana

Sayyid Quthb menulis dengan gaya bahasa seorang dai, dengan semangat dan keterusterangannya, bukan dengan gaya bahasa seorang filosof, dengan fantasi-fantasi dan kehambaran ekspresinya. Tampak bahwa beliau san g at terp en g aru h oleh gaya b ah asa A l-Q u r’an, k arena am at lam anya pergumulan dan penelaahannya dengan Al- Qur’an. Sungguh dalam tiap-tiap kalimatnya akan dirasakan semangat dan gerakan yang memancar dari sela-sela ungkapan-ungkapannya dan dalam tiap-tiap baris tulisannya, seolah-olah adalah rangkaian degup jantung dan detak hati.

Quthb tidak suka menggunakan istilah-istilah seni dan ilmu yang rumit dalam memaparkan suatu hakikat. Yang beliau lakukan hanyalah merasakan h ak ik at te rseb u t, m encernanya, untuk k em udian m en yusunnya d alam ungkapannya yang kuat dan paparannya yang indah yang langsung masuk ke hati tanpa keletihan dan kepayahan yang mengiringi. Perhatikan dengan saksama perkataannya dalam

al-'Addlah al-ljtim d'iyyah f i al-Islam kala beliau membandingkan agama Kristen, komunisme, dan Islam, bagaimana beliau merangkai hakikat- hakikat ini, "...dengan keterangan ini kita mengetahui bahwa Kristen

adalah sebuah mimpi di alam fantasi abstrak yang terlihat oleh manusia di horison-horison langit; komunisme adalah kedengkian kemanusiaan yang tersembunyi yang tampak dalam diri suatu generasi manusia; dan Islam adalah harapan kemanusiaan yang abadi yang terlihat di alam nyata yang hidup di atas bumi!"11

Selain itu, gaya bahasanya juga memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki penulis lain; beliau tidak berbicara kepada kelompok tertentu dari kalangan cendekiawan atau spesialis di bidang-bidang keilmuan tertentu, yang beliau ajak bicara adalah seorang Muslim yang berwawasan tanpa memedulikan spesialisasinya. Oleh karena itu, beliau menghindari istilah-istilah ilmu dan seni yang bisa menjadi penghalang orang yang tidak berspesialisasi untuk memahami pemikirannya. Hal ini adalah sebuah keistimewaan yang menjadikan buku- bukunya sebagai mata-mata air yang segar yang menjadi tujuan pemuda Islam dengan beragam tingkatan dan spesialisasinya.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa Fi Zhilalil Qur’an memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Di antaranya :

1. Kekuatan membawa kita tenggelam sambil menyelami ilmu dan hikmah yang ada di dalam Al-Qur’an dengan penuh kenikmatan yang tidak mungkin digambarkan dengan kata-kata.

2. Kekuatan megikat dan merajut ayat-ayat Al-Qur’an dengan Hadits Rasul Saw. serta Sirah Nabawiyah dan para Sahabatnya, kemudian dikaitkan dengan sitausi dan kondisi kekinian (w aqi).

3. Kekuatan membangkitkan keyakinan (keimanan), optimisme pada rahmat dan pertolongan Allah dan rasa percaya diri sebagai urnat terbaik yang Allah hadirkan ke atas bumi ini.

4. Kekuatan menggugah pikiran dan perasaan kita sehingga muncul berbagai inspirasi, ide, gagasan dan berbagai pertanyaan yang paralel dengan situasi dan kondisi yang kita lewati sekarang, sehingga kita memahami dengan tepat situasi dan kondisi tersebut dengan ide solusi yang jelas pula.

5. Kekuatan pencerahan yang luar biasa terkait hakikat Tuhan, manusia, kehidupan dunia, alam semesta, kehidupan akhirat, jahiliyah dan Islam.

6. Kekuatan penelaahan yang sangat luar biasa dalam hal hakikat Islam dan Jahiliyah, iman dan kufur, serta keunggulan manhaj (konsep) Islam dibandingkan dengan konsep jahiliyah, baik dulu maupun yang ada sekarang yang datang dari Barat maupun Timur.

3. Relevan Dengan Zaman

Di zaman tafsir F i Z hilil Q ur’an ditulis (sebagian besamya ditulis

Dokumen terkait