• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Perlawanan Masyarakat Watmuri Diaspora Dalam Menolak Ekploitasi Hutan

Dalam dokumen T2 752015003 BAB III (Halaman 34-41)

Berbagai peristiwa yang dialami orang-orang di Watmuri demi mempertahankan hutan ulayat baik intimidasi, konflik, tindakan kekerasan semakin mendorong masyarakat Watmuri diaspora yang berkediaman di Ambon untuk melakukan perlawanan. Untuk menyalurkan berbagai aspirasi dan keresahan yang terjadi di Watmuri maka mereka melakukan penyusunan strategi agar tindakan tepat pada sasarannya.

67

a. Demonstrasi

Himpunan Mahasiswa Pemuda Lelemuku (HIMAPEL) merupakan suatu organisasi yang di dalamnya tergabung seluruh organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa berbasis desa-desa dari Maluku Tenggara Barat yang berkediaman di kota Ambon. P3MNW (persekutuan pemuda pelajar mahasiswa Nirunmas Watmuri) adalah salah satu organisasi yang terhimpun di dalamnya sekaligus pelopor jalannya demonstrasi untuk memperjuangkan nasib masyarakat Watmuri secara khusus dan Maluku Tenggara Barat secara umum dari kehadiran pembangunan kehutanan model HPH. Mereka melakukan demonstrasi sebagai bentuk kesadaran bersama terhadap bahaya pembangunan kehutanan yang cenderung mengabaikan keterlibatan masyarakat lokal dalam proses pengelolaan. Aksi demo berlangsung di depan kantor Gubernur Maluku, Bapak K.A Ralahalu adalah Gubernur aktif yang menjabat saat itu. Wacana yang disuarakan yakni menghentikan dan mencabut ijin usaha dari PT Karya Jaya Berdikari di Maluku Tenggara Barat karena tidak efektif bagi masyarakat lokal. Ditegaskan pula, kehadiran HPH telah merugikan masyarakat lokal yang bergantung pada alam serta merusak hutan-hutan yang mengandung sejarah budaya bagi masyarakat setempat. Suatu pembangunan yang bijaksana dan adil yakni memberikan rasa aman dan kemakmuran bagi masyarakat sekitar pembangunan, jika tidak maka pemerintah harus mengambil langkah terhadap perusahaan yang

mendapatkan ijin pengelolaan tersebut.49

49P3MNW adalah organisasi pemuda, pelajar, mahasiswa Watmuri yang berada di Ambon. Peran pemuda-pemudi Watmuri diaspora Ambon sangat diapresiasikan dengan baik karena mereka

68

b. Mengadakan Berbagai Pertemuan Untuk Konsolidasi

Berbagai pertemuan diupayakan oleh orang-orang Watmuri Diaspora Ambon untuk menyalurkan aspirasi menolak HPH di Watmuri. Mereka mengadakan pertemuan dengan badan pemerintah kabupaten Maluku Tenggara Barat sebagai basis utama pemerintahan yang wilayahnya dieksploitasi. Pertemuan berlangsung dengan dihadiri oleh wakil ketua DPRD Maluku Tenggara Barat dan ketua komisi C DPRD kabupaten MTB. Pertemuan tersebut membahas terkait penolakan masyarakat Watmuri terhadap PT Karya Jaya Berdikari yang mengelola hutan ulayat desa Watmuri. PT Karya Jaya Berdikari tidak mendapatkan ijin dari masyarakat Watmuri untuk mengolah hutan ulayat mereka karenanya, masyarakat bersikeras menolak perusahaan yang dibuktikan dengan tanda tangan seluruh masyarakat Watmuri . Oleh pertemuan itu pihak DPRD kabupaten Malulu Tenggara Barat bersedia meninjau kerja PT KJB dengan melakukan kunjungan ke desa Watmuri. Terkait penolakan atas pengelolaan hutan akan ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah karena selama ini

informasi yang diperoleh ialah masyarakat Watmuri menerima pengelolaan hutan.50

Selanjutnya diadakan pertemuan di tingkat provinsi menghadirkan anggota

DPRD komisi A Provinsi Maluku dan Dinas Kehutanan provinsi Maluku.51 Dari

pertemuan tingkat provinsi kemudian diagendakan untuk bertemu langsung dengan menteri kehutanan Republik Indonesia sebagai kekuasaan tertinggi yang memberikan

turut terlibat dalam setiap proses perlawanan. Keterlibatan mereka menunjukan kepedulian pada desa Watmuri dan nasib keluarga mereka yang berada di sana. Wawancara dengan sdra J

Melmambessy, 3 September 2016 di Ambon.

50Wawancara dengan Bpk. R Melmambessy 28 Agustus 2016 di Ambon

69

surat keputusan kepada PT Karya Jaya Berdikari mengelola dan memanfaatkan hasil hutan kayu di kabupaten Maluku Tenggara Barat. Pertemuan itu bertolak dari berbagai pertimbangan dan alasan pengelolaan hutan yang tampak menyimpang bagi masyarakat namun terus didiamkan oleh pemerintah kabupaten maupun provinsi. Pengharapan bahwa pemerintah di tingkat pusat dapat mempertimbangkan aspirasi masyarakat mencabut perusahaan di desa Watmuri secara khusus dan Maluku Tenggara Barat secara umum karena dinilai tidak mensejahterakan masyarakat lokal.52

c. Mengajukan Surat Penolakan Atas Pengelolaan Hutan

Sebelum pertemuan secara langsung masyarakat diaspora berupaya menyurati Bupati Maluku Tenggara Barat, ketua DPRD kabupaten Maluku Tenggara Barat, Gubernur Maluku, ketua DPRD provinsi Maluku, Menteri Kehutan RI yang seluruh isi surat terkait penolakan masyarakat atas PT Karya Jaya Berdikari disertai lampiran tanda tangan ±1000 orang sebagai bentuk penolakan warga pada perusahaan. Masyarakat juga menyurati Kepala Polisi Republik Indonesia, Komnas HAM RI atas tindakan kekerasan aparat keamanan tanpa motif yang jelas pada masyarakat agar ditindaklanjuti. Akan tetapi, upaya menyurati tidak menuai hasil yang positif sampai pada akhirnya pertemuan menjadi akses konsolidasi menyikapi persoalan HPH di Watmuri.

70

d. Memberi Dukungan Bagi Masyarakat Agar Tetap Menolak

Selama perlawanan berlangsung, masyarakat diaspora tetap memberikan motivasi dan dorongan moril bagi masyarakat di Watmuri. Motivasi itu bertujuan untuk menguatkan masyarakat agar tetap konsisten menolak HPH dan tidak mudah terpancing dengan ancaman-ancaman dari pihak manapun yang berusaha membelokan niat penolakan warga.

e. Perlawanan Tertutup

Saat ini resistensi Watmuri diaspora-Ambon lebih bersifat tertutup atau dilakukan secara diam-diam. Harapan terbesar mereka ialah dapat memilih pemimpin

daerah yang concern terhadap lingkungan yang tidak secara mudah melegitimasi

kekuasaan untuk mengijinkan suatu pembangunan tanpa pertimbangan kondisi sosial budaya serta ekonomi masyarakat lokal. Wacana ini sedang diupayakan bagi orang-orang yang mendiami kepulauan Yamdena dan Maluku Tenggara Barat secara luas

untuk memilih pemimpin daerah yang peduli pada kepentingan rakyat.53 Walaupun

tampak sulit dalam pencapaiannya namun bagi mereka tidak ada salahnya untuk berusaha.

Hasil dari rangkaian perlawanan tersebut tidak berimplikasi mengubah keputusan pemerintah untuk mencabut ijin usaha PT Karya Jaya Berdikari, itu sebabnya sampai saat ini perusahaan tetap beroperasi di Watmuri yang telah membabat kurang lebih 2000-an ha hutan. Hanya sedikit hasil yang diperoleh dalam upaya perlawanan tersebut yakni penebangan yang sebelumnya 2km dari bibir pantai

71

dipindahkan menjadi 5km sesuai permintaan warga dan pembayaran kompensasi yang baru dimulai tahun 2015 berjumlah Rp.1,3 M dan Rp1,7 M di tahun 2016. Masyarakat diaspora menilai kompensasi yang diberikan pengelola tidaklah sesuai dengan jumlah kayu dan luas hutan yang telah rusak karena alat berat perusahaan. Hasil ini masih menjadi ketidakpuasan warga terlebih dampaknya mulai terasa di antaranya meningkatnya kerusakan hutan; area bercocok tanam warga semakin dipersempit; serta menipisnya kandungan air dalam tanah karena hutan yang mulai mengalami pengundulan.

Orientasi pengelolaan hutan model HPH di Watmuri telah jauh dari esensinya yakni pemanenan atau penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil hutan kayu. Perusahaan lebih mengutamakan penebangan dan pemasaran hasil kayu sementara aspek penanaman dan pemeliharaan terabaikan. Lemahnya kontrol pemerintah untuk mengawasi kinerja perusahaan telah menimbulkan berbagai keluhan di kalangan masyarakat lokal. Tampak jelas di depan mata perusahaan melakukan banyak penyimpangan namun didiamkan dan terus

beroperasi.54 Beginikah sistem pembangunan negara ini? Eksistensi negara mestinya

memberikan perlindungan bagi warga yang berada di dalamnya sehingga tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bukan melindungi para penguasa. 3.12. Kesimpulan

Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat bermanfaat bagi manusia. Hutan biasanya diibaratkan sebagai paru-paru dunia karena memberikan

72

kehidupan bagi makluk hidup yang berada di jagat ini. Melestarikan hutan adalah kewajiban manusia agar ekosistem alam tetap terpelihara. Terhadap pentingnya hutan bagi manusia iapun berpotensi besar terjadinya kerusakan baik oleh perladangan warga, penebangan liar maupun kebijakan pembangunan kehutanan. Indonesia sejak pemerintahan rezim orde baru telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yakni undang-undang pokok kehutanan dan pertambangan serta UU Investasi tahun 1967 yang memberikan berbagai kemudahan bagi investor untuk mengelola sumber daya alam. Aktifitas pembangunan meliputi hak pengusahaan hutan atau yang sekarang disebut Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-Ha), pertambangan, perkebunan berskala besar dan Industri berbahan baku

hutan. Sejak itu, hutan menjadi salah satu sumber daya alam untuk lending sector

bagi pembangunan demi pertumbuhan ekonomi negara. Orientasi hutan untuk mengutamakan pertumbuhan ekonomi di satu sisi telah menghadirkan berbagai industri perkayuan, di sisi lain mainstream kebijakan tersebut justru memperparah kerusakan hutan. Kebijakan pengelolaan hutan dengan harapan hasil-hasil pembangunan kehutanan akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat lokal ternyata hanya jargon politik penguasa. Implikasi pembangunan tidak memberikan kemakmuran bagi rakyat melainkan menguntungkan para pemilik kekuasaan. Gerakan protes yang bermunculan adalah bentuk ekspresif masyarakat atas berbagai keluhan dari kebijakan pembangunan yang menghancurkan nilai-nilai budaya masyarakat lokal yang terkandung dari cara mereka menggunakan dan melindungi hutan sejak dahulu.

73

Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang hadir di desa Watmuri telah mengubah pola masyarakat dalam menggunakan hutan sebagai tempat pencari nafkah serta hutan yang menyimpan situs-situs budaya. Perusahaan telah merusak hutan-hutan sakral masyarakat lokal yang dijaga sebagai warisan para leluhur. Watmuri diaspora di Ambon merasa terpanggil untuk memperjuangkan hak hidup saudara bersaudara mereka di kampung. Kepedulian yang mereka wujudkan dalam aksi-aksi protes menunjukan betapa mereka prihatin dengan berbagai kesulitan yang dihadapi warga desa sejak perusahaan beroperasi. Ini tidak tentang menolak pembangunan negara melainkan tentang hak yang harus masyarakat desa terima dengan hadirnya pembangunan. Jika hak mereka terpenuhi mungkin kecenderungan untuk bangkitnya

resistensi tidak akan terjadi. Hak tersebut yakni pertama, perusahaan mengambil

potensi sumber daya kayu dari hutan milik masyarakat lokal maka tindakan

pengembangan ekonomi maupun sosial harus nampak dalam masyarakat. Kedua,

masyarakat lokal dilibatkan dalam proses-proses pengelolaan serta tidak merusak

hutan sakral yang kaya adat istiadat bagi masyarakat. Ketiga, evaluasi secara

transparan dari pihak pengelola bagi seluruh warga desa agar menghindari kecederungan munculnya monopoli dan pengambilan keuntungan. Apabila aspek-aspek itu dijalankan maka masyarakat akan merasa aman dan jauh dari keluhan dan keresahan akan hadirnya pembangunan kehutanan.

Dalam dokumen T2 752015003 BAB III (Halaman 34-41)

Dokumen terkait