• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENUTUP

Bagan 3.2 Struktur BPD Desa Sihopur dan Posisi Adat

Struktur BPD Desa Sihopur dan Posisi Adat

Dari bagan 4 diatas dapat kita lihat dimana struktur BPD juga di dipengaruhi adat istiadat yang diisi oleh Anak Boru, Kahanggi, Mora. Dimana kepala BPD dijabat oleh si Pukka Huta yaitu bapak Drs. Muhammad Nau Ritonga sedangkan Abdul Halim Ritonga sebagai Kahanggi menjabat sebagai sekretaris dan wakil ketua juga dipegang oleh pihak Kahanggi yaitu bapak Perdinan Ritonga. Kemudian anggota BPD diisi oleh Roba’a Sipahutar sebagai Mora dan Roslaini Harahap sebagai Anak Boru.

Dari kedua bagan diatas dapat disimpulkan bahwa adat istiadat sangat mempengaruhi pemerintahan desa. Meskipun dalam UU mengatur bahwa aparat

Ketua

Drs. Muhammad Nau Ritonga (si Pukka Huta)

Anggota 3. Roba’a Sipahutar (Mora) 4. Roslaini Harahap (Anak Boru)

Wakil Ketua Perdinan Ritonga

(Kahanggi) Sekretaris

Abdul Halim Ritonga (Kahanggi)

pemerintahan desa merupakan wewenang dari kepala desa. Kepala desa Sihopur menjelaskan bahwa hal tersebut memang dilakukan demi menjaga adat istiadat yang sudah lama menjadi pegangan hidup masyarakat desa Sihopur serta menjaga komunikasi ataupun koordinasi dengan pihak Anak Boru, Kahanggi, dan Mora

supaya tetap lancar, stabil dan menyambung. Tidak menjadi masalah dimana pihak Anak Boru, Kahanggi, Mora berada dalam pemerintahan desa yang penting ketiga unsur tersebut (Dalihan Na Tolu) tetap berada dalam pemerintahan. 55

Meskipun pemilihan perangkat desa merupakan sepenuhnya wewenang dari kepala Desa dan diatur dalam UU sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas. Dan jika memang adat istiadat menjadi satu-satunya alasan atau pertimbangan untuk menjadikan orang-orang tersebut berada dalam pemerintahan desa maka hal ini dapat berimbas kepada kinerja mereka sebagai pelayan masyarakat. Disamping itu, berdasarkan penjelasan dari Irsan Tagor Harahap bahwa aparatur pemerintahan itu dipilih bukan hanya berdasarkan adat istiadat yang ada di desa Sihopur. Akan tetapi mereka merupakan orang-orang yang bisa diatur atau dipengaruhi oleh kepala desa. Roslaini Harahap sebagai anggota BPD juga mengaku bahwa ia tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dalam musyawarah ia hanya diminta oleh kepala BPD sebagai seksi konsumsi, yaitu menyediakan makanan dan minuman untuk peserta musyawarah. 56

55

Wawancara dengan bapak Mahmudin Ritonga selaku Kepala Desa Sihopur Agustus 2014 di Desa Sihopur. Dalam hal ini beliau juga menambahkan hal ini dilakukan demi menjaga stabilitas politik yang ada di Desa Sihopur supaya tidak terjadi keributan.

56

Setiap langkah yang di ambil oleh Pemerintahan Desa semua terlihat bersifat sentralistik dan elitis. Elit pemerintahan desa yakni BPD dan kepala desa cenderung lebih mendominasi dalam musyawarah desa karena status mereka sebagai si Pukka Huta. Begitu juga dalam pengambilan keputusan, tanpa menampung aspirasi dari masyarakat desa, keputusan diambil atas kesepakatan elit saja.

Kemudian, musyawarah yang dilakukan di Desa Sihopur jarang sekali melibatkan masyarakat desa terlebih dalam pengambilan keputusan. Musyawarah dilakukan hanya antara pihak BPD dan pemerintah desa saja. Dalam hal ini peran mereka sebagai si Pukka Huta lebih menonjol daripada sebagai pemerintahan desa. Tidak jarang keputusan yang diambil hanya menguntungkan mereka saja tanpa adanya akuntabilitas dan transparansi. Proyek pembangunan desa dilakukan berdasarkan keputusan mereka saja tanpa menampung aspirasi dari masyarakat. Sehingga keputusan yang mereka ambil tidak rasional dan hanya menguntungkan diri mereka sendiri.57

Dalam sebuah tatanan masyarakat pasti terdapat sekelompok kecil elit yang kemudian memiliki kekuasaan. Juga terdapat massa yang tergolong banyak dan tidak mampu atau tidak memiliki kekuasaan. Disitulah kemudian peran elit C. Pola Hubungan Antara Elit si Pukka Huta Dengan Masyarakat Desa Sihopur

57

mempunyai peran yang sangat besar. Elit yang dimaksud adalah individu atau kelompok yang memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Kelompok elit sangatlah potensial sebagai agen perubahan terutama dalam menjembatani antara kemauan pemerintah dan kepentingan masyarakat, jumlah anggota kelompok elit biasanya tidak banyak, mereka adalah anggota masyarakat yang mempunyai jabatan formal dalam pemerintahan desa dan pengurus lembaga sosial pedesaan. Meskipun begitu ada beberapa anggota elit yang diisi oleh

informal leaders.

Di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan elit dapat dikatakan sangat dominan dan mempunyai kekuasaan yang besar terhadap masyarakat karena elit yang terdapat di Desa Sihopur sendiri bersifat tradisional dan dikenal sebagai si Pukka Huta serta tokoh yang sekaligus menjabat sebagai aparatur pemerintahan desa. Mereka adalah keturunan langsung dari sesepuh ataupun orang-orang yang merintis dan membangun Desa Sihopur. Sehingga muncul anggapan bahwa merekalah orang-orang yang lebih tahu apa yang harus dilakukan dan keputusan seperti apa yang diambil terhadap desa Sihopur, termasuk dalam hal Pemerintahan Desa.

Elit di Desa Sihopur adalah perangkat yang memiliki kekuasaan yang disebut sebagai si Pukka Huta. Kelompok elit dalam masyarakat berperan menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menarik keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan yang dipegangnya. Mereka ini berstatus elit formal maupun elit informal. Dalam konteks pedesaan, elit formal

adalah para elit yang mempunyai kedudukan resmi dalam struktur pemerintahan desa, seperti kepala desa dan kepala BPD. Sedangkan elit informal adalah mereka yang mempunyai pengaruh yang diakui sebagai pemimpin oleh sebuah kelompok tertentu maupun oleh masyarakat desa seluruhnya meskipun tidak menduduki posisi resmi dalam pemerintahan desa. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Vilfredo Pareto bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan politik. Kelompok kecil itu disebut dengan elit, yang mampu menjangkau pusat kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil yang mampu menduduk i jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat

Para si Pukka Huta yang sekaligus aparat pemerintahan desa mempunyai kekuasaan dan wewenang yang besar untuk mengatur rakyatnya sekaligus patron bagi masyarakat desa khususnya. Agar si Pukka Huta mampu mempertahankan kekuasaan dan wewenangnya dalam pemerintahan desa, ia selalu mencari kekuatan legitimasi kedudukannya dengan cara mengaitkan dirinya dengan pemegang kekuasaan yang lebih tinggi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan peran si Pukka Huta demikian besar yaitu, pertama si Pukka Huta mempunyai wewenang yang betul-betul nyata yaitu mempunyai pengaruh kuat, baik dalam hal mobilisasi massa, mengotak-atik struktur aparatur desa, dan fungsi anggaran desa serta mengambil keputusan masih juga banyak ditentukan oleh si Pukka Huta

yang juga sebagai aparat pemerintahan desa. Kedua lembaga yang dipimpin oleh

pemerintah desa yang dipimpin oleh kepala desa secara bersama-sama melegitimasi kebijakan dan keputusan yang diambil dalam menjalankan roda pemerintahan desa.

Berdasarkan pengaturan kedua lembaga tersebut, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah terlihat upaya menyeimbangkan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa antara kekuasaan Kepala Desa dengan BPD. Namun dalam implementasinya, akan memungkinkan terjadinya implikasi negatif dalam hubungan eksekutif dan legislatif di desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa masih ada. Terkait dengan pola hubungan tersebut, Marzuki Lubis mengemukakan adanya 3 (tiga) pola hubungan yaitu pertama, bentuk hubungan searah positif. Hal ini akan terjadi apabila baik eksekutif (Kepala Desa) dengan legislatif (BPD) memiliki visi yang sama dalam menjalankan pemerintahan dan bertujuan untuk kebaikan dan kemajuan daerah itu (good governances) yang secara prinsip memiliki ciri : transparan, demokratis, berkeadilan, bertanggungjawab, dan objektif.58

58

Inu Kencana Syafiie. 2011. Etika Pemerintahan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. hal. 158

Kedua, bentuk hubungan searah negatif. Hal ini akan terjadi jika eksekutif dan legislatif berkolaborasi negatif (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), dan secara bersama-sama menyembunyikan kolaborasi negatif kepada publik. Secara politis, hal tersebut bisa terjadi, tetapi secara hukum dan etika sangat bertentangan dengan prinsip

visi kedua lembaga tersebut bertentangan sehingga akan muncul tindakan yang tidak produktif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.59

Walaupun banyak perangkat yang menutupi keberadaan disparitas yang ada di Desa tersebut. Tapi faktanya terdapat banyak ketimpangan terjadi di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan. Dapat dikatakan pola hubungan elit yang ada di Desa Sihopur bersifat patron klien. Elit memanfaatkan kepercayaan yang di berikan oleh masyarakat, dan masyarakat tidak menyadari hal tersebut karena mayoritas masyarakat desa Sihopur sibuk bertani terlebih lagi aspirasi yang disampaikan kepada si Pukka Huta yang juga sebagai Pemerintahan Desa selama ini tidak ditampung.60

Pembangunan yang dilakukan tidak menggunakan asas transparansi dan akuntabilitas. Pembangunan dilakukan hanya sebagai proyek asal-asalan, tanpa menghiraukan aspirasi dari masyarakat Desa Sihopur. Tetapi masyarakat sudah merasa bangga dan merasa bahwa para elit desa mereka setidaknya sudah melakukan pembangunan. Meskipun pembangunan dilakukan hanya

Tapi masyarakat sudah merasa sangat beruntung karena mereka dapat timbal balik dari para elit pemerintah desa. Seperti telah diberikannya tanah untuk ditinggali (tanah

Parhutaon) dan pembangunan yang mulai di lakukan di di Desa Sihopur. Walaupun faktanya telah membuktikan bahwa sesungguhnya pembangunan di Desa Sihopur timpang dan menunjukkan adanya disparitas.

59

Marzuki Lubis. 2011. Pergeseran Garis Peraturan Perundang-undangan tentang DPRD dan Kepala Daerah dalam Ketatanegaraan Indonesia. Bandung: CV. Bandar Maju.hal.175

60

Wawacara dengan Irsan Tagor Harahap pada tanggal Juli 2014 di Desa Sihopur. Dalam penjelasannya Irsan Tagor Harahap mengatakan bahwa langkah-langkah yang diambil oleh pemerintahan Desa Sihopur baik dalam pengambilan keputusan jarang melibatkan masyarakat. Hal ini dikarenakan status mereka sebagai si Pukka Huta.

menguntungkan dari pihak si Pukka Huta sendiri, seperti pembangunan yang dilakukan disekitaran bangunan-bangunan rumah mereka (si Pukka Huta ) sendiri.61

61

Wawancara dengan Abdul Azis Sipahutar pada tanggal Agustus 2014. Dalam penjelasannya Abdul Azis Sipahutar mengatakan bahwa ia pernah mengusulkan kepada aparat pemerintahan desa supaya pembangunan jalan keliling dilakukan. Namun, usulan ini tidak dihiraukan oleh pemerintahan desa. Padahal masyarakat sudah sangat menginginkan pembangunan jalan tersebut dilakukan.

Sehingga kepercayaan tersebut tidak disia-siakan oleh para elit Desa untuk melancarkan tujuan mereka.

Kedua, pola hubungan si Pukka Huta dengan masyarakat yang terdapat di Desa Sihopur bersifat patron klien dimana hanya si Pukka Huta yang mampu mempengaruhi perangkat-perangkat di bawah kepemimpinannya dan juga masyarakat. Disamping pendidikan masyarakat desa Sihopur yang relatif rendah, masyarakat desa Sihopur tidak bisa berbuat banyak atau berpartisipasi lebih karena masih banyaknya tanah yang diberikan oleh si Pukka Huta kepada mereka untuk ditinggali. Kemudian, jika dikorelasikan dengan patron-klien kedudukan para si Pukka Huta berada di puncak dan memiliki kekuasaan tunggal dan hanya terjadi pertukaran antara kepala desa dengan perangkat desa dan tidak terjadi pada masyarakat desa. Implikasi distribusi kekuasaan terhadap alokasi ekonomi di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan itu terlihat dari distribusian kekuasaan yang tidak merata itu ditandai dengan yang pertama domisili dari perangkat perangkat desa, namun itu sebenarnya tidak lah bisa di jadikan acuan utama dalam melihat implikasi yang ditimbulkan dari ketimpangan kekuasaan terhadap distribusi alokasi perekonomian di Desa Sihopur.

Alokasi dana yang diperoleh desa dapat dikatakan kurang merata, seperti program-program dari kabupaten, provinsi, nasional yang telah masuk ke Desa Sihopur pendistribusiannya dalam hal pembangunan kurang merata. Seperti program pembangunan yang masuk di desa Sihopur. Ketidakmerataan distribusi kekuasaan dan alokasi perekonomian inilah yang menyebabkan adanya ketimpangan, tidak hanya ketimpangan dalam hal fisik saja terlebih pembangunan dan infrastruktur, ketimpangan juga terdapat dalam perekonomian dan kesejahteraan di masyarakat Desa Sihopur. Hal ini menunjukkan bahwa belum terjadi adanya pemerataan distribusi kekuasaan yang tidak merata sehingga berpengaruh terhadap alokasi ekonomi dan pembangunan di Desa Sihopur.

D. Politik Pedesaan dan Kekuasaan Elit (si Pukka Huta) di Desa Sihopur Sebagai miniatur negara Indonesia, desa menjadi arena politik paling dekat bagi relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan (perangkat desa). Di satu sisi, para perangkat desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai segudang tugas kenegaraan: menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat, serta melakukan kontrol dan mobilisasi warga desa. Tugas penting pemerintah desa adalah sebagai kepanjangan tangan birokasi pemerintah dengan memberi pelayanan administratif (surat-menyurat) kepada warga. Sudah lama birokratisasi surat menyurat itu mereka anggap sebagai

pelayanan publik, meskipun hal itu yang membutuhkan adalah negara, bukan masyarakat. Semua unsur pemerintah desa selalu berjanji memberikan “pelayanan prima” 24 jam nonstop.

Di sisi lain, karena dekatnya arena, secara normatif masyarakat akar-rumput sebenarnya bisa menyentuh langsung serta berpartisipasi dalam proses pemerintahan dan pembangunan di tingkat desa. Para perangkat desa selalu dikonstruksi sebagai si Pukka Huta yang diharapkan sebagai pelindung dan pengayom warga masyarakat. Para si Pukka Huta dituakan, ditokohkan dan dipercaya oleh warga masyarakat untuk mengelola kehidupan publik maupun privat warga desa. Dalam praktiknya antara warga dan si Pukka Huta desa mempunyai hubungan kedekatan secara personal yang mungkin diikat dengan tali kekerabatan maupun ketetanggaan, sehingga kedua unsur itu saling menyentuh secara personal dalam wilayah yang lebih privat ketimbang publik. Batas-batas urusan privat dan publik di desa sering kabur. Sebagai contoh, warga masyarakat menilai kinerja si Pukka Huta sebagai aparat pemerintahan desa tidak menggunakan kriteria modern (transparansi dan akuntabilitas), melainkan memakai kriteria tradisional dalam kerangka hubungan klientelistik, terutama kedekatan si Pukka Huta dengan warga yang bisa dilihat dari kebiasaan dan kerelaan si Pukka Huta untuk bergotong royong bersama dengan masyarakat. Jika pemerintahan desa menjadi sentrum kekuasaan politik, maka kepala desa dan kepala BPD sebagai si Pukka Huta merupakan personifikasi dan representasi pemerintahan desa. Semua mata di desa ditujukan kepada si Pukka Huta secara

personal. “Hitam putihnya desa ini tergantung pada kami sebagai si Pukka Huta”, demikian ungkap Kepala Desa.

Si Pukka Huta selaku aparat pemerintahan desa harus mengetahui semua hajat hidup masyarakat desa Sihopur. Karena itu si Pukka Huta selalu sensitif terhadap legitimasi di mata rakyatnya. Legitimasi berarti pengakuan rakyat terhadap kekuasaan dan kewenangan si Pukka Huta untuk bertindak mengatur dan mengarahkan rakyat. Tetapi legitimasi tidak turun dari langit begitu saja. Aparat pemeritahan desa seperti kepala desa dan kepala BPD yang terpilih secara demokratis belum tentu memperoleh legitimasi terus-menerus ketika menjadi pemimpin di desanya. Legitimasi mempunyai asal-usul, mempunyai sumbernya. Legitimasi kepala desa bersumber pada ucapan yang disampaikan, nilai-nilai yang diakui, serta tindakan yang diperbuat setiap hari. Umumnya si Pukka Huta yakin betul bahwa pengakuan rakyat sangat dibutuhkan untuk membangun eksistensi dan menopang kelancaran kebijakan maupun tugas-tugas yang dia emban, meski setiap aparatur pemerintahan desa mempunyai ukuran dan gaya yang berbeda beda dalam membangun legitimasi. Tetapi, si Pukka Huta di desa Sihopur umumnya membangun legitimasi dengan cara-cara yang sangat personal ketimbang institusional. Para si Pukka Huta dengan gampang diterima secara baik oleh warga bila ringan tangan membantu dan menghadiri acara-acara privat warga, sembada dan pemurah hati, ramah terhadap warganya, dan lain-lain.

Dalam konteks kehidupan sosial sehari-hari, para si Pukka Huta berperan sebagai warga desa yang mewujudkan interaksi sosial dengan warga-warga desa

lainnya, berdasarkan prinsip egaliter antar sesama warga desa. Mereka bersama warga desa lainnya terlibat dalam berbagai program pembangunan desa yang diterapkan oleh kantor pemerintahan desa. Sebagai contoh, ketika program kebersihan lingkungan dilaksanakan di desa, mereka tanpa pengecualian terlibat dalam kegiatan membersihkan lingkungan di sekitar pemukiman mereka. Tidak tampak di sini bahwa mereka memperoleh hak istimewa untuk tidak terlibat dalam program-program pembangunan desa, meskipun Kepala Desa Sihopur dan Kepala BPD adalah si Pukka Huta. Mereka juga mengolah lahan perladangan dan perkebunan mereka sendiri, Dalam konteks kegiatan pertanian ini, warga pendatang tidak memiliki kewajiban sosial menunjang dan bekerja untuk para si Pukka Huta. Masing-masing warga desa bekerja untuk ladang dan kebun mereka sendiri.

Kegiatan-kegiatan adat dan pengambilan keputusan di desa yang diperankan oleh para si Pukka Huta akan berbeda secara signifikan terlihat dengan gejala dan kenyataan sosial seperti dalam uraian di atas. Praktik-praktik kekuasaan para si Pukka Huta memang dalam kenyataannya terwujud dalam berbagai kegiatan adat dan penyelesaian secara adat terhadap kasus-kasus pelanggaran adat. Dalam hal kegiatan rumah adat (Bagas Godang) para si Pukka Huta secara bersama membahas dan menentukan persiapan dan jadwal kegiatan, dengan mengacu pada kesepakatan bersama, khususnya dalam kegiatan si Riaon

dan pihak siapa yang akan bertanggung jawab.62

Kehidupan politik perdesaan semata-mata dimonopoli dan dikuasai oleh sebuah sistem politik tradisional, yang dikelola oleh para pemimpin politik tradisional yaitu si Pukka Huta. Mereka mengelola dan memimpin berbagai aspek

Hasil musyawarah adat para si Pukka Huta, tanpa pengecualian harus dilaksanakan pula oleh warga masyarakat. Jika terdapat kasus bahwa masyarakat tidak melaksanakan hasil musyawarah tersebut maka dikenakan sanksi adat berupa denda adat, atau sanksi maksimal adalah diusir dari desa Sihopur. Para si Pukka Huta di Desa Sihopur senantiasa menjaga kesakralan adat dari tindakan pencemaran, yang dilakukan oleh warga masyarakat sendiri maupun pihak-pihak luar/tamu-tamu dari luar, yang belum/ tidak memahami adat istiadat setempat.

Di samping itu, si Pukka Huta memiliki kekuasaan untuk membagi dan mendistribusikan tanah untuk didirikan rumah bagi warga pendatang . Kekuasaan mereka diwujudkan dalam menentukan di mana dan berapa luas watas yang akan diberikan. Sebagai wujud resiprositas dan pemberian hak membangun rumah, para pendatang harus mematuhi semua aturan yang telah dibuat oleh si Pukka Huta. Jika masyarakat tidak mematuhi ketentuan adat tersebut, maka si Pukka Huta dapat mencabut hak atas kepemilikan tanah dari pendatang dan mengusirnya Desa Sihopur. Para si Pukka Huta senantiasa mengawasi wilayah kekuasaan tanah adat yang dikelolanya dari tindakan-tindakan pelanggaran batas wilayah yang dikuasainya.

62 Berdasarkan tradisi di desa Sihopur pihak penanggung jawab dalam acara adat di desa adalah pihak Anak Boru.

kehidupan komuniti sosial berdasarkan legitimasi politik, yang diperoleh melalui mitos-mitos, prinsip garis keturunan, dan pranata-pranata adat, dalam rangka mengimplementasikan kekuasaan politik mereka. Dalam komunitas-komunitas sosial tertentu kekuasaan politik ini bersifat otoriter, sentralistik dan elitis. Tidak ada komunitas-komunitas sosial lainnya yang memiliki kekuasaan politik selain si Pukka Huta. Kekuasaan ini terlihat dari dominasi mereka dalam kehidupan pedesaan seperti dalam pemerintahan dan pengambilan keputusan di Desa Sihopur.

Merujuk kepada Max Weber Weber yang membedakan tiga jenis dominasi yakni dominasi karismatik, dominasi tradisional, dan dominasi legal rasional. Dimana dominasi karismatik adalah dominasi yang keabsahannya didasarkan atas kepercayaan bahwa pihak penguasa mempunyai kemampuan luar biasa. Sang penguasa menjalankan kekuasaannya bukan atas dasar peraturan yang berlaku tetapi atas dasar peraturan yang dibuat sendiri dan kesetiaan bawahan mentaati aturan tersebut. Dominasi tradisional, merupakan perkembangan dominasi kharismatik yang telah mengalami pergeseran. Dalam dominasi tradisional penguasa menjalankan tradisi yang telah ditegakkan oleh pemimpin karismatik sebelumnya dan legitimasi kepemimpinan didasarkan pada tradisi sebelumnya. Biasanya dominasi demikian merupakan kelanjutan dominasi sebelumnya. Dominasi legal rasional kekuasaan pemimpin didasarkan atas aturan hukum yang dibuat secara sengaja atas dasar pertimbangan rasional. Keabsahan penguasa didasarkan pada hukum, pemimpin dipilih atas dasar hukum yang berdasarkan

kriteria tertentu, dan pemimpin wajib menjalankan kekuasaan berdasarkan aturan hukum pula.

Untuk kasus Desa Sihopur, ketiga dominasi ini dimiliki oleh si Pukka Huta

dimana mereka dianggap orang yang mempunyai kemampuan luar biasa dalam mengatur kehidupan masyarakat desa. Dalam konteks ini si Pukka Huta juga disebut sebagai Halak Na Pande (Orang yang pandai dan bisa). Dominasi tradisional diwujudkan dengan status mereka sebagai si Pukka Huta, dimana mereka adalah memperoleh legitimasi kepemimpinan didasarkan pada tradisi sebelumnya yakni berdasarkan tradisi nenek moyang mereka yang membangun Desa Sihopur. Kemudian dominasi legal rasional diwujudkan dalam posisi mereka dalam pemerintahan desa yang secara resmi menjabat sebagai kepala desa dan kepala BPD yang tentu saja hal ini sudah dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Mahmudin Ritonga selaku kepala desa juga menjelaskan bahwa kepemimpinan tradisional di desa Sihopur tidak dapat dipisahkan dari si Pukka Huta yang senantiasa menempati posisi sentral dalam pembahasan kekuasaan

Dokumen terkait