• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekuasaan Sentralistik dan Elitis Dalam Pengambilan Keputusan (Studi Analitis Deskriptif di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kekuasaan Sentralistik dan Elitis Dalam Pengambilan Keputusan (Studi Analitis Deskriptif di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan)"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

KEKUASAAN SENTRALISTIK DAN ELITIS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN (Studi Analisis Deskriptif di Desa Sihopur Kecamatan

Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan)

Zulpan Efendi Sirait 100906007

Dosen Pembimbing : Drs. Heri Kusmanto, MA

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

ZULPAN EFENDI SIRAIT (100906007)

KEKUASAAN SENTRALISTIK DAN ELITIS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN (Studi Analisis Deskriptif di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan).

Rincian isi skripsi, 104 halaman, 6 tabel, 19 buku, 2 artikel, 2 jurnal, 4 bagan, 2 internet.

ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “Kekuasaan Sentralistik Dalam Pengambilan Keputusan,” berangkat dari maraknya kasus-kasus yang terjadi dalam pemerintahan desa, yang menyangkut seluruh pemerintahan desa di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah mencuat akhir–akhir ini. Pemerintahan desa yaitu merupakan penyelenggara urusan pemerintahan oleh Pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia. Hingga saat ini penyelenggaraan dan pelaksanaan pemerintahan desa masih sangat jauh dari perencanan yang dirumuskan dan tidak sesuai dengan undang-undang didalam mewujudkan relasi sosial yang partisipatif dan demokrasi. Serta pemerintah desa dan BPD juga terlihat bahwa kedua pihak dikenal sebagai si Pukka Huta, dimana asal-usul desa dan adat istiadat masih menjadi alasan bagaimana pemerintahan desa dilaksanakan terutama dalam pengambilan keputusan.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori kekuasaan politik dari Max Weber, Ramlan Surbakti, Robert Dahl, Charles F Andrain, Teori Hegemoni oleh Antonio Gramsci, dan Teori elit dari Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto serta teori budaya politik dari Almond dan Verba. Teori kekuasaan politik digunakan untuk melihat bahwa kekuasaan diperoleh karenan adanya sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki seseorang yang dijadikan alat atau sarana untuk mempengaruhi orang lain khususnya dalam proses pengambilan keputusan maupun peraturan desa.

(3)

terlibat langsung maupun tidak langsung dengan pemerintahan desa Sihopur. Interpretasi data dilakukan dengan mengunakan catatan–catatan dari setiap kali peneliti turun dari lapangan.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa terjadi kompromi di antara sumber-sumber kekuasaan, yaitu kepala desa dan kepala BPD selaku si Pukka Huta. Partisipasi dan keterlibatan masyarakat desa tidak telihat dalam melakukan kritik secara keras maupun tindakan-tindakan protes terhadap kepala desa dan Badan Permusyawaratan desa. Si Pukka Huta yakni Kepala Desa bersekongkol dengan para perangkat desa dan pihak BPD dalam mengambil keputusan serta memanipulasi alokasi dana desa (ADD), disisi lain masalah yang juga muncul didesa yaitu lemahnya akuntabilitas pemerintah Desa Sihopur dalam mengelolah Alokasi Dana Desa, ini merupakan pola relasi yang terbangun dalam pemerintahan desa. Bahwa peraturan undang – undang yang telah ada hanyalah sebagai tulisan belaka, yang dalam aplikasinya pemerintahan ditingkat desa tidak sesuai dengan mekanisme yang telah tertulis.

Relasi kekuasaan dalam pemerintah desa sampai saat ini masih sama saja dengan relasi kekuasaan yang bersifat sentralistik dan elitis terutama dalam pengambilan keputusan. Sosial budaya masyarakat desa secara sosiologis masih menerapkan prinsip – prinsip lama yang sangat sulit hilang, serta pola relasi kekuasaan pemerintahan desa yang menyebabkan adanya korupsi, kolusi dan nepotisme semakin mengakar didesa Desa Sihopur. Dengan demikian kekuasaaan pembuatan kebijakan serta pengambil keputusan benar-benar terpusat pada elit desa yang dikenal sebagai di si Pukka Huta yaitu kepala desa dan kepala BPD. Elemen-elemen lain yang ada didesa Desa Sihopur juga tidak mempunyai kekuasaan yang signifikan dalam pengambilan keputusan di desa.

(4)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

ZULPAN EFENDI SIRAIT (100906007)

CENTRALISTIC POWER AND ELIT IN MAKING DECISION (Descriptive Analytical Study in Sihopur Village South Angkola Sub-District Of South

Tapanuli)

Paper details, 97 pages, 6 tables, 26 books, 2 articles, 2 journals, 4 charts, 1 internet literature.

ABSTRACT

The paper writing with title “Centralistic Power and Elit in Making Decision”, was inspired by the crowded of villages cases in villages governance which correlated to whole villages governances in Indonesia that comes up lately. Villages’ governance is an executant of governance business of village governor and consultative board in adjusting and handling people needs based on the origin and culture of the villager which admitted and honored by Indonesia Governance System. Until now, the execution of villages governance has been so far from the formulated planning and unsuitable with law in conducting participative and democratize social relation. Villages’ governor and BPD are known as si Pukka Huta, it means village origin and culture have been a reason how a villages governance conducted, especially in taking decisions.

A theory that used to explain that case is political power theory of Max Weber, RamlanSurbakti, Robert Dahl, Charles F Andrain, Hegemoni Theory by Antonio Gramci, and Elit Theory by Aristoteles, Gaetano Mosca and Preto and Cultural Politik by Almond and Verba. Political Power Theory is used to indicate that power is got because there is power source in someone that used as tool to influence people in either decision making process or village law.

This research method is descriptive analytic study method with qualitative approach. The data was collected by observing, interviewing and literature study. The analysis unit and informer for this research is the head of village, village consultative board and village stakeholder of Sihopur Village. Data interpretation was conducted by using notes in every research field visiting.

(5)

decision and manipulating village budgetary fund, in other side the other problem is the weak of Sihopur village government accountability in maintaining village budgetary fund, it is the shape of relation occurred in village government, it means the existing of legal law just a useless written, it implementation for village level is not conducted such written mechanism.

The relation of village power until today is still the same with centralistic and elites power relation, especially in making decision. Villager social and culture sociologically stay implementing old principle which hard to remove, the village power relation in Sihopur Village induce the corruption, collusion and nepotism greater. So the conclusion the policy creator and decision maker is centralized in village governor and village consultative board which known as si Pukka Huta. The other village elements and stakeholder has no significant power in making decision in the village.

(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Pengesahan

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Dengan judul : KEKUASAAN SENTRALISTIK DAN ELITIS DESA DALAM

PENGAMBILAN KEPUTUSAN (Studi Analisis Deskriptif di Desa

Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan). Dilaksanakan pada :

Hari : Tanggal : Pukul :

Tempat : Ruang Sidang FISIP USU

Majelis Penguji : Ketua :

Nama (

)

NIP

Penguji Utama :

Nama (

) NIP

Penguji Tamu :

Nama (

(7)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh Nama : Zulpan Efendi Sirait

NIM : 100906007 Departemen : Ilmu Politik

Judul : Kekuasaan Sentralistik dan Elitis Dalam Pengambilan Keputusan (Studi Analisis Deskriptif di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan)

Menyetujui:

Dosen Pembimbing Ketua Departemen Ilmu Politik

Drs. Heri Kusmanto, MA

NIP. 196410061998031002 NIP. 196806301994032001 Dra. T. Irmayani, M.Si

Mengetahui: Dekan FISIP USU,

(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini berjudul “Kekuasaan Sentralistik dan Elitis Dalam Pengambilan Keputusan Studi Analitis Deskriptif di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan”. Skripsi ini diajukan guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan Strata satu (S1) Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Alhamdulillah, atas syukur kepada Allah SWT, penulis diberikan rahmat berupa kesehatan dan kesempatan untuk menyelesaikan studi ini berupa penulisan Skripsi. Sholawat dan salam penulis juga disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya, semoga para pengikutnya mendapatkan syafa’at di akhir zaman.

Skripsi ini menjelaskan tentang adanya kekuasaan yang sentralistik dan elitis dalam pengambilan keputusan di desa. Dimana asal-usul desa serta adat-istiadat sangat mempengaruhi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Dalam pelaksanaannya si Pukka Huta mendominasi terhadap jalannya pemerintahan desa dan pengambilan keputusan. Penulis berharap saran dan kritik yang membangun demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini sehingga lebih bermanfaat bagi penelitian selanjutnya. Karena penulis menyadari dengan keterbatasan waktu dan dana, maka penelitian ini jauh dari rasa memuaskan.

(10)

membantu, merawat dan memberikan perhatian yang besar kepada penulis. Serta Keluarga besar paman H. Mukdan Ritonga yang terus memberikan bantuan moral dan materil serta semangat dan motivasi sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. Semoga Allah membalas semua kebaikan dengan pahala yang berlipat ganda.

Dalam kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara;

2. Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara;

3. Drs. Heri Kusmanto, MA selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bantuan dan bimbingan berupa masukan dan kritik yang membangun selama penulisan skripsi ini;

4. Dosen dan Staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara;

5. Staf Pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara; khususnya buat Kak Emma. Terima kasih telah banyak membantu penulis dalam proses pendidikan di FISIP USU. 6. Bapak-bapak informan di Pemerintahan Desa Sihopur yang telah

(11)

7. Teman-teman seperjuangan Departemen Ilmu Politik stambuk 2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya penulis mendapatkan banyak pengalaman selama menjalani perkuliahan;

8. Teman-teman rekan Haluang Community dan Pujangga Grup yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu-persatu yang telah menjadikan komunitas ini menjadi tempat berbagi dan penulis mendapatkan banyak inspirasi dari orang-orang hebat disana;

9. Sahabat Compact FC yang telah banyak membantu, memberikan semangat dan motivasi serta memberikan arti persahabatan. Terima kasih penulis sampaikan kepada Sahabatku Muhammad Sazali, Febrianda Yulfa, M.Habibie Fitrawan, Miftah Hafiz, Heru Guntara Sitepu, Bernando Andika, Muhammad Andri Tarigan, Syarif Hidayatullah, Togi Nalom, Sopian Manalu.

Medan, Desember 2014

(12)

DAFTAR ISI

Abstrak ... i

Abstract ... iii

Halaman Pengesahan ... v

Halaman Persetujuan ... vi

Lembar Persembahan ... vii

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi ... xi

Daftar Tabel dan Gambar ... xii

Daftar Bagan ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian... 8

E. Kerangka Teori ... 8

1. Teori Kekuasaan Politik ... 15

2. Teori Elit ... 16

3. Teori Budaya Politik ... 22

F. Penelitian Sebelumnya ... 30

G. Metodologi Penelitian ... 31

1. Metode Penelitian ... 31

2. Lokasi Penelitian ... 31

3. Jenis Penelitian ... 32

4. Teknik Pengumpulan Data ... 33

(13)

H. Sistematika Penulisan ... 34

BAB II DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 37

1. Kabupaten Tapanuli Selatan ... 37

2. Kecamatan Angkola Selatan ... 39

B. Desa dan Pemerintahan Desa ... 40

C. Peraturan Desa ... 47

D. Desa Sihopur ... 49

E. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Sihopur ... 53

F. Badan Permusyawaratan Desa Sihopur ... 54

G. Konfigurasi Politik Sihopur ... 55

BAB III KEKUASAAN SENTRALISTIK DAN ELITIS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN A. Sejarah Desa Sihopur ... 57

B. Pengaruh Adat Dalam Pemerintahan Desa ... 64

C. Pola Hubungan Elit (si Pukka Huta) dengan Masyarakat Desa Sihopur ... 70

D. Politik Pedesaan dan Kekuasaan Elit (si Pukka Huta) di Desa Sihopur ... 76

E. Peran Elit (si Pukka Huta) di Desa Sihopur ... 84

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 97

B. Rekomendasi ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 102

Daftar Lampiran:

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Luas Wilayah dan Jumlah Desa di Kecamatan Angkola Selatan ... 39

Tabel 2.2 Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin ... 50

Tabel 2.3 Jumlah Penduduk berdasarkan Pekerjaan ... 51

Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 52

Tabel 2.5 Jumlah Perolehan Suara Calon Kepala Desa pada Pemilihan Kepala Desa Sihopur Tahun 2013 ... 56 DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Struktur Pemerintahan Desa Sihopur ... 53

Bagan 2.2 Struktur BPD Desa Sihopur ... 54

Bagan 3.1 Struktur Pemerintah Desa Sihopur dan Posisi Adat ... 67

(15)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

ZULPAN EFENDI SIRAIT (100906007)

KEKUASAAN SENTRALISTIK DAN ELITIS DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN (Studi Analisis Deskriptif di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan).

Rincian isi skripsi, 104 halaman, 6 tabel, 19 buku, 2 artikel, 2 jurnal, 4 bagan, 2 internet.

ABSTRAK

Penulisan skripsi yang berjudul “Kekuasaan Sentralistik Dalam Pengambilan Keputusan,” berangkat dari maraknya kasus-kasus yang terjadi dalam pemerintahan desa, yang menyangkut seluruh pemerintahan desa di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah mencuat akhir–akhir ini. Pemerintahan desa yaitu merupakan penyelenggara urusan pemerintahan oleh Pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia. Hingga saat ini penyelenggaraan dan pelaksanaan pemerintahan desa masih sangat jauh dari perencanan yang dirumuskan dan tidak sesuai dengan undang-undang didalam mewujudkan relasi sosial yang partisipatif dan demokrasi. Serta pemerintah desa dan BPD juga terlihat bahwa kedua pihak dikenal sebagai si Pukka Huta, dimana asal-usul desa dan adat istiadat masih menjadi alasan bagaimana pemerintahan desa dilaksanakan terutama dalam pengambilan keputusan.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori kekuasaan politik dari Max Weber, Ramlan Surbakti, Robert Dahl, Charles F Andrain, Teori Hegemoni oleh Antonio Gramsci, dan Teori elit dari Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto serta teori budaya politik dari Almond dan Verba. Teori kekuasaan politik digunakan untuk melihat bahwa kekuasaan diperoleh karenan adanya sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki seseorang yang dijadikan alat atau sarana untuk mempengaruhi orang lain khususnya dalam proses pengambilan keputusan maupun peraturan desa.

(16)

terlibat langsung maupun tidak langsung dengan pemerintahan desa Sihopur. Interpretasi data dilakukan dengan mengunakan catatan–catatan dari setiap kali peneliti turun dari lapangan.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa terjadi kompromi di antara sumber-sumber kekuasaan, yaitu kepala desa dan kepala BPD selaku si Pukka Huta. Partisipasi dan keterlibatan masyarakat desa tidak telihat dalam melakukan kritik secara keras maupun tindakan-tindakan protes terhadap kepala desa dan Badan Permusyawaratan desa. Si Pukka Huta yakni Kepala Desa bersekongkol dengan para perangkat desa dan pihak BPD dalam mengambil keputusan serta memanipulasi alokasi dana desa (ADD), disisi lain masalah yang juga muncul didesa yaitu lemahnya akuntabilitas pemerintah Desa Sihopur dalam mengelolah Alokasi Dana Desa, ini merupakan pola relasi yang terbangun dalam pemerintahan desa. Bahwa peraturan undang – undang yang telah ada hanyalah sebagai tulisan belaka, yang dalam aplikasinya pemerintahan ditingkat desa tidak sesuai dengan mekanisme yang telah tertulis.

Relasi kekuasaan dalam pemerintah desa sampai saat ini masih sama saja dengan relasi kekuasaan yang bersifat sentralistik dan elitis terutama dalam pengambilan keputusan. Sosial budaya masyarakat desa secara sosiologis masih menerapkan prinsip – prinsip lama yang sangat sulit hilang, serta pola relasi kekuasaan pemerintahan desa yang menyebabkan adanya korupsi, kolusi dan nepotisme semakin mengakar didesa Desa Sihopur. Dengan demikian kekuasaaan pembuatan kebijakan serta pengambil keputusan benar-benar terpusat pada elit desa yang dikenal sebagai di si Pukka Huta yaitu kepala desa dan kepala BPD. Elemen-elemen lain yang ada didesa Desa Sihopur juga tidak mempunyai kekuasaan yang signifikan dalam pengambilan keputusan di desa.

(17)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

ZULPAN EFENDI SIRAIT (100906007)

CENTRALISTIC POWER AND ELIT IN MAKING DECISION (Descriptive Analytical Study in Sihopur Village South Angkola Sub-District Of South

Tapanuli)

Paper details, 97 pages, 6 tables, 26 books, 2 articles, 2 journals, 4 charts, 1 internet literature.

ABSTRACT

The paper writing with title “Centralistic Power and Elit in Making Decision”, was inspired by the crowded of villages cases in villages governance which correlated to whole villages governances in Indonesia that comes up lately. Villages’ governance is an executant of governance business of village governor and consultative board in adjusting and handling people needs based on the origin and culture of the villager which admitted and honored by Indonesia Governance System. Until now, the execution of villages governance has been so far from the formulated planning and unsuitable with law in conducting participative and democratize social relation. Villages’ governor and BPD are known as si Pukka Huta, it means village origin and culture have been a reason how a villages governance conducted, especially in taking decisions.

A theory that used to explain that case is political power theory of Max Weber, RamlanSurbakti, Robert Dahl, Charles F Andrain, Hegemoni Theory by Antonio Gramci, and Elit Theory by Aristoteles, Gaetano Mosca and Preto and Cultural Politik by Almond and Verba. Political Power Theory is used to indicate that power is got because there is power source in someone that used as tool to influence people in either decision making process or village law.

This research method is descriptive analytic study method with qualitative approach. The data was collected by observing, interviewing and literature study. The analysis unit and informer for this research is the head of village, village consultative board and village stakeholder of Sihopur Village. Data interpretation was conducted by using notes in every research field visiting.

(18)

decision and manipulating village budgetary fund, in other side the other problem is the weak of Sihopur village government accountability in maintaining village budgetary fund, it is the shape of relation occurred in village government, it means the existing of legal law just a useless written, it implementation for village level is not conducted such written mechanism.

The relation of village power until today is still the same with centralistic and elites power relation, especially in making decision. Villager social and culture sociologically stay implementing old principle which hard to remove, the village power relation in Sihopur Village induce the corruption, collusion and nepotism greater. So the conclusion the policy creator and decision maker is centralized in village governor and village consultative board which known as si Pukka Huta. The other village elements and stakeholder has no significant power in making decision in the village.

(19)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Transfer kekuasaan dari presiden Soeharto kepada Wakil Presiden B.J Habibie pada 21 Mei 1998 telah membawa perubahan-perubahan yang berarti pada sistem politik Indonesia. Di tingkat makro, perubahan itu terlihat dari adanya transformasi sistem politik Indonesia, dari yang sebelumnya bercorak otoriter ke arah yang lebih demokratis. Paling tidak, pintu menuju demokratisasi sejak saat itu menjadi terbuka lebar. Secara lebih parsial, kecenderungan itu terlihat adanya perubahan relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dari yang bercorak sentralistis ke corak yang lebih terdesentralisasi, juga perubahan-perubahan kerangka kelembagaan lainnya, seperti adanya sistem multipartai, pelaksanaan pemilu yang relatif lebih demokratis, adanya pers yang bebas, dan upaya menjadikan birokrasi dan militer sebagai kekuatan profesional tetapi netral secara politik.1

Melalui semangat desentralisasi dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 membuka peluang bagi warga masyarakat untuk menentukan pilihan dan mengekspresikan diri secara lebih otonom dan mandiri melalui demokratisasi, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Partisipasi

(20)

masyarakat dimaksud meliputi kontribusi dalam pengambilan keputusan publik dan keterlibatan secara langsung dalam kegiatan pembangunan mulai dari tahap perencanaan pelaksanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap hasil pembangunan.2

Terlepas dari baik buruknya promosi kebijakan desentralisasi tersebut, ruang untuk memfasilitasi demokrasi pada tingkat desa menjadi kian terbuka. Tetapi, ruang ini bukan dengan serta merta berubah mengantisipasi realitas plural. Kecenderungan kultural-politis menempatkan aparatur desa sebagai pusat kekuasaan tidak serta merta mengubah sistem pemerintahan desa yang semula bersifat sentralistik menjadi lebih demokratis. Asal-usul desa, adat-istiadat, keterbatasan sumber daya manusia secara kualitas dan sosial menjadi alasan kemana arah penyelenggaraan pemerintahan desa dilakukan. Di satu sisi, para perangkat desa menjadi bagian dari birokrasi negara yang mempunyai tugas kenegaraan: menjalankan birokratisasi di level desa, melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat, serta melakukan kontrol dan mobilisasi warga desa. Di sisi lain, para perangkat desa selalu dikonstruksi sebagai pemimpin adat dan pemilik desa yang dituakan, ditokohkan dan dipercaya oleh warga masyarakat untuk mengelola kehidupan publik maupun privat warga desa.

3

2 Mashad Dhurorudin dkk. 2005. Konflik Elit Pedesaan. Yogyakarta, Pustaka Pelajar. hal. 16 3

Sutoro Eko, “Meletakkan Desa Dalam Desentralisasi dan Demokrasi”, (pdf) hal. 2

(21)

Kepala Desa disebut sebagai si Pukka Huta.4

Kemudian elit desa yakni si Pukka Huta selalu tampil dominan dalam urusan publik dan politik terutama dalam pengambilan keputusan, dan cenderung tidak mengembangkan sebuah tata pemerintahan yang bersendikan transparansi, akuntabilitas, daya tanggap, kepercayaan dan kebersamaan. Yang terjadi adalah sebaliknya: penundukan secara hegemonik terhadap warga, karena elit desa merasa dipercaya dan ditokohkan oleh warga sebagai pemilik desa. Elit di desa puny a citra diri sebagai pemilik desa dan pemimpin yang sudah dipercaya dan diserahi mandat oleh rakyatnya, sehingga tidak bekerja dengan semangat partisipatif dan transparansi, atau harus mempertanggungjawabkan tindakan dan kebijakannya di hadapan publik. Sebaliknya, warga desa tidak terlalu peduli dengan kinerja pemerintahan desa sebagai pemegang kekuasaan desa, sejauh mereka tidak mengganggu perut dan nyawa warganya secara langsung. Fenomena ini tentu saja mengindikasikan terjadinya kekuasaan yang sentralistik dan elitis dalam pemerintahan desa terutama dalam pengambilan keputusan. Masyarakat tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan yang seharusnya dalam demokrasi Dalam praktiknya si Pukka Huta ini adalah sebagai pemilik desa. Karena dulunya nenek moyang merekalah yang membangun atau merintis desa Sihopur. Hal ini dibuktikan masih banyaknya tanah mereka yang diatasnya dibangun rumah oleh warga pendatang. Sehingga pengakuan terhadap kepala BPD dan kepala desa sebagai pemilik desa masih kuat hingga saat ini.

4

(22)

mereka dituntut untuk aktif didalamnya. Masyarakat desa, secara formal, tidak memiliki otoritas dalam hal pembentukan kebijakan. Namun demikian ia memiliki otoritas moral dan politik untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan pembentukan kebijakan yang kelak akan sangat berpengaruh terhadap hidupnya.5

Di samping itu, Miriam Budiardjo juga menegaskan bahwa pengambilan keputusan menyangkut dengan keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif dan mengikat seluruh masyarakat. Keputusan-keputusan itu dapat menyangkut tujuan masyarakat, dapat pula menyangkut kebijakan-kebijakan untuk mencapai tujuan itu6. Madekhan Ali menjelaskan bahwa setiap kebijakan publik, termasuk kebijakan di tingkat lokal, haruslah mencerminkan sinergi antara tiga poros kekuatan dalam pengambilan keputusan dan yang sekaligus berkepentingan secara langsung terhadap kebijakan tersebut, yaitu: a). Pemerintah Desa, b). Badan Permusyawaratan Desa, dan c). Masyarakat.7

5

Madekhan Ali. 2007. Orang Desa Anak Tiri Perubahan. Malang: Averroes Press. hal. 53 6 Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal.19 7

Madekhan Ali. Op. cit

(23)

Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah kekuasaan yang sentralistik dalam pengambilan keputusan oleh elit di desa Sihopur. Berbeda dengan desa-desa yang lainnya di Kecamatan Angkola Selatan, asal-usul desa dan adat yang masih kuat di Desa Sihopur menyebabkan adanya kekuasaan yang sentralistik dan elitis. Meskipun musyawarah desa dilakukan, masyarakat tidak begitu aktif dalam musyawarah tersebut karena pengakuan terhadap si Pukka Huta dan adat-istiadat yang masih sangat kental. Kemudian, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat serta aspirasi dari masyarakat yang kurang mampu diserap oleh elit pemerintahan desa selama ini menjadi penyebab kekuasaan terpusat pada segelintir elit yakni si Pukka Huta yang sekaligus menjabat sebagai aparat pemerintahan desa. Elit ini merasa lebih tahu apa yang harus dilakukan dan keputusan mana yang diambil. Sehingga pada akhirnya keputusan elit inilah yang menjadi keputusan bersama.

(24)

sangat beragam menjadi alasan tersendiri bagi elit dalam menjalankan roda pemerintahan desa.

Kemudian, terjadi hegemoni elit desa yakni dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya yaitu masyarakat, dengan atau tanpa ancaman kekerasan sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar yang bersifat moral, intelektual serta budaya.

Dari uraian yang telah dipaparkan tersebut diatas, peneliti memiliki ketertarikan untuk membahas Kekuasaan Sentralistik di Desa. Maka dalam hal ini peneliti mengangkat judul penelitian Kekuasaan Sentralistik Pada Elit Desa Dalam Pengambilan Keputusan Studi Analitis Deskriptif di Desa Sihopur Kecamatan Angola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan.

B.Rumusan Masalah

(25)

orang yang masih diakui masyarakat sebagai pemilik desa atau si Pukka Huta

sehingga mereka merasa bahwa mereka lebih besar kekuasaannya dibandingkan dengan kekuasaan rakyat. Dari pemaparan pada latar belakang diatas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Mengapa terjadi Kekuasaan Yang Sentralistik Dalam Pengambilan Keputusan di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan Kekuasaan yang Sentralistik Pada Elit Desa Dalam Pengambilan Keputusan di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan.

(26)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Peneliti mampu mengasah kemampuan dalam melakukan sebuah proses penelitian yang bersifat ilmiah dan memberikan pengetahuan yang baru bagi peneliti sendiri.

2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan tentang Kekuasaan yang Sentralistik Dalam Pengambilan Keputusan di Desa Sihopur Kecamatan Angkola Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan.

3. Penelitian ini sekiranya dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam kajian tentang Kekuasaan politik dan menjadi referensi/kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

E. Kerangka Teori

1. Teori Kekuasaan Politik

(27)

artian bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (the ruler and ruled), satu pihak yang memberi perintah, satu pihak yang mematuhi perintah. Definisi mengenai kekuasaan kekuasaan telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Antonio Gramsci tentang hegemoni akan dapat membantu kita dalam memahami kekuasaan. Bagi Gramsci, kelas sosial akan memperoleh keunggulan (supremasi) melalui dua cara, yaitu melalui cara dominasi (dominio) atau paksaan (coercion) dan yang kedua adalah kepemimpinan intelektual dan moral. Cara yang terakhir ini adalah yang kemudian disebut oleh Gramsci sebagai hegemoni.

Hegemoni bersifat tulus diwujudkan melalui intervensi kebijakan bersifat lebih halus dan mendapat persetujuan massa. Hegemoni yang bersifat paksaan lebih menekankan pada aspek ekonomi serta penggunaan kekuasaan negara untuk mendapat manfaat untuk kesejahteraan. Menurut Gramsci, hegemoni adalah dominasi oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, dengan atau tanpa ancaman kekerasan, sehingga ide yang didiktekan oleh kelompok dominan diterima sebagai sesuatu yang wajar yang bersifat moral, intelektual serta budaya8

Menurut Max Weber, kekhasan hegemoni dan dominasi adalah pihak yang berkuasa mempunyai wewenang sah untuk berkuasa sesuai peraturan yang berlaku sehingga pihak yang dikuasai wajib mentaati kehendak penguasa. Suatu hegemoni dan dominasi memerlukan keabsahan (legitimacy) yakni pengakuan dan atau pembenaran masyarakat terhadap kekuasaan tersebut, agar penguasa dapat

.

8

(28)

melaksanakan kekuasaannya secara sah. Dalam hal ini hegemoni maupun dominasi merupakan suatu paksaan yang lebih menekankan pada aspek ekonomi serta penggunaan kekuasaan negara untuk mendapat manfaat kesejahteraan.

Lebih lanjut, Weber membedakan tiga jenis dominasi yakni dominasi karismatik, dominasi tradisional, dan dominasi legal rasional. 1) Dominasi karismatik adalah dominasi yang keabsahannya didasarkan atas kepercayaan bahwa pihak penguasa mempunyai kemampuan luar biasa. Sang penguasa menjalankan kekuasaannya bukan atas dasar peraturan yang berlaku tetapi atas dasar peraturan yang dibuat sendiri dan kesetiaan bawahan mentaati aturan tersebut. 2) Dominasi tradisional, merupakan perkembangan dominasi kharismatik yang telah mengalami pergeseran. Dalam dominasi tradisional penguasa menjalankan tradisi yang telah ditegakkan oleh pemimpin karismatik sebelumnya dan legitimasi kepemimpinan didasarkan pada tradisi sebelumnya. Biasanya dominasi demikian merupakan kelanjutan dominasi sebelumnya. 3) Dominasi legal rasional kekuasaan pemimpin didasarkan atas aturan hukum yang dibuat secara sengaja atas dasar pertimbangan rasional. Keabsahan penguasa didasarkan pada hukum, pemimpin dipilih atas dasar hukum yang berdasarkan kriteria tertentu, dan pemimpin wajib menjalankan kekuasaan berdasarkan aturan hukum pula.

(29)

juga berwewenang menetapkan aturan-aturan, menentukan keputusan-keputusan terkait masalah penting, serta menyelesaikan pertentangan-pertentangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Max Weber dalam bukunya Wirtschafgt und Gessellshaft (1992) seperti yang dikut ip oleh Miriam Budiardjo9

Kekuasaan secara umum diartikan sebagai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh yang dimiliki untuk mempengaruhi pihak lain sehingga pihak lain berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang mempengaruhi. Dalam arti sempit kekuasaan politik dapat dirumuskan sebagai kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga keputusan menguntungkan dirinya, kelompoknya ataupun masyarakat pada umumnya

:

Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalamai perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini (macht beduetet jede chance innerhalb einer soziale Beziehung den eigenen Willen durchzusethen auch gegen Widerstreben durchzustzen, gleichviel worauf diese chance beruht).

Lebih jelas Weber mengatakan, kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauan sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan-tindakan perlawanan dari orang-orang atau golongan-golongan tertentu. Sementara itu apabila kita mengacu pada teori kekuasaan menurut pendapat Ramlan Surbakti dan Robert Dahl.

Sebagaimana yang dikutip oleh Siti Nuraini dalam buku “Memahami Ilmu Politik” menurut Ramlan Surbakti, kekuasaan diartikan sebagai berikut :

10

9

Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. hal. 60

10 Siti Nuraini. 2010. “Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa”, Jurnal Kybernan, Vol.1.Maret 2010, Bekasi. hal. 11

(30)

Gagasan yang disampaikan Ramlan Surbakti tersebut dapat disimpulkan bahwa kekuasaan diperoleh karena adanya sumber-sumber yang dimiliki seseorang atau kelompok, yang dapat dijadikan sebagai alat atau sarana untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok lain sesuai yang diinginkan.

Sebagaimana yang dikutip oleh Siti Nuraini dalam buku “Analisa Politik Modern” Robert Dahl berpendapat bahwa membahas berbagai sumber-sumber kekuasaan tentu tidak boleh mencampurkannya dengan makna kekuasaan itu sendiri, karena itu menurut Dahl :

Bila merumuskan pengaruh atau kekuasaan secara sederhana sebagaimana kekuasaan itu sendiri, maka tidak hanya akan kehilangan kekuasaan subyek persoalan, namun juga telah menyangkal suatu masalah yang empiris yang penting mengenai apa dan bagaimana hubungan pengaruh harus diterapkan dan bagaimana cara aktor untuk mempergunakan sumber kekuasaan yang dimilikinya11

Dalam pandangannya, Dahl berpendapat mengenai lebih pentingnya untuk mengkaji kekuasaan dengan melihat bagaimana hubungan kekuasaan dan pengaruhnya, serta cara penggunaan sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki seseorang. Miriam Budiardjo dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar Ilmu Politik”, menyebutkan bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau sekelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu

.

12

11Ibid hal. 11

12

Miriam Budiardjo. op.cit. hal.17-18.

(31)

Dalam perkembangannya, kekuasaan digunakan untuk mempengaruhi kebijakan umum dengan tujuan agar kebijakan tersebut sesuai dengan keinginan pemegang kekuasaan itu sendiri. Hal ini relevan dengan definisi yang disampaikan oleh para ilmuwan politik yang secara umum menjelaskan bahwa kekuasaan adalah mempengaruhi seseorang agar bertingkah laku sesuai dengan yang diinginkan. Kekuasaan mempunyai jangkauan cukup luas meliputi kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, kemampuan untuk memerintah, kemampuan untuk memberi keputusan.

Konsep kekuasaan (politik) diupayakan sebagai suatu elaborasi dengan menjadikan kekuasaan itu sebagai fenomena politik kekuasaan13. Untuk memahami fenomena kekuasaan politik, Charles F Andrain dan Ramlan Surbakti seperti yang dikutip oleh P. Anthonius Sitepu dapat ditinjau dari enam (6) dimensi yaitu14

1. Dimensi Potensial dan Aktual :

Seseorang yang dipandang mempunyai kekuasaan potensial apabila mempunyai atau memiliki sumber-sumber kekuasaan seperti kekayaan, tanah, senjata, pengetahuan informasi, popularitas, status sosial yang tinggi, massa yang terorganisir, dan jabatan. Sebaliknya seseorang yang dipandang memiliki kekuasaan aktual apabila telah menggunakan sumber-sumber yang dimilikinya kedalam kegiatan-kegiatan politik secara efektif. 2. Dimensi Konsensus dan Paksaan

13 P. Anthonius Sitepu. 2012. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. hal.130 14

(32)

Dalam menganalisis hubungan kekuasaan harus membedakan kekuasaan yang berdasarkan paksaan dan kekuasaan yang berdasarkan consensus. Para analisis politik yang lebih menekankan aspek konsensus dari kekuasaan akan cenderung melihat elit politik sebagai orang yang tengah berusaha menggunakan kekuasaan untuk mencapai tujuan masyarakat secara keseluruhan. Sementara itu, apabila menekankan pada aspek paksaan dari kekuasaan akan cenderung memandang politik sebagai perjuangan, pertarungan, dominasi, dan konflik.

3. Dimensi Positif dan Negatif

Tujuan umum pemegang kekuasaan adalah untuk mendapatkan ketaatan atau penyesuaian diri dari pihak yang dipengaruhi. Tujuan umum ini dapat dikelompokkan menjadi dua aspek yang berbeda yakni, tujuan positif dan negatif. Kekuasaan positif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencapai tujuan yang dianggap penting dan diharuskan. Sedangkan kekuasaan negatif adalah penggunaan sumber-sumber kekuasaan untuk mencegah orang lain mencapai tujuan yang tidak hanya dipandang tidak perlu akan tetapi juga merugikan pihaknya.

4. Dimensi Jabatan dan Pribadi

(33)

masyarakat yang masih sederhana, struktur kekuasaan didasarkan atas realitas pribadi lebih menonjol daripada kekuasaan yang terkandung di dalam jabatan itu. Dalam hal ini, pemimpin yang melaksanakan kekuasaan efektifitas kekuasaannya terutama berasal dari kualitas pribadi. 5. Dimensi Implisit dan Eksplisit

Kekuasaan implisit adalah kekuasaan yang tidak terlihat dengan kasat mata akan tetapi dapat dirasakan. Sedangkan kekuasaan eksplisit adalah pengaruh yang terlihat dan dapat dirasakan. Adanya kekuasaan dimensi eksplisit, menimbulkan perhatian orang pada segi rumit hubungan kekuasaan yang disebut dengan “azas memperkirakan reaksi dari pihak lain”.

6. Dimensi Langsung dan Tidak Langsung

(34)

pengaruh yang lebih besar terhadap pembuat dan pelaksana keputusan politik.

2. Teori Elit

Garis besar perkembangan elit Indonesia adalah dari yang bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, dan berdasarkan keturunan kepada elit modern yang berorientasi kepada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional15

Secara struktural ada disebutkan tentang administratur-administratur, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, dan para intelektual, tetapi pada akhirnya perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit fungsional dan elit politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalu maupun masa sekarang mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang modern, sedangkan elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis daripada praktis.

.

16

15 Robert Van Niel. 1984. Munculnya Elite Modern Indonesia. Pustaka Jaya. Jakarta. hal. 12 16

Ibid. hal. 12

(35)

Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller17

Menurut Aristoteles, elit adalah sejumlah kecil individu yang memikul semua atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yang dikemukakan oleh Aristoteles merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa di setiap masyarakat, suatu minoritas membuat keputusan-keputusan besar. Konsep teoritis yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles kemudian diperluas kajiannya oleh dua sosiolog politik Italias, yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano Mosca.

mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, ahli yang beranggapan bahwa golongan elit itu adalah tunggal yang biasa disebut elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).

18

Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan politik. Kelompok kecil itu disebut dengan elit, yang mampu menjangkau pusat kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elit berasal dari kelas yang sama, yaitu orang-orang kaya dan pandai yang mempunyai

17 Lihat Jayadi Nas, Konflik Elit Di Sulawesi Selatan Analisis Pemerintahan dan Politik Lokal, hal. 33. 18

(36)

kelebihan dalam matematika, bidang musik, karakter moral dan sebagainya. Pareto lebih lanjut membagi masyarakat dalam dua kelas, yaitu pertama elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non governing elit). Kedua, lapisan rendah (non-elit) kajian tentang elit politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca yang mengembangkan teori elit politik. Menurut Mosca, dalam semua masyarakat, mulai dari yang paling giat mengembangkan diri serta mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakat yang paling maju dan kuat selalu muncul dua kelas, yakni kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah, biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Kelas yang diperintah jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh kelas yang memerintah.19

Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos kunci dalam masyarakat. Definisi ini kemudian didukung oleh Robert Michel yang berkeyakinan bahwa ”hukum besi oligarki” tak terelakkan. Dalam organisasi apapun, selalu ada kelompok kecil yang kuat, dominan dan mampu mendiktekan kepentingannya sendiri. Sebaliknya, Lasswell berpendapat bahwa elit sebenarnya bersifat pluralistik. Sosoknya tersebar (tidak berupa sosok tunggal), orangnya sendiri beganti-ganti pada setiap tahapan fungsional dalam proses pembuatan keputusan, dan perannya pun bisa naik turun tergantung situasinya. Bagi Lasswell, situasi itu yang lebih penting, dalam situasi

19

(37)

peran elit tidak terlalu menonjol dan status elit bisa melekat kepada siapa saja yang kebetuan punya peran penting20

Lipset dan Solari menunjukkan bahwa elit adalah mereka yang menempati posisi di dalam masyarakat di puncak struktur-struktur sosial yang terpenting,, yaitu posisi tinggi di dalam ekonomi pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan-pekerjaan. Pernyataan seiring dikemukakan oleh Czudnowski bahwa elit adalah mereka yang mengatur segala sesuatunya, ataua aktor-aktor kunci yang memainkan peran utama yang fungsional dan terstruktur dalam berbagai lingkup institusional, keagamaan, militer, akademis, industri, komunikasi dan sebagainya.

.

Pandangan yang lebih luwes dikemukakan oleh Dwaine Marvick. Menurutnya ada dua tradisi akademik tentang elit. Pertama, dalam tradisi yang lebih tua, elit diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis, memenuhi kebutuhan mendesak, melahirkan bakat-bakat unggul, atau menampilkan kualitas tersendiri. Elit dipandang sebagai kelompok pencipta tatanan yang kemudian dianut oleh semua pihak. Ke dua, dalam tradisi yang lebih baru, elit dilihat sebagai kelompok, baik kelompok yang menghimpun yang menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa di berbagai sektor dan tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, pembuat keputusan, atau pihak berpengaruh yang selalu menjadi figur sentral.

21

20 Ibid. hal. 35

21

Ibid. hal. 36

(38)

Field dan Higley menyederhanakan dengan mengemukakan bahwa elit adalah orang-orang yang memiliki posisi kunci, yang secara awam dipandang sebagai sebuah kelompok. Merekalah yang membuat kebijakan umum, yang satu sama lain melakukan koordinasi untuk menonjolkan perannya. Menurut Marvick, meskipun elit sering dipandang sebagai satu kelompok yang terpadu, tetapi sesungguhnya di antara anggota-anggota elit itu sendiri, apa lagi dengan elit yang lain sering bersaing dan berbeda kepentingan. Persaingan dan perbedaan kepentingan antar elit itu kerap kali terjadi dalam perebutan kekuasaan atau sirkulasi elit.

Berdasarkan pandangan berbagai ahli, Robert D. Putnam menyatakan bahwa secara umum ilmuwan sosial membagi dalam tiga sudut pandang.22

Schrool

Pertama, sudut pandang struktur atau posisi. Pandangan ini lebih menekankan bahwa kedudukan elit yang berada pada lapisan atas struktur masyarakatlah yang menyebabkan mereka akan memegang peranan penting dalam aktivitas masyarakat. Kedudukan tersebut dapat dicapai melalui usaha yang tinggi atau kedudukan sosial yang melekat, misalnya keturunan atau kasta.

23

22 Ibid. hal. 37

23 Ibid

(39)

Ke dua sudut pandang kelembagaan. Pandangan ini didasarkan pada suatu lembaga yang dapat menjadi pendukung bagi elit terhadap peranannya dalam masyarakat. C. Wright Mills24

Pandangan ilmuwan sosial di atas menunjukkan bahwa elit memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Pengaruh yang memiliki/bersumber dari penghargaan masyarakat terhadap kelebihan elit yang dikatakan sebagai sumber kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, sumber-sumber kekuasaan itu bisa berupa keududukan, status kekayaan, kepercayaan, agama, kekerabatan, kepandaian dan keterampilan. Pendapat senda juga diungkapkan oleh Charles F. Andrain

menyatakan bahwa untuk bisa memiliki kemasyhuran, kekayaan, dan kekuasaan, orang harus bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga besar, karena posisi kelembagaan yang didudukinya menentukan sebagian besar kesempatan-kesempatannya untuk memiliki dan menguasai pengalaman-pengalamannya yang bernilai itu.

Ketiga, sudut pandang kekuasaan. Bila kekuasaan politik didefinisikan dalam arti pengaruh atas kegiatan pemerintah, bisa diketahui elit mana yang memiliki kekuasaan dengan mempelajari proses pembuatan keputusan tertentu, terutama dengan memperhatikan siapa yang berhasil mengajukan inisiatif atau menentang usul suatu keputusan.

25

yang menyebutnya sebagai sumber daya kekuasaan, yakni : sumber daya fisik, ekonomi, normatif, personal dan keahlian.

24 Ibid hal. 39

(40)

3. Teori Budaya Politik

3.1 Pengertian Budaya Politik

Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu.26 Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.27

Dengan memahami budaya politik, kita akan memperoleh paling tidak dua manfaat, yakni: (1) sikap-sikap warga negara terhadap sistem politik akan mempengaruhi tuntutan -tuntutan, tanggapannya, dukungannya serta orientasinya terhadap sistem politik itu; (2) dengan memahami hubungan antara budaya politik dengan sistem politik, maksud-maksud individu melakukan kegiatan dalam sistem politik atau faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran politik dapat di mengerti. Budaya politik selalu inhern pada setiap masyarakat yang terdiri dari sejumlah individu yang hidup dalam sistem politik tradisional, transnasional, maupun modern. Almond dan Verba melihat bahwa pandangan

26

Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, 1990. Budaya Pollitik, Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara, Bumi Aksara, Jakarta,. hal 13. 8

27

(41)

tentang obyek politik, terdapat tiga komponen yakni komponen kognitif, efektif, dan evaluatif.

Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.

Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan penampilannya.

Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. Oleh karena itu kebudayaan politik adalah bagian dari kebudayaan suatu masyarakat. Dalam kebudayaannya sebagai sub kultur, kebudayaan politik dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat secara umum. Kebudayaan politik menjadi penting di pelajari karena ada dua sistem :

Pertama : Sikap warga negara terhadap orientasi politik yang menentukan pelaksanaan sistem politik. Sikap orientasi politik sangat mempengaruhi bermacam-macam tuntutan itu di utarakan, respon dan dukungan terhadap golongan elit politik, respons dan dukungan terhadap rezim yang berkuasa.

Kedua : dengan mengerti sikap hubungan antara kebudayaan politik dan pelaksanaan sisitemnya, kita akan lebih dapat menghargai cara-cara yang lebih membawa perubahan sehingga sisitem politik lebih demokratis dan stabil.28

Alfian, menganggap bahwa lahirnya kebudayaan itu sebagai pantulan langsung dari keseluruhan sistem sosial-budaya masyarakat. Hal ini terjadi

28

(42)

melalui proses sosialisasi politik agar masyarakat mengenal, memahami, dan menghayati nilai-nilai lain yang hidup dalam masyarakat itu, seperti nilai-nilai sosial budaya dan agama.29

Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka 3.2 Bentuk-bentuk budaya Politik

Tipe Budaya Politik

1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.

a. Budaya Politik Militan

Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.

b. Budaya Politik Toleransi

29

(43)

pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.

Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :

a. Budaya Politik yang Memiliki Sikap Mental Absolut Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.

(44)

terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.

Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyim¬pangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.

2. Berdasarkan Orientasi Politiknya

Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :

(45)

yang bersifat provincial. Karena wilayah yang terbatas acapkali pelaku politik sering memainkan peranannya seiring dengan diferiensiasi, maka tidak terdapat peranan politik yang bersikap khas dan berdiri sendiri. Yang menonjol dalam budaya politik adalah kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan\kekuasaan politik dalam masyarakat.

b. Budaya Politik Kaula (subyek political culture) yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif. anggota masyarakat mempunyai minat perhatian, mungkin juga kesadaran terhadap sistem sebagai keseluruhan terutama pada aspek outputnya. Kesadaran masyarakat sebagai aktor dalam politik untuk memberikan input politik boleh dikatakan nol. Posisi sebagai kaula merupakan posisi yang pasif dan lemah. Mereka menganggap dirinya tidak berdaya mempengaruhi atau mengubah sistem dan oleh karena itu menyerah saja pada kepada segala kebijakan dan keputusan para pemegang jabatan.

(46)

d. Budaya Politik Campuran (mixed political cultures) yaitu gabungan karakeristik tipe-tipe kebudayaan politik yang murni.

3.3 Budaya Politik Masyarakat dan Partisipasi

Budaya politik terdiri dari serangkaian keyakinan, simbol-simbol dan nilai-nilai yang melatar belakangi situasi dimana suatu peristiwa politik terjadi.30

Dalam sistem itu terdapat cukup banyak aktivis politik untuk menjamin adanya kompetisi partai-partai politik dan kehadiran pemberi suara yang besar, maupun publik peminat politik yang kritis yang mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan dan pemerintahan dan kelompok-kelompok pendesak yang Orang-orang yang melibatkan diri dalam kegiatan politik, paling tidak dalam pemberian suara (voting), dan memperoleh informasi cukup banyak tentang kehidupan politik kita sebut berbudaya politik partisipan. Orang-orang yang secara pasif patuh pada pejabat-pejabat pemerintahan dan undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan, kita sebut dalam pemilihan subyek. Golongan ketiga adalah orang-orang yang sama sekali tidak menyadari atau mengabaikan adanya pemerintahan dan politik. Mereka ini mungkin buta huruf, tinggal di desa yang terpencil, atau mungkin nenek-nenek tua yang tidak tanggap terhadap hak pilih dan menggungkung diri dalam kesibukan keluarga. Orang-orang dari golongan ketiga ini disebut budaya politik parokial.

30

(47)

mengusulkan kebijaksanaan-kebijaksanan baru dan melindungi kepentingan khusus mereka. Model kedua adalah sistem otoriter hanya sebagian industrial dan modern seperti Portugal. Meskipun terdapan organisasi politik beberapa partisipasi politik, seperti mahasiswa dan kaum intelektual, menentang sistem itu dan berusaha merubahnya melalui tindakan-tindakan persuasif. Kelompok-kelompok terhormat seperti pengusaha, Kelompok-kelompok gereja, dan tuan tanah mendiskusikan masalah-masalah pemerintahan, serta ikut aktif dalam kegiatan lobbying. Tetapi sebagian besar rakyat dalam sistem itu hanya sebagai subyek yang pasif, mengakui pemerintah dan tunduk pada hukumnya, tetapi tidak melibatkan diri dalam urusan pemerintahan. Model ketiga adalah sistem demokratis pra-industrial seperti republik Dominika yang sebagian besar warga negaranya buta huruf di pedesaan dan buta huruf.

(48)

mengumpulkan kekayaan material adalah sangat penting dalam modernisasi ekonomi dan politik. Kolompok penduduk yang mau memperbaiki keadaannya sendiri cenderung untuk berhasil dalam mengumpul modalkan untuk investasi dalam mencapai pertumbuhan tingkat ekonomi yang sangat tinggi, atau dalam mengembangkan pendidikan dirinya sendiri.31

Partisipasi dan keterlibatan masyarakat desa tidak terlihat dalam melakukan kritik secara keras maupun tindakan-tindakan protes terhadap kepala desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Relasi kekuasaan dalam pemerintah desa bersifat sentralistik, dan sosial budaya masyarakat secara sosioligis masih menerapkan prinsip-prinsip lama. Kekuasaan dalam pembuatan kebijakan terpusat pada satu orang yaitu Kepala Desa. Elemen-elemen lain yang ada didesa tidak

F. Penelitian Sebelumnya

Penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan kekuasaan dalam Pemerintahan Desa, diantaranya dilakukan oleh Heru Kurnia (2011), yang meneliti tentang Analisis Relasi Kekuasaan Dalam Pemerintahan Desa, hasilnya menunjukkan bahwa dimungkinkan terwujudnya kompromi diantara sumber-sumber kekuasaan. Kepala Desa bersekongkol dengan para perangkat desa dan pihak BPD memanipulasi alokasi dana desa (ADD). Serta lemahnya akuntabilitas pemerintah desa dalam mengolah Alokasi Dana Desa.

(49)

mempunyai kekuasaan yang signifikan dalam penentuan kebijakan-kebijakan desa.

Pola relasi kekuasaan yang terbangun dalam Pemerintahan Desa tidak sesuai dengan mekanisme yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Pemerintahan di tingkat desa dalam aplikasinya tidak dijalankan sesuai dengan peraturan yang berlaku yang ada hanya tulisan belaka. (Dikutip dari skripsi Heru Kurnia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU, 2011).

G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Dalam buku Metodologi Penelitian karya Narbuko dan Ahmadi menjelaskan bahwa penelitian deskriptif sebagai penelitian yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasi dan juga bersifat komperatif dan korelatif 32

32

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 1997. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. hal. 44. .

2. Lokasi Penelitian

(50)

3. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode deskriptif analitis. Dengan metode kualitatif, selain untuk mengungkap dan memahami sesuatu hal yang baru dan sedikit diketahui, metode kualitatif juga akan memberikan rincian tentang suatu fenomena yang sulit diungkap oleh penelitian kuantitatif33. Dalam hal ini peneliti menggunakan metode purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang disesuaikan dengan tujuan dan syarat tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan dan masalah penelitian34

33

Ansem Strauss dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Tata Langkah dan Teknik Teorisasi Data.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal. 5.

34

Nawawi Hadari.1987. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada Press. hal. 157.

. Oleh karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka peneliti membutuhkan informan kunci (key informan). dengan daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya. Peneliti akan melaksanakan wawancara secara langsung dan bertemu dengan informan yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai judul penelitian. Pihak-pihak yang diwawancarai dilibatkan dalam penggalian data sebagai informan dengan tujuan agar memperoleh informasi yang tersaring tingkat akurasinya sehingga keseimbangan informasi dapat diperoleh. Key informan yang dipilih yaitu Kepala Desa sebagai

(51)

Muhammad Nasution, Dodi Siregar, Abdul Azis Sipahutar, Adi Nasution, Dian Erlan Afandi Harianja, Najir Pasaribu.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder.

a. Data primer yaitu data yang diambil dari sumber data primer atau sumber pertama dilapangan35

b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder

. Dilaksanakan dengan metode wawancara mendalam (indepth-interview) yang dipandu dengan oleh pedoman wawancara. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan terbuka kepada informan atau pihak yang berhubungan dan memiliki relevansi terhadap masalah yang berhubungan dengan penelitian.

36

. Data diperoleh dari literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, jurnal, artikel, makalah, undang-undang, peraturan-peraturan, internet serta sumber-sumber lain yang dapat memberikan informasi mengenai judul penelitian.

35

Burhan Bungin. 2001. Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press. hal. 128

36

(52)

5. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif kualitatif. Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan data-data primer dan data-data-data-data sekunder. Analisa data-data kualitatif memberikan hasil penelitian untuk memperoleh gambaran terhadap proses yang diteliti dan juga menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data dan proses tersebut37

H. Sistematika Penulisan

. Metode ini sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa hasil wawancara dari para narasumber maupun data-data tertulis. Data hasil wawancara akan diuraikan melalui petikan wawancara dengan masing-masing informan.

Setelah data-data primer dan data-data sekunder terkumpul kemudian dilanjutkan dengan menganalisis data secara deskriptif berdasarkan fenomena yang terjadi di lapangan yakni data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan informan. Hal ini penting dilakukan agar diperoleh kejelasan atas permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan dari hasil penelitian.

Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan untuk lebih mempermudah dan terarah dalam penulisan karya ilmiah. Agar mendapatkan

(53)

gambaran yang jelas dan terperinci, maka penulis membagi penulisan skripsi ini kedalam 4 (empat) bab. Adapun susunan sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Pada Bab I terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Penelitian Sebelumnya, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN

Dalam Bab II akan mendeskripsikan Deskripsi Kabupaten Tapanuli Selatan, Desa dan Pemerintahan Desa, Peraturan Desa, Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Sihopur, Konfigurasi Politik Desa Sihopur.

BAB III KEKUASAAN DALAM PEMERINTAHAN DESA

(54)

BAB IV PENUTUP

(55)

BAB II

DESKRIPSI SINGKAT OBJEK PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Kabupaten Tapanuli Selatan

Kabupaten Tapanuli Selatan terletak antara 0o58’35’ sampai dengan 2o7’33’ Lintang Utara dan 98o42’50’ sampai dengan 99o34’16’ Bujur Timur dengan Luas Daerah 433.470 Ha terdiri dari 14 Kecamatan, 503 Desa/Kelurahan.Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri dari 14 Kecamatan, 503 Desa/Kelurahan. Pada tahun 2011, jumlah penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan sebanyak 1.039.244 jiwa38

• Sebelah Utara : Kabupaten Padang Lawas Utara .

Secara geografis Kabupaten Tapanuli Selatan berbatasan dengan :

• Sebelah Selatan : Kabupaten Mandailing Natal dan Propinsi

Sumatera Barat

• Sebelah Timur : Kabupaten Padang Lawas

• Sebelah Barat : Kabupaten Mandailing Natal dan Samudera

Indonesia

38 Artikel “Profil Kabupaten Tapanuli Selatan 2012.pdf” yang dirilis Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan

(56)

Luas wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan adalah 4,367.05

Jumlah penduduk di Kabupaten Tapanuli Selatan berdasarkan sensus Penduduk 2010 (agregat data SP2010) terdapat sebanyak

Km2. Sedangkan ketinggiannya berkisar antara 0 – 1.925,3 m diatas permukaan laut.

Bila dibandingkan dengan luas Kabupaten Tapanuli Selatan (4,367.05 Km2), maka rata-rata tingkat kepadatan penduduknya mencapai 60 jiwa per km2 dan rata-rata sebanyak 4 jiwa di setiap rumah tangga.

268.095 jiwa yang terdiri dari 131,435 jiwa penduduk laki-laki dan 132,673 jiwa penduduk perempuan, sedangkan jumlah rumah tangganya sebanyak 60,793 rumah tangga.

Penduduk di kabupaten Tapanuli Selatan mayoritas bersuku dan berkebudayaan adat istiadat Batak, yakni Batak Angkola Sipirok dan Mandailing. Umumnya hubungan kekeluargaan menurut garis bapak (Patrilinial).

(57)

2. Kecamatan Angkola Selatan

Kecamatan Angkola Selatan terletak 20-1000 m diatas permukaan laut (dpl) dengan luas wilayah 29 166,56 km². Kecamatan Angkola Selatan terletak di Kabupaten Tapanuli Selatan dengan batas-batas sebagai berikut :

- Sebelah Utara : Kecamatan Angkola Barat - Sebelah Selatan : Kecamatan Batang Angkola - Sebelah Timur : Kota Padang Sidimpuan

- Sebelah Barat : Kecamatan Angkola Sangkunur

Tabel 2.1

Jumlah dan Luas Wilayah Menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Angkola Selatan

No Nagori/Desa Luas (Km²)

1 Pardomuan 43,28

2 Sihuik-huik 25,25

3 Aek Natas 16,00

4 Gunung Baringin 22,77 5 Dolok Godang 15,10 6 Simarpinggan 11,00 7 Tapian Nauli 16,00

(58)

9 Sihopur 9,00 10 Perk Marpinggan 17,50 11 Siamporik Dolok 8,00 12 Sibongbong 7,00 13 Siamporik

Lombang

7,00

14 Napa 7,70

15 Pintu Padang 5,00

16 Sinyior 5,00

17 Situmbaga 9,20

Jumlah

Sumber: Kecamatan Angkola Selatan Dalam Angka 2011

B. Desa dan Pemerintah Desa

(59)

Desa berdasarkan Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di kabupaten/kota.

Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 72 Tahun 2005, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup :

a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang

diserahkan pengaturannya kepada desa;

c. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan/atau

pemerintah kabupaten/kota;

d. Urusan pemerintahan lainya yang oleh peraturan perundang undangan

diserahkan kepada desa.

(60)

menyampaikan informasi pokok-pokok peratanggung jawaban namun tetap memberikan kepada masyarakat melalui BPD untuk menanyakan dan atau meminta keterangan lebih lanjut hal-hal yang bertalian dengan pertanggung jawaban yang dimaksud.

Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Bab XI tentang Desa pasal 200 ayat 1 menyatakan bahwa Pemerintahan Desa terdiri pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Dalam hal ini bahwa kedudukan antara Pemerintahan Desa yang terdiri dari kepala desa dan perangkat desa sejajar dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa seperti pembuatan dan pelaksanaan peraturan desa anggaran pendapatan dan belanja desa, keputusan kepala desa.

Kepala desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa dengan masa jabatan 5 (lima) tahun. Calon kepala desa yang terpilih dengan dukungan suara terbanyak ditetapkan sebagai kepala desa oleh BPD dan disahkan oleh Bupati. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurusi kepentingan masyarakatnya. Tugas kepala desa yaitu menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Dalam melaksanakan tugas, kepala desa mempunyai wewenang yaitu39

a. Memimpin penyelenggaraan pemerintah desa;

:

b. Menyusun rancangan APB Desa;

39

(61)

c. Menetapkan peraturan desa setelah dimusyawarahkan bersama dengan BPD;

d. Merencanakan pembangunan desa;

e. Memfa

Gambar

Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
Tabel 2.5
+2

Referensi

Dokumen terkait

Baswedan, Anies. Key Strategic to Excellent culture. The dialogue, in the Muhammadiyah, Magazine. Globalization and Teaching English in Indonesia. Anthology Series

tua (pendidik) dalam kandungan sesuai dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang dicita-citakan yaitu kehidupana. yang sempurna dengan

[r]

adalah program terapan yang penulis buat berdasarkan studi lapangan dan pendekatan kepustakaan dengan tujuan membantu Toko Grosir Matur Suwun dalam hal kecepatan efisiensi kerja

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( Lembaran Negara Republik

Peran orang tua sebagai motivator merupakan hal yang sangat penting dalam menumbuhkan sikap semangat rajin belajar baik di sekolah maupun di rumah.Kebanyakan anak

Hasil penelitian frekuensi susunan gigi tidak berjejal dan berjejal pada bentuk lengkung narrow rahang bawah mahasiswa FK UNLAM Banjarmasin Tahun 2010- 2012 dengan

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan sebuah kegiatan kurikuler yang harus dilaksanakan oleh mahasiswa praktikan sebagai usaha pelatihan guna menerapkan teori