5.1 Parameter Demografi Populasi M fascicularis di Pulau Peucang 1 Ukuran Kelompok
5.1.3 Struktur Umur
Struktur umur dapat digunakan untuk menilai prospek perkembangan kelestarian suatu populasi, sehingga dapat diperkirakan atau dinilai keberhasilan suatu perkembangan satwa liar. Pada penelitian ini dapat diidentifikasi struktur umur M. fascicularis yang cukup lengkap yakni terdiri dari struktur umur bayi, anak, remaja jantan dan betina serta dewasa jantan dan betina (Napier and Napier 1967).
Struktur umur pada populasi M. fascicularisdi Pulau Peucang secara keseluruhan diatas menunjukkan keadaan populasi yang berkembang. Hal ini dicirikan dengan komposisi kelas umur anak, muda dan dewasa yang ada, dimana kelas umur anak mempunyai jumlah yang cukup banyak yakni 18 individu (22%) dan jumlah kelas umur muda 24individu (29%) yang diharapkan cukup memiliki prospek untuk bereproduksi serta jumlah anggota kelas umur dewasa 33 individu (40%). Kondisi tersebut tidak berbeda dengan populasi di Gunung Walat, dimana struktur anak yang sedikit lebih banyak jumlahnya (20 individu) serta betina dewasa yang berjumlah 32 individu. Sebaliknya kondisi jumlah struktur umur bayi cukup mengkawatirkan karena hanya terdapat 7 individu yang menghadapi resiko terjadinya kerentanan pengurangan jumlah dan ancaman dari berbagai faktor internal seperti kemampuan mengasuh induk, maupun faktor eksternal seperti predasi dan persaingan memperoleh sumber pakan, karena kematian pada bayi umumnya disebabkan oleh kecelakaan atau dimangsa oleh predator (Priyono 1998). Ancaman lainnya adalah kondisi seks rasio populasi M. fascicularis yang hanya 1 : 1,2 atau berada pada peringkat seks rasio paling rendah dibandingkan dengan tempat-tempat lain yang menjadi populasi M. fascicularis (Tabel 5).
22 Series1, Bayi, 8.50% Series1, Anak , 22.00% Series1, Rem aja, 29.30% Series1, Dew asa, 40.20% Bayi Anak Remaja Dewasa
Persentase berdasarkan 4 kelompok umur pada Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah struktur anak dan remaja yang potensial untuk perkembangan populasi mencapai 42 individu (51,3%). Berdasarkan hasil penelitian Surya (2010) terhadap kelompok-kelompok M. fascicularis yang ditemukan di tiap tipe habitat hampir semuanya menunjukkan bahwa komposisi tertinggi terdapat pada struktur umur muda dan komposisi terendah ada pada struktur bayi.
Tabel 4. Persentase M. fascicularis berdasarkan struktur umur di Pulau Peucang
No. Lokasi Jumlah M. fascicularis Jumlah
Bayi Anak Remaja Dewasa
1 2 3 4 5 6 7 1. Kel. I 0 1 4 4 9 2. Kel. II 1 4 4 10 19 3. Kel. III 2 2 3 5 12 4. Kel. IV 4 11 13 14 42 Total Jumlah 7 (8,5%) 18 (22%) 24 29,3%) 33(40,2%) 82(100%)
Selanjutnya pada Gambar 5 ditunjukkan dalam persentase, penyusun struktur populasi M. fascicularis di Pulau Peucang yang dibedakan berdasarkan pada kelas umur Bayi, Anak, Remaja dan Dewasa, dimana terjadi penumpukan jumlah individu dengan jumlah terbanyak adalah pada kelas umur dewasa yang pada dasarnya memang memiliki selang kelas umur paling lebardewasa (umur 9 – 21 th). Kondisi tersebut akan berpengaruh pada prospek kelestarian monyet ekor panjang di P. Peucang karena akan menimbulkan gambaran struktur populasi yang menurun (Priyono 1998).
Gambar 5 Struktur populasi M. fascicularis di Pulau Peucang
Berbeda dengan di Pulau Peucang, yang terjadi di Penang Botanical Garden Malaysia dengan ukuran populasi M. fascicularis adalah 164 individu (Karimullah dan Anuar 2011) dan ukuran kelompok M. fascicularis berkisar antara 14 – 30 individu, tercatat persentase berdasarkan struktur umur adalah jumlah bayi sebanyak 5%, remaja 49%, dewasa 46% (dewasa jantan 21% dan
23
dewasa betina 25%). Sedikit berbeda terjadi pada penangkaran semi alami Pulau Tinjil yaitu terjadi lebih banyak penumpukan jumlah individu pada kelas umur dewasa dibandingkan dengan yang terjadi di P. Peucang, dimana komposisi kelas umur terdiri dari anak 24,01%, muda 14,8% dan dewasa 61,18% (Fadilah 2003).
Pengelompokan umur setiap individu satwa di Indonesia umumnya didasarkan atas ciri-ciri kualitatif. Kelemahan dari pengelompokan secara kualitatif adalah adanya selang waktu antar kelas umur yang tidak sama dan akan terjadi akumulasi individu pada satu kelas umur yang selangnya terlebar yang selanjutnya akan menyebabkan timbulnya gambaran struktur populasi yang menurun (Priyono 1998).
Sebelumnya menurut Napier dan Napier (1967) dalam Surya (2010) pengelompokkan struktur umur dibagi dalam kelas umur bayi ( 0 – 1,5), anak (1,5
– 4), muda (4 -9) dan dewasa (9 - 21). Untuk mengatasi masalah dalam selang kelas umur M. fascicularisPulau Peucang yang tidak sama seperti tersebut diatas, maka dilakukan penyusunan struktur populasi dalam kelas umur yang sama dengan cara membagi ukuran populasi pada kelas umur tertentu dengan selang kelas umurnya.
Dilakukan penyesuaian berupa perubahan struktur umur baru dengan pengelompokkan yangdibagi dalam kelas umur bayi ( 0 – 1 th), anak (1 – 4 th), remaja (4–9 th) dan dewasa (9 – 21 th). Setelah membagi masing-masing ukuran populasi dengan lebar selang kelas umurnya, maka didapatkan selang kelas umur baru dengan masing-masing jumlah individunya sebagai berikut : bayi (0 - 1 th) sebanyak 7 individu, anak (1 - 4 th) sebanyak 6 individu, remaja (4 - 9 th) sebanyak 5 individu dan dewasa(9 - 21 th) sebanyak 3 individu. Dengan pengelompokan kelas umur baru ini akan diperoleh gambaran struktur umur yang meningkat dimana jumlah individu kelas umur bayi lebih tinggi daripada kelas umur lainnya(progressive populations), Bila digambarkan dalam bentuk grafik, maka dapat ditampilkan seperti dalam Gambar 6.
3 individu KU Dewasa 5 individu KU Remaja 6 individu KU Anak 7 individu KU Bayi 0
Gambar 6 Struktur populasi M. fascicularis berdasarkan selang KU baru. Struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangan satwa liar, Gambar 6 diatas menunjukkan indikasi perkembangan lestari karena jumlah bayi sedikit lebih besar dibanding dewasa.Dengan pengelompokan jumlah individu M. fasciculariske dalam selang kelas umur baru ini terlihat prospek kelestarian spesies M. fascicularis terlihat lebih baik kondisinya, dimana hasil grafik pengelompokkan kelas umur membentuk grafik piramida.
24
5.1.4. Seks rasio
Penghitungan seks rasio dapat dibedakan kedalam seks rasio global dan reproduktif. Pada penelitian ini hanya dapat ditentukan seks rasio secara keseluruhan/global yakni 1 : 1,2, dimana jumlah betina hanya sedikit lebih banyak dari jumlah jantan kondisi ini dapat dikatakan hampir sama sebagaimana hasil penelitian Andoko (2012) bahwa seks rasio kelompok M. fascicularis di Hutan Pendidikan Gunung Walat yang berkisar antara 1 : 1,33 hingga 1 : 3,75 ataupun seks rasio 1 : 2 di SM. Paliyan (Kusmardiastuti 2010) serta hasil penelitian di kawasan hutan konservasi HTI PT. Musi Hutan Persada dengan seks rasio 1 : 1,82 (Priyono 1998).
Seks rasio jantan dan betina antar kelompok M. fascicularis berkisar antara 1: 0,5 dan 1: 1,33. Perbedaan terjadi pada kelompok III dimana seks rasio Kelas umur Remaja adalah 1 : 0,5 dan Kelas umur Dewasa adalah 1 : 0,7. Artinya pada kelompok III ini jumlah betina lebih sedikit daripada jantan. Perbandingan seks rasio M. fascicularis di Pulau Peucang dan lokasi habitat M. fascicularislainnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Kondisi seks rasio yang tidak ideal seperti di atas dapat menggambarkan adanya persaingan dari M. fascicularis jantan untuk mendapatkan M. fascicularisbetina yang dapat dikawini oleh jantan dan hal ini dapat menyebabkan terjadinya bentuk persaingan atau perkelahian antar individu dalam kelompok atau antar kelompok.
Tabel 5 Perbadingan seks rasio M. fascicularisPulau Peucang dengan beberapa lokasi habitat lain
No Lokasi Habitat SR Sumber
1 2 3 4
1 Pulau Peucang 1 : 1,20 Data primer
2 SM. Paliyan 1 : 2,00 Kusmardiatuti 2010
3 Gunung Walat 1 : 1,33-3,75 Andoko, 2012
4 PT. MHP 1 : 1,82 Priyono, 1998
5 Batu Tegi, Lampung 1 : 1,24-1,60 Surya, 2010
5.1.5 Fekunditas
Angka fekunditas pada dasarnya adalah perbandingan jumlah janin yang dikandung atau jumlah bayi dengan jumlah betina pada setiap kelas umur. Cara lain dapat diketahui dengan perbandingan jumlah individu bayi yang ada dengan jumlah individu betina produktif untuk setiap kelas umur. Secara umum fekunditas induk M. fascicularisadalah sebanyak 1 ekor, jarang terjadi lebih dari satu ekor pada tiap musim kelahiran.
Pada pelaksanaan penelitian ini terdapat kesulitan untuk menentukan angka fekunditas ini, sehingga pendekatan yang dilakukan adalah menghitung perbandingan jumlah bayi dengan betina produktif. Fekunditas antar kelompok
M. fascicularisdi Pulau Peucang secara berurutan antar kelompok tertinggi terjadi pada kelompok III (0,67), diikuti oleh kelompok IV (0,27) dan kelompok II (0,13), sedangkan pada kelompok I tidak ditemukan bayi yang dilahirkan.
25
Fekunditas merupakan karakteristik biologis sehingga tidak dipengaruhi oleh sex rasio. Hal tersebut terlihat pada kelompok III yang memiliki angka fekunditas yang paling tinggi (0,67), tetapi angka seks rasionya terendah yakni 1 : 0,7.
Rata-rata angka fekunditas di lokasi Pulau Peucang adalah 0,23 seperti disajikan dalam Tabel 6. Fekunditas sebesar 0,23 adalah relatif rendah bila dibandingkan dengan di SM. Paliyan, Yogyakartadimana nilai fekunditas adalah cukup tinggi pada setiap kelas umur yaitu berkisar antara0,43 – 0,67 (Kusmardiastuti 2010).
Tabel 6 Perbadingan jumlah bayi dan jumlah betina produktif per kelompok
M. fascicularisdi Pulau Peucang
No. Lokasi Pengamatan
Jml Bayi dan Betina Prod.
Rata2 Keterangan
Bayi RB DB
1 2 3 4 5 6 7
1 Kelompok I 0 2 2 0 dari betina
2 Kelompok II 1 2 6 0,13 Produktif
3 Kelompok III 2 1 2 0,67
4 Kelompok IV 4 7 8 0,27
Total Jumlah 7 12 18 0,23 -
Tabel 6 menggambarkan bahwa angka fekunditas global M. fascicularis di P. Peucang adalah cukup kecil yakni hanya sebesar 0,23.Rendahnya angka fekunditas ini dapat disebabkan oleh rendahnya angka kelahiran (natalitas) M. fascicularis yang turut ditentukan oleh seks rasio kelas umur produktif (Santosa 1993). Kondisi ini terjadi di P. Peucang dimana angka seks rasio di lokasi ini secara global hanya 1 : 1,2 atau dengan kata lain jumlah betina hampir sama dengan jumlah jantan. Angka seks rasio yang tidak ideal di P. Peucang dapat menggambarkan adanya persaingan atau bahkan perkelahian dari M. fascicularis
jantan untuk mendapatkan betina. Lebih jauh Santosa (1993) menjelaskan bahwa natalitas monyet ekor panjang berkaitan dengan seks rasio kelas umur produktif, sehingga dengan meningkatkan proporsi induk betina terhadap jantan diharapkan dapat memperbesar angka kelahiran dan pada akhirnya dapat meningkatkan angka fekunditas.
5.1.6 Natalitas
Angka natalitas kasar merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan terhadap jumlah induk dewasa. Ukuran populasi lestari akan ditentukan oleh angka kelahiran dan kematian. Faktor kelahiran dan kematian sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Menurut Priyono (1998), laju natalitas spesifik M. fascicularis di alam tidak dapat dihitung secara tepat karena : 1) Umur setiap individu di alam tidak dapat ditentukan secara pasti2) Pengelompokan umur setiap individu didasarkan atas ciri-ciri kualitatif dan 3) Selang waktu antar kelas umur tidak sama.
Oleh karena itu penentuan laju natalitas selanjutnya didasarkan pada hasil pengamatan tiap kelompok monyet ekor panjang yang memiliki struktur umur yang lengkap yang mencakup bayi, anak, muda dan dewasa.
Laju natalitas merupakan perbandingan antara jumlah individu bayi yang dilahirkan dengan jumlah seluruh induk betina reproduktif (Priyono 1998),
26
sedangkan angka kelahiran kasar adalah perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan dengan jumlah seluruh anggota populasi. Angka kelahiran kasar juga merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan terhadap jumlah induk dewasa. Alikodra (1990) menyebutkan bahwa angka kelahiran spesifik merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan selama satu periode waktu dengan jumlah induk pada kelas umur tertentu.
Natalitas kasar pada penelitian M. fascicularis di Pulau Peucang ini adalah 0, 21 atau hampir sama dengan yang terjadi pada populasi di populasi Gunung Walat yaitu sebesar 0,24 (Andoko 2012), sedangkan natalitas semua kelompok baik di SM Paliyan maupun hutan Kaliurang memiliki nilai angka cukup tinggi yaitu antara 0.44-0.67 (Kusmardiastuti 2010). Penentuan laju natalitas ini didasarkan pada hasil pengamatan tiap kelompok M. fascicularisyang memiliki struktur umur yang lengkap.
Natalitas monyet ekor panjang akan ditentukan atau berkaitan dengan seks rasio kelas umur reproduktif, Santosa (1993) menemukan bahwa di Pulau Tinjil, terdapat indikasi bahwa natalitas populasi monyet ekor panjang di alam akan mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya proporsi induk betina terhadap jantan. Natalitas yang rendah dapat terjadi pada populasi di Pulau Peucang ini disebabkan kondisi faktual angka seks rasio populasi M. fascicularis
yang secara global adalah 1 : 1,2 atau jumlah betina yang ada di populasi hanya sedikit lebih banyak dibandingkan jumlah jantan yang ada.
Pertumbuhan populasi juga dipengaruhi oleh natalitas sehingga disebut populasi yang berkembangbiak.Beberapa faktor yang mempengaruhi natalitas diantaranya seks rasio, jumlah populasi, maximum breeding age, minimum breeding age, dan jumlah anak per tahun.