• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan Parameter Demografi dan Model Pertumbuhan Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Pulau Peucang, TN. Ujung Kulon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan Parameter Demografi dan Model Pertumbuhan Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Pulau Peucang, TN. Ujung Kulon"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN PARAMETER DEMOGRAFI DAN MODEL PERTUMBUHAN

POPULASI MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis)

PULAU PEUCANG, TN. UJUNG KULON

BUDI SAMPURNA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pendugaan Parameter Demografi dan Model Pertumbuhan Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di P. Peucang, Taman Nasional Ujung Kulon adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Budi Sampurna

(3)

RINGKASAN

BUDI SAMPURNA. Pendugaan Parameter Demografi dan Model Pertumbuhan Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di P. Peucang, TN. Ujung Kulon. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan U. MAMAT RAHMAT.

Monyet ekor panjang atau Macaca fascicularis Raffles.1821 dikenal sebagai salah satu jenis primata yang tersebar di berbagai tipe habitat. Satwa ini dapat dijumpai mulai dari ujung Pulau Sumatera sampai Pulau Lombok dan sekitarnya. Adanya permintaan terhadap satwa ini untuk memenuhi kebutuhan sebagai hewan percobaan di bidang medis menyebabkan adanya permintaan untuk memenuhi kuota ekspor yang kebutuhannya lebih banyak diambil dari tangkapan langsung di alam. Dalam beberapa tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan kuota monyet ekor panjang Indonesia. Apabila pengambilan dari alam ini dilakukan tanpa kajian ilmiah yang tepat maka kelestarian monyet ekor panjang di alam akan semakin terancam, karena menurut IUCN Red List, status monyet ekor panjang saat ini adalah near threatened.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menduga beberapa parameter demografi populasi M. fascicularis di Pulau Peucang Taman Nasional Ujung Kulon dan untuk merumuskan Model Pertumbuhan M. fascicularis. Data yang dikumpulkan berupa data parameter demografi monyet ekor panjang yang meliputi tingkat kelahiran dan kematian, seks rasio, struktur umur, jenis kelamin, ukuran kelompok dan ukuran populasi. Data faktor lingkungan yang dikumpulkan diantaranya suhu, kelembaban, kerapatan potensi vegetasi pakan monyet ekor panjang di lokasi penelitian.

Penelitian ini menemukan bahwa ukuran populasi M. fascicularis di Pulau Peucang ini adalah 82 ekor. Dikelompokkan kedalam struktur kelompok umur yang terdiri dari struktur umur bayi, anak, remaja jantan, remaja betina, dewasa jantan dan dewasa betina. Ukuran populasi M. fascicularis di Pulau Peucang tersebut berada pada kisaran populasi sedang bila dibandingkan dengan ukuran total populasi di lokasi-lokasi lain seperti populasi Gunung Walat atau pada kelompok M. fascicularis di Cagar Alam Pangandaran.

Luas Pulau Peucang adalah ± 450 Ha. Kepadatan populasi M. fascicularis

pada penelitian di Pulau Peucang ini secara keseluruhan adalah 0,18 individu/ha, hal ini berhubungan dengan tipe habitat Pulau Peucang yang merupakan hutan primer yang umumnya memiliki ukuran kelompok relatif kecil dibanding tipe hutan lainnya. Jumlah jenis tumbuhan pakan M. fascicularis di Pulau Peucang diperoleh berdasarkan hasil analisis vegetasi dan pengamatan di lapangan. Ditemukan 35 jenis tumbuhan sebagai sumber pakan, antara lain ketapang (Terminalia catappa) pandan (Pandanus sp.), bayur (Langerstomia sp.), jambu-jambuan (Eugenia sp.). Bagian tumbuhan yang dimakan adalah bagian daun, bunga, dan buah, dll.

Pada penelitian di Pulau Peucang ini ditemukan adanya ukuran kelompok

(4)

kelompok yang memisahkan diri dari kelompok besar, dimana di hutan primer kelompok M. fascicularis biasanya berjumlah ± 10 ekor.

Struktur umur kelompok-kelompok monyet ekor panjang yang ditemukan di tiap kelompok semuanya menunjukkan bahwa komposisi tertinggi terdapat pada struktur umur dewasa dan komposisi terendah pada struktur bayi. Kondisi ini akan mendukung regenerasi satwa sehingga dapat berlangsung dengan baik di masa yang akan datang.

Penghitungan seks rasio dapat dibedakan kedalam seks rasio global dan reproduktif. Hasil pengamatan pada penelitian ini hanya dapat ditentukan seks rasio secara keseluruhan/global yakni 1 : 1,20. Artinya jumlah betina hanya sedikit lebih banyak dari jumlah jantan. Seks rasio jantan dan betina antar kelompok M. fascicularis berkisar antara 1: 0,50 hingga dan 1: 1,33. Perbedaan terjadi pada kelompok III dimana seks rasio Kelas umur Remaja adalah 1 : 0,5 dan Kelas umur Dewasa adalah 1 : 0,70. Artinya pada kelompok III ini jumlah betina lebih sedikit daripada jantan.

Angka fekunditas merupakan kemampuan/kapasitas induk betina dalam suatu populasi untuk menghasilkan anak atau perbandingan jumlah individu bayi yang ada dengan jumlah individu betina produktif, sehingga didapatkan angka fekunditas global di lokasi ini adalah 0,23. Angka fekunditas antar kelompok

M. fascicularis di Pulau Peucang, tertinggi terjadi pada kelompok III (0,67), diikuti oleh kelompok IV (0,27) dan kelompok II (0,13).

Ukuran populasi lestari akan ditentukan oleh natalitas dan mortalitas. Natalitas kasar merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan terhadap jumlah induk dewasa. Faktor kelahiran dan kematian sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Natalitas kasar pada penelitian M. fascicularis di Pulau Peucang ini adalah 0, 21 atau hampir sama dengan yang terjadi pada populasi

M. fascicularis di Gunung Walat dan SM Paliyan maupun hutan Kaliurang.

Rata-rata peluang hidup M. fascicularis di Pulau Peucang adalah kelas umur Bayi ke kelas umur Anak adalah 0,86. Peluang hidup kelas umur Anak ke kelas umur Muda adalah 0,83 dan peluang hidup kelas umur Muda ke kelas umur dewasa adalah 0,6. Adapun mortalitas untuk setiap kelas umur dapat diketahui yaitu dari kelas umur Bayi ke kelas umur Anak adalah 0,14. Mortalitas kelas umur Anak ke kelas umur Muda adalah 0,17 dan mortalitas kelas umur Muda ke kelas umur dewasa adalah 0,40.

Peubah penentu dari ukuran populasi minimum lestari adalah peluang hidup dan fekunditas, demikian juga untuk mengetahui dan menentukan model pertumbuhan suatu spesies satwa dibutuhkan informasi data yang sama. Bila peluang hidup dan fekunditas telah diketahui, maka selanjutnya dengan model Matriks Leslie di atas dapat diperkirakan model pertumbuhan M. fascicularis.

Pada penelitian ini model Matriks Leslie dapat menduga pertumbuhan populasi

M. fascicularis dari tahun 2013 hingga 2020 yang diperkirakan akan mencapai 236 individu.

Kata kunci : monyet ekor panjang, parameter demografi, Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK),

(5)

SUMMARY

BUDI SAMPURNA. Estimation the Demographic Parameters and Growth Model of Long-tailed macaque (Macaca fascicularis) Population in Puecang Island, Ujung Kulon National Park. Supervised by YANTO SANTOSA and U. MAMAT RAHMAT.

Long-tailed macaque or Macaca fascicularis Raffles.1821 known as one of the primate species that is spread across a variety of habitat types, can be found from Sumatra to Lombok Island and its surroundings. This primates is one of the prospective species in the international trade and still facing serious threat due to high demand for exporting purposes. The existence of demand as an experimental animal in the medical field led to a request to export quota and most of them are captured from nature habitat. In recent years there has been an increase the quota of long-tailed macaque. If the capturing is done without a proper scientific study, the sustainability of long-tailed macaque in the wild will be threatened, because according to the IUCN Red List, the current status of long-tailed macaque is near threatened.

The study was aimed to estimate demographic parameter and population growth model of the long-tailed macaque (M. fascicularis) in Peucang Island Ujung Kulon National Park and was conducted using sensus method by concentration point. Analyses were conducted on demographic parameter (size and density, sex ratio, natality and mortality). The data collected in the form of data demographic parameters such as birth and death rate, sex ratio, age structure, group size and population size.

This study noted that the size of the population of M. fascicularis was 82 individuals are grouped into age structure of infant, juvenile, adult males, sub-adult females, sub-adult males and sub-adult females. This sized of 82 individuals are similar in the range of populations with the population of M. fascicularis being compared to the total size of the population in other locations such as Gunung Walat or Pangandaran Nature Reserve.

Peucang Island is about 450 hectars so that the density of M. fascicularis in this site was 0.18 individuals/hectar, this is associated with habitat type which is a primary forests generally have a relatively small group size of M. fascicularis

compared to other forest types. The number of plant species of M. fascicularis

obtained based on the analysis of vegetation and field observations, where found 35 species of plants as a food source, such as Ketapang (Terminalia catappa) Pandan (Pandanus sp.), Bayur (Langerstomia sp.), Jambu-jambuan (Eugenia sp.). Generally M. fascicularis eats the parts of plants such as leaf, flower, and fruit.

The research found that size group of M. fascicularis were varied, ranged from 9-42 individuals. Group IV has the highest number of individuals (42 individuals) because they are on location with the availability of resources. The minimum number of Group I (9 individuals), a group that broke away from the larger groups, where the other study found that the primary forest has group of

M. fascicularis was about 10 individuals.

(6)

Sex ratios can be differentiated into the global and reproductive sex ratio. The study can only be determined the overall / global sex ratio.The age structure of long-tailed macaque population was progressive population with global sex ratio of 1 : 1.2, means that the number of females is only slightly more than the number of males. Sex ratio between male and female M. fascicularis group ranged from 1: 0.5 to and 1: 1.33. Differences occurred in group III where the sex ratio of sub-adult was 1: 0.5 and Adult 1: 0.7. This means that in group III, number of females less than males.

The fecundity is the ability/capacity of the adult female in a population to produce infants or comparison of the number of exist infant with the number of productive females, so the global fecundity rate at this site is 0.23. Fecundity of

M. fascicularis between groups in Peucang Island, the highest in group III (0.67), followed by group IV (0.27) and group II (0.13).

Sustainable population size will be determined by the natality and mortality. Global natality is the ratio between the number of individuals who are born to the number of adult. Global natality of M. fascicularis of Peucang Island is 0.21, or nearly equal with populations of M. fascicularis in Gunung Walat, SM Paliyan and forest Kaliurang.

Average living-opportunities of M. fascicularis in Peucang Island is differentiated into infant to juvenile was 0.86, juvenile to sub-adult was 0.83 and sub-adult to adult was 0.6. The mortality for each age class can be found that from infant to juvenile was 0.14, juvenile to sub-adult was 0.17 and sub-adult to adult was 0.4.

Variable determinant of the size of the minimum sustainable population is living-opportunities and fecundity, and to define a growth model species needed information the same data. If the living-opportunities and fecundity are existenced, then with Leslie Matrix model can be estimated on the growth model of M. fascicularis population. In this study, Leslie Matrix models can predict the M. fascicularis population growth from 2013 to 2020, which is expected to reach 236 individuals.

Keywords : demographic parameter, long-tailed macaque, Ujung Kulon National Park (UKNP),

(7)

PENDUGAAN PARAMETER DEMOGRAFI DAN MODEL PERTUMBUHAN

POPULASI MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis)

PULAU PEUCANG, TN. UJUNG KULON

BUDI SAMPURNA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi

pada

Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)

PENDUGAAN PARAMETER DEMOGRAFI DAN MODEL

PERTUMBUHAN POPULASI MONYET EKOR PANJANG (Macaca

fascicularis) PULAU PEUCANG, TN. UJUNG KULON

BUDI SAMPURNA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi

pada

Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tugas Akhir : Pendugaan Parameter Demografi dan Model Pertumbuhan Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Pulau Peucang, TN. Ujung Kulon

Nama : Budi Sampurna

NRP : E353100195

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir H Yanto Santosa, DEA. Dr U. Mamat Rahmat, S.Hut, MP.

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Konservasi Keanekaragaman Hayati

Dr Ir Agus Priyono Kartono, M.Si. Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

(12)

PRAKATA

Alhamdulillaahi rabbil „aalamiin, ucapan puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. atas segala rahmat, hidayah dan karunia-Nya penyusunan tesis ini dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi (MP) konservasi keanekaragaman hayati dari Departemen Konservasi dan Sumber Daya Alam Hayati Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan tema penelitian tentang populasi Macaca fascicularis, dengan judul Pendugaan Parameter Demografi dan Model Pertumbuhan Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Pulau Peucang, TN. Ujung Kulon.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada pihak-pihak : (1) Kementerian Kehutanan, yang telah memberikan izin dan kesempatan melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor; (2) Prof. Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA (Ketua komisi pembimbing) dan Dr. U. Mamat Rahmat, S.Hut, MP (Anggota komisi) atas curahan waktu, ilmu pemikiran, kesabaran dalam memberikan arahan, bimbingan dan masukan hingga selesainya penyusunan tesis ini; (3) Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.Trop selaku penguji luar komisi pada ujian sidang tesis yang telah bersedia meluangkan waktunya, memberikan koreksi, masukan dan saran perbaikan thesis; (4) Kepala Balai TN. Gunung Palung yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan Magister Profesi di IPB; (5) Kepala Balai TN. Ujung Kulon yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian serta telah memberikan dukungan dan fasilitas kepada penulis sehingga pelaksanaan penelitian di lapangan dapat berjalan lancar;

(6) Teman-teman program studi KKH, KVT, MEJ dan Fast-Track yang telah membantu pelaksanaan penelitian di lapangan; (7) Papap dan Mamih tercinta, bapak dan ibu mertua serta adik-adik tersayang atas segala doa dan dukungannya, istri tercinta (Ira Lyanosa, S.Hut) dan anak-anakku tersayang (Aizq dan Neng Unga) atas doa dan kesabaran selama penulis menjalani studi; (8) Teman-teman Magister Profesi KKH seangkatan 2010 (Pak Komti dan kawan-kawan) yang tidak lelah memberikan semangat dalam percepatan penyelesaian tesis), ucapan terima kasih atas, kebersamaan, kekompakan dan kerjasama dalam suka dan duka (9) Pak Sofwan, Bi Uum dan Pak Ismail yang selalu siap membantu dan melayani kebutuhan perkuliahan.

Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Agustus 2014

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang 1

1.2 Tujuan Penelitian 2

1.3 Manfaat Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang 2

2.1.1 Taksonomi dan Morfologi 2

2.1.2 Kelas Umur dan Anatomi 3

2.1.3 Ukuran Kelompok 4

2.1.4 Habitat 4

2.1.5 Pakan 5

2.1.6 Perlindungan dan Cover 6

2.1.7 Angka Kelahiran 6

2.1.8 Angka Kematian 7

2.1.9 Seks Rasio 8

3 METODE PENELITIAN

3.2 Lokasi dan Waktu 8

3.2 Alat dan Bahan 8

3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan 8

3.3.1 Data Primer 8

3.3.1 Data Sekunder 8

3.4 Metode Pengumpulan Data 9

3.4.1 Metode Pengumpulan Data Primer 9

3.4.2 Metode Pengumpulan Data Sekunder 10

3.5 Metode Analisis Data 10

3.5.1 Pendugaan Parameter Demografi 10

3.5.2 Seks rasio 11

3.5.3 Angka Kelahiran 11

3.5.4 Angka Kematian 11

3.5.5 Struktur Umur 12

(14)

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Pengelolaan Kawasan TNUK 13

4.2 Letak dan Luas 13

4.3 Kondisi Fisik 14

4.3.1 Iklim 14

4.3.2 Suhu dan Kelembaban 14

4.3.3 Wilayah dan Topografi 15

4.3.4 Hidrologi 15

4.4 Kondisi Biologi 16

4.4.1 Ekosistem 16

4.4.2 Kekayaan Spesies dan Program Pengelolaan 16 5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Parameter Demografi Populasi M. fascicularis di

Pulau Peucang 18

5.1.1 Ukuran Kelompok 18

5.1.2 Ukuran dan Kepadatan Populasi 20

5.1.3 Struktur Umur 21

5.1.4 Seks rasio 24

5.1.5 Fekunditas 24

5.1.6 Natalitas 25

5.1.7 Peluang hidup dan Mortalitas 26

5.2 Model Pertumbuhan 27

6 SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan 29

6.2 Saran 30

DAFTAR PUSTAKA 30

(15)

DAFTAR TABEL

1 Seks rasio monyet ekor panjang di beberapa lokasi 7 2 Kekayaan flora dan fauna di TNUK dan perbandingan persentse

dengan kekayaan spesies di Pulau Jawa 16

3 Jumlah M. fascicularis berdasarkan kelompok dan kelas umur 18 4 Persentase M. fascicularis berdasarkan struktur umur di Pulau Peucang 21 5 Perbadingan seks rasio M. fascicularis Pulau Peucang dengan beberapa

lokasi habitat lain 24

6 Perbadingan jumlah bayi dan jumlah betina produktif per kelompok

M. fascicularis di Pulau Peucang 24

DAFTAR GAMBAR

1 Bentuk jalur pengamatan vegetasi 10

2 Model matriks dasar persamaan Leslie 12

3 Peta situasi Pulau Peucang dan Taman Nasional Ujung Kulon 13

4 Contoh sisa bekas makanan M. fascicularis 20

5 Struktur populasi M. fascicularis di Pulau Peucang 22 6 Struktur populasi M. fascicularis berdasarkan selang KU baru 23

7 Hasil proyeksi persamaan Matriks Leslie 27

8 Proyeksi pertumbuhan M. fascicularis berdasarkan model matriks

Leslie dari tahun 2013 - 2020 27

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data Pengukuran Suhu dan Kelembaban Pulau Peucang 31

2 Hasil analisis vegetasi tingkat pohon 33

3 Hasil analisis vegetasi tingkat tiang 34

4 Hasil analisis vegetasi tingkat pancang 35

5 Hasil analisis vegetasi tingkat semai 36

(16)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffles.1821)merupakan salah satu jenis satwa primata yang sering dimanfaatkan oleh manusia dan hingga saat ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam bidang kedokteran atau bio-medis(Eudey1991). Primata ini sangat bermanfaat sebagai hewan percobaan untuk menguji berbagai jenis obat-obatan, pembuatan vaksin dan pembiakan sel (Priyono1998).Kebutuhannya terus meningkat seiring perkembangan penelitian teknologi pengobatan dan kebutuhan hewan percobaan, salah satunya untuk ujicoba pengobatan penyakit AIDS (Kyeset al. 1997).

Alasan masih digunakannya monyet ekor panjang dalam uji coba ilmu kedokteran karena sifat-sifat dan struktur morfologinya yang mendekati manusia. Riset bio-medis yang masihmembutuhkan kontribusi monyet ekor panjangsebagai hewan percobaan adalah tidak terlepas dari fakta yang telah diyakini selama ini bahwa terdapat kedekatan secara genetik antara satwa primata dengan manusia. Hal ini dikuatkan dengan beberapa studi yang telah melaporkan bahwa ada transfer penyakit antara monyet dan manusia atau sebaliknya, seperti malaria, rabies, dan herpes (Urban ekologi monyet ekor panjang2012).

Akan tetapi pemanfaatan monyet ekor panjang umumnya masih dilakukan dengan cara pengambilan langsung di alam,hal ini yang menjadi ancaman kelangsungan hidupnya (Supritna dan Wahyono 2000).Menurut IUCN Red List, status monyet ekor panjang saat ini adalah near threatened, sedangkan menurut UNEP WCMC (2008) dalam Kusmardiastuti (2010) menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan kuota monyet ekor panjang Indonesia setiap tahun, dimana pada tahun 2007 kuota Indonesia adalah 4100 ekor, tahun 2008 meningkat menjadi 5100 ekor dan tahun 2009 terjadi peningkatan sampai 15.100 ekor. Keberadaan monyet ekor panjang di Pulau Peucang, TNUK merupakan potensi stok bagi prospek pemanfaatan salah satu jenis primata ini di masa yang akan datang, tetapi kondisi populasi dan habitatnya belum pernah diteliti sebelumnya. Meskipun M. fascicularis tidak termasuk dalam jenis spesies prioritas dalam pengelolaannya (Kemenhut RI 2008) dan tidak termasuk dalam 14 spesies prioritasyang ditargetkan peningkatan populasinya (Ditjen PHKA 2010), akan tetapi perhatian terhadap kondisi populasi dan habitatnya perlu diperhatikan sebagai salah satu daya tarik wisata di TN. Ujung Kulon, khususnya P. Peucang.

Penelitian-penelitian tentang M. fascicularisyang telah dilakukan hingga saat ini sebagian besar dititikberatkan pada jumlah populasi (Mukhtar 2001; Supartono 2001; Fadilah 2003),atau yang bertema sosial dan dinamika kelompok

(17)

2

Perkembangan pemanfaatan M. fascicularisdan permintaan kuota yang cenderung meningkat telah mendorong perlunya penelitian mengenai pendugaan parameter demografi dan model pertumbuhan M. fascicularisdi Pulau Peucang.Parameter demografi (tingkat kelahiran, kematian, seks rasio, dan ukuran populasi) merupakan komponen penting dalam perkembangan populasi satwa liar. Pengetahuan tentang parameter demografi merupakan data-data dasar dalam perencanaan dan penentuan kuota pemanenan (Santosa, 1993) atau dengan kata lain penentuan kuota pemanenan ditentukan oleh tersedianya data parameter demografi (Santosa, 1996). Output dari penelitianyang dilakukan ini pada akhirnya diharapkan dapat dijadikan dasar untuk penetapan kuota pemanenan M. fascicularisbila perangkat peraturan perundang-undangan telah mendukung atau memungkinkan dilakukannya pemanenan suatu jenis spesies di dalam kawasan konservasi.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Menduga beberapa parameter demografi populasi M. fascicularisdiPulau Peucang Taman Nasional Ujung Kulon.

2. Merumuskan Model Pertumbuhan populasi M. fascicularis

1.3Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan tentang kondisi populasi

M. fascicularis di Pulau Peucang saat ini, sehingga menjadi masukan bagi pihak pengelola kawasan dan yang berkepentingan dalam upaya pelestarian kawasan dengan kekayaan spesies khususnya M. fascicularis sebagai salah satu daya tarik obyek wisata di kawasan TNUK.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang

2.1.1 Taksonomi dan Morfologi

Sebutan monyet mengacu pada primata berekor panjang; kera, tanpa ekor seperti orangutan. Satwa ini diberi nama oleh Sir Thomas Stamford Raffles ketika usianya 40 tahun pada 1821. Macaca berasal dari bahasa Portugis: macaco berarti monyet, sedangkan fascicularis mengacu pada kelompok kecil, 5-6 ekor per grup, meskipun famili Cercopithecidae itu ada juga yang berkelompok hingga 50 ekor (Duryatmo 2008).

(18)

3

adalah Simia fascicularis Raffles (1812), Macaca irus Cuvier (1818) serta Simia cynomolgus Schrebber (1775). Monyet ekor panjang juga dikenal dengan nama monyet-kra, kunyuk atau kethek (bahasa Jawa/Sunda), monyet dan cigak (Indonesia) serta crab eating macaque dan long-tailed macaque (Inggris).

Menurut Sody (1949) M. fascicularis yang terdapat di Indonesia terdiri atas 11 sub-species, yakni:

a) Macaca f. impudens Elliot, 1910: spesimen berasal dari Kepulauan Riau b) Macaca f. fascicularis Raffles, 1821: spesimen berasal dari Sumatera c) Macaca f. mandibularis Elliot, 1910: spesimen berasal dari Kalimantan d) Macaca f. carimatae Elliot, 1910: spesimen berasal dari Kepulauan Karimata,

Pulau Serutu dan Pulau Pelapis

e) Macaca f. mordax Thomas dan Wroughton, 1909: spesimen berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah

f) Macaca f. baweanus Elliot, 1910: spesimen berasal dari Pulau Bawean

g) Macaca f. karimunjawae Sody, 1949: spesimen berasal dari Pulau Karimunjawa

h) Macaca f. submordax Sody, 1949: spesimen berasal dari Pulau Bali i) Macaca f. limitis Schwarz, 1913: spesimen berasal dari Pulau Timor

j) Macaca f. sublimitus Sody, 1932: spesimen berasal dari Pulau Sumba, Sumbawa, Flores, dan Pulau Lombok

k) Macaca f. lapsus Elliot, 1910: spesimen berasal dari Pulau Bangka

Secara morfologis monyet ekor panjang adalah monyet kecil berwarna coklat dengan perut agak putih terutama pada mukanya. Bayi monyet yang baru lahir umumnya akanberwarna hitam, sedangkan muka dan telinganya berwarna merah muda. Setelah satu minggu kulit mukanya menjadi merah muda keabu-abuan dan enam minggu kemudian berubah menjadi coklat (Aldrich-Blake 1980). Warna rambut yang menutupi tubuh monyet kera ekor panjang bervariasi tergantung pada umur, musim dan lokasi. Monyet yang tinggal di kawasan hutan umumnya berwarna lebih gelap dan lebih mengkilap dari pada yang menghuni kawasan pantai. Hal ini mungkin disebabkan pengaruh pemutihan oleh udara yang bergaram dan sinar matahari langsung (Lekagul dan McNeely 1977).

2.1.2 Kelas Umur dan Anatomi

Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari sebuah populasi (Alikodra, 2002) yang dapat digunakan untuk menilai prospek perkembangan kelestarian dari populasi tersebut, sehingga dapat diperkirakan atau dinilai keberhasilan suatu perkembangan satwa liar. Pada penelitian M. fascicularis ini dapat ditentukan atau diidentifikasi struktur umur berdasarkan Napier dan Napier (1967)yang terdiri dari Bayi, Anak, Remaja Jantan dan Betina serta Dewasa Jantan dan Betina.

(19)

4

enam minggu warna berubah menjadi coklat. Terdapat dua fase warna utama yaitu coklat keabu-abuan dan kemerah-merahan dengan kisaran yang luas antara keduanya. Warna rambut yang menutupi tubuh bervariasi tergantung pada umur, musim dan lokasi. Monyet ekor panjang yang menghuni kawasan hutan berwarna gelap dan lebih mengkilap sedangkan yang menghuni kawasan pantai umumnya berwarna terang (Chivers 1980).

Pada individu dewasa monyet ekor panjang memiliki panjang kepala dan badan berkisar antara 350 – 455 mm, panjang ekor 400 – 565 mm (Santosa 1993). Ukuran telapak kaki belakang 120 – 140 mm, tengkorak 120 mm dan telinga 34 – 38 mm. Berat jantan dewasa berkisar antara 5 – 7 kg dan betina dewasa 3 – 4 kg (Chivers 1980).

Selanjutnya Lekagul dan McNeely (1977) mengemukakan bahwa monyet ekor panjang memiliki ekor berbentuk silindris maskular ditutupi oleh rambut-rambut pendek. Umumnya panjang ekor tersebut antara 80 – 110 % dari panjang kepala dan badan. Satwa muda seringkali mempunyai jambul yang tinggi sedangkan yang lebih tua mempunyai cambang lebat dan panjang mengelilingi muka. Ciri anatomi lain yang penting dari monyet ekor panjang adalah adanya kantong pipi (cheek pouch) yang berguna untuk menyimpan makanan sementara. Dengan adanya kantong pipi ini maka monyet ekor panjang dapat memasukkan makanan ke dalam mulut secara cepat dan mengunyahnya di tempat lain.

2.1.3 Ukuran Kelompok

M. fascicularismerupakan salah satu spesies primata yang hidup secara berkelompok, dimana pembentukan kelompok dapat dipengaruhi berbagai faktor diantaranya tersedianya sumber pakan di suatu lokasi serta banyaknya anggota di suatu kelompok (Iskandar et al. 1997). Ukuran kelompok M. fascicularisadalah jumlah individu yang terdapat dalam suatu kelompok (Priyono 1998). Menurut Wheatley (1974) dalam Lindburg (1980) metode yang lebih akurat untuk menghitung individu M. fascicularis dalam sebuah kelompok adalah dengan cara menghitungnya ketika satwa tersebut sedang memanjat pohon yang dijadikannya sebagai pohon tidur, sehingga kesalahan penghitungan dapat diperkecil.

Adapun yang terjadi di Pulau Tinjil adalah monyet ekor panjang yang dilepaskan secara berkelompok tidak langsung membentuk kelompok baru, akan tetapi menyebar menjadi kelompok-kelompok kecil yang nantinya akan membentuk kelompok baru atau bergabung dengan kelompok yang sudah ada sebelumnya (Iskandar et al. 1997).

2.1.4 Habitat

Definisi habitat secara umum adalah suatu tempat dimana individu spesies biasanya ditemukan. Alikodra (2002) mendefinisikan habitat sebagai kawasan yang terdiri atas berbagai komponen, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan berfungsi sebagai tempat hidup, menyediakan makanan, air, pelindung serta berkembang biak satwaliar.

(20)

5

Menurut Bailey (1994), kelengkapan habitat terdiri dari berbagai jenis termasuk makanan, perlindungan dan faktor-faktor lain yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara berhasil. Hal ini menunjukkan bahwa habitat merupakan hasil interaksi antara berbagai komponen fisik yang terdiri dari tanah, air, topografi dan iklim serta komponen biologisnya yang mencakup tumbuhan, satwa liar dan manusia (Bismark 1984).

Habitat klasik monyet ekor panjang adalah hutan mangrove, hutan primer dan hutan sekunder sampai ketinggian 2000 mdpl (Lekagul dan McNeely1977).Habitat M. fascicularistersebar mulai dari hutan hujan tropika, hutan musim, hutan rawa mangrove sampai hutan pegunungan seperti di Himalaya. Monyet ekor panjang lebih menyukai habitat-habitat sekunder, khususnya daerah riparian (tepi sungai, danau atau sepanjang pantai) dan hutan sekunder dekat dengan areal perladangan (Lindburg 1980). Di hutan rawa mangrove monyet ekor panjang kadang-kadang merupakan satu-satunya spesies dari anggota primata yang menempati daerah tersebut, sedangkan di daerah pantai kadang-kadang monyet ekor panjang terdapat secara bersama-sama dengan species lain seperti lutung (Presbytis cristata).

M. fascicularisadalah spesies yang dapat cepat beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga selain dapat hidup di habitat aslinya juga dapat hidup di habitat lain. Menurut Napier dan Napier (1967), monyet ekor panjang adalah salah satu contoh genus yang dapat beradaptasi dengan keadaan lingkungannya dan iklim yang berbeda, sedangkan menurut Lindburg(1980) kondisi habitat berpengaruh terhadap kerapatan populasi monyet ekor panjang, sehingga kepadatan populasi M. fascicularisdi hutan sekunder umumnya lebih tinggi daripada hutan primer. Ukuran kelompok juga bervariasi menurut kondisi habitatnya. Di hutan primer satu kelompok monyet ekor panjang beranggotakan 10 ekor, di hutan mangrove 15 ekor dan di areal yang terganggu dapat lebih dari 40 ekor.

2.1.5 Pakan

Secara umum, primata dapat dibedakan berdasarkan jenis pakannyakedalam frugivorous, folivorous dan insectivorous (Clutton-Brock dan Harvey1977). Pemilihan buah-buahan sebagai pakan mungkin berkaitan dengan tingkatkemasakannya, ukuran, keasaman, kandungan kimiawi, ukuran butiran danpenyebarannya (Ungar 1995, Peres 1996). Pakan monyet ekor panjang terdiri dari

buah-buahan, biji-bijian, pucuk, serangga, kepiting, katak, kadal dan moluska(Lekagul dan McNeely 1977).

(21)

6

non alami yang berasal pemberian pengunjung (25.78%) dari total makanan yang dikonsumsi (Farida 2011).

Menurut Yeager (1996),urutanbagian tumbuhan yang paling banyakdimakan berturut-turut adalah buah, daun, bunga, serangga dan kulit. Hadi

et al.(2007) menyatakan bahwa jenis buah yang paling disukai oleh monyet ekorpanjang di Taman Monyet Cikakak adalah sadang (Corypha utan Lamarck) danbulu (Ficus virens Aiton). Menurut Hadinoto (1993), kebutuhan pakan monyetekor panjang setiap ekor perhari sebanyak 4% dari bobot tubuhnya, sertamemerlukan air untuk minum sebanyak 1 liter per ekor setiap harinya.

2.1.6 Perlindungan/Cover

Cover merupakan salah satu komponen habitat yang mampu memberikan perlindungan dari cuaca, predator dan musuh lainnya (Bolen dan Robinson 2003). Coverdigunakan sebagai tempat untuk melarikan diri dari predator, berlindung daripanas, hujan, angin, ataupun kehilangan panas tubuh pada malam hari.Bagi beberapa jenis satwa, cover yang baik juga sekaligus sebagai sarana pendukung bagi berlangsungnya proses berkembang biak (Alikodra 2010).

2.1.7 Angka Kelahiran

Santosa (1996) menyebutkan bahwa tingkat kelahiran adalah suatu perbandingan antara jumlah total kelahiran dan jumlah total induk (potensial induk bereproduksi) yang terlihat pada akhir periode kelahiran, sedangkan menurut Alikodra (2010) natalitas atau angka kelahiran adalah jumlah individu baru per unit perwaktu per unit populasi. Monyet ekor panjang termasuk dalam a birth flow model yaitu golongan yang dapat menghasilkan individu-individu baru dengan kecepatan yang tetap sepanjang tahun.

Angka kelahiran kasar merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan terhadap jumlah induk dewasa. Angka kelahiran spesifik merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan pada kelas umur tertentu selama satu periode waktu dengan jumlah induk pada kelas umur tertentu. Menurut Priyono (1998), laju natalitas spesifik monyet ekor panjang di alam tidak dapat dihitung secara tepat karena :

1) Umur setiap individu monyet ekor panjang di alam tidak dapat ditentukan secara pasti,

2) Pengelompokan umur setiap individu didasarkan atas ciri-ciri kualitatif dan 3) Selang waktu antar kelas umur tidak sama.

Adanya keterbatasan tersebut maka pendugaan laju natalitas didasarkan pada hasil pengamatan terhadap kelompok monyet ekor panjang yang memiliki komposisi umur yang lengkap yaitu bayi, anak, muda dan dewasa. Pendekatan yang dilakukan dalam pendugaan laju natalitas adalah dengan menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut :

1) Anggota populasi pada kelas umur bayi merupakan jumlah kelahiran kumulatif selama 1,5 tahun,

2) Laju kematian pada setiap kelas umur adalah konstan,

(22)

7

2.1.8 Angka Kematian

Angka kematian atau mortalitas akan membentuk keseimbangan di dalam suatu populasi satwa liar di alam.Angka kematian merupakan jumlah individu yang mati dalam suatu populasi. Mortalitas dinyatakan dalam laju kematian kasar, yaitu perbandingan antara jumlah kematian dengan jumlah total populasi selama satu periode waktu; dan laju kematian spesifik yang merupakan perbandingan antara jumlah individu yang mati dari kelas umur tertentu dengan jumlah individu yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama periode waktu (Alikodra 2002). Menurut Santosa (1996) angka kematian adalah suatu perbandingan antara jumlah total individu yang mati dengan jumlah total individu.

Kematian satwaliar dapat disebabkan karena berbagai faktor yaitu :

1) Kematian yang disebabkan oleh keadaan alam, seperti penyakit, pemangsaan, kebakaran dan kelaparan,

2) Kematian yang disebabkan karena kecelakaan, seperti tenggelam, tertimbun tanah longsor atau tertimpa batu, dan kecelakaan yang menyebabkan terjadinya infeksi sehingga mengalami kematian,

3) Kematian yang disebabkan karena adanya perkelahian dengan jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan, dan air serta persaingan untuk menguasai kawasan,

4) Kematian yang disebabkan karena aktifitas manusia, seperti perusakan habitat, pemburuan, mati karena kecelakaan, terperangkap dan sebagainya (Alikodra 1990).

2.1.9 Seks rasio

Seks rasio adalah perbandingan jumlah jantan dengan betina dalam satu populasi (Alikodra 1990). Pendapat lain tentang perbandingan komposisi kelamin (seks rasio) adalah perbandingan antara jumlah individu jantan dengan jumlah individu betina dari suatu populasi. Perbandingan komposisi kelamin akan turut menentukan natalitas atau angka kelahiran.Tabel1di bawah ini menunjukkan rentang perbedaan seks rasio monyet ekor panjang di beberapa tempat yang berbeda.

Tabel 1 Seks rasio monyet ekor panjang di beberapa lokasi

No Sumber Lokasi Rasio Jantan : Betina

1. Mukhtar (1982) TW & CA Pangandaran 1 : 2,30

2. Priyono (1998) Musi Hutan Persada 1 : 1,80

3. Supartono (2001) HPHTI RAPP, Riau -

4. Suryantoro (2002) SM.Muara Angke 1 : 1,09

5. Fadilah (2003) Pulau Tinjil 1 : 1,09

6. Pamungkas (2001) SM.Gunung Pasemah 1 : 0,26

7. Widiyanti (2001) Ds.Nyemani KP,DIY 1 : 1,20

(23)

8

3

METODE PENELITIAN

3.1Lokasi dan Waktu

Penelitian tentang Macaca fascicularisinidilaksanakan selama 1 bulan selama bulan Desember 2012. Pengamatan dilakukan secara langsung di Pulau Peucang dimana biasa dapat ditemui dan diamati beberapa kelompok monyet ekor panjang secara langsung.

3.2Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Alat tulis, jam tangan, kamera digital, kompas, hand-counter, label, peta kawasan, pita meter, plastik sampel, tali plastik/rafia, tally sheet, teropong binokuler, GPS dan perangkat lunak pengolah data statistik.

3.3Jenis Data yang Dikumpulkan

Jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. 3.3.1 Data primer

Data primer terdiri dari :

1. Parameter Demografi, meliputi ukuran populasi, kepadatan populasi, jumlah populasi berdasarkan struktur umur, jenis kelamin, seks rasio, angka kelahiran dan angka kematian.

2. Pencatatan perjumpaan individu M. fascicularisdi setiap lokasi pengamatan

3. Komposisi jenis vegetasi di setiap lokasi pengamatantemuan dengan M. fascicularis

4. Jumlah dan jenis tanaman sumber pakan M. fascicularis

3.3.2 Data sekunder

Data sekunderterdiri dari :

1. Data demografi populasi M. fascicularisdi beberapa tempat lain seperti SM. Paliyan Yogyakarta, Hutan Pendidikan Gunung Walat, Cagar Alam Pananjung Pangandaran dan HTI PT. MHP Sumatera Selatan.

2. Peta penutupan vegetasi TNUK.

(24)

9

3.4Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Metode Pengumpulan Data primer

Pengumpulan data primer adalahsebagai berikut :

1. Data Parameter Demografi berdasarkan pencatatan dan penghitungan setiap perjumpaan dengan kelompok-kelompok M. fascicularis, diambil melalui pengamatan langsung dengan menggunakan metode titik konsentrasi di 4 (empat) lokasi pengamatan yang diyakini merupakan tempat-tempat berkumpulnya kelompok-kelompok M. fascicularis. Pengambilan data dilakukan pada pagi dan sore hari dengan masing-masing 3 kali ulangan.

Pencatatan data M. fascicularisselama pengamatan adalah meliputi : - pencatatan data penelitian M. fascicularis didasarkan pada

pengelompokan kelas umur yang dapat diidentifikasi.

- kelas umur monyet ekor panjang dapat diidentifikasi secara kualitatif, dimana menurut Napier dan Napier (1967) pengelompokkan struktur umur dibagi dalam kelas umur bayi ( 0 - 1,5 th), anak (2- 4 th), muda (5-9 th) dan dewasa (10– 21th )

- jumlah kelompok monyet ekor panjang yang dapat diidentifikasi, - pencatatanjumlah individu dengan pemisahan berdasarkan jenis

kelamin,

- pencatatan total jumlah individu monyet ekor panjang,

2. Data komposisi jenis vegetasi lokasi pengamatan dan jumlah sumber pakan M. fascicularisdilakukan dengan melakukan analisis vegetasi di tempat ditemukannya kelompok-kelompok M. fascicularis.

- Pengumpulan data juga dilaksanakan dengan pengamatan langsung dan pencatatan data jenis tumbuhan sumber pakan dan bagian tumbuhan yang dimakan seperti bagian daun, bunga, buah, dll.Pengumpulan data kondisi biotik atau analisis vegetasi dilaksanakan dengan menggunakan petak contoh berbentuk jalur (Kartono2000). Jumlah petak ukur adalah 12 buah di habitat ditemukannya kelompok monyet ekor panjang dengan arah jalur Utara

–Selatan, antara laindi ekosistem hutan primer, pantai, ekoton dan padang penggembalaan.

Data yang dikumpulkan, meliputi : a. Tingkat Pohon

Jenis, jumlah, diameter tingkat pohon, yaitu pohon-pohon yang memiliki diameter setinggi dada (dbh) ± 130 cm dari permukaan tanah atau 20 cm di atas banir > 20 cm.

b. Tingkat Tiang

(25)

10

c. Tingkat Pancang

Jenis dan jumlah tingkat pancang, yaitu anakan pohon dengan tinggi lebih dari 1,5 meter dengan diameter setinggi dada < 10 cm.

d. Tingkat Semai

Jenis dan jumlah tumbuhan semai, adalah anakan dengan tinggi <1,5 m.

D

20 M c

b

a Arah jalur

a

b

20 M c d

Gambar 1. Bentuk jalur pengamatan vegetasi Keterangan :

a = Petak pengamatan tingkat semai, ukuran 2 m x 2 m b = Petak pengamatan tingkat pancang, ukuran 5 m x5 m c = Petak pengamatan tingkat tiang, ukuran 10 m x10 m d = Petak pengamatan tingkat pohon, ukuran 20 m x 20 m 3.4.2 Metode Pengumpulan Data Sekunder

1. Data angka kelahiran dan kematian maupun fekunditas diperoleh melalui kajian literatur, telaah skripsi, thesis dan jurnal penelitian M. fascicularisyang telah dilakukan di berbagai tempat lainnya seperti di SM. Paliyan, Yogyakarta, PT. MHP Sumsel dan Hutan Pendidikan Gunung Walat.

2. Peta situasi kawasan TNUK.

3.5Metode Analisis Data

3.5.1 Pendugaan Parameter Demografi

Pendugaan Parameter Demografi populasi M. fascicularisdihitung dengan rumus-rumus sebagai berikut :

a. Ukuran populasi adalah jumlah hasil pencatatan terbanyak/tertinggi dari keseluruhan pengamatan.

(26)

11

Keterangan :

D = Kepadatan per luasan areal, P = Populasi,

A = Luas area 3.5.2 Seks rasio

Seks rasio diperoleh dengan menghitung jumlah jantan dan betina (Santosa dan Sitorus, 2008). Seks Rasio dihitung dengan rumus berikut ini:

Keterangan : S = Seks Rasio

Y = Jumlah Individu Jantan, X = Jumlah Individu Betina 3.5.3 Angka kelahiran

Angka kelahiran diperoleh dengan menghitung jumlah individu baru atau jumlah anak secara keseluruhan dan dibandingkan dengan jumlah total betina dewasa (Santosa dan Sitorus, 2008). Persamaan yang digunakan :

Keterangan :

b = angka kelahiran kasar B = jumlah individu bayi,

N = Jumlah seluruh individu betina produktif 3.5.4 Angka kematian

Angka kematian dapat diketahui dengan mencari selisih dari 1 – α (pelung hidup), sedangkan pada kondisi ideal ketersediaan data maka menurut Santosa dan Sitorus (2008) persamaan yang digunakan untuk menghitung angka kematian adalah :

Keterangan :

d = angka kematian kasar

(27)

12

3.5.5 Struktur umur

Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi.Struktur umur diperoleh dengan menghitung dan mengelompokan jumlah jantan dewasa, betina dewasa, jantan muda, betina muda, anak dan bayi (Santosa dan Sitorus, 2008).Pada penelitian M. fascicularis ini pembagian kelas umur yang dapat diidentifikasi adalah pembagian kelas umur monyet ekor panjang berdasarkan Napier dan Napier (1967) yang terdiri dari Bayi, Anak, Remaja Jantan dan Remaja Betina serta Dewasa Jantan dan Dewasa Betina.

3.5.6 Model Pertumbuhan Terpaut Umur

Model pertumbuhan populasi terpaut umur hanya menggunakan atau mempertimbangkan data dari populasi betina.Data populasiM. fascicularis

di Pulau Peucang sebagai penelitian awal yang baru dilaksanakan, maka terdapat keterbatasan data series awal. Inilah yang menjadi alasan penggunaan model ini karena hanya mensyaratkan tersedianya data peluang hidup dan fekunditas. Persamaan yang digunakan adalah bentuk Matriks Leslie sebagai berikut :

M Nt Nt+1

g(0) g(1) g(2) g(3) N(0) N(0)

a(0) 0 0 0 N(1) N(1)

0 a(1) 0 0 N(2)= N(2)

0 0 a(2) 0 N(3) N(3)

Gambar 2.Model matriks dasar persamaan Leslie Keterangan :

M =matrik persamaan Leslie

N(0,1,2, ..) =ukuran populasi betina pada KU 1,2,.. Nt =ukuran populasi betina pada tahun ke-t Nt+1 =ukuran populasi betina pada tahun ke-t+1 g(0,1,2, ..) =fekunditas populasi betina pada KU 1,2,.. a(0,1,2, ..) =peluang hidup populasi betina pada KU 1,2,..

(28)

13

4

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Pengelolaan Kawasan TNUK

Perjalanan pengelolaan kawasan Ujung Kulon dimulai sejak tahun 1921.Kawasan semenanjung Ujung Kulon dan Pulau Panaitan telah ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Kawasan Suaka Alam melalui Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda Nomor :60 Tanggal 16November 1921. Selanjutnya pada tahun1937,Pemerintah Hindia Belanda dengan keputusan Nomor : 17 Tanggal 24 Juni 1937 mengubah status kawasan SuakaAlam tersebut menjadi kawasan Suaka Margasatwa dengan memasukkan Pulau Peucang dan Pulau Panaitan. Pada tahun 1958, berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor : 48/Um/1958 Tanggal17 April1958 kawasan Ujung Kulon berubah status kembali menjadi kawasan Suaka Alam dengan memasukkan kawasan perairan laut selebar 500 meter dari batas air laut surut terendah.

Kawasan Ujung Kulon pertama kali diresmikan menjadi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) pada tanggal 6 Maret 1980 dengan luas 78.619 Ha, bersama-sama dengan 4 Taman Nasional (TN) lainnya yaitu TN. Leuser, TN Gunung Gede Pangrango, TN. Baluran dan TN. Komodo melalui pernyataan Menteri Pertanian RI. Kawasan Ujung Kulon ini terakhir ditunjuk menjadi Taman Nasional berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari 1992 tentang Perubahan Fungsi Cagar Alam Gunung Honje, Cagar Alam Pulau Panaitan, Cagar Alam Pulau Peucang, dan Cagar alam Ujung Kulon dengan total luas kawasan adalah 122.956 Ha.

4.2 Letak dan Luas

Ujung Kulon merupakan kawasan konservasi yang terdiri dari kawasan daratan dan kawasan perairan laut. Terletak di semenanjung bagian paling barat dari Pulau Jawa, secara geografis terletak pada 06°30’43” - 06°52’17” LSdan

105°02’32” - 105°37’37” BT. Berdasarkan administrasi pemerintahan, kawasan tersebut terletak di wilayah Kecamatan Cimanggu dan Kecamatan Sumur Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten.

(29)

14

Gambar 3Peta situasi Pulau Peucang, Taman Nasional Ujung Kulon (inzet semenanjung Ujung Kulon sebagai kawasan TNUK)

4.3 Kondisi Fisik 4.3.1 Iklim

Berdasarkan peta tipe hujan Jawa dan Madura yang berpatokan pada pembagian iklim Schmidt dan Fergusson, sebagian besar kawasan Taman Nasional Ujung Kulon termasuk dalam tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata pertahun 3.249 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember yang mencapai lebih dari 400 mm. Suhu udara rata-rata harian berkisar 26,2 – 28,7°C dan kelembaban udara berkisar 75% - 91% serta intensitas radiasi surya 0,621-0,669 cl/cm2/ml.

Bulan basah umumnya terjadi pada Oktober – April pada saat terjadinya musim angin barat, yaitu angin yang bertiup dari arah barat daya dengan kecepatan tinggi. Kondisi angin kencang ini seringkali menimbulkan badai yang menyebabkan pohon-pohon tumbang dan menyulitkan perjalanan kapal menuju lokasi-lokasi terutama Pulau Peucang dan Pulau Panaitan karena ombak yang besar. Sementara itukondisi bulan kering terjadi antara bulan Mei – September yang bersamaan dengan terjadinya musim angin timur yang bertiup dari arah Timur/Selatan.

4.3.2 Suhu dan Kelembaban

Kondisi suhu dan kelembaban di Pulau Peucang dan sekitarnya memiliki kekhasan dan iklim mikro disebabkan kondisi hutan yang masih utuh dan jauh dari gangguan aktivitas. Kisaran suhu berada pada 22,5 – 29,2 derajat Celcius, sedangkan kondisi kelembaban adalah 25 – 95 persen. Kelembaban terendah terjadi pada padang penggembalaan, sedangkan yang tertinggi terjadi blok berhutan atau bervegetasi rapat.

(30)

15

4.3.3 Wilayah dan Topografi

Wilayah pengelolaan TNUK sangat luas yang terdiri dari daratan dan perairan laut. Untuk memudahkan pengelolaan kawasan, maka seluruh luas kawasan tersebut dibagi ke dalam tiga wilayah pengelolaan dalam bentuk Seksi Pengelolaan, yaitu :

a. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Panaitan, yang berkedudukan di Pulau Panaitan, tepatnya di daerah Legon Butun.

b. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II PulauHandeuleum, yang berkedudukan di Pulau Handeuleum.

c. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Sumur, yang berkedudukan di Kecamatan Sumur, tepatnya di daerah Cibayoni.

Kawasan TNUK bagian Timur didominasi oleh deretan Pegunungan Honje dengan puncak tertinggi 620 m dpl. Di bagian barat dipisahkan oleh dataran rendah tanah genting yang merupakan Semenanjung Ujung Kulon dan membentuk daratan utama TNUK.

Semenanjung Ujung Kulon mempunyai topografi yang datar sepanjang pantai utara dan timur, bergunung dan berbukit-bukit di sekitar gunung payung dan pantai bagian barat daya dan selatan dengan puncak tertinggi gunung payung 480 m dpl. Sebagian juga merupakan dataran rendah dan berawa-rawa, yaitu di daerah jamang yang ditumbuhi bakau (TNUK 1996).

4.3.4 Hidrologi

Pola aliran sungai yang terdapat di Semenanjung Ujung Kulon berbeda-beda, yakni pada daerah berbukit di bagian barat banyak sungai kecil dengan arus yang umumnya deras berasal dari Gunung Payung dan Gunung Cikuya dimana sungai-sungai tersebut tidak pernah kering sepanjang tahun. Sungai Cikuya dan Ciujung Kulon mengalirkan airnya ke arah utara, sedangkan sungai Cibunar mengalir kearah Selatan dari Gunung Payung dan dataran Telanca.

Di wilayah bagian timur Semenanjung Ujung Kulon tidak memiliki aliran sungai yang baik dan pada umumnya mengalir ke arah utara, timur dan selatan dari dataran Telanca dengan muara-muara yang mengandung endapan pasir sehingga membentuk rawa-rawa musiman. Pada bagian ini terdapat sungai Cigenter, Sungai Cikarang, Sungai Citadahan, Sungai Cibandawoh dan Sungai Cikeusik.

(31)

16

4.4 Kondisi Biologi 4.4.1 Ekosistem

Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon mempunyai ekosistem yang unik, terdiri dari tiga tipe ekosistem yaitu:

Ekosistem Dataran/Teresterial terdiri dari hutan hujan tropika dataran tinggi dan rendah yang terdapat di Gunung Honje, Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.

Ekosistem Perairan Laut terdiri dari habitat terumbu karang dan padang lamun luas yang terdapat di wilayah perairan Semenanjung Ujung Kulon, Pulau Handeuleum, Pulau Peucang dan Pulau Panaitan.

Ekosistem Pesisir Pantai terdiri dari hutan pantai dan hutan mangrove yang terdapat di sepanjang pesisir pantai dan daerah hutan mangrove di Bagian Timur Laut Semenanjung Ujung Kulondan pulau-pulau sekitarnya.

Ketiga ekosistem tersebut mempunyai hubungan saling ketergantungan satu sama lain dan membentuk suatu dinamika proses ekologi yang sangat kompleks di dalamkawasan secara simultan.

4.4.2 Kekayaan Spesies dan Program Pengelolaan

Kondisi vegetasi di kawasan TNUK telah membentuk berbagai formasi hutan, dimana formasi hutan ini dicirikan adanya dominasi oleh spesies tertentu. Berdasarkan hasil survey para ahli, sampai saat ini diketahui potensi flora dan fauna yang tersebar dalam tipe-tipe vegetasi sebagai berikut:

a. Hutan Pantai, dengan formasi hutan pantai yang lengkap terdiri dari formasi

pescaprae dapat dijumpai Ipomoea pescaprae (katang-katang), Spinifex littoreus (jukut kiara), Pandanus tectorius (pandan) dan formasi Barringtonia

ditandai oleh butun (Barringtonia asiatica) danapi-api (Avicena spp.).

b. Hutan Mangrove, jenis-jenis yang umum terdapat adalah padi-padi (Lumnitzera racemosa) dan api-api (Avicena spp.).

c. Hutan Rawa Air Tawar, dicirikan dengan jenis-jenis typha (Thypa angustifolia) danteki (Cyperus spp.)

d. Hutan Hujan Tropis Dataran Rendah, ditandai dengan banyaknya palma. e. Padang Rumput

(32)

17

Tabel 2 Kekayaan flora dan fauna di TNUK dan perbandingan persentse dengan kekayaan spesies di Pulau Jawa

Jenis potensi Jumlah Jenis Persentase

(%) Keterangan merupakan jenis satwa langka adalah badak jawa (R. Sondaicus Desmarest, 1822), banteng (Bos sondaicus), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata

Desmarest, 1822) dan anjing hutan (Cuon alpinus javanicus).

Selain owa dan surili terdapat juga tiga jenis primata lainnya yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di habitat Pulau Peucang, lutung (Presbytis cristata) dan kukang (Nycticebus coucang).Semenanjung Ujung Kulon pada saat ini merupakan habitat terpenting dari badak jawa. Selain itu, terdapat pula sekitar 30 jenis mamalia yang terdiri dari mamalia ungulata seperti badak (Rhinoceros sondaicus), banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis), kancil (Tragulus javanicus), muncak (Muntiacus muntjak) dan babi hutan (Sus verrucossus); jenis mamalia predator seperti macan tutul (Panthera pardus), anjing hutan (Cuon alpinus javanicus) dan kucing hutan (Felis sp.); jenis mamalia kecil seperti walang kopo (Cynocephallus variegatus), landak (Hystrix brachyura), bajing tanah (Tupaia glis), kalong (Pteropus vampyrus), berang-berang, tikus, trenggiling (Manis javanica)dan jelarang (Ratufa bicolor).

ProgramPengelolaan dengan berdasarkan visi dan misi serta sumberdaya yang dimiliki, maka pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam lima program pengelolaan, yaitu :

a. Pengelolaan Badak Jawa Terpadu b. Pengelolaan Primata

(33)

18

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1Parameter Demografi Populasi M. fascicularis di Pulau Peucang

5.1.1 Ukuran Kelompok

Ukuran kelompok M. fascicularisdi Pulau Peucang bervariasi dengan jumlah individu dalam kelompok berkisar antara 9 – 42 ekor seperti disajikan dalam Tabel 3. Kelompok IV yang memiliki jumlah individu terbanyak (42 ekor) diduga kelompok ini berada pada lokasi dengan ketersediaan sumberdaya cukup besar sehingga dapat berkembang (Surya2010). Berdasarkan pengamatan, kelompok ini mempunyai sumber makanan yang relatif melimpah dibandingkan dengan kelompok lainnya, sehingga kelompok dan jumlah anggota kelompoknya dapat berkembang dengan lebih baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Iskandar (1996) yang menyatakan bahwa pembentukan kelompok M. fascicularis dipengaruhi berbagai faktor diantaranya tersedianya sumber pakan.

Kondisi berbeda terjadi pada Kelompok I yang berjumlah paling sedikit (9 ekor), diduga kelompok tersebut memisahkan diri dari kelompok besar atau berdasarkan pada beberapa penelitian dan tulisan yang menyatakan bahwa di dalam hutan primer kelompok M. fascicularis biasanya berjumlah ± 10 ekor (Lindburg 1980). Hasil selengkapnya data kelompok M. fascicularis berdasarkan jumlah anggota kelompok dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah M. fascicularis berdasarkankelompok dan kelas umur

No. Lokasi

Keterangan : By:Bayi, RJ : Remaja Jantan, RB : Remaja Betina Ank : Anak DJ : Dewasa Jantan, DB : Dewasa Betina

(34)

19

satwa seperti pakan, pelindung, air dan ruang. Pada ukuran kelompok M. fascicularis yang besar diduga komponen pakan, pelindung, air dan ruang dapat terpenuhi.

Ukuran kelompok M. nemestrina dan M. fascicularis biasanya hidup dalam kelompok besar dengan 15-40 individu atau rata-rata 23 individu (Caldecott 1983; Robertson 1986 dalam Yanuaret al. 2009). Crockett and Wilson (1980) dalam Yanuar et al. (2009) yang meneliti ekologi dan kelimpahan M. fascicularis dan M. nemestrina pada beberapa tipe habitat di Sumatera, menemukan bahwa kepadatan ukuran kelompok tertinggi M. fascicularis terjadi pada hutan mangrove dan bakau. Habitat berikutnya yang disukai oleh M.fascicularis adalah hutan sekunder dipterokarpa dan hutan mangrove campuran serta kawasan riparian dari hutan dataran rendah.

Pada hutan primer kelompok M. fascicularis adalah sekitar 10 ekor, di hutan mangrove sekitar 15 ekor, dan lebih dari 40 ekor di hutan yang telah terjamah (Lindburg1980). Yanuaret al. (2009) menemukan bahwa di Taman Nasional Kerinci Seblat jumlah individu dalam kelompok M. fascicularis rata-rata adalah 9,6 ekor.

Surya (2010) meneliti bahwa ukuran kelompok M. fascicularis tertinggi ditemukan di kebun campur, sedangkan ukuran kelompok terendah ditemukan di hutan primer. Di kebun campur pakan tersedia sepanjang tahun dan hampir semua bagian tumbuhan dapat menjadi sumber pakan. Menurut Bismark (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi ukuran kelompok adalah kelahiran, kematian, emigrasi, imigrasi, cara menghadapi kelompok lain dan cara menghadapi pembentukan kelompok.

Ukuran kelompok terbesar yang pernah diteliti adalah di Pulau Tinjil yaitu 384 individu (Santoso et al. 1989 dalam Santosa 1996) dan di lokasi lain adalah 100 individu yang diteliti oleh Lekagul dan Mc Neely (1977). Rata-rata ukuran kelompok M. fascicularis di Taman Nasional Kerinci Seblat adalah 9,6 individu (Yanuar et al. 2009), dimana ukuran kelompok sedikit lebih besar pada hutan dipterocarpa dibandingkan dengan hutan dataran rendah yakni 9,0 individu.

Ukuran kelompok dan penyebarannya mungkin juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan seperti penyebaran dan ketersediaan pakan, lokasi tidur dan tekanan predator (Santosa 1996). Kondisi predator di Pulau Peucang tidak pernah dilaporkan sebagai ancaman, sehingga ukuran kelompok di lokasi ini sangat mungkin ditentukan oleh ketersediaan makanan dan lokasi tidur kelompok

M. fascicularis.

Primata seperti M.fascicularis ini disamping dapat hidup di habitat aslinya juga dapat hidup di habitat lain, dimana menurut Napier (1970) M.fascicularis

adalah salah satu spesies yang dapat beradaptasi dengan keadaan lingkungan dan iklim yang berbeda. M. fascicularis banyak dijumpai di habitat-habitat yang terganggu, khususnya di wilayah tepi sungai, tepi danau dan sepanjang pantai (riparian) dan bahkan di hutan sekunder areal perladangan. Tidak jarang pula dapat ditemui di rawa mangrove sebagai satu-satunya spesies dari primata.

(35)

20

habitat populasi tertutup ini akan relatif lebih mudah dalam pelaksanaan pengelolaan dan pengawasannya habitatnya, termasuk faktor monitoring gangguan maupun upaya-upaya modifikasi dalam pengelolaan habitat.

5.1.2 Ukuran dan Kepadatan Populasi

Ukuran populasi pada hasil penelitian ini merupakan akumulasi dari data yang diambil dari lokasi pengamatan beberapa kelompok M. fascicularis. Ukuran populasi total M. fascicularis dalam penelitian di Pulau Peucang ini adalah 82 ekor. Dikelompokkan kedalam struktur kelompok umur yang terdiri dari struktur umur bayi, anak, remaja jantan, remaja betina, dewasa jantan dan dewasa betina (Tabel 3). Ukuran populasi M. fascicularis di Pulau Peucang tersebut berada pada kisaran populasi sedang bila dibandingkan dengan ukuran total populasi di populasi Gunung Walat sejumlah total 108 ekor (Andoko 2012) atau di kelompok

M. fascicularis di Cagar Alam Pangandaran 16 – 44 individu per kelompok (Hendratmoko 2009). Ukuran populasi M. fascicularis di Penang Botanical Gardens adalah 164 individu (Karimullah dan Anuar 2011).

Luas Pulau Peucang adalah ± 450 Ha. Kepadatan populasi M. fascicularis

pada penelitian di Pulau Peucang ini secara keseluruhan adalah 0,18 individu/ha, hal ini diduga berhubungan dengan tipe habitat Pulau Peucang yang merupakan hutan primer, dimana tipe hutan ini biasanya memiliki ukuran kelompok relatif kecil (Surya 2010). Kondisi tersebut berbeda dengan kepadatan M. fascicularis di Gn. Walat yang sedikit lebih besar yaitu 0,3 individu/Ha (Andoko 2010) dan di kawasan konservasi HTI PT. Musi Hutan Persada sebesar 0,8 individu/Ha (Priyono 1998).Kepadatan populasi relatif paling tinggi ditemukan terjadi pada Stasiun Penangkaran semi alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang yakni 1,09 individu/Ha (Fadilah 2003).

M. fascicularis di Krau Game Reserve mempunyai kepadatan tertinggi pada kawasan hutan riparian, selanjutnya kepadatan berkurang pada hutan dataran rendah dan ekosistem hutan yang terganggu (Chivers dan Davies 1978 dalam Yanuar et al. 2009). Marsh dan Wilson (1981) dalam Yanuar et al. (2009) juga menemukan bahwa kepadatan tertinggi kelompok M. fascicularis terjadi di Peninsular Malaysia yaitu pada hutan rawa air tawar.

Kepadatan yang tinggi pada kelompok M. fascicularis diduga karena tersedianya kebutuhan pakan bagi berkembangbiaknya satwa primata ini secara optimal untuk mendapatkan makanan, air, dan cover (Djuwantoko 1986). Besarnya ukuran kelompok dan kepadatan M. fascicularis diduga karena terpenuhinya komponen pakan, pelindung, air dan ruang jelajah serta minimnya kehadiran predator yang akan menyebabkan terjadinya pengurangan ukuran kelompok secara drastis.

(36)

21

pakan bisa menjadi faktor pembatas dalam dua hal yaitu kurangnya jumlah pakan dan rendahnya kualitas pakan (Bolen dan Robinson 2003).

Jumlah jenis tumbuhan pakan M. fascicularis di Pulau Peucang diperoleh berdasarkan hasil analisis vegetasi dan pengamatan di lapangan. Ditemukan 35 jenis tumbuhan sebagai sumber pakan, antara lain ketapang (Terminalia catappa) pandan (Pandanus sp.), bayur (Langerstomia sp.), jambu-jambuan (Eugenia sp.). Bagian tumbuhan yang dimanfaatkan atau dimakan adalah bagian daun, bunga, dan buah, dll. M. fascicularis merupakan satwa frugivorus atau pemakan buah karena besarnya persentase bagian buah yang dipilih sebagai sumber pakan (Gambar 4). Jenis pakan lainnya adalah serangga, bunga rumput, tanah, jamur, mollusca, crutaceae, akar, biji dan telur burung (Lindburg 1980).

Gambar 4 Contoh sisa bekas makanan M. fascicularis

5.1.3 Struktur Umur

Struktur umur dapat digunakan untuk menilai prospek perkembangan kelestarian suatu populasi, sehingga dapat diperkirakan atau dinilai keberhasilan suatu perkembangan satwa liar. Pada penelitian ini dapat diidentifikasi struktur umur M. fascicularis yang cukup lengkap yakni terdiri dari struktur umur bayi, anak, remaja jantan dan betina serta dewasa jantan dan betina (Napier and Napier 1967).

(37)

22

Series1, Bayi, 8.50%

Series1, Anak , 22.00%

Series1, Rem aja, 29.30%

Series1, Dew asa, 40.20%

Bayi

Anak

Remaja

Dewasa

Persentase berdasarkan 4 kelompok umur pada Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah struktur anak dan remaja yang potensial untuk perkembangan populasi mencapai 42 individu (51,3%). Berdasarkan hasil penelitian Surya (2010) terhadap kelompok-kelompok M. fascicularis yang ditemukan di tiap tipe habitat hampir semuanya menunjukkan bahwa komposisi tertinggi terdapat pada struktur umur muda dan komposisi terendah ada pada struktur bayi.

Tabel 4. Persentase M. fascicularis berdasarkan struktur umur di Pulau Peucang

No. Lokasi Jumlah M. fascicularis Jumlah

Bayi Anak Remaja Dewasa

1 2 3 4 5 6 7

1. Kel. I 0 1 4 4 9

2. Kel. II 1 4 4 10 19

3. Kel. III 2 2 3 5 12

4. Kel. IV 4 11 13 14 42

Total Jumlah 7 (8,5%) 18 (22%) 24 29,3%) 33(40,2%) 82(100%)

Selanjutnya pada Gambar 5 ditunjukkan dalam persentase, penyusun struktur populasi M. fascicularis di Pulau Peucang yang dibedakan berdasarkan pada kelas umur Bayi, Anak, Remaja dan Dewasa, dimana terjadi penumpukan jumlah individu dengan jumlah terbanyak adalah pada kelas umur dewasa yang pada dasarnya memang memiliki selang kelas umur paling lebardewasa (umur 9 – 21 th). Kondisi tersebut akan berpengaruh pada prospek kelestarian monyet ekor panjang di P. Peucang karena akan menimbulkan gambaran struktur populasi yang menurun (Priyono 1998).

Gambar 5 Struktur populasi M. fascicularis di Pulau Peucang

(38)

23

dewasa betina 25%). Sedikit berbeda terjadi pada penangkaran semi alami Pulau Tinjil yaitu terjadi lebih banyak penumpukan jumlah individu pada kelas umur dewasa dibandingkan dengan yang terjadi di P. Peucang, dimana komposisi kelas umur terdiri dari anak 24,01%, muda 14,8% dan dewasa 61,18% (Fadilah 2003).

Pengelompokan umur setiap individu satwa di Indonesia umumnya didasarkan atas ciri-ciri kualitatif. Kelemahan dari pengelompokan secara kualitatif adalah adanya selang waktu antar kelas umur yang tidak sama dan akan terjadi akumulasi individu pada satu kelas umur yang selangnya terlebar yang selanjutnya akan menyebabkan timbulnya gambaran struktur populasi yang menurun (Priyono 1998).

Sebelumnya menurut Napier dan Napier (1967) dalam Surya (2010) pengelompokkan struktur umur dibagi dalam kelas umur bayi ( 0 – 1,5), anak (1,5

– 4), muda (4 -9) dan dewasa (9 - 21). Untuk mengatasi masalah dalam selang kelas umur M. fascicularisPulau Peucang yang tidak sama seperti tersebut diatas, maka dilakukan penyusunan struktur populasi dalam kelas umur yang sama dengan cara membagi ukuran populasi pada kelas umur tertentu dengan selang kelas umurnya.

Dilakukan penyesuaian berupa perubahan struktur umur baru dengan pengelompokkan yangdibagi dalam kelas umur bayi ( 0 – 1 th), anak (1 – 4 th), remaja (4–9 th) dan dewasa (9 – 21 th). Setelah membagi masing-masing ukuran populasi dengan lebar selang kelas umurnya, maka didapatkan selang kelas umur baru dengan masing-masing jumlah individunya sebagai berikut : bayi (0 - 1 th) sebanyak 7 individu, anak (1 - 4 th) sebanyak 6 individu, remaja (4 - 9 th) sebanyak 5 individu dan dewasa(9 - 21 th) sebanyak 3 individu. Dengan pengelompokan kelas umur baru ini akan diperoleh gambaran struktur umur yang meningkat dimana jumlah individu kelas umur bayi lebih tinggi daripada kelas umur lainnya(progressive populations), Bila digambarkan dalam bentuk grafik, maka dapat ditampilkan seperti dalam Gambar 6.

3 individu

Gambar

Tabel 1  Seks rasio monyet ekor panjang di beberapa lokasi
Gambar 1. Bentuk jalur pengamatan vegetasi
Gambar 3Peta situasi Pulau Peucang, Taman Nasional Ujung Kulon
Tabel 2 Kekayaan flora dan fauna di TNUK dan perbandingan persentse dengan kekayaan spesies di Pulau Jawa
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini mengungkapkan struktur populasi, keragaman fenotipe kualitatif, dan keragaman genetik populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur (sebagai

Penelitian ini mengungkapkan struktur populasi, keragaman fenotipe kualitatif, dan keragaman genetik populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur (sebagai

Penelitian ini perlu dilakukan untuk menganalisis persebaran kelompok, menghitung jumlah total individu, dan menganalisis bagaimana kondisi umum vegetasi di lokasi monyet ekor

Hubungan antar individu dalam kelompok Macaca fascicularis disebut dengan hubungan yang despotik (dominansi individu yang sangat asimetris), yang menandakan bahwa

Jumlah individu maupun kelompok yang ditemukan di Desa Pulau Jaya lebih kecil apabila dibandingkan dengan penelitian populasi monyet yang dilakukan di Desa Sungai

Hasil analisis regresi linier berganda dengan metode stepwise menunjukkan bahwa peubah yang berpengaruh paling dominan terhadap jumlah individu monyet ekor panjang

Struktur populasi monyet ekor panjang pada kawasan TWA Pangandaran adalah sebanyak 195 individu dengan komposisi 23 jantan dewasa, 57 betina dewasa, 19 jantan remaja, 16

Hasil analisis regresi linier berganda dengan metode stepwise menunjukkan bahwa peubah yang berpengaruh paling dominan terhadap jumlah individu monyet ekor panjang