• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENENTUAN KUOTA PANEN MONYET EKOR PANJANG DEMOGRAFI KUSMARDIASTUTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENENTUAN KUOTA PANEN MONYET EKOR PANJANG DEMOGRAFI KUSMARDIASTUTI"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN KUOTA PANEN MONYET EKOR PANJANG

Macaca fascisularis BERDASARKAN PARAMETER

DEMOGRAFI

KUSMARDIASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

PERNYATAAN

MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penentuan Kuota Panen Monyet Ekor Panjang Macaca fascicularis Berdasarkan Parameter Demografi adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

Kusmardiastuti NRP. E351080235

(3)

ABSTRACT

KUSMARDIASTUTI. Determining Harvesting Quota of Macaca fascicularis

Based on Demographic Parameters. Under the supervision of YANTO SANTOSA and AGUS PRIYONO KARTONO.

Longtailed macaque is one of animal which is listed as wildlife quotas. The increasing number of quota is worried would be threatened the wildlife preservation. Demographic parameters are important in wildlife management. Harvesting quota is determinted by demographic parameters. The objectives of research were to determine the number of sustainable the harvesting quota, to determine the demographic parameters that affect the quota, and to determine the influence of environmental factors on demographic parameters that affect the quota. The research was expected useful as consideration to determine the harvesting quota longtailed macaque in Indonesia. This research was conducted in November 2009-January 2010. By using equation Q = Nt-MVP, the research resulted in (1) the harvesting quota varied from each group and its average number was 2 offspring males, 3 offspring females, 2 juvenile males, 4 juvenile females, 4 young males, and 8 young females, (2) The dominant variable determine quota is fecundity, (3) fecundity and survival were not influenced by environmental factors.

(4)

RINGKASAN

KUSMARDIASTUTI. Penentuan Kuota Panen Monyet Ekor Panjang Macaca

fascicularis Berdasarkan Parameter Demografi. Dibimbing oleh YANTO

SANTOSA dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) merupakan salah satu satwa liar dalam daftar jenis kuota pengambilan tumbuhan alam dan penangkapan satwa liar. Peningkatan jumlah kuota yang terjadi dikhawatirkan akan mengancam kelestarian satwa ini. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan ukuran kuota panen monyet ekor panjang, mengidentifikasi peubah-peubah parameter demografi yang mempengaruhi kuota, dan mengidentifikasi pengaruh faktor lingkungan terhadap parameter demografi yang mempengaruhi kuota. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kuota panen monyet ekor panjang di suatu daerah.

Penelitian dilakukan di Suaka Margasatwa (SM) Paliyan yang merupakan kawasan karst dan Kaliurang yang merupakan hutan pegunungan. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Nopember 2009 hingga Januari 2010. Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur dan pengamatan di lapangan. Jenis data yang dikumpulkan meliputi kondisi bio fisik lokasi penelitian dan parameter demografi masing-masing kelompok monyet ekor panjang yang ditemui.

Parameter demografi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah natalitas kasar dan peluang hidup yang masing-masing terbagi dalam kelas umur bayi, anak, muda, dan dewasa dan pada jenis kelamin jantan dan betina. Analisis tumbuhan pakan dengan mencari nilai kerapatan. Pertumbuhan populasi tiap kelompok monyet ekor panjang dianalisis dengan matriks Leslie tidak terpaut kepadatan yang dimodifikasi. Metode untuk mengetahui nilai Minimum Viable

Population (MVP) dengan menggunakan persamaan aljabar yaitu merupakan

perpotongan dari nilai B=D dan Nt=N0. Nilai MVP merupakan ukuran kelestarian. Metode untuk mengetahui nilai kuota panen per kelompok yaitu dengan menggunakan rumus Q=Nt-MVP. Kuota panen ditentukan pada setiap kelas umur dan jenis kelamin. Metode untuk menganalisis peubah-peubah parameter demografi penentu kuota dan analisis pengaruh faktor lingkungan terhadap parameter demografi penentu kuota dilakukan dengan regresi linear.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat tiga kelompok monyet ekor panjang di SM Paliyan dan empat kelompok monyet ekor panjang di Kaliurang dengan karakteristik yang berbeda-beda. Hasil analisis parameter demografi menghasilkan nilai MVP yang berbeda-beda tergantung pada peluang hidup dan

fecundity masing-masing kelompok dengan jumlah terbesar 86 ekor dan terkecil

37 ekor. Nilai kuota panen yang merupakan selisih dari jumlah individu dengan MVP, berdasar penelitian baru dapat dilakukan pada tahun kedua kecuali untuk kelompok empat di hutan Kaliurang yang baru dapat dilakukan panen pada tahun ketiga. Kuota panen pada tahun kedua terbesar pada kelompok dua yaitu sebanyak 35 ekor dengan perincian ekor bayi jantan, 5 ekor bayi betina, 9 ekor muda jantan, dan 18 ekor muda betina, sedangkan kuota panen terkecil pada kelompok

(5)

satu di Kaliurang yaitu 2 ekor bayi jantan, 3 ekor bayi betina, 4 ekor muda jantan, dan 8 ekor muda betina.

Hasil analisis peubah-peubah parameter demografi yang menentukan kuota menunjukkan bahwa peluang hidup merupakan peubah parameter demografi yang dominan dalam menentukan ukuran kuota dengan nilai R2= 0.8174. Analisis sensitivitas terhadap peluang hidup menunjukkan bahwa dengan peningkatan dan penurunan sebesar 10%, ukuran kuota juga akan mengalami kenaikan dan penurunan ± 15%. Analisis pengaruh faktor lingkungan terhadap parameter demografi yang mempengaruhi kuota menunjukkan bahwa tidak ada satupun faktor lingkungan yang mempengaruhi peubah parameter demografi yang menentukan ukuran kuota.

Kata kunci : Fecundity, kuota panen, monyet ekor panjang, peluang hidup.

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(7)

PENENTUAN KUOTA PANEN MONYET EKOR

PANJANG Macaca fascicularis BERDASARKAN

PARAMETER DEMOGRAFI

KUSMARDIASTUTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(8)

Judul Tugas akhir : Penentuan Kuota Panen Monyet Ekor Panjang Macaca

fascicularis Berdasarkan Parameter Demografi

Nama : Kusmardiastuti

NRP : E351080235

Program Studi : Konservasi Keanekaragaman Hayati

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA. NIP. 119601004 198501 1 001

Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. NIP. 19660221 199103 1 001

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Konservasi Keanekaragaman Hayati

Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA

NIP. 19601004 198501 1 001

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. NIP. 19560404 198011 1 002

(9)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister profesi konservasi keanekaragaman hayati dari Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di SM Paliyan dan Kaliurang Yogyakarta.

Tesis berjudul “Penentuan Kuota Panen Monyet Ekor Panjang Macaca

fascicularis Berdasarkan Parameter Demografi” ini disusun berlandaskan atas

kepedulian terhadap kelestarian monyet ekor panjang yang pada beberapa tahun terakhir jumlah kuota tangkap semakin meningkat sedangkan ketersediaan di alam belum terdata secara tepat.

Dalam tesis ini diuraikan tentang parameter demografi monyet ekor panjang, komponen fisik dan biotik habitat seperti ketinggian, suhu dan kelembaban, jenis vegetasi pakan monyet ekor panjang, simulasi pertumbuhan populasi untuk 25 tahun ke depan, ukuran minimum kelestarian, dan jumlah kuota panen tiap tahun pada setiap kelas umur dan jenis kelamin.

Akhirnya, disadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan, kekeliruan dan kelemahan. Oleh karena itu diharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini. Semoga hasil penelitian yang dituangkan dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Agustus 2010

(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister profesi konservasi keanekaragaman hayati dari Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Suaka Margasatwa Paliyan dan Kaliurang Yogyakarta.

Pada kesempatan ini izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada: (1) Departemen Kehutanan, (2) Ir. Tri Prasetyo selaku Plh Kepala Balai KSDA Yogyakarta dan Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merapi, (3) Ir. Djohan Utama Perbatasari, MM selaku Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Yogyakarta, (4) Bapak/Ibu Staf Karyawan Balai KSDA Yogyakarta, Bapak/Ibu Staf Karyawan Balai Taman Nasional Gunung Merapi, Pimpinan serta seluruh karyawan PT Sumitono Insurance. Terima kasih pula kepada kawan-kawan seperjuangan mahasiswa S2 KKH angkatan ketiga : Rikha, Atun, Astri, Yulita, Desi, Lilly, Yaya, Nurrohmah, Maria, Chica, Ika, Titi, Sapto, Taqiudin, Purwadi, Yudhi, Yakup, Stephanus, Haris, Kuswandono, Allan, Bambang, Ginda, Pak Sofwan dan Bi Uum atas bantuannya.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya disampaikan kepada Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA selaku ketua Komisi, Dr. Ir. Agus P Kartono, MSi selaku anggota Komisi atas curahan pemikiran, waktu, kesabaran, saran dan arahan serta petunjuk yang diberikan selama pembimbingan sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Kepada Ir. Puspa Dewi Liman, MSc yang telah bersedia meluangkan waktu sebagai penguji luar komisi diucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

Akhirnya ucapan terimakasih secara khusus penulis sampaikan kepada suami tercinta Turiyanto dan anak-anakku tersayang Faqih Ilyasa Ats Tsaqafi dan Zaki Zaini Al atsari atas kasih dan dukungannya selama penulis menjalani studi, sehingga mengurangi hari-hari kebersamaan kita. Kepada Bapak tercinta Sadiman Budiraharjo dan Ibu serta kakak kakakku tersayang diucapkan terima kasih atas dukungan dan doanya yang diberikan.

Akhirnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dalam tesis ini, maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT sendiri yang memberi balasan berkah kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dan akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi banyak pihak.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 18 Maret 1975 di Ketanggungan, Kecamatan Wirobrajan, Kotamadya Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Merupakan anak kelima dari lima bersaudara pasangan Bapak dan Ibu Sadiman Budi Raharjo. Pada tahun 1988 menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN Tamansari I Yogyakarta, tahun 1991 menamatkan pendidikan di SMP Negeri 7 Yogyakarta. Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 8 Yogyakarta dan pada tahun yang sama penulis masuk di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada dan memilih Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, lulus pada tahun 1999.

Sejak tahun 2000 sampai 2003 penulis bekerja di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi dan pada tahun 2003 hingga sekarang penulis bekerja di Balai Konsevasi Sumber Daya Alam Yogyakarta sebagai pejabat fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Tahun 2008 penulis ditugaskan sebagai karyasiswa Departemen Kehutanan pada program Magister Profesi IPB pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan sub Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian tentang “Penentuan Kuota Panen Monyet Ekor Panjang

Macaca fascicularis Berdasarkan Parameter Demografi Studi Kasus : Suaka

Margasatwa Paliyan dan Kaliurang” yang dibimbing oleh Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA sebagai ketua dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, MSi sebagai anggota komisi pembimbing.

(12)
(13)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ... 1 1.2 Tujuan Penelitian ... 2 1.3 Manfaat Penelitian ... 3 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang ... 4

2.1.1 Taksonomi... ... 4

2.1.2 Morfologi dan Anatomi ... ... 4

2.1.3 Habitat... ... 5

2.1.4 Jenis Pakan dan Tingkah Laku Makan... ... 6

2.2 Parameter Demografi.. ... 7

2.2.1 Angka Kelahiran ... 7

2.2.2 Kematangan Seksual. ... 8

2.2.3 Laju Reproduksi ... ... 9

2.2.4 Masa Kehamilan (Gestation Period).... ... 9

2.2.5 Umur Maksimum Melahirkan dengan Laju Reproduksi Efektif.. ... 9

2.2.6 Jumlah Anak Perkelahiran.. ... 10

2.2.7 Angka Kematian ... ... 10

2.2.8 Struktur Umur.. ... 11

2.3 Minimum Viable Population ... 12

2.4 Pemanenan Lestari .. ... 13

2.5 Sejarah Kuota Panen Monyet Ekor Panjang di Indonesia ... 14

III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI 3.1 Suaka Margasatwa Paliyan ... 16

3.2 Hutan Wisata Kaliurang. ... 20

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

4.2 Alat dan Bahan ... 23

4.3 Pengumpulan Data ... 23

4.3.1 Parameter Demografi.. ... 23

(14)

xii

4.4 Analisis Data ... 25

4.4.1 Parameter Demografi.. ... 25

4.4.2 Kerapatan Tumbuhan Pakan. ... 26

4.4.3 Pertumbuhan Populasi... 26

4.4.4 Minimum Viable Population. ... 27

4.4.5 Nilai Kuota Panen... ... 29

4.4.6 Analisis Peubah Parameter Demografi Penentu Kuota.. ... 30

4.4.7 Analisis Sensitivitas Terhadap Peubah Dominan Penentu Kuota... ... 30

4.4.8 Analisis Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Parameter Demografi Penentu Kuota.. ... 30

V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Habitat ... 31

5.2 Faktor Lingkungan ... 32

5.2.1 Ketinggian Tempat dan Topografi ... 32

5.2.2 Kelembabab dan Suhu ... 33

5.2.3 Tumbuhan Pakan Monyet Ekor Panjang ... 34

5.3 Parameter Demografi ... 38

5.3.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok ... 38

5.3.2 Struktur Umur dan Seks Rasio ... 40

5.3.3. Natalitas dan Mortalitas ... 43

5.4 Pertumbuhan Populasi ... 45

5.5 Minimum Viable Population ... 46

5.6 Nilai Kuota Panen ... 47

5.7 Analisis Peubah-peubah Parameter Demografi yang Mempengaruhi Kuota ... 49

5.8 Analisis Sensitivitas Terhadap Peubah Dominan yang Mempengaruhi Kuota ... 49

5.9 Uji Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Parameter Demografi yang Mempengaruhi Kuota ... 50

VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... ... 51

6.2 Saran .... ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... ... 52

LAMPIRAN ... 57

(15)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kuota tangkap monyet ekor panjang di DIY tahun 2006-2009 ...15

2 Ketinggian tempat ditemukannya kelompok monyet ekor panjang ...32

3 Kelembaban dan suhu ditemukannya kelompok monyet ekor panjang ...34

4 Tumbuhan pakan monyet ekor panjang tiap tingkatan ...37

5 Karakteristik kelompok monyet ekor panjang ...40

6 Struktur umur tiap kelompok monyet ekor panjang ...41

7 Seks ratio tiap kelompok monyet ekor panjang ...42

8 Natalitas masing-masing kelompok monyet ekor panjang.... ...43

9 Hubungan antara natalitas dengan seks rasio... ...44

10 Mortalitas perkelas umur kelompok monyet ekor panjang.. ...45

11 Nilai MVP masing-masing kelompok monyet ekor panjang... ...46

12 Kuota panen monyet ekor panjang tiap kelompok perjenis kelamin dan kelas umur pada tahun kedua... ...47

(16)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Jalur pengamatan tumbuhan pakan ...25

2 Kondisi lokasi penelitian... ...32

3 Tumbuhan pakan monyet ekor panjang... ...35

4 Bagian tumbuhan yang dimakan monyet ekor panjang.. ...36

5 Prosentase tingkat tumbuhan pakan monyet ekor panjang. ...37

6 Aktivitas monyet ekor panjang di SM Paliyan ...39

7 Aktivitas monyet ekor panjang pagi hari di Kaliurang.. ...39

8 Struktur umur kelompok monyet ekor panjang. ...42

(17)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Daftar nama jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang dari

tingkat semai, pancang, tiang, dan pohon di SM Paliyan dan Kaliurang ...56 2 Daftar nama jenis tumbuhan pakan di tiap jalur ditemukannya

kelompok monyet ekor panjang dari tingkat semai, pancang,

tiang dan pohon di SM Paliyan dan Kaliurang.. ...58 3 Simulasi pertumbuhan populasi dengan Powersim 2.0... ...62 4 Ukuran MVP pada setiap kelompok.. ...69

(18)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Monyet ekor panjang mempunyai peranan yang sangat penting dalam bidang kedokteran. Satwa ini sangat bermanfaat sebagai hewan percobaan dan kebutuhannya terus meningkat seiring perkembangan teknologi dan variasi produk yang digunakan manusia. Dalam pemanfaatannya, jumlah monyet ekor panjang yang ditangkap dari alam harus berdasarkan kuota tangkap yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan sebagai Management Authority sesuai rekomendasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selaku Scientific

Authority, sedangkan jumlah yang diekspor sudah diatur dalam SK No.

146/Kpts/Dj-VI/93 tentang Pemanfaatan kera ekor panjang Macaca fascicularis dan beruk Macaca nemestrina untuk keperluan ekspor. Kuota ditetapkan agar pemanfaatan satwa liar tidak melebihi kemampuan populasi jenis yang bersangkutan untuk mempertahankan long-term survival (kemampuan melangsungkan kehidupan dalam jangka panjang) (Samedi 1999).

Menurut data statistik ekspor yang dihimpun oleh Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Alam pada periode tahun 1992-1997, ekspor monyet ekor panjang mencapai lebih dari 86.332 ekor (Kehutanan Propinsi DIY 2002). Indonesia merupakan negara pengekspor monyet ekor panjang terbesar di dunia, selain Mauritius dan Filipina (Sinoel 1994). Jumlah kuota tangkap monyet ekor panjang dari alam mengalami peningkatan selama 3 tahun terakhir. Pada tahun 2006 kuota tangkap sebesar 2.000 ekor, tahun 2007 meningkat menjadi 4.100 ekor dan untuk tahun 2008 naik lagi menjadi 5.100 ekor (Purnama 2008). Kuota tangkap yang dikeluarkan PHKA hingga saat ini hanya berisi jumlah, belum terinci menurut jenis kelamin dan kelas umur, sehingga dikhawatirkan penangkapan pada jenis kelamin dan kelas umur tertentu akan mengancam kelestariannya.

Sebelum penentuan nilai kuota, LIPI melakukan survey di lapangan untuk mengetahui keadaan populasi satwa, tetapi yang terjadi hingga saat ini peningkatan nilai kuota tangkap lebih berdasar pada kebutuhan pasar bukan

(19)

2 berdasar kajian ilmiah sehingga hal ini justru membahayakan kelestarian monyet di alam (Sukarelawati 2008). Menurut Duryatmo (2008), penentuan nilai kuota seharusnya berdasarkan kajian ilmiah yang menjamin kelestarian satwa, sehingga dengan meningkatnya jumlah permintaan, justru membawa keuntungan baik ditinjau dari biomedis maupun ekonomi. Beberapa kendala yang dihadapi dalam penentuan kuota meliputi tidak tersedianya data dan informasi, teknik inventarisasi, dan kurang optimalnya peranan institusi yang bergerak di dalamnya (Samedi 1999).

Penelitian-penelitian tentang monyet ekor panjang yang telah dilakukan hingga saat ini sebagian besar menitikberatkan pada jumlah populasi seperti yang dilakukan Mukhtar (2001), Supartono (2001) dan Fadillah (2003); perilaku seperti yang dilakukan oleh Widiyanti (2001) dan Santosa (1993); dan studi tentang habitatnya seperti yang dilakukan oleh Santoso (1996) dan Raharjo (2009) baik di alam bebas maupun di penangkaran. Penelitian pemanenan monyet ekor panjang baru dilakukan oleh Crockett et al. (1996) di penangkaran monyet ekor panjang pulau Tinjil dengan menghitung daya dukung lingkungannya.

Parameter demografi (tingkat kelahiran, kematian, sex ratio, dan ukuran populasi) merupakan komponen penting dalam perkembangan populasi satwa liar. Pengetahuan tentang parameter demografi merupakan data-data dasar dalam perencanaan dan penentuan kuota pemanenan (Santosa 1993). Menurut Santosa (1996), penentuan kuota pemanenan ditentukan oleh parameter demografi. Oleh karena itu, penelitian penentuan nilai kuota panen monyet ekor panjang berdasar parameter demografi penting untuk dilakukan.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian tentang penentuan kuota panen monyet ekor panjang berdasarkan pendugaan parameter demografi dilakukan dengan tujuan untuk

1 Menentukan ukuran kuota panen monyet ekor panjang

2 Identifikasi peubah-peubah parameter demografi yang mempengaruhi kuota 3 Identifikasi pengaruh faktor lingkungan terhadap parameter demografi yang

(20)

3

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kuota panen monyet ekor panjang di suatu daerah.

(21)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio Ekologi Monyet Ekor Panjang 2.1.1 Taksonomi

Secara taksonomi, monyet ekor panjang termasuk Kingdom Animalia, Filum Chordata, Sub filum Vertebrata, Kelas Mamalia, Ordo Primata, Sub ordo Anthropodea, Famili Cercopethecidae, Sub Famili Cercopethecidae, Genus Macaca, Species Macaca fascicularis Raffles, 1821 (Lekagul & Mc Neely 1977)

Sebutan monyet mengacu pada primata berekor panjang; kera, tanpa ekor seperti orangutan. Satwa ini diberi nama oleh Sir Thomas Stamford Raffles ketika usianya 40 tahun pada 1821. Macaca berasal dari bahasa Portugis: macaco berarti monyet, Fascicularis mengacu pada kelompok kecil, 5-6 ekor per grup, meskipun famili Cercopithecidae itu ada juga yang berkelompok hingga 50 ekor (Duryatmo 2008).

Nama ilmiah lainnya dari monyet ekor panjang adalah Simia fascicularis Raffles (1812), Macaca irus Cyvier (1818) serta Simia cynomolgus Schrebber (1775). Monyet ekor panjang juga dikenal dengan nama konyet-kra atau ketek (Jawa/Sunda) serta crab eating macaque dan long tailed macaque (Inggris).

2.1.2 Morfologi dan anatomi

Monyet ekor panjang memiliki warna rambut coklat dan pada bagian perut berwarna lebih muda. Pada bagian muka sering dijumpai rambut berwarna putih walau tidak semua monyet ekor panjang memilikinya. Hal ini merupakan tanda yang dapat membantu untuk mengenalnya terutama pada jantan dewasa. Saat bayi satwa ini memiliki rambut berwarna hitam dengan muka dan telinga berwarna merah muda. Setelah berumur satu minggu warna pada kulit muka akan memudar dan berubah berwarna abu-abu kemerah-merahan dan sekitar berumur enam minggu warna berubah menjadi coklat. Terdapat dua fase warna utama yaitu coklat keabu-abuan dan kemerah-merahan dengan kisaran yang luas antara keduanya. Warna rambut yang menutupi tubuh bervariasi tergantung pada umur, musim dan lokasi. Monyet ekor panjang yang menghuni kawasan hutan berwarna

(22)

5 gelap dan lebih mengkilap sedangkan yang menghuni kawasan pantai umumnya berwarna terang (Chivers 1980).

Pada individu dewasa monyet ekor panjang memiliki panjang kepala dan badan berkisar antara 350 – 455 mm, panjang ekor 400 – 565 mm (Santosa 1993). Ukuran telapak kaki belakang 120 – 140 mm, tengkorak 120 mm dan telinga 34 – 38 mm. Berat jantan dewasa berkisar antara 5 – 7 kg dan betina dewasa 3 – 4 kg (Chivers 1980).

Lekagul & Mc Neely (1977) mengemukakan bahwa monyet ekor panjang memiliki ekor berbentuk silindris maskular ditutupi oleh rambut-rambut pendek. Umumnya panjang ekor tersebut antara 80 – 110 % dari panjang kepala dan badan. Satwa muda seringkali mempunyai jambul yang tinggi sedangkan yang lebih tua mempunyai cambang lebat dan panjang mengelilingi muka. Ciri anatomi lain yang penting dari monyet ekor panjang adalah adanya kantong pipi (check

pouch) yang berguna untuk menyimpan makanan sementara. Dengan adanya

kantong pipi ini maka monyet ekor panjang dapat memasukkan makanan ke dalam mulut secara cepat dan mengunyahnya di tempat lain.

2.1.3 Habitat

Habitat adalah suatu tempat dimana organisasi atau individu biasanya ditemukan. Habitat yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat bagi suatu spesies selama musim tertentu atau sepanjang tahun. Menurut Bailey (1994), kelengkapan habitat terdiri dari berbagai jenis termasuk makanan, perlindungan dan faktor-faktor lain yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara berhasil. Hal ini menunjukkan bahwa habitat merupakan hasil interaksi antara berbagai komponen fisik yang terdiri dari tanah, air, topografi dan iklim serta komponen biologisnya yang mencakup tumbuhan, satwa liar dan manusia (Bismark 1984).

Habitat monyet ekor panjang tersebar mulai dari hutan hujan tropika, hutan musim, hutan rawa mangrove sampai hutan pegunungan seperti di Himalaya. Monyet ekor panjang lebih menyukai habitat-habitat sekunder, khususnya daerah riparian (tepi sungai, danau atau sepanjang pantai) dan hutan sekunder dekat dengan areal perladangan (Linburg 1980). Di hutan rawa mangrove monyet ekor

(23)

6 panjang kadang-kadang merupakan satu-satunya spesies dari anggota primata yang menempati daerah tersebut, sedangkan di daerah pantai kadang-kadang monyet ekor panjang terdapat secara bersama-sama dengan species lain seperti lutung Presbytis cristata.

Monyet ekor panjang selain dapat hidup di habitat aslinya juga dapat hidup di habitat lain. Menurut Napier & Napier (1967), monyet ekor panjang adalah salah satu contoh genus yang dapat beradaptasi dengan keadaan lingkungannya dan iklim yang berbeda

Kondisi habitat berpengaruh terhadap kerapatan populasi monyet ekor panjang. Kepadatan populasi di hutan sekunder umumnya lebih tinggi daripada hutan primer. Ukuran kelompok juga bervariasi menurut kondisi habitatnya. Di hutan primer satu kelompok monyet ekor panjang beranggotakan 10 ekor, di hutan mangrove 15 ekor dan di areal yang terganggu dapat lebih dari 40 ekor (Linburg 1980).

2.1.4 Jenis Pakan dan Tingkah Laku Makan

Monyet ekor panjang memiliki alat pencernaan hanya untuk mengkonsumsi makanan yang mudah dicerna seperti buah-buahan dan pucuk-pucuk daun atau daun muda, namun tidak dapat makan daun-daunan yang telah tua. Besarnya presentase bagian buah yang dipilih sebagai pakan sebesar 71,01% dan 6,06% (Santosa 1996). Dilihat dari jenis pakannya, monyet ekor panjang termasuk omnivor walaupun lebih banyak makan buah-buahan. Monyet ekor panjang sering turun ke pantai untuk mencari makanan seperti ikan, kepiting ataupun udang (Alikodra 1990). Jenis pakan lain berupa serangga, bunga, rumput, jamur, tanah, molusca, crustacea, akar, biji, dan telur burung (Linburg 1980). Menurut Chievers (1980), Ficus spp merupakan makanan paling penting bagi kera dan monyet di alam, karena tumbuhan ini terdapat di hutan dan dapat berdaun muda sepanjang tahun serta berbuah 2 -3 kali setahun.

Monyet ekor panjang mempunyai aktivitas harian pada siang hari (diurnal) dan aktivitasnya lebih banyak dilakukan di atas permukaan tanah (terestrial) dibandingkan di atas pohon. Monyet ekor panjang tidur di atas pohon secara berpindah-pindah untuk menghindarkan diri dari pemangsa (predator). Di waktu

(24)

7 pagi hari sekelompok monyet ekor panjang akan berjalan mencari makanan dengan formasi berdasarkan hirarki sosial. Jantan muda berjalan di depan dan di samping luar kelompok. Jantan dominan berjalan di tengah-tengah kelompok bersama-sama dengan betina beserta anaknya yang masih kecil. Pada saat makan individu yang paling dominan akan makan lebih dahulu kemudian yang lain mengikutinya berdasarkan pola hirarki.

Waktu aktivitas harian monyet ekor panjang di alam terdiri dari 5% untuk makan, 20% untuk penjelajahan, 34% untuk istirahat, 12% untuk grooming dan kurang dari 0,5% untuk aktivitas lainnya (Chivers 1980). Data tersebut menunjukkan bahwa aktivitas harian monyet ekor panjang di alam didominasi oleh aktivitas makan dan istirahat. Di tempat penangkaran sistem setengah terbuka, monyet ekor panjang lebih banyak menghabiskan waktu aktivitas hariannya untuk beristirahat yaitu sekitar 56–74%. Perbedaan presentase pembagian waktu harian monyet ekor panjang di alam dan di penangkaran terjadi karena faktor kandang dan ketersediaan makanan (Santosa 1996).

2.2 Parameter Demografi

Pengelolaan satwa liar terdiri atas mengatur jumlah, distribusi, kualitas serta hal-hal lain yang baik secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keberadaannya seperti memanipulasi habitat (Bailey 1984). Dalam pengelolaan, dibutuhkan data-data dan informasi yang memadai tentang kondisi satwa liar atau parameter demografi seperti kematian, tingkat kelahiran, seks rasio dan ukuran populasi.

2.2. 1 Angka Kelahiran

Menurut Santosa (1996), tingkat kelahiran adalah suatu perbandingan antara jumlah total kelahiran dan jumlah total induk (potensial induk bereproduksi) yang terlihat pada akhir periode kelahiran, sedangkan menurut Alikodra (1990) natalitas atau angka kelahiran adalah jumlah individu baru per unit perwaktu per unit populasi. Monyet ekor panjang termasuk dalam a birth flow model yaitu golongan yang dapat menghasilkan individu-individu baru dengan kecepatan yang tetap sepanjang tahun. Besar kecilnya angka kelahiran mempengaruhi

(25)

8 pertumbuhan populasi sehingga angka kelahiran dapat juga disebut sebagai populasi perkembangbiakan yang nilainya ditentukan oleh faktor-faktor :1) Perbandingan komposisi kelamin. Perbandingan komposisi kelamin (sex ratio) adalah perbandingan antara jumlah individu jantan dengan jumlah individu betina dari suatu populasi, 2) Umur tertua dimana individu-individu masih mampu untuk berkembang biak (maximum breeding age), 3) Umur termuda dimana individu-individu mulai mampu untuk berkembang biak (minimum breeding age), 4) Jumlah anak persarang atau telur persarang, 5) Jumlah sarang pertahun, dan 6) Kepadatan populasi

Angka kelahiran kasar merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan terhadap jumlah induk dewasa. Angka kelahiran spesifik merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan pada kelas umur tertentu selama satu periode waktu dengan jumlah induk pada kelas umur tertentu (Alikodra 1990). Menurut Priyono (1998), laju natalitas spesifik monyet ekor panjang di alam tidak dapat dihitung secara tepat karena : 1) Umur setiap individu monyet ekor panjang di alam tidak dapat ditentukan secara pasti, 2) Pengelompokan umur setiap individu didasarkan atas ciri-ciri kualitatif dan 3) Selang waktu antar kelas umur tidak sama. Dengan keterbatasan tersebut maka pendugaan laju natalitas didasarkan pada hasil pengamatan terhadap kelompok monyet ekor panjang yang memiliki komposisi umur yang lengkap yaitu bayi, anak, muda dan dewasa. Pendekatan yang dilakukan dalam pendugaan laju natalitas adalah dengan menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut : 1) Anggota populasi pada kelas umur bayi merupakan jumlah kelahiran kumulatif selama 1,5 tahun, 2) Laju kematian pada setiap kelas umur adalah konstan, dan 3) Individu monyet ekor panjang yang dapat melahirkan termasuk ke dalam kelas umur muda dan dewasa.

2.2.2 Kematangan Seksual

Kematangan seksual adalah mulai siapnya individu untuk bereproduksi baik secara fisik (terutama dari kesiapan organ-organ reproduksi) dan mental (Santosa 1996). Menurut Lavieren (1982), monyet ekor panjang mencapai kedewasaan atau umur minimum dapat melakukan perkawinan berkisar antara 3,5–5 tahun.

(26)

9 Menurut Napier & Napier (1967), kematangan seksual pada monyet ekor panjang jantan adalah 4,2 tahun dan betina 4,3 tahun, sedangkan kematangan seksual monyet ekor panjang di penangkaran pada umur 3-4 tahun (Djabbar 1994). Siklus menstruasi berkisar selama 28 hari dan lama birahi sekitar 11 hari.

2.2.3 Laju Reproduksi

Menurut Santosa (1996), laju reproduksi adalah jumlah anak yang dihasilkan dari tiap betina yang sudah matang seksual. Induk betina monyet ekor panjang dapat melahirkan tiap tahun bila diberi perlakuan berupa penyapihan anak pada umur 2-3 bulan dan induk dikondisikan untuk siap bereproduksi kembali (Djabbar 1994), sedangkan jika masa sapih anak dibiarkan alami yaitu sampai berumur 1,5 tahun, maka induk betina dapat melahirkan tiap 2 tahun (Napier & Napier 1967). Menurut Duryatmo (2008), pada satwa monyet ekor panjang, betina-betina dewasa yang telah menyapih anaknya akan dikawini kembali oleh jantan-jantannya dan ini berlangsung tiap hari tanpa adanya musim kawin.

2.2.4 Masa Kehamilan (Gestation Period)

Menurut Santosa (1996), masa kehamilan merupakan waktu yang diperlukan dari mulai terjadinya pembuahan sampai anak dilahirkan. Menurut Napier & Napier (1967) masa kehamilan monyet ekor panjang berkisar antara 160–186 hari dengan rata-rata 167 hari. Monyet ekor panjang dalam penangkaran memiliki masa kehamilan selama 6 bulan (Djabbar 1994)

2.2.5 Umur Maksimum Melahirkan dengan Laju Reproduksi Efektif

Laju reproduksi efektif adalah laju reproduksi dengan tingkat menghasilkan anak terbesar dengan waktu seminimal mungkin sehingga biaya pemeliharaan induk dapat ditekan sekecil mungkin, sehingga rasio keuntungan (berupa anak yang dihasilkan dengan biaya pemeliharaan induk pada laju reproduksi efektif baik bila induk betina diberi perlakuan penyingkatan masa sapih anak atau induk betina membutuhkan waktu penyapihan secara alami) yaitu pada umur 4-12 tahun (Santosa 1996). Setelah lebih dari 12 tahun mereka masih dapat bereproduksi namun laju reproduksinya sudah menurun. Hal ini tidak efektif lagi karena biaya

(27)

10 pemeliharaan mereka lebih besar dari penerimaan yang bisa diperoleh (Santosa 1996).

2.2.6 Jumlah Anak Perkelahiran

Jumlah anak yang dapat dilahirkan adalah satu ekor dan jarang sekali dua ekor dengan berat bayi yang dilahirkan berkisar antara 230 – 470 gram (Lavieren 1982). Di penangkaran dengan perbandingan seks ratio sebesar 1:17, kehamilan terjadi 90% dari seluruh jumlah induk betina yang ada, dengan kelahiran hidup sebesar 90% dari seluruh induk betina yang hamil dan kematian anak pertahun sebesar 10% (Santosa 1996)

2.2.7 Angka Kematian

Faktor kematian dapat mengurangi kepadatan populasi. Kematian satwa liar dapat disebabkan oleh keadaan alam, kecelakaan, perkelahian, dan aktivitas manusia. Angka kematian adalah perbandingan antara jumlah yang mati dengan total populasi selama satu periode waktu (Alikodra 1990). Angka laju kematian populasi monyet ekor panjang dapat diduga dari peluang hidup populasi setiap kelas umurnya (Supartono 2001). Menurut Djabbar (1994), angka kematian bayi monyet ekor panjang dalam penangkaran sistem setengah terbuka rata-rata sebesar 10% (1,9% karena abortus, 4,1% mati sebelum disapih dan 3,6% mati setelah disapih).

Kematian satwaliar dapat disebabkan karena berbagai faktor yaitu : 1) kematian yang disebabkan oleh keadaan alam, seperti penyakit, pemangsaan, kebakaran dan kelaparan, 2) kematian yang disebabkan karena kecelakaan, seperti tenggelam, tertimbun tanah longsor atau tertimpa batu, dan kecelakaan yang menyebabkan terjadinya infeksi sehingga mengalami kematian, 3) kematian yang disebabkan karena adanya perkelahian dengan jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan, dan air serta persaingan untuk menguasai kawasan, dan 4) kematian yang disebabkan karena aktifitas manusia, seperti perusakan habitat, perburuan, mati karena kecelakaan, terperangkap dan sebagainya (Alikodra 1990).

(28)

11

2.2.8 Struktur Umur

Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi. Struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangan satwa liar, sehingga dapat dipergunakan pula untuk menilai prospek kelestarian satwa liar. Melakukan identifikasi umur satwa liar di lapangan akan mengalami banyak kesulitan, terutama karena sulitnya menangkap sejumlah contoh satwaliar untuk diperiksa dalam menentukan umurnya, sehingga perlu dicarikan pendekatan-pendekatan tertentu yang lebih sederhana (Alikodra 1990).

Menurut Lavieren (1982), pengelompokan yang paling sederhana adalah pengelompokan ke dalam kelas umur bayi (new born), anak (juvenile), muda/ remaja (sub adult) dan dewasa (adult). Bayi ditandai dengan tumbuhnya gigi bersamaan dengan perkembangan perubahan wajah dan diakhiri pada masa penyapihan. Individu pada usia 4-5 tahun digolongkan dalam remaja (juvenile). Masa ini antara masa menyapih dan pubertas. Pergerakan hewan-hewan pada masa-masia ini benar-benar sudah terpisah dari induknya. Usia 5 tahun dianggap dewasa.

Secara umum struktur umur monyet ekor panjang dapat diuraikan sebagai berikut:

a) Kelas umur bayi : berumur antara 0-18 bulan, yakni sejak lahir hingga selesainya masa laktasi (Napier & Napier 1967)

b) Kelas umur anak : berumur antara 18 bulan–4 tahun, yakni sejak selesainya masa laktasi hingga memasuki masa kematangan seksual (Napier & Napier 1967).

c) Kelas umur muda/remaja : berumur 4–9 tahun, yaitu semenjak memasuki kematangan seksual (minimum breeding age) hingga mencapai masa

reproduksi yang optimum. Menurut Hadiyati (1994), reproduksi monyet ekor panjang mulai menurun setelah umur 9 tahun.

d) Kelas umur dewasa : merupakan anggota populasi yang diperkirakan berumur 9 tahun hingga 21 tahun ( maximum breeding age). Umur 21 tahun tergolong tua (Napier & Napier 1967).

(29)

12 Menurut Priyono (1998), populasi kelas umur bayi pada tahun ke-1 ( t = 1) merupakan kelahiran induk betina kelas umur muda dan dewasa ditambah dengan anggota kelas umur bayi dari kelahiran sebelumnya yang belum mencapai kelas umur anak ( ≤ 18 bulan). Populasi kelas umur anak merupakan jumlah individu bayi yang mampu melanjutkan kehidupannya ke kelas umur anak ditambah dengan jumlah anak yang belum mencapai kelas muda. Demikian seterusnya untuk kelas umur muda/remaja dan dewasa. Secara notasi, populasi untuk setiap kelas umur tersebut adalah sebagai berikut :

N bayi = F muda.N muda + F dewasa.N dewasa + δ bayi . N bayi

N anak = p bayi.N bayi+ δ anak.Nanak

N muda = p anak.N anak + δ muda.N muda

N dewasa = p muda.N muda + δ dewasa.N

Secara umum terdapat dua konsep penentuan MVP (Boyce 1992). Konsep yang pertama adalah berdasarkan genetik yang menekankan pada laju kehilangan genetik dari suatu populasi termasuk di dalamnya penurunan fitness dan genetic

drift, sedangkan konsep yang kedua berdasarkan demografi yang menekankan

pada kemungkinan terjadinya kepunahan populasi akibat dari tekanan demografi. Nilai MVP akan dipengaruhi oleh ciri yang umum dari model misalnya struktur geografi, ukuran populasi maksimum, laju kematian dan laju kelahiran (absolut

dewasa

Keterangan :

N = populasi monyet ekor panjang F = keperidian

δ = proporsi anggota populasi yang tidak mengalami peningkatan kelas umur p = peluang hidup anggota populasi yang mampu melanjutkan kehidupan pada

kelas umur berikutnya (survivorship)

2.3 Minimum Viable Population (MVP)

Minimum Viable Population (MVP) merupakan ukuran populasi terkecil

yang akan menjamin kelangsungan hidupnya dalam jangka panjang (Howells 1996). MVP sering didefinisikan sebagai populasi terkecil yang terisolasi yang memiliki peluang 95,1% untuk dapat bertahan selama 100 tahun (Lemkhul 1984). Lebih lanjut Shaffer (1981) menyatakan bahwa istilah MVP merupakan kemungkinan peluang hidup suatu spesies dapat dipertahankan di atas ukuran tertentu.

(30)

13 atau terpaut kepadatan) dan lainnya. Selain itu nilai MVP juga tergantung pada ciri-ciri yang lebih detail seperti nilai numerik dari parameter-parameter dalam kerangka yang lebih luas.

2.4 Pemanenan Lestari

Pemanenan lestari menurut Bailey (1984) adalah pengambilan sebagian populasi untuk mencapai kelestarian hasil. Menurut Samedi (1999) kuota pemanenan merupakan batas maksimum jumlah tumbuhan atau satwa liar jenis-jenis tertentu (yang tidak dilindungi undang-undang) yang boleh ditangkap dari habitat alam untuk kepentingan pemanfaatan, terutama perdagangan.

Secara teoritis, kuota tidak boleh melebihi laju pertambahan populasi satwa yang bersangkutan, sehingga untuk menetapkan kuota tangkap suatu daerah haruslah ditetapkan berdasarkan data akurat yang ada. Data yang ada ini diantaranya meliputi jumlah populasi yang berada pada lokasi tersebut, dan laju pertambahan populasi yang merupakan hasil akhir dari kelahiran dan kematian (Samedi 1999).

Menurut Sinclair (1994), pemungutan/pemanenan satwa liar merupakan satu kesatuan dengan pola pertumbuhan populasinya. Populasi yang berada pada kondisi lingkungan yang tidak terbatas maka populasi akan bertumbuh secara eksponensial. Pada kondisi ini pemanenan satwa liar yang maksimum (MSY) adalah sama dengan nilai pertumbuhan populasinya.

Lavieren (1982) mengatakan bahwa prinsip-prinsip untuk mencapai riap maksimum dalam kaitannya dengan pemanenan satwa liar antara lain produktivitas tergantung pada laju pertumbuhan populasi yang selanjutnya tergantung pada densitas populasi dalam kaitannya dengan daya dukung areal. Hasil maksimum yang lestari (MSY) akan dapat dicapai apabila populasi satwa buru sama dengan setengah populasi pada batas daya dukung areal, apabila laju pertumbuhan populasi dan atau daya dukung tidak diketahui, perhitungan yang lestari sulit dilakukan, tetapi bisa diperkirakan berdasarkan hubungan antara hasil dan usaha buru, apabila panen tahunan melebihi hasil maksimum yang lestari, populasi satwa di alam akan punah.

(31)

14 Menurut Bailey (1984) prinsip pemanenan adalah peningkatan populasi, pertumbuhan populasi tergantung kepadatan; populasi yang tidak dipanen jarang sekali mengalami peningkatan populasi (akibat tergantung kepadatan), pemanenan meningkatkan pertumbuhan populasi (reproduksi, survival). Populasi tergantung kepadatan sangat sulit diukur karena data tidak mencukupi, sehingga pemanenan hanya dapat dilakukan maksimum sebanyak laju pertumbuhan populasi finit (r).

2.5 Sejarah Kuota Panen Monyet Ekor Panjang di Indonesia

Perjalanan perdagangan monyet ekor panjang di Indonesia dimulai pada sekitar tahun 1965. Pada periode ini kurang lebih telah diekspor sebesar 5.000 sampai 10.000 ekor setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut sebagian besar berupa anakan untuk hewan peliharaan di negara Jepang, sedangkan yang dewasa diekspor ke Amerika, Rusia, Perancis, dan Italia sebagai hewan percobaan. Setelah periode 1976, permintaan akan satwa ini semakin meningkat sebagai hewan percobaan dengan ditemukannya virus AIDS.

Sejalan dengan semakin majunya teknologi dan penelitian dibidang biomedis, permintaan satwa ini cenderung mengalami kenaikan dari tahun ketahun. Dari tahun 1975 hingga 1995 kebutuhan akan satwa ini telah mencapai 30.000 ekor setiap tahun dan Indonesia menduduki sebagai pemasok terbesar (30-40%) (Achmad 2000). Sejalan dengan meningkatnya jumlah permintaan di pasar, mulai tahun 1984 nilai kuota panen monyet ekor panjang di Indonesia juga semakin meningkat terlebih setelah Malaysia melakukan pelarangan perdagangan satwa ini.

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu lokasi ditetapkannya kuota tangkap monyet ekor panjang. Hingga tahun 2009 pemenuhan kuota tangkap berasal dari Suaka Margasatwa (SM) Paliyan dan sekitarnya. Data kuota tangkap monyet ekor panjang di DIY dari tahun 2006-2009 dapat dilihat pada Tabel 1.

(32)

15 Tabel 1 Kuota tangkap monyet ekor panjang di DIY tahun 2006-2009

No. Tahun Jumlah kuota tangkap

1. 2006 200

2 2007 200

3 2008 0

4. 2009 1200

(33)

III GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

Penelitian ini dilakukan di dua lokasi yaitu SM Paliyan dan Kaliurang. Pada kedua lokasi ini keberadaan monyet ekor panjang paling mudah dijumpai. Karakteristik SM Paliyan dan Kaliurang sangat berbeda baik dari segi fisik maupun biologi, hal ini dilakukan untuk mengetahui faktor lingkungan, parameter demografi, nilai MVP, dan nilai kuota panen monyet ekor panjang pada masing-masing tipe habitat serta pengaruh faktor lingkungan terhadap nilai kuota.

3.1 Suaka Margasatwa Paliyan

Suaka Margasatwa (SM) Paliyan ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 171/Kpts-II/2000 tentang penunjukan kawasan hutan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan ini merupakan alih fungsi dari kawasan hutan produksi petak 136 s/d 141 wilayah Bagian Daerah Hutan (BDH) Paliyan, dengan luas total 434, 60 ha. Topografi kawasan ini berbukit dengan kelerengan diatas 40%. Ketinggian kawasan antara 100-300 meter diatas permukaan laut (BKSDA Yogyakarta 2007). Secara administratif berada di dua kecamatan yaitu Kecamatan Paliyan dan Kecamatan Saptosari. Menurut Scmidth-Fergusson iklim di SM Paliyan termasuk tipe C dengan curah hujan rata-rata 1900 mm/ tahun dengan bulan kering antara 2-6 bulan dalam setahun (Nuryadi 2004).

Kondisi kawasan SM Paliyan pada awal penunjukan cukup memprihatinkan karena sekitar 80% kawasan ini dirambah oleh masyarakat sebagai areal perladangan. Perambahan dilakukan sejak kawasan ini masih berstatus hutan produksi dengan ± 600 petani penggarap. Masyarakat peladang sangat menggantungkan hidup dari hasil usaha mengolah lahan di kawasan SM Paliyan. Rehabilitasi lahan pernah dilakukan di kawasan SM Paliyan, namun tidak berhasil karena sebagian besar tanaman rehabilitasi mati. Disamping itu hasil yang diupayakan dari rehabilitasi berupa kayu, sedangkan masyarakat tidak diperbolehkan mengambil hasil kayu tersebut, hal ini dapat menjadi salah satu penyebab hilangnya penghasilan masyarakat sekitar kawasan SM Paliyan (Balai KSDA Yogyakarta 2005).

(34)

17 Sesudah penetapan kawasan SM Paliyan, kegiatan yang dilakukan di kawasan ini adalah kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) tahun 2003 dan 2004 di petak 137 dan 138. Selain melalui GNRHL, rehabilitasi kawasan kawasan ini selain itu ada kegiatan rehabilitasi lahan kritis, juga dilakukan penanaman melalui program hibah oleh PT Mitsui Sumitomo Insurance dengan jenis tanaman pokok buah-buahan. Program rehabilitasi ini dilakukan mulai tahun 2005 s/d tahun 2010/2011. Wilayah area yang direhabilitasi direncanakan seluruhnya kecuali beberapa areal yang sudah ada tanaman kayu-kayuannya yaitu tanaman GNRHL di petak 137 dan 138 serta tanaman sisa dari penjarahan (BKSDA Yogyakarta 2007).

Tanah

Tanah SM Paliyan terbentuk dan berkembang pada batuan induk batu gamping/batu kapur yang berasal dari formasi Wonosari, Oyo dan Kepek. Jenis tanah Mediteran, Grumusol, Litosol, dan Rendzina merupakan tanah yang dominan dijumpai di kawasan SM Paliyan. Pada umumnya tanah ini bersifat alkali (Alkaline Soils) (BKSDA Yogyakarta 2007).

Fisiografi dan Topografi

Mengacu pada hasil penelitian Van Bemmelen (Balai KSDA Yogyakarta 2005), Suaka Margasatwa Paliyan tercakup dalam kategori Gunung Sewu (Pegunungan Seribu), yang secara geomorfologik daerah ini disebut dengan topografi karst. Ekosistem karst SM Paliyan merupakan ekosistem yang unik ditinjau dari aspek fisik, biotik dan sosial masyarakatnya. Keunikan bentang alam karst ditandai oleh ciri-ciri spesifik yang ada seperti ciri permukaan (lembah kering, telaga, pola aliran yang masuk dalam tanah) dan ciri bawah permukaan seperti (sungai bawah tanah, goa, dan ornamennya serta kehidupan yang ada). Bentang alam karst dapat berkembang dengan baik akibat kerja proses solusi di bawah kontrol iklim. Aspek iklim sangat menentukan pembentukan ekosistem karst. Karakteristik hujan, temperatur, kelembaban mempengaruhi laju proses solusi yang bekerja pada batuan yang bersifat mudah terlarut (soluble rock). Proses solusional dapat disebabkan oleh : air hujan, aliran permukaan, perkolasi,

(35)

18 aliran sungai bawah tanah dan kerja ombak. Dari aspek hidrologis air permukaan terdapat pada dolin, uvala, dan polye, sedangkan air tanah terkontrol oleh sistem goa dan sungai bawah tanah. Patahan dan sistem rekahan dapat menghasilkan mata air (Balai KSDA Yogyakarta 2007).

Hidrologi

Air permukaan yang dijumpai di kawasan ini adalah sungai dan telaga. Sungai-sungai yang ada merupakan bagian dan sistem Sungai Oyo yang bersifat musiman (intermittent). Sedangkan telaga yang dijumpai umumnya bersifat semi permanen, artinya pada musim kering volumenya sangat kecil atau bahkan kebanyakan pada musim kering yang panjang, airnya kering. Kawasan SM Paliyan merupakan bagian dari sub daerah aliran Sungai Oya. Aliran permukaan dari kawasan ini mengalir melalui Sungai Asat dan Sungai Ares. Kedua sungai ini bermuara di Sungai Oya (BKSDA Yogyakarta 2007).

Fauna

Satwa utama di SM Paliyan adalah monyet ekor panjang M. fascicularis. Keberadaan satwa ini sering dianggap sebagai pengganggu bagi masyarakat yang ada di sekitar kawasan. Berdasar persepsi masyarakat setempat/ penduduk di sekitar hutan, monyet ekor panjang dianggap sebagai binatang hama pertanian karena sering merusak tanah pertanian milik penduduk. Kawanan monyet ekor panjang sering menyerang daerah pertanian yang berada di pinggir hutan, memakan tanaman apa saja, bahkan pada musim kering makan beberapa bagian dari tanaman keras seperti buah kapuk randu dan buah-buah yang tidak lazim dimakan manusia. Tanaman yang tidak disukai seperti cabe, tembakau, tidak dimakan tetapi dirusak seperti dipatahkan rantingnya atau dikupas batangnya (Djuwantoko 1998). Tidak jarang kawanan ini juga masuk ke rumah penduduk atau tempat jaga ladang dan mencuri makanan serta minuman yang ada.

Menurut informasi masyarakat, jumlah monyet ekor panjang di kawasan ini tergolong besar. Untuk jumlah secara pasti belum diketahui, karena sifat satwa ini yang hidup berkoloni, pindah-pindah, dan kemunculannya pada pagi hari menjelang subuh atau pada sore hari menjelang maghrib, disamping juga peka

(36)

19 terhadap kehadiran manusia, sehingga populasi satwa ini sulit untuk dihitung (BKSDA Yogyakarta 2007).

Di kawasan SM Paliyan ditemukan 20 spesies burung yang tergabung dalam 14 famili, terbagi dalam lima spesies frugivorous-insectivorous, duabelas spesies

insectivorous, dan dua spesies nectarinivorous serta satu jenis carnivorous.

Adapun jenis-jenis burung yang mempunyai kepadatan populasi tertinggi yaitu : kutilang (14,6 individu/ha), pentet/bentet kelabu (10,8 individu/ha), Olive backed

sunbird (5 individu/ha) dan tekukur dengan kepadatan 4,7 individu/ha. Dari empat

jenis yang dominan tersebut, terdapat dua jenis burung yang sangat mendominasi yaitu kutilang dan pentet/bentet kelabu. Kedua spesies ini adalah pemakan buah dan pemakan serangga (BKSDA Yogyakarta 2007).

Untuk jenis serangga, pada semua lokasi di SM Paliyan, Formicidae (semut) merupakan taksa yang dominan. Presentase Formicidae berkisar antara 46 – 86% dari total serangga. Fungsi semut dalam ekosistem cukup beragam ada yang berfungsi sebagai predator, scavenger, decomposer dan pemakan tumbuhan Disamping itu, di kawasan ini terdapat taksa Carabidae dan taksa Isoptera (rayap). Jumlah individu taksa ini cukup melimpah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh banyaknya tonggak-tonggak kayu yang juga merupakan sumber makanan dan

breeding site bagi taksa Isoptera. Isoptera merupakan dekomposer yang penting di

daerah tropik. Serangga predator yang banyak terdapat juga di SM Paliyan adalah famili Staphylinidae. Habitat serangga ini adalah seresah hutan, rekahan kulit pohon dan ada yang bersifat parisitik (BKSDA Yogyakarta 2007).

Flora

Jenis pohon yang ada di SM Paliyan terdiri dari Jati dan Sono Keling yang merupakan tanaman GNRHL, sedangkan tanaman hasil rehabilitasi oleh PT Sumitomo Forestry Co.Ltd antara lain asam jawa, duwet, flamboyan, gamal, jambu kluthuk, johar, lamtoro, mahoni, mangga, melinjo, mete, mimbo, nangka, petai, saga, secang, sirsak, srikaya, tayuman, turi, waru, sawo, pace, dan jambu air (BKSDA Yogyakarta 2007). Saat ini pertumbuhan tanaman ini cukup berhasil dan telah mencapai tingkat tiang dengan ketinggian rata-rata 1.5 meter dan bahkan beberapa diantaranya sudah berbuah.

(37)

20

3.2 Hutan Wisata Kaliurang

Hutan Wisata Kaliurang berada di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Merapi yang terletak diantara 10715’ 03” dan 100 29’ 30” Bujur Timur, 7 34’ 51” dan 7 47’ 03” Lintang Selatan, dengan ketinggian antara 775 – 2000 meter dari permukaan laut. Wilayah di bagian selatan merupakan dataran rendah yang subur, sedangkan bagian utara sebagian besar merupakan tanah kering yang berupa ladang dan pekarangan, serta memiliki permukaan yang agak miring ke selatan dengan batas paling utara adalah Gunung Merapi. Di Lereng selatan terdapat dua buah bukit, yaitu Bukit Turgo dan Bukit Plawangan (BKSDA Yogyakarta 2006).

Secara klimatologis, Kaliurang mempunyai curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 3.000-3.500 mm/tahun. Berdasarkan hasil analisis peta kemiringan lereng dapat diketahui bahwa kawasan wisata alam Kaliurang mempunyai kemiringan lereng berkisar antara 8-150

Jenis tanah di kawasan wisata alam Kaliurang termasuk jenis tanah regosol dan andisol (Andic Eutropepts). Solum tanahnya dangkal sampai dalam dengan kesuburannya rendah sampai sedang. Tekstur tanahnya pasiran, berbatu dan berkerikil. Struktur tanahnya lepas, remah dan gumpal membulat yang lemah (BKSDA Yogyakarta 2006).

. Kawasan ini dikembangkan sebagai wisata alam karena mempunyai kondisi biogeofisik berupa panoramik ekosistem bentangalam yang unik dan keanekaragaman hayati (ribuan aneka tumbuhan dan hewan) yang menghiasi kondisi alamnya (BKSDA Yogyakarta 2006).

Curah hujan yang tinggi (3.000 mm/tahun) menambah tingginya tingkat kesuburan kawasan wisata alam Kaliurang dan menunjang pertumbuhan tanaman hutan yang selalu hijau. Kondisi ini lebih lanjut mampu sebagai daerah imbuh air tanah (recharge area) sehingga dapat meningkatkan debit mata air dan debit air sungai di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) dibawahnya. Struktur batuan breksi volkanik yang mempunyai permeabilitas sekunder oleh adanya retakan dan pecahan batuan memberikan kesempatan air hujan untuk dapat meresap ke dalam lapisan batuan di daerah yang langka air tanah ini (BKSDA Yogyakarta 2006).

(38)

21

Hidrologi

Kawasan wisata alam Kaliurang dilewati oleh dua aliran sungai, yaitu Sungai Boyong dan Sungai Kuning. Sungai Boyong termasuk dalam wilayah DAS Code bagian hulu di daerah Kaliurang bagian barat hingga puncak Gunung Merapi dan Bukit Turgo berfungsi sebagai daerah resapan air di bagian hulu. Sungai Kuning termasuk dalam wilayah DAS Kuning bagian hulu di daerah aliran sungai bagian timur hingga puncak Gunung Merapi dan Bukit Plawangan berfungsi sebagai daerah resapan air di bagian hulu. Fungsi daerah resapan air wilayah DAS Code dan wilayah DAS Kuning masih sangat efektif terbukti Sungai Boyong dan Sungai Kuning termasuk sungai permanen. Sungai Boyong hulu di sebelah timur Bukit Turgo pada musim kemarau masih dijumpai pemunculan air (mata air dan rembesan) (BKSDA Yogyakarta 2006).

Flora

Berdasarkan hasil inventarisasi sampai saat ini Kaliurang memiliki lebih dari 1.000 jenis tumbuhan, termasuk 75 jenis anggrek langka. Flora di lereng selatan didominasi oleh hutan campuran yang relatif stabil dan berstatus hutan lindung. Namun karena dekatnya lokasi kawasan ini dengan pemukiman penduduk menyebabkan terhambatnya proses ekologis secara alamiah yang seharusnya terjadi di kawasan hutan lindung. Pemanfaatan lahan bawah tegakan hutan untuk budidaya rumput, khususnya di lereng yang berbatasan dengan pemukiman penduduk dan pengambilan rumput yang intensif oleh masyarakat untuk pakan ternak sangat intensif dilakukan. Jenis rumput Imperata cylindrica, Panicum

replans, Arthraxon typicus dan Pogonatherum paniceum merupakan jenis yang

banyak dijumpai (BKSDA Yogyakarta 2006).

Tumbuhan di hutan wisata Kaliurang yang sering dimanfaatkan masyarakat di sekitar kawasan berupa tumbuhan penghasil kayu: Pinus merkusii, Acacia

decurens, Bambusa spp., Albisia spp., Euphatorium inufolium, Lithocarpus elegans, Leucaena glauca, Cinchona succiruhra, Acalypha calurus, Ficus alba, Erytrina variegata, Hibiscus filiacius, Melia azedarach, Leucaena leucocephala, Arthocarpus integra, Casuarina sp., Syzygium aromaticum; tumbuhan penghasil

(39)

22

Schefflera efliplica, Cestrum nocturium, pakis, Piplurus repandus, Yevesia sundaica, Glochidion spp., Euphatorium riparium, Alfanihol esculenta, Fomengia congesta, Melia azedarach, Macaranga spp., Marsilia cremala, dan Melastbura stomoides. Selain itu, masih dijumpai beberapa jenis tumbuhan semak dan

tumbuhan hutan dengan tajuk terbuka dan tertutup dan jenis flora epifit yang khas tumbuh di wilayah tropis basah. Jenis-jenis eksotik yang ada di kawasan ini antara lain: rasamala Altingia exelsea, bambu cendani Bambusa vulgaris, bunga sepatu Hibiscus rosa sinensis, nogosari Palaqium rostratum dan lain-lain. Jenis-jenis anggrek antara lain anggrek ekor bajing/ tupai Rinchostylist retusa, anggrek kalajengking Arachinis flosseris, vanda tricolor dan lain-lain. Paku-pakuan antara lain pakis haji Chycas rumpii, pakis layang-layang Drynaria sparsisora, dan beberapa jenis rotan Calamus sp dan salam Sysyqium polyanthum (BKSDA Yogyakarta 2006).

Fauna

Hutan wisata Kaliurang memiliki jenis mamalia kecil dan besar. Dari hasil inventarisasi tahun 2000 diketahui terdapat 147 jenis burung, 90 jenis diantaranya merupakan burung-burung yang menetap. Beberapa dari jenis tersebut, 12 jenis merupakan jenis-jenis burung endemik di Jawa dan 2 jenis dikhawatirkan punah seperti burung matahari Crocias albonotatus dan burung kuda Garrulac rufifron, sedangkan jenis lainnya yang endemik di Jawa, yaitu berencet Psaltria axilis (Balai KSDA Yogyakarta 2006). Hutan Kaliurang juga dikenal sebagai habitat elang hitam.

Sedangkan jenis fauna jenis lain meliputi macan tutul, kijang, kucing hutan, ayam hutan, alap-alap, kedasih, macan kumbang, lutung dan elang jawa (Balai KSDA Yogyakarta 2006). Kaliurang sebagai tujuan wisata juga terkenal akan monyet ekor panjangnya. Seiring semakin banyaknya jumlah pengunjung yang mendatangi kawasan ini dengan perilaku yang sering memberi makan satwa ini, mengakibatkan kebutuhan pakan monyet ekor panjang sangat tergantung pada pengunjung, bahkan tak segan-segan mereka mencuri makanan baik dari pengunjung maupun penjual yang ada di sekitar kawasan.

(40)

IV

METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dengan dua tahap: 1) Pengamatan langsung dilakukan di SM Paliyan yang berupa karst dan hutan terganggu dan Hutan wisata Kaliurang yang merupakan hutan pegunungan 2) Studi literatur untuk melengkapi data hasil lapangan baik mengenai ukuran populasi, kepadatan, natalitas, struktur umur, seks rasio, dan tumbuhan pakan monyet ekor panjang pada berbagai lokasi yaitu meliputi HPHTI Riau Andalan Pulp and Paper; HPH PT RMTC Musi Banyuasin SM Gunung Pasemah; Hutan Napacilin; TN Alas Purwo; TWA Pangandaran; TWA Kaliurang. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Nopember 2009- Januari 2010.

4.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) peta lokasi penelitian, (2) pita meter, (3) GPS receiver, (4) hand counter, (5) tali rafia, (6) kamera, (7) tally sheet, (8) termohygrometer, (9) kompas, (10) buku identifikasi jenis tumbuhan (11) peralatan tulis menulis (12) Software SPSS 16.0 dan Powersim 2.0

4.3 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung dan studi literatur. Pengamatan langsung dilakukan untuk mengetahui parameter demografi monyet ekor panjang dan faktor lingkungan pada lokasi penelitian. Studi literatur yaitu dengan mencari data kuota tangkap monyet ekor panjang yang dikeluarkan oleh Dirjen PHKA, karakteristik biofisik lokasi penelitian, serta jenis tumbuhan pakan monyet ekor panjang di berbagai wilayah.

4.3.1 Parameter Demografi

Pengambilan data parameter demografi monyet ekor panjang (M.

(41)

24 informasi awal yang didapat baik dari petugas lapangan ataupun masyarakat sekitar. Pengamatan dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada pagi hari (06.00-09.00) dan sore hari (15.00-18.00). Data yang dicatat selama pengamatan meliputi jumlah individu tiap kelompok, jumlah individu berdasar jenis kelamin, serta berdasar kelas umur. Jumlah individu yang dicatat merupakan individu yang ditemukan/ dijumpai langsung dalam jalur pengamatan. Sehubungan sulitnya mengetahui secara pasti umur monyet ekor panjang di lapangan, maka pembagian kelas umur didasarkan pada ukuran kualitatif yang mencakup kelas umur bayi, anak, muda, dan dewasa.

4.3.2 Faktor Lingkungan

Pengambilan data faktor lingkungan di lokasi penelitian meliputi: ketinggian tempat, kelembaban, suhu, dan kerapatan tumbuhan pakan. Pengumpulan data ketinggian tempat, kelembaban dan suhu dilakukan di petak pengamatan yang dijumpai kelompok monyet ekor panjang, sedangkan data tumbuhan pakan dilakukan di sepanjang jalur yang dijumpai monyet ekor panjang.

Metode yang digunakan dalam analisis tumbuhan pakan adalah metode jalur berpetak dengan jumlah petak pengamatan sebanyak 10 buah pada tiap jalur. Menurut Supartono (2001), ukuran anak petak untuk tingkat pertumbuhan semai sebesar 2 m x 2 m, pancang sebesar 5 m x 5 m, tiang sebesar 10 x 10 m, dan pohon sebesar 20 x 20 m. Jarak antar petak pengamatan adalah 100 m. Identifikasi tumbuhan pakan dilakukan berdasarkan informasi masyarakat dan pengamatan di lapangan. Semua tingkatan tumbuhan dicatat nama daerah dan jumlahnya. Bentuk jalur pengamatan dapat dilihat pada Gambar 1.

Kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan adalah sebagai berikut (Soerianagara & Indrawan 2005):

(a) Semai : Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi kurang dari 1.5 m

(b) Pancang : Permudaan dengan tinggi 1.5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm

(c) Tiang : Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm (d) Pohon : Pohon dewasa berdiameter 20 cm dan lebih.

(42)

25 d 50 M c b 100 M Arah lintasan a a b 50 M c d 2.000 m

Keterangan : a = semai, b = pancang, c = tiang, d = pohon

Gambar 1 Jalur pengamatan tumbuhan pakan.

4.4 Analisis Data

4.4.1 Parameter Demografi

Data jumlah individu tiap kelompok, jumlah individu berdasar jenis kelamin, serta berdasar kelas umur digunakan untuk mencari natalitas kasar/

fecundity dan peluang hidup untuk setiap kelas umur. Rumus yang digunakan

untuk menghitung natalitas kasar sebagai berikut:

Keterangan :

f = natalitas kasar/ fecundity

Xi = jumlah bayi pada kelompok ke-i

Bi = jumlah betina dewasa reproduktif pada kelompok ke-i.

Rumus untuk mencari peluang hidup (Px) untuk setiap kelas umur adalah : Px = Lx+1

Lx

= 1 –Mortalitas Keterangan :

Lx+1 = jumlah individu yang hidup pada KU X+1

Lx = jumlah individu yang hidup pada KU

= Bi Xi f

(43)

26

4.4.2 Kerapatan Tumbuhan Pakan

Potensi tumbuhan pakan pada masing-masing jalur yang dijumpai kelompok monyet ekor panjang dihitung dengan rumus :

K (ha) pengamatan petak Luas spesies suatu individu Banyaknya = 4.4.3 Pertumbuhan Populasi

Pertumbuhan populasi (Nt+1) pada masing-masing kelompok monyet ekor

panjang dianalisis dengan menggunakan matriks Leslie tidak terpaut kepadatan yang dimodifikasi (Priyono 1998). Pada perhitungan ini yang digunakan adalah jenis kelamin betina saja, sedangkan jenis kelamin jantan diperoleh dari seks rasio. Matriks yang digunakan yaitu :

M x Nt = Nt+1 δ0 0 Fxm Fxd N0,t M = P1 δ1 0 0 Nt = N1,t 0 P2 δ2 0 N2,t 0 0 P2 δ3 N3,t Keterangan :

Fxm = fecundity pada kelas umur muda Fxd = fecundity pada kelas umur dewasa Xd = kelas umur dewasa

δ0 = proporsi kelas umur bayi

P1 = peluang hidup bayi

δ1 = proporsi kelas umur anak

P2 = peluang hidup anak

δ2 = proporsi kelas umur muda

P2 = peluang hidup muda

δ3 = proporsi kelas umur dewasa

Dalam penghitungan proyeksi pertumbuhan populasi tiap kelompok, selanjutnya digunakan software Powersim 2.0.

(44)

27

4.4.4 Minimum Viable Population (MVP)

Minimum Viable Population (MVP) merupakan ukuran populasi terkecil

yang akan menjamin kelangsungan hidupnya dalam jangka panjang (Shaffer 1981). MVP dihitung untuk setiap kelas umur dan jenis kelamin. Pada perhitungan ini yang dipergunakan adalah jenis kelamin betina. Analisis yang digunakan adalah dengan persamaan aljabar dari dua persamaan yaitu B=D dan Nt yang selanjutnya nilai perpotongan antara kedua persamaan inilah yang merupakan nilai MVP. Rumus yang digunakan adalah :

B = D Keterangan :

B = birth (kelahiran) D = death (kematian)

Birth (kelahiran) merupakan jumlah bayi dari kelas umur muda dan kelas

umur dewasa dengan batas maksimal 12 tahun yang dianggap sebagai maximum

breeding age (usia maksimum melahirkan). Rumus yang digunakan adalah :

B = Fxm. Xm + Fxd. Xd

Keterangan :

B = birth (kelahiran)

Fxm = fecundity pada kelas umur muda

Xm = jumlah individu kelas umur muda

Fxd = fecundity pada kelas umur dewasa

Xd = jumlah individu kelas umur dewasa dengan batas masksimum

melahirkan 12 tahun

Death (kematian) adalah jumlah kematian yang terjadi baik pada kelas

umur bayi, anak, muda maupun dewasa. Rumus yang digunakan : D = mb. Xb + ma. Xa + mm. Xm + δmd.Xd

Keterangan :

D = death (kematian)

mb = kematian kelas umur bayi

Xb = jumlah individu kelas umur bayi

ma = kematian kelas umur anak

Xa = jumlah individu kelas umur anak

mm = kematian kelas umur muda

Xm = jumlah individu kelas umur muda

δmd = proporsi kematian kelas umur dewasa

(45)

28 Berdasarkan persamaan-persamaan di atas, maka B = D jika dijabarkan menjadi :

Fxm. Xm + Fxd. Xd = mb. Xb + ma. Xa + mm. Xm + δmd.Xd...(i)

Keterangan :

Fxm = fecundity pada kelas umur muda

Xm = jumlah individu pada kelas umur muda

Fxd = fecundity pada kelas umur dewasa

Xd = jumlah individu kelas umur dewasa dengan batas maksimum

melahirkan 12 tahun mb = kematian kelas umur bayi

Xb = jumlah individu kelas umur bayi

ma = kematian kelas umur anak

Xa = jumlah individu kelas umur anak

mm = kematian kelas umur muda

Xm = jumlah individu kelas umur muda

δmd = proporsi kematian kelas umur dewasa

Xd = jumlah individu kelas umur dewasa

Untuk nilai Nt sebagai konstanta digunakan nilai N1 dari hasil Powersim

yang jika dijabarkan dalam bentuk aljabar adalah sebagai berikut :

Nt = (Fxm. Xm + Fxd. Xd + δb. Xb) + (Pxb. Xb + δa. Xa) + (Pxa. Xa + δm.

Xm ) + (Pxm. Xm + δd. Xd) ...(ii)

Keterangan :

Nt = ukuran populasi pada tahun ke-t

Fxm = fecundity pada kelas umur muda

Xm = jumlah individu pada kelas umur muda

Fxd = fecndity pada kelas umur dewasa

Xd = jumlah individu kelas umur dewasa dengan batas masksimum

melahirkan 12 tahun δb = proporsi kelas umur bayi

Xb = jumlah individu kelas umur bayi

Pxb = peluang hidup bayi

δa = proporsi kelas umur anak

Xa = jumlah individu kelas umur anak

Pxa = peluang hidup anak

δm = proporsi kelas umur muda

Xm = jumlah individu kelas umur muda

Pxm = peluang hidup muda

δd = proporsi kelas umur dewasa.

Gambar

Gambar 1  Jalur pengamatan tumbuhan pakan.
Tabel 2  Ketinggian tempat ditemukannya kelompok monyet ekor panjang  Lokasi  Kelompok  Ketinggian (m dpl)  Topografi  SM Paliyan
Tabel 3  Kelembaban dan suhu ditemukannya kelompok monyet ekor panjang
Gambar 3  Tumbuhan  pakan monyet ekor panjang  (a) Tembelekan (Lantana camara)   dan (b) Belimbing kosek (Averhoa sp)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Terna merupakan ide pusat dalam suatu cerita, atau merupakan pokok pikiran yang utama atau yang terpenting. Pokok pikiran utama dalam naskah Ma'rifatul Bayan ini,

Menurut Mrowec dengan peningkatan suhu maka atom oksigen yang teradsorbsi dapat menarik elektron dari daerah yang lebih dalam dengan ionisasi ganda (O 2- ), bahkan

Dalam pengertian yang luas sebagai perasaan na- sional lagu-lagu perjuangan disebut sebagai lagu wajib yang diajarkan mulai pada tingkat pendidikan dasar, hingga perguruan tinggi

pendukung kehidupan bayi anda (plasenta, rahim, membrane, cairan dan pasokan darah ibu) bertumbuh selama kehamilan, berkembang sesuai yang dibutuhkan untuk memenuhi

kaca (glass) dan karbon (carbon) dan serat sintetik serta fiber dari bahan alami yang dapat dipakai adalah ijuk, jerami, serabut kelapa dan lainnya pada beton yang

Anak Usia Dini adalah anak dimana hampir sebagian besar waktunya digunakan untuk bermain dengan bermain itulah Anak UsiaDini tumbuh dan mengembangkan seluruh aspek yang

Pengembangan instrumen bertujuan untuk menyelidiki karakteristik dan kriteria kualitas instrumen tes berupa soal esai berbasis HOTS yang dihasilkan dan digunakan untuk mengukur

Dari hasil ini menunjukkan adanya kesamaan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Aldo Herlambang Gardjito dkk (2014), Diana Khairani Sofyan (2013), Fariz Ramanda