• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENENTUAN UKURAN POPULASI MINIMUM LESTARI MONYET EKOR PANJANG Macaca fascicularis BERDASARKAN PARAMETER DEMOGRAFI (STUDI KASUS DI PROVINSI LAMPUNG)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENENTUAN UKURAN POPULASI MINIMUM LESTARI MONYET EKOR PANJANG Macaca fascicularis BERDASARKAN PARAMETER DEMOGRAFI (STUDI KASUS DI PROVINSI LAMPUNG)"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

MONYET EKOR PANJANG Macaca fascicularis

BERDASARKAN PARAMETER DEMOGRAFI

(STUDI KASUS DI PROVINSI LAMPUNG)

RIKHA ARYANIE SURYA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

PERNYATAAN

MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penentuan Ukuran Populasi Minimum Lestari Monyet Ekor Panjang Macaca fascicularis Berdasarkan Parameter Demografi : Studi Kasus di Provinsi Lampung adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

Rikha Aryanie Surya NRP. E351080175

(3)

ABSTRACT

RIKHA ARYANIE SURYA. Determining Minimum Viable Population of Long-tailed Macaque Macaca fascicularis Based on Demographic Parameters : Case study on Lampung Province. Under the supervision of YANTO SANTOSA and AGUS PRIYONO KARTONO.

Determining minimum viable population is a fundamental corestone for conservation biology, but this estimate requires representative demographic parameters. Long-tailed macaque is facing seriously treatened due to high demand for exporting purpose. The need for quota is almost fulfilled from wild harvest and requires from certain age structure and only for male. As impact of this requirement, it will be dangerous for its sustainability in the future. The objectives of the research were to determine minimum viable population, to identify determine variables of minimum viable population and to identify environment factors which influence the minimum viable population. Data of environment factors and demographic parameters were obtained from four different habitat types in Lampung Province. The algebra of Leslie Matrix was used to determine the minimum viable population. The research resulted in the value of minimum viable population varied from each group and its average number was 35 individual consist of 3 male and 6 female of infant, 3 male and 7 female of juvenile, 1 male and 3 female of sub adult, and 3 male and 7 female of adult. The parameter demographic variables which determined the minimum viable population were survival and fecundity. The sensitive analysis and regression showed that survival was the most sensitive variable with the equation was Y = 0,031X1 + 0.518. Multivariate regression analysis was used to identify

the environment factors which affected the birth and the death. It showed that the tree density was the most influenced environment variables to birth with equation was Y = 2,478 + 1,56X4 and the death was infleunced by tree density and pole

density with the equation was Y = 3,837-2,55X4 -1,93X2

Key words : environment variables, fecundity, longtailed macaque, minimum viable population, and survival.

(4)

RINGKASAN

RIKHA ARYANIE SURYA. Penentuan Ukuran Populasi Minimum Lestari Monyet Ekor Panjang Macaca fascicularis Berdasarkan Paramater Demografi: Studi Kasus Provinsi Lampung. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Macaca fascicularis Raffles.1821 yang dikenal juga sebagai monyet ekor

panjang adalah salah satu jenis primata yang tersebar berbagai tipe habitat mulai dari ujung Pulau Sumatera sampai Pulau Lombok dan sekitarnya. Ancaman serius bagi spesies ini adalah tingginya permintaan terhadap satwa ini untuk memenuhi kebutuhan ekspor. Permintaan untuk memenuhi kuota lebih ditekankan pada kelas umur tertentu dan jenis kelamin tertentu dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut lebih banyak diambil dari tangkapan langsung di alam. Dalam tiga tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan kuota monyet ekor panjang Indonesia. Apabila pengambilan dari alam ini tanpa kajian ilmiah yang tepat maka kelestarian monyet ekor panjang di alam akan semakin terancam. Menurut IUCN Red List, status monyet ekor panjang saat ini adalah near threatened. Tolak ukur dari kelestarian adalah ukuran populasi minimum lestari atau yang dikenal dengan Minimum

Viable Population (MVP). Penentuan ukuran populasi minimum lestari sangat

penting dalam manajemen populasi terutama dalam rangka penyusunan rencana pengelolaan suatu spesies. Selain itu, pengetahuan ini menjadi dasar dalam menetapkan status konservasi suatu spesies. Ukuran populasi minimum lestari merupakan tujuan utama dalam konservasi biologi. Pada umumnya ukuran populasi minimum lestari yang diperoleh merupakan ukuran populasi secara keseluruhan dan belum menunjukkan perbedaan kelas umur, padahal peluang hidup pada masing-masing kelas umur berbeda. Data dan informasi ini sangat penting dalam rangka pengaturan populasi agar kelestariannya terjamin dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai penentuan ukuran populasi minimum lestari berdasarkan parameter demografi untuk setiap kelas umur.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan ukuran populasi minimum lestari monyet ekor panjang, mengidentifikasi parameter demografi yang menentukan ukuran populasi minimum lestari dan mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan penentu yang mempengaruhi ukuran populasi minimum lestari. Penelitian ini dilakukan di empat tipe habitat di Provinsi Lampung yaitu hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai dan kebun campur. Data yang dikumpulkan berupa data parameter demografi monyet ekor panjang yang meliputi ukuran kelompok, struktur umur dan jenis kelamin. Data faktor lingkungan yang dikumpulkan diantaranya suhu, kelembaban, ketinggian dan kerapatan potensi vegetasi pakan monyet ekor panjang di tiap tipe penutupan lahan.

Pada penelitian ini ukuran kelompok bervariasi pada tiap tipe penutupan lahan. Ukuran kelompok tertinggi terdapat di kebun campuran dengan ukuran kelompok bervariasi antara 39 – 56 individu. Di hutan sekunder dan sekitar genangan ukuran kelompok yang ditemukan bervariasi antara 34 – 47 individu, di hutan pantai 39 – 47 individu dan ukuran kelompok terendah ditemukan di hutan primer dengan ukuran 16 – 26 individu. Struktur umur kelompok-kelompok monyet ekor panjang yang ditemukan di tiap tipe penutupan lahan hampir

(5)

semuanya menunjukkan bahwa komposisi tertinggi terdapat pada struktur umur muda dan komposisi terendah ada pada struktur bayi. Oleh karena itu dilakukan penyusunan struktur populasi dalam kelas umur yang sama dengan membagi ukuran populasi ke dalam selang kelas umurnya. Dengan demikian akan diperoleh gambaran struktur umur yang meningkat dimana kelas umur bayi lebih tinggi daripada kelas umur lainnya (progressive populations). Kondisi ini akan mendukung regenerasi satwa sehingga dapat berlangsung dengan baik di masa yang akan datang. Hasil pengamatan terhadap seks rasio menunjukkan bahwa seks rasio produktif kelompok untuk monyet ekor panjang di tiap tipe penutupan lahan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Seks rasio umur produktif kelompok berkisar antara 1:1,8 sampai 1 : 2,3 dan sex rasio total berkisar antara 1 : 1,6 – 1 : 2,4. Natalitas semua kelompok di hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai dan kebun campuran memiliki nilai yang bervariasi antara 0,391 – 0,57. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata setengah dari betina produktif mampu menghasilkan anak dengan asumsi bahwa jumlah pada setiap kelahiran 1 ekor.

Penentuan ukuran populasi minimum lestari dilakukan dengan menggunakan aljabar dari Matriks Leslie yang telah dimodifikasi dan menghasilkan rata-rata minimum kelompok adalah 35 individu yang terdiri dari 3 bayi jantan dan 6 bayi betina ; 3 anak jantan dan 7 anak betina ; 1 muda jantan dan 3 muda betina ; 3 dewasa jantan dan 7 dewasa betina. Peubah penentu dari ukuran populasi minimum lestari adalah peluang hidup dan fecundity. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan peluang hidup merupakan peubah yang paling sensitif dengan persamaan Y = 0,031X+ 0.518. Nilai rata-rata dari peluang hidup adalah 0.59. Uji sensitivitas dilakukan terhadap peluang hidup dengan melakukan penambahan dan pengurangan sebesar 10% dari peluang hidup rata-rata. Analisis regresi berganda dilakukan untuk menentukan faktor lingkungan yang mempengaruhi ukuran populasi minimum lestari yang menghasilkan kerapatan vegetasi pakan pada tingkat pancang (X2) dan pohon (X4) merupakan faktor

lingkungan yang mempengaruhi kelahiran dengan persamaan Y = 2,478 + 1,56X4

dan persamaan untuk kematian adalah Y = 3,837-2,55X4 -1,93X2.

Kata kunci : faktor lingkungan, monyet ekor panjang, parameter demografi, ukuran populasi minimum lestari.

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(7)

PENENTUAN UKURAN POPULASI MINIMUM LESTARI

MONYET EKOR PANJANG Macaca fascicularis

BERDASARKAN PARAMETER DEMOGRAFI

(STUDI KASUS : PROVINSI LAMPUNG)

RIKHA ARYANIE SURYA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada

Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(8)

Judul Tugas Akhir : Penentuan Ukuran Populasi Minimum Lestari Monyet Ekor Panjang Macaca fascicularis Berdasarkan Parameter Demografi (Studi Kasus : Provinsi Lampung)

Nama : Rikha Aryanie Surya

NRP : E351080175

Disetujui, Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA.

NIP. 19600410 198501 1 001

Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. NIP. 19660221 199103 1 001

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Konservasi Keanekaragaman Hayati Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA.

NIP. 19600410 198501 1 001

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. NIP. 19560404 198011 1 002

(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister profesi konservasi keanekaragaman hayati dari Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Provinsi Lampung.

Ungkapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada: (1) Departemen Kehutanan, yang telah memberikan izin dan kesempatan melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor; (2) Bapak Ambar Dwiyono (Kepala BKSDA Lampung) yang mendukung penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan dengan lancar; (3) Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA (ketua komisi pembimbing) dan Dr. Ir. Agus P Kartono, MSi (anggota komisi) atas curahan pemikiran, waktu, kesabaran dalam memberikan arahan, bimbingan hingga selesainya penulisan tesis ini; (4) Ir. Puspa Dewi Liman, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian sidang tesis yang telah menyediakan waktunya, memberikan koreksi, masukan dan saran untuk penyempurnaan tesis ini (5) Helen Thirlway (Director International Primate Protection League UK) atas bantuan dana penelitian; (6) Karmele Llano Sanchez dan Aris Hidayat (International Animal

Rescue Indonesia) yang telah memberikan dukungan dan fasilitas kepada penulis

sehingga pelaksanaan penelitian di lapangan dapat berjalan lancar (7) Polhut dan PEH BKSDA Lampung (Pak Rusmaidi, Edi, Nandri dan Irham) yang telah membantu pelaksanaan penelitian di lapangan; (8) Papa dan Mama tercinta serta adik-adik atas segala doa dan dukungannya, suami tercinta Edward Rahadian,SP dan anak-anakku tersayang Sarah Nafisya Laila dan Sophie Nayla Aurellia atas kasih dan dukungan selama penulis menjalani studi. (8) Teman seangkatan Profesi KKH 2008 (Tuti, Mba Atun, Fitri, Mba Nur, Mba Ika, Desy, Mba Lita, Yaya, Lily, Titi, Astri, Chica, Mas Kus, Mba Maria, Aji, Bambang, Allan, Yaqub, Ginda, Yudi, Harris, Steph, Pak Taqi dan Mas Ipung) terima kasih atas, kebersamaan, kekompakan dan kerjasama dalam suka dan duka (9) Pak Sofwan, Bi Uum dan Pak Ismail yang selalu siap membantu dengan pelayanan terbaiknya .

Semoga hasil penelitian yang dituangkan dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Agustus 2010

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 4 April 1976 di Palembang. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Surya Dirdja dan Ibu Yuniar. Pada tahun 1988 menamatkan Pendidikan Sekolah Dasar di SDN 3 Tanjung Karang, tahun 1991 menyelesaikan Pendidikan Menengah Pertama di SMP Negeri 6 Tanjung Karang. Tahun 1994 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Tanjung Karang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 1999.

Tahun 2000 – 2001 penulis bekerja sebagai PNS di Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lampung Tengah. Sejak tahun 2001 sampai sekarang penulis bekerja di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung sebagai pejabat fungsional Pengendali Ekosistem Hutan. Tahun 2008 penulis ditugaskan sebagai karyasiswa Kementerian Kehutanan pada program Magister Profesi IPB pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian tentang “Penentuan Ukuran Populasi Minimum Lestari Monyet Ekor Panjang Macaca fascicularis Berdasarkan Parameter Demografi di Provinsi Lampung” yang dibimbing oleh Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, MSi sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

(12)

ix Halaman DAFTAR ISI ... i DAFTAR TABEL ... ii DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan Penelitian ... 2 1.3. Manfaat Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bioekologi Monyet Ekor Panjang 2.1.1. Taksonomi ... 4

2.1.2. Morfologi dan Anatomi ... 4

2.1.3. Penyebaran Geografi ... 5

2.1.4. Habitat ... 6

2.1.5. Jenis Pakan ... 6

2.1.6. Perilaku ... 7

2.2. Parameter Demografi monyet ekor panjang 2.2.1. Natalitas ... 8

2.2.2. Mortalitas ... 9

2.2.3. Reproduksi ... 10

2.2.4. Kematangan Seksual ... 11

2.2.5. Masa Kehamilan ... 11

2.2.6. Umur Maksimum Melahirkan ... 11

2.2.7. Jumlah Anak Per Kelahiran... 12

2.2.8. Seks Rasio ... 12

2.2.9. Struktur Umur ... 13

2.3. Ukuran Populasi Minimum Lestari ... 13

2.4. Pendekatan untuk Menentukan Ukuran Minimum Lestari ... 14

III. KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 3.1. Letak dan Luas ... 18

3.2. Iklim ... 20

3.3. Flora ... 20

3.4. Fauna ... 21

IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu... 23

4.2. Alat Penelitian ... 23

4.3. Jenis Data yang Dikumpulkan ... 23 4.4. Metode Pengumpulan Data

(13)

x

4.4.2. Pengumpulan Data Tumbuhan Sumber Pakan ... 25

4.4.3. Pengumpulan Data Biofisik ... 25

4.5. Pengolahan dan Analisis Data 4.5.1. Penentuan Ukuran Populasi Minimum Lestari ... 25

4.5.2. Analisis Peubah-peubah Parameter Demografi ... 28

4.5.3. Analisis Sensitivitas Peubah Penentu Ukuran Populasi Minimum Lestari ... 29

4.5.4. Analisis Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Ukuran Populasi Minimum Lestari ... 29

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Karakteristik Habitat ... 31

5.2. Faktor Lingkungan 5.2.1. Ketinggian Tempat ... 33

5.2.2. Suhu Udara ... 34

5.2.3. Kelembaban Udara ... 36

5.2.4. Potensi Tumbuhan Pakan ... 37

5.3. Parameter Demografi 5.3.1. Ukuran dan Komposisi Kelompok ... 43

5.3.2. Struktur Umur dan Seks Rasio ... 46

5.3.3. Natalitas dan Mortalitas ... 49

5.4. Penentuan Ukuran Populasi Minimum Lestari ... 51

5.5. Peubah Penentu Ukuran Populasi Minimum Lestari ... 54

5.6. Analisis Sensitivitas Peubah Penentu Ukuran Populasi Minimum Lestari ... 55

5.7. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Ukuran Populasi Minimum Lestari ... 55

VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Simpulan ... 57

6.2. Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(14)

xi Halaman 1 Kepadatan populasi monyet ekor panjang di beberapa tempat ... 9 2 Seks ratio monyet ekor panjang di beberapa tempat ... 13 3 Ketinggian tempat dan topografi masing-masing kelompok

pada tiap tipe habitat ... 33 4 Suhu udara dan kelembaban masing-masing kelompok

pada tiap tipe habitat ... 35 5 Kerapatan tumbuhan pakan pada berbagai tingkat pertumbuhan

Masing-masing kelompok pada tiap tipe habitat ... 37 6 Empat jenis vegetasi dengan kerapatan tertinggi di hutan primer .... 38 7 Empat jenis vegetasi dengan kerapatan tertinggi di hutan sekunder 39 8 Empat jenis vegetasi dengan kerapatan tertinggi di hutan pantai ... 40 9 Empat jenis vegetasi dengan kerapatan tertinggi di kebun ... 41 10 Ukuran dan komposisi kelompok monyet ekor panjang di masing-

masing tipe habitat ... 45 11 Struktur umur monyet ekor panjang berdasarkan ciri-ciri kua litatif 47 12 Seks rasio monyet ekor panjang di tiap tipe habitat ... 49 13 Natalitas dan laju mortalitas monyet ekor panjang di tiap tipe habitat 50 14 Ukuran populasi minimum lestari monyet ekor tiap kelompok……. 52 15 Analisis sensitivitas peluang hidup terhadap ukuran populasi

minimum lestari ... 55

(15)

xii Halaman

1 Peta lokasi Register 39 Batu Tegi ... 18

2 Peta lokasi Kelumbayan ... 19

3 Bentuk dan ukuran jalur pengamatan populasi monyet ekor panjang dan inventarisasi vegetasi ... 25

4 Habitat hutan primer ... 32

5 Habitat hutan sekunder ... 32

6 Habitat hutan pantai ... 32

7 Habitat kebun campur ... 32

8 Jenis tumbuhan bawah yang menjadi sumber pakan monyet ekor panjang di hutan sekunder ... 40

9 Persentase jenis tumbuhan berdasarkan bagian tumbuhan yang dimakan di masing-masing habitat ... 42

10 Monyet ekor panjang yang ditemukan di tiap habitat ... 44

11 Struktur umur kelompok monyet ekor panjang di tiap tipe habitat .. 48

12 Nilai ukuran populasi minimum lestari masing-masing kelompok dan nilai rata-rata kelompok ... 53

13 Nilai ukuran populasi minimum lestari kelompok satu ... 53

14 Grafik hubungan antara ukuran populasi minimum lestari dengan peluang hidup dan fecundity ... 54

(16)

xiii Halaman

1 Kerapatan jenis tumbuhan pakan pada berbagai tingkatan di

tap tipe habitat... 63 2 Penentuan ukuran populasi minimum lestari tiap kekompok monyet

ekor panjang ... 69 3 Hasil analisis regresi linier berganda dengan metode stepwise ... 77

(17)

1.1. Latar Belakang

Macaca fascicularis yang dikenal juga sebagai monyet ekor panjang

adalah salah satu jenis primata yang tersebar luas di seluruh daratan Asia Tenggara (Eudey 2008). Di Indonesia, jenis primata ini secara alami hidup tersebar di berbagai tipe habitat dari hutan pantai hingga hutan pegunungan mulai dari ujung Pulau Sumatera sampai Pulau Lombok dan sekitarnya (Purnama 2008). Walaupun memiliki penyebaran yang luas, keberadaan monyet ekor panjang terus mengalami penurunan (Eudey 2008). Ancaman serius bagi spesies ini adalah tingginya permintaan ekspor terhadap satwa ini untuk memenuhi kebutuhan riset biomedis (Marck & Eudey 1984). Menurut IUCN Red List, status monyet ekor panjang saat ini adalah near threatened.

Berdasar data UNEP-WCMC CITES (2008), jumlah eksport monyet ekor panjang Indonesia dari tahun 1997 sampai tahun 2006 mencapai 24.811 ekor. Data Dephut (2008) menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir telah terjadi peningkatan jumlah kuota tangkap monyet ekor panjang dari alam di wilayah Indonesia. Kuota tangkap monyet ekor panjang dari alam tahun 2006 adalah 2.000 ekor, tahun 2007 meningkat menjadi 4.100 ekor dan untuk tahun 2008 naik menjadi 5.100 ekor. Di tahun 2009, kuota monyet ekor panjang mengalami peningkatan sampai tiga kali lipat hingga mencapai 15.100 ekor. Pemanfaatan untuk memenuhi permintaan ekspor ini terutama untuk kelas umur dan jenis kelamin tertentu yaitu jantan muda. Permintaan yang tinggi ini lebih banyak dipenuhi dari tangkapan langsung dari alam dan cenderung over eksploitasi. Apabila hal ini tidak dilakukan dengan kajian ilmiah maka akan membahayakan kelestariannya di alam (Eudey 2008, Purnama 2008, Sukarelawati 2008).

Tolak ukur dari kelestarian adalah ukuran populasi minimum lestari atau yang dikenal dengan Minimum Viable Population (MVP). Penentuan ukuran populasi minimum lestari sangat penting dalam manajemen populasi terutama dalam rangka penyusunan rencana pengelolaan suatu spesies. Selain itu, pengetahuan ini menjadi dasar dalam menetapkan status konservasi suatu spesies (Harcourt 2002). Ukuran populasi minimum lestari merupakan tujuan utama

(18)

dalam konservasi biologi (Shaffer 1981, Soule 1993, Akcakaya et al. 1999, Wielgus 2002).

Menurut Lande (1995), penentuan ukuran populasi minimum lestari berdasarkan parameter demografi lebih maju daripada berdasarkan genetika populasi terutama dalam menentukan kelestarian suatu spesies. Penelitian mengenai ukuran populasi minimum lestari berdasarkan parameter demografi pernah dilakukan di beberapa tempat dengan berbagai spesies terutama untuk spesies-spesies yang langka seperti yang dilakukan oleh Wielgeus (2002) untuk menentukan minimum viable population Grizzly bears di British Columbia, penentuan minimum viable population spiny rat Trimonys eliasi di Atlantic Forest yang dilakukan oleh Brito & Figueiredo (2003), pendugaan minimum viable

population kaka Nestor meridionalis di New Zealand oleh Leech et al. (2008),

Reed et al. (2003) meneliti pendugaan minimum viable population untuk 102 vertebrata, Goldingay & Hugh (1995) meneliti penentuan luas area untuk

minimum viable population Australian Gilding marsupial dan Howels & Jones

(1996) yang melakukan penelitian penentuan luasan hutan yang tersisa untuk mendukung minimum viable population wild boar di Scotlandia. Sebaliknya, untuk satwa dengan pemanfaatan tinggi penelitian ini masih jarang dilakukan.

Pada umumnya ukuran populasi minimum lestari yang diperoleh merupakan ukuran populasi secara keseluruhan dan belum menunjukkan perbedaan kelas umur, padahal peluang hidup pada masing-masing kelas umur berbeda. Data dan informasi ini sangat penting dalam rangka pengaturan populasi agar kelestariannya terjamin dalam jangka panjang (Wielgus 2002). Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai penentuan ukuran populasi minimum lestari berdasarkan parameter demografi untuk setiap kelas umur.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian tentang penentuan ukuran populasi minimum lestari monyet ekor panjang berdasarkan paramater demografi dilakukan dengan tujuan untuk : 1. Menentukan ukuran populasi minimum lestari monyet ekor panjang

2. Mengidentifikasi parameter demografi yang menentukan ukuran populasi minimum lestari.

(19)

3. Mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan penentu yang mempengaruhi parameter demografi

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :

1. Menjadi dasar bagi pengelolaan monyet ekor panjang, baik yang hidup di alam maupun di penangkaran.

(20)

2.1. Bioekologi Monyet Ekor Panjang 2.1.1. Taxonomi

Lekagul dan Mc Neely (1977) mengklasifikasikan monyet ekor panjang ke dalam phyllum Chordata, sub phyllumVertebrata, class Mamalia, ordo Primata, sub ordo Anthropodea, family Cercopithecidae, sub famili Cercopithecidae, genus

Macaca dan spesies Macaca fascicularis. Nama ilmiah lainnya dari monyet

ekor panjang adalah Simia fascicularis Raffles (1821), Macaca irus Cuvier (1818) dan Simia cynomolgus Schrebeer (1775).

Monyet ekor panjang juga dikenal dengan nama monyet-kra atau ketek, kunyuk (Jawa/Sunda) serta crab-eating macaque dan long tailed macaque (Inggris).

Macaca fasicularis yang terdapat di Indonesia terdiri dari 11 sub-spesies

(Sody 1949dalam Mukhtar 1982) yaitu :

a. Macaca f. impudens Elliot : specimen berasal dari Kepulauan Riau b. Macaca f. fascicularis Raffles : specimen berasal dari Sumatera c. Macaca f. mandibularis Elliot : specimen berasal dari Kalimantan

d. Macaca f. carimatoe Elliot : specimen berasal dari Kepulauan Karimata, Pulau Serutu dan Pulau Pelapis.

e. Macaca f. mordax Thos & Wrough : specimen berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah

f. Macaca f. baweansus Elliot : specimen berasal dari Pulau Bawean

g. Macaca f. karimunjawa Tos & Wrough : specimen berasal dari Pulau Karimunjawa

h. Macaca f. submordax Thos & Wrough : specimen berasal dari Pulau Bali i. Macaca f. limiatus Schawrt : specimen berasal dari Pulau Timor

j. Macaca f. sublimiatus Sody : specimen berasal dari Pulau Sumba, Sumbawas, Flores dan Pulau Lombok.

k. Macaca f. laspsus Elliot : specimen berasal dari Pulau Bangka

2.1.2. Morfologi dan Anatomi

Menurut Aldrich-Blake (1976), monyet ekor panjang memiliki warna rambut coklat dan pada bagian perut berwarna lebih muda. Pada bagian muka

(21)

sering dijumpai rambut berwarna putih walau tidak semua monyet ekor panjang memilikinya. Hal ini merupakan tanda yang dapat membantu untuk mengenalnya terutama pada jantan dewasa. Pada saat bayi jenis ini memiliki rambut berwarna hitam dengan muka dan telinga berwarna merah muda. Setelah berumur 1 minggu, warna pada kulit muka akan memudar dan berubah berwarna abu-abu kemerah-merahan dan sekitar berumur 6 minggu warna berubah menjadi coklat.

Terdapat dua fase warna utama yaitu coklat keabu-abuan dan kemerah-merahan dengan kisaran yang luas antara keduanya. Warna rambut yang menutupi tubuh bervariasi tergantung pada umur, musim dan lokasi. Monyet yang menghuni kawasan hutan berwarna gelap dan lebih mengkilap sedangkan yang menghuni kawasan pantai umumnya berwarna terang

Pada individu dewasa panjang kepala dan badan berkisar antara 350 – 455 mm, panjang ekor 400 – 565 mm (Medway 1978). Ukuran telapak kaki belakang 120 – 140 mm, tengkorak 120 mm dan telinga 34 – 38 mm (Dirjen PHPA 1978). Aldrich-Blake (1976) menyatakan bahwa berat jantan dewasa berkisar antara 5 – 7 kg dan betina dewasa 3 – 4 kg.

Monyet ekor panjang memiliki ekor berbentuk silindris maskular ditutupi oleh rambut-rambut pendek. Umumnya panjang ekor tersebut antara 80 – 110 % dari panjang kepala dan badan. Satwa muda seringkali mempunyai jambul yang tinggi sedangkan monyet yang lebih tua mempunyai cambang lebat dan panjang mengelilingi muka. Ciri anatomi lain yang penting dari monyet ekor panjang adalah adanya kantong pipi (check pouch) yang berguna untuk menyimpan makanan sementara. Dengan adanya kantong pipi ini maka monyet ekor panjang dapat memasukkan makanan ke dalam mulut secara cepat dan mengunyahnya di tempat lain (Lekagul & McNeely 1977).

2.1.3. Penyebaran Geografi

Menurut Lekagul & McNeely (1977, penyebaran Macaca fascicularis adalah Indochina, Thailand, Burma, Malaya, Sumatera, Jawa, Borneo, Philipina dan beberapa pulau kecil lainnya. M. fascicularis dan M. nemestrima ditemukan di Sumatera dan Semenanjung Malaya serta Kepulauan Borneo (Crockett & Wilson 1977.

(22)

2.1.4. Habitat

Habitat adalah suatu tempat dimana organisasi atau individu biasanya ditemuka n. Habitat yang sesuai menyediakan semua kelengkapan habitat bagi suatu spesies selama musim tertentu atau sepanjang tahun. Menurut Bailey (1994), kelengkapan habitat terdiri dari berbagai jenis termasuk makanan, perlindungan dan faktor-faktor lain yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara berhasil. Hal ini menunjukkan bahwa habitat merupakan hasil interaksi antara berbagai komponen fisik yang terdiri dari tanah, air, topografi dan iklim serta komponen biologisnya yang mencakup tumbuhan, satwa liar dan manusia (Bismark 1984).

Monyet ekor panjang tersebar mulai dari hutan hujan tropika, hutan musim, hutan rawa mangrove sampai hutan pegunungan seperti di Himalaya (Supriatna et

al. 1996). Monyet ekor panjang banyak dijumpai di habitat-habitat terganggu

khususnya daerah riparian (tepi sungai, danau atau sepanjang pantai) dan hutan sekunder dekat dengan areal perladangan (Crockett & Wilson 1977). Selain itu juga terdapat di rawa mangrove yang kadang-kadang monyet ini hanya satu-satunya spesies dari anggota primata yang menempati daerah tersebut. Di daerah pantai kadang-kadang monyet ekor panjang terdapat secara bersama-sama dengan spesies lain seperti lutung (Presbytis cristata).

Menurut Crockett & Wilson (1977), kondisi habitat berpengaruh terhadap kerapatan populasi monyet ekor panjang. Kepadatan populasi di hutan sekunder umumnya lebih tinggi daripada hutan primer. Ukuran kelompok juga bervariasi menurut kondisi habitatnya. Di hutan primer satu kelompok monyet ekor panjang beranggotakan 10 ekor, di hutan mangrove 15 ekor dan di areal yang terganggu dapat lebih dari 40 ekor.

2.1.5. Jenis Pakan

Monyet ekor panjang merupakan salah satu jenis satwa pemakan buah (frugivorous) dan mempunyai kebiasaan makan yang sangat selektif. Penggolongan ini didasarkan pada banyaknya bagian tumbuhan yang dimakan oleh monyet ekor panjang tersebut. Besarnya presentase bagian buah yang dipilih sebagai pakan sebesar 71,01% dan 6,06% (Romauli 1993). Jenis pakan lain berupa serangga, bunga, rumput, jamur, tanah, molusca, crustacea, akar, biji,

(23)

dan telur burung (Lindburg 1980, Smith & Mangkoewidjojo 1988). Menurut Chievers (1974), Ficus spp, merupakan makanan paling penting bagi kera dan monyet di alam. Hal ini karena Ficus spp terdapat di hutan dan dapat berdaun muda sepanjang tahun serta berbuah 2 -3 kali setahun.

2.1.6. Perilaku

Monyet ekor panjang mempunyai aktivitas harian pada siang hari (diurnal) dan aktivitasnya lebih banyak dilakukan di atas permukaan tanah (terestrial) dibandingkan di atas pohon. Monyet ekor panjang tidur di atas pohon secara berpindah-pindah untuk menghindarkan diri dari pemangsa (predator). Di waktu pagi hari sekelompok monyet ekor panjang akan berjalan mencari makanan dengan formasi berdasarkan hirarki sosial. Jantan muda berjalan di depan dan di samping luar kelompok. Jantan dominan berjalan di tengah-tengah kelompok bersama-sama dengan betina beserta anaknya yang masih kecil. Pada saat makan individu yang paling dominan akan makan lebih dahulu kemudian yang lain mengikutinya berdasarkan pola hirarki (Napier & Napier 1967).

Menurut Suratmo (1979) pada saat istirahat monyet ekor panjang akan membentuk kelompok berdasarkan pola hirarkinya, yakni jantan dominan akan beristirahat dengan dikelilingi oleh betina-betina beserta anaknya yang masih kecil. Jantan dominan pada waktu bersistirahat berada di tempat yang lebih baik dan di tengah tempat makanannya. Pada waktu menghadapi bahaya atau saat monyet lain memasuki wilayah teirtorinya, jantan dominan dan jantan lainnya akan menghadapinya secara bersama-sama sedangkan betina dan anaknya menghindar dari bahaya.

Aldrich-Blake (1976) menyatakan bahwa pembagian waktu aktivitas harian monyet ekor panjang di alam terdiri dari 5% untuk makan, 20% untuk penjelajahan, 34% untuk istirahat, 125 untuk grooming dan kurang dari 0,5% untuk aktivitas lainnya. Data tersebut menunjukkan bahwa aktivitas harian monyet ekor panjang di alam didominasi oleh aktivitas makan dan istirahat. Di tempat penangkaran sistem setengah terbuka, monyet ekor panjang lebih banyak menghabiskan waktu aktivitas hariannya untuk beristirahat sekitar 56 – 74%.

(24)

2.2. Parameter Demografi Monyet Ekor Panjang 2.2.1. Natalitas

Natalitas yang disebut juga sebagai potensi perkembangbiakan adalah jumlah individu baru yang lahir dalam suatu populasi. Natalitas dapat dinyatakan dalam produksi individu baru dalam suatu populasi, laju kelahiran per satuan waktu atau laju kelahiran per satuan waktu individu (Odum 1971, Krebs 1978).

Menurut Santosa (1996) tingkat kelahiran adalah suatu perbandingan antara jumlah total kelahiran dan jumlah total induk (potensial induk bereproduksi) yang terlihat pada akhir periode kelahiran, sedangkan menurut Alikodra (1990) natalitas atau angka kelahiran adalah jumlah individu baru per unit perwaktu per unit populasi.

Angka kelahiran terdiri dari angka kelahiran kasar, yaitu angka perbandingan jumlah individu yang dilahirkan dengan seluruh anggota populasi dalam suatu periode waktu; dan angka kelahiran spesifik yaitu angka perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan pada kelas umur tertentu dengan jumlah induk yang melahirkan yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama periode waktu. Natalitas atau angka kelahiran ditentukan oleh faktor-faktor : (1) perbandingan komposisi kelamin, (2) umur tertua dimana individu mulai mampu untuk berkembangbiak (minimum breeding age), (4) jumlah anak yang dapat diturunkan oleh setiap individu betina dalam setiap kelahiran (fecundity), (5) jumlah melahirkan anak per tahun (fertility), dan (6) kepadatan populasi (Alikodra 2002).

Angka kelahiran kasar merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan terhadap jumlah induk dewasa. Angka kelahiran spesifik merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan pada kelas umur tertentu selama satu periode waktu dengan jumlah induk pada kelas umur tertentu (Alikodra 1990). Menurut Priyono (1998), laju natalitas spesifik monyet ekor panjang di alam tidak dapat dihitung secara tepat karena : 1) Umur setiap individu monyet ekor panjang di alam tidak dapat ditentukan secara pasti, 2) Pengelompokan umur setiap individu didasarkan atas ciri-ciri kualitatif dan 3) Selang waktu antar kelas umur tidak sama. Berdasarkan keterbatasan tersebut maka pendugaan laju natalitas didasarkan pada hasil pengamatan terhadap

(25)

kelompok monyet ekor panjang yang memiliki komposisi umur yang lengkap yaitu bayi, anak, muda dan dewasa. Pendekatan yang dilakukan dalam pendugaan laju natalitas adalah dengan menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut : 1) Anggota populasi pada kelas umur bayi merupakan jumlah kelahiran kumulatif selama 1,5 tahun, 2) Laju kematian pada setiap kelas umur adalah konstan, dan 3) Individu monyet ekor panjang yang dapat melahirkan termasuk ke dalam kelas umur muda dan dewasa.

Kepadatan populasi (D) adalah banyaknya populasi (P) dalam satu unit ruang (A) : D=P/A. Kepadatan monyet ekor panjang di beberapa tempat (alami) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kepadatan monyet ekor panjang di beberapa tempat

No Sumber Lokasi Jumlah (/ha)

1. Mukhtar (1982) TW & CA Pangandaran 2,3

2. Priyono (1998) Musi Hutan Persada 0,8

3. Supartono (2001) HPHTI RAPP, Riau

- perkebunan karet - sempadan S.Onangan

0,8 3,3

4. Suryantoro (2002) SM.Muara Angke 1,09

5. Fadillah (2003) Pulau Tinjil 1,09

6. Pamungkas (2001) SM.Gunung Pasemah

Hutan Napacilin

0,26 0,21

7. Widiyanti (2001) Ds.Nyemani KP,DIY 1,2

8. Darmawanus (2001) PPHK/SPDP Kalbar 14

2.2.2. Mortalitas

Kepadatan populasi dapat berkurang oleh faktor mortalitas. Kematian satwa liar dapat disebabkan oleh keadaan alam, kecelakaan, perekelahian dan aktivitas manusia. Mortalitas merupakan jumlah individu yang mati dalam suatu populasi. Mortalitas dinyatakan dalam laju kematian kasar, yaitu perbandingan antara jumlah kematian dengan jumlah total populasi selama satu periode waktu; dan laju kematian spesifik yang merupakan perbandingan antara jumlah individu yang mati dari kelas umur tertentu dengan jumlah individu yang termasuk dalam kelas umur tertentu selama periode waktu (Alikodra 2002).

d = D/N d = angka kematian D = jumlah yang mati N = total populasi

(26)

Mortalitas atau tingkat kematian adalah suatu perbandingan antara jumlah total individu yang mati dengan jumlah total individu (Santosa 1996). Angka laju kematian populasi monyet ekor panjang dapat diduga dari peluang hidup populasi setiap kelas umurnya (Supartono 2001). Kematian satwaliar dapat disebabkan karena berbagai faktor yaitu : 1) Kematian yang disebabkan oleh keadaan alam, seperti penyakit, pemangsaan, kebakaran dan kelaparan, 2) Kematian yang disebabkan karena kecelakaan, seperti tenggelam, tertimbun tanah longsor atau tertimpa batu, dan kecelakaan yang menyebabkan terjadinya infeksi sehingga mengalami kematian, 3) Kematian yang disebabkan karena adanya perkelahian dengan jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan, dan air serta persaingan untuk menguasai kawasan, dan 4) kematian yang disebabkan karena aktifitas manusia, seperti perusakan habitat, pemburuan, mati karena kecelakaan, terperangkap dan sebagainya.

Kematian monyet ekor panjang dalam perjalanan karena stress, kurang makan dan minum, salah pemeliharaan, transportasi dan penyakit. Persentase kematian dari penangkaran – eksportir dapat mencapai 2/3 dari yang ditangkap (Donna 2001). Menurut Djabbar (1994), angka kematian bayi monyet ekor panjang di dalam sistem penangkaran setengah terbuka rata-rata sebesar 10% (1,9% karena abortus, 4,1% mati sebelum disapih dan 3,6% mati setelah disapih).

2.2.3. Reproduksi

Menurut Van Lavieren (1982), monyet ekor panjang mencapai kedewasaan atau umur minimum dapat melakukan perkawinan berkisar antara 3,5 – 5 tahun. Sedangkan menurut Napier & Napier (1967) kematangan seksual pada monyet ekor panjang jantan adalah 4,2 tahun dan betina 4,3 tahun, umur 3,5 – 5 tahun (Van Lavieren 1983), dan umur 3 – 4 tahun (Djabbar 1994). Siklus menstruasi berkisar selama 28 hari dan lama birahi sekitar 11 hari.

Selang waktu pembiakan (breeding interval) terjadi antara 24 – 28 bulan, masa kehamilan berkisar antara 160 – 186 hari dengan rata-rata 167 hari. Jumlah anak yang dapat dilahirkan adalah satu ekor dan jarang sekali dua ekor (Lavieren 1983, Smith 1986) dengan berat bayi yang dilahirkan berkisar antara 230 – 470 gram. Masa laktasi berlangsung selama 14 – 18 bulan. Perkawinan dapat terjadi sewaktu-waktu dan ovulasi berlangsung spontan dengan rata-rata pada hari ke-12

(27)

sampai ke-13 pada siklus birahi. Panjang usia monyet ekor panjang sekitar 25 – 30 tahun (Napier & Napier 1967).

Menurut Santosa (1996) laju reproduksi adalah jumlah anak yang dihasilkan dari tiap betina yang sudah matang seksual. Induk betina dapat melahirkan tiap tahun bila induk diberi perlakuan berupa penyapihan anak pada umur 2-3 bulan dan induk dikondisikan untuk siap berreproduksi kembali (Djabbar 1994). Induk betina dapat melahirkan tiap 2 tahun bila masa sapih anak dibiarkan alami yaitu sampai anak berumur 1,5 tahun (Warwide 1960, Napier & Napier 1973). Pengelolaan seperti ini mengikuti laju reproduksi monyet ekor panjang di alam. Menurut Duryatmo (2008) pada monyet ekor panjang betina-betina dewasa yang telah menyapih anaknya akan dikawini kembali oleh jantan-jantannya dan ini berlangsung tiap hari tanpa adanya musim kawin.

2.2.4. Kematangan Seksual

Kematangan seksual adalah mulai siapnya individu untuk berreproduksi baik secara fisik (terutama dari kesiapan organ-organ reproduksi) dan mental (Santosa 1996). Menurut Van Lavieren (1983), monyet ekor panjang mencapai kedewasaan atau umur minimum dapat melakukan perkawinan berkisar antara 3,5 – 5 tahun, menurut Napier & Napier (1967), kematangan seksual pada monyet ekor panjang jantan adalah 4,2 tahun dan betina 4,3 tahun, sedangkan kematangan seksual monyet ekor panjang di penangkaran pada umur 3-4 tahun (Djabbar 1994). Siklus menstruasi berkisar selama 28 hari dan lama birahi sekitar 11 hari.

2.2.5. Masa Kehamilan (Gestation Period)

Menurut Santosa (1996) masa kehamilan merupakan waktu yang diperlukan dari mulai terjadinya pembuahan sampai anak dilahirkan. Menurut Napier & Napier (1967) masa kehamilan berkisar antara 160 – 186 hari dengan rata-rata 167 hari, sedangkan Lavieren (1983) menyatakan bahwa masa kehamilan monyet ekor panjang di alam yaitu 160-186 hari. Untuk monyet dalam penangkaran, masa kehamilan yaitu selama 6 bulan (Djabbar 1994)

2.2.6. Umur Maksimum Melahirkan dengan Laju Reproduksi Efektif

Laju reproduksi efektif adalah laju reproduksi dengan tingkat menghasilkan anak terbesar dengan waktu seminimal mungkin sehingga biaya pemeliharaan

(28)

induk dapat ditekan sekecil mungkin. Dengan demikian ratio keuntungan berupa anak yang dihasilkan dengan biaya pemeliharaan induk pada laju reproduksi efektif baik bila induk betina diberi perlakuan penyingkatan masa sapih anak atau induk betina membutuhkan waktu penyapihan secara alami) yaitu pada umur 4-12 tahun (Djabbar 1994). Setelah lebih dari 12 tahun mereka masih dapat berreproduksi namun laju reproduksinya sudah menurun. Hal ini tidak efektif lagi karena biaya pemeliharaan mereka lebih besar dari penerimaan yang bisa diperoleh (Santosa 1996).

2.2.7. Jumlah Anak Perkelahiran

Jumlah anak yang dapat dilahirkan adalah satu ekor dan jarang sekali dua ekor dengan berat bayi yang dilahirkan berkisar antara 230 – 470 gram (Finnes 1976, Van Lavieren 1983, Smith 1988). Di penangkaran dengan perbandingan seks ratio sebesar 1: 17, kehamilan terjadi 90% dari seluruh jumlah induk betina yang ada, dengan kelahiran hidup sebesar 90% dari seluruh induk betina yang hamil dan kematian anak pertahun sebesar 10% (Santosa 1996)

2.2.8. Seks Rasio

Seks ratio adalah perbandingan jumlah jantan dengan betina dalam satu populasi (Alikodra 1990). Table 2 menunjukkan seks ratio monyet ekor panjang di beberapa tempat.

Tabel 2 Seks ratio monyet ekor panjang di beberapa tempat

No Sumber Lokasi Seks

Ratio

1. Fadillah (2003) Pulau Tinjil 1 : 2,72

2. Supartono (2001) HPHTI RAPP, Riau

- perkebunan karet - sempadan S.Onangan 1 : 1,86 1 : 1,75 3. Pamungkas (2001) HPH.PT.RMTC SM.Gunung Pasemah Hutan Napacilin 1 : 1,47 1 : 1,07 1 : 1,25

4. Kurland 1973 Kalimantan Timur 1 : 1,8

5. Priyono (1998) Musi Hutan Persada 1 : 1,3

6. Hadinoto (1993) CV Inquatex, Bogor 1: 17

(29)

2.2.9. Struktur Umur

Struktur umur adalah perbandingan jumlah individu di dalam setiap kelas umur dari suatu populasi. Struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangan satwa liar, sehingga dapat dipergunakan pula untuk menilai prospek kelestarian satwa liar. Melakukan identifikasi umur satwa liar di lapangan akan mengalami banyak kesulitan, terutama karena sulitnya menangkap sejumlah contoh satwaliar untuk diperiksa dalam menentukan umurnya, sehingga perlu dicarikan pendekatan-pendekatan tertentu yang lebih sederhana (Alikodra 1990).

Menurut Van Lavieren (1982), pengelompokan yang paling sederhana adalah pengelompokan di dalam kelas umur bayi (new born), anak (juvenile), muda/ remaja (sub adult) dan dewasa (adult), sedangkan Turnquist & Hong dalam Bennett et al. (1995) mengelompokkan primate berusia 0,0-0,5 tahun ke dalam kategori bayi (infant). Periode ini ditandai dengan tumbuhnya gigi bersamaan dengan perkembangan perubahan wajah. Akhir periode ini ditandai oleh masa penyapihan. Sedangkan menurut Usia 4-5 tahun digolongkan dalam remaja (juvenile). Masa ini antara masa menyapih dan pubertas. Pergerakan hewan-hewan pada masa-masa ini benar-benar sudah terpisah dari induknya.

2.3. Ukuran Populasi Minimum Lestari

Istilah ‘minimum’ viable population (MVP) atau ukuran populasi minimum lestari merupakan istilah yang umum digunakan dalam konservasi biologi (Soule 1995). MVP merupakan ukuran populasi terkecil yang akan menjamin kelangsungan hidupnya dalam jangka panjang (Hunter 1996, Shaffer 1978). Lemkhul (1984) menyatakan definisi minimum viable population sebagai populasi terkecil yang terisolasi yang memiliki peluang 95,1% untuk dapat bertahan selama 100 tahun meskipun diketahui ada pengaruh dari demografi, lingkungan, genetic dan katastrop. Lebih lanjut Shaffer (1981) menyatakan bahwa istilah MVP merupakan kemungkinan peluang hidup suatu spesies dikatakan tinggi jika jumlah spesies tersebut dapat dipertahankan di atas ukuran tertentu. Sama halnya dengan penggunaan istilah ‘ optimum’, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu memberikan suatu rekomendasi kepada pembuat kebijakan dan pengelola dalam

(30)

manajemen populasi. Hal yang harus digarisbawahi adalah MVP mengandung definisi kelimpahan spesies (Soule 1995).

Menurut Gilpin dan Soule (1995), MVP dapat diartikan sebagai seperangkat penduga yang merupakan hasil dari suatu proses sistematik untuk menduga spesies, lokasi dan kriteria kelestarian populasi. Proses tersebut mengacu pada analisis populasi atau Population Viability Analysis (PVA).

PVA merupakan tahap lanjut dari analisis demografi yang bertujuan untuk mempelajari apakah suatu spesies mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup di suatu lingkungan (Bessinger & McCullough 2002, Morris & Doak 2002). Sebagai alat bantu yang penting bagi PVA diterapkan berbagai metode matematika dan statistika. Lebih lanjut PVA bermanfaat memantau fluktuasi ukuran populasi dari suatu spesies (Primack et al. 2007).

Menurut Soule (1995), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih spesies dalam analisis populasi adalah ;

1. Spesies yang aktivitasnya dapat menimbulkan gangguan habitat pada beberapa spesies lainnya;

2. Spesies yang mutualistik yang perilakunya dapat meningkatkan fitness (misalnya reproduksi, penyebaran) bagi spesies lainnya;

3. Spesies predator atau parasit yang mengganggu spesies lainnya dan keberadaanya akan menyebabkan penurunaan keragaman spesies lain;

4. Spesies yang memiliki nilai spiritual, estetika, rekresional atau memiliki nilai ekonomi bagi manusia.

5. Spesies yang langka dan terancam punah.

2.4. Pendekatan untuk Menentukan Minimum Viable Population

Ewens et al. (1995) menyatakan secara umum terdapat dua konsep penentuan minimum viable population. Konsep yang pertama adalah penentuan MVP berdasarkan genetik yang menekankan pada laju kehilangan genetik dari suatu populasi termasuk di dalamnya penurunan fitness dan genetic drift. Konsep yang kedua adalah penentuan MVP berdasarkan demografi yang menekankan pada kemungkinan terjadinya kepunahan populasi akibat dari tekanan demografi. Kedua konsep di atas, penentuan nilai MVP tergantung pada dua asumsi, yang pertama kriteria yang dipilih untuk mendefinisikan istilah MVP. Sebagai contoh

(31)

dengan menggunakan konsep demografi maka ukuran populasi yang dapat menjamin peluang kelestarian sampai 95% peluang hidup untuk y tahun tergantung pada nilai yang dipilih untuk y. Asumsi yang kedua menekankan pada model yang digunakan untuk menggambarkan perilaku dari suatu populasi. Nilai MVP akan dipengaruhi oleh ciri yang umum dari model misalnya struktur geografi, ukuran populasi maksimum, laju kematian dan laju kelahiran (absolut atau terpaut kepadatan) dan lainnya. Selain itu nilai MVP juga tergantung pada ciri-ciri yang lebih detail seperti nilai numerik dari parameter-parameter dalam kerangka yang lebih luas. Sebagai hasilnya adalah akan diperoleh nilai MVP dengan selang yang luas yang dapat digunakan untuk semua situasi, dan sebuah standard nilai numerik yang dapat digunakan sebagai ‘rule’ untuk MVP. Untuk mendapatkan nilai MVP berdasarkan demografi, simulasi komputer akan sangat membantu.

Lemkhul (1984) pertama yang menyatakan argumen penggunaan genetik sebagai dasar dalam penentuan minimum viable population. Selanjutnya Franklin (1980) menyatakan bahwa setidaknya diperlukan 50-500 individu untuk mempertahankan keragaman genetik. Angka tersebut diperoleh dari pengalaman praktis Franklin dalam membiakkan hewan budidaya (domestikasi) dan dalam meriset laju mutasi pada lalat buah. Jumlah minimun tersebut diperkirakan cukup efektif untuk menghindari tekanan silang dalam jangka pendek serta cukup efektif untuk mempertahankan variasi genetik dalam populasi. Selanjutnya Lande (1995) menyatakan setidaknya dibutuhkan 5.000 individu untuk mempertahankan variasi genetik yang dibutuhkan proses evolusi dan untuk menjamin keberadaan populasi tersebut. Aturan 50/500 sulit diterapkan karena asumsi tidak selalu didukung oleh kenyataan. Dalam aturan, dan 50/500 diasumsikan bahwa suatu populasi terdiri dari N individu dimana setiap individu memiliki kemungkinan yang sama untuk kawin serta menghasilkan keturunan. Pada kenyatannya, berbagai faktor termasuk umur, kesehatan, sterilisasi, kekurangan makanan, ukuran tubuh yang kecil, dan struktur sosial bekerja mencegah perkawinan sehingga banyak individu yang bersifat steril, tidak memproduksi keturunan. Banyak diantara faktor tersebut dipengaruhi degradasi dan fragmentasi habitat (Lemkhul 1984).

(32)

Beberapa penelitian untuk menentukan MVP berdasarkan parameter demografi dan genetik diantaranya adalah.

1. Wielgus (2002) menentukan minimum viable population grizzly bears di British Columbia. Dalam penelitiannya, penentuan nilai MVP dilakukan dengan menggunakan data parameter demografi grizzly bears dari enam lokasi. Model yang digunakan dengan matriks dengan asumsi tidak terpaut kepadatan, model pertumbuhan eksponensial. Daya dukung lingkungan (K) tidak dimasukkan karena tidak ada data untuk menduga variasi lingkungan dalam penentuan K. Dalam analisis populasi dibantu dengan menggunakan program RAMAS GIS

2. Brito et al. (2003) dengan penelitian penentuan MVP dan status konservasi dari spiny rat di Atlantic Forest. Parameter demografi digunakan sebagai dasar penelitian. Model matrik yang digunakan adalah model yang tidak terpaut kepadatan. Model simulasi dibantu dengan program VORTEX

3. Reed et al. (2003) melakukan pendugaan MVP untuk berbagai vertebrata. PVA digunakan untk menduga nilai MVP dari 102 spesies. Selain parameter demografi yang digunakan dalam pemodelan juga memasukkan katastrop. Faktor lingkungan dan tekanan inbreeding. Kriteria yang digunakan dalam penentuan MVP adalah (1) Rata-rata daya dukung (K) untuk 40 generasi dengan peluang 95% untuk mencapai kelestarian, (2) Ukuran populasi awal sama dengan K dengan asumsi sebaran umur stabil, (3) output dari heterozygosity digunakan untuk menghitung ukuran populasi efektif dari setiap nilai K. Untuk simulasi model dibantu dengan program VORTEX.

4. Leech et al. (2008) yang melakukan pendugaan MVP untuk kaka (Nestor

meridionalis) yang merupakan flagship dan indicator spesies di New

Zealand. Metode penentuan MVP dengan menggunakan data parameter demografi yang dimasukkan ke dalam matriks Leslie untuk menduga ukuran populasi dengan peluang kelestarian 95% dalam waktu 100 tahun. Simulasi model dibantu dengan program MATLAB 7.0.

(33)

5. Goldingay (1995) melakukan penelitian mengenai penentuan luas kawasan bagi kelestarian Australian Gilding masrupial dengan dasar parameter demografi seperti kematian, sex ratio dan kelas umur. Simulasi untuk menetukan peluang kelestarian 95% dengan menggunakan program ALEX. Dalam penelitian ini MVP digunakan sebagai dasar dalam penentuan luas habitat yang dapat menjamin kelangsungan hidup gilding

marsupial.

6. Howels & Jones (1996) melakukan penelitian penentuan luasan hutan yang tersisa untuk mendukung MVP wild boar di Scotlandia. MVP selain ditentukan oleh parameter demografi juga ditentukan oleh kepadatan, inbreeding dan faktor lingkungan. Ada empat skenario yang digunakan dalam pemodelan simulasi yaitu (1) terjadinya inbreeding, (2) laju kematian, (3) keragaman lingkungan dan (4) daya dukung lingkungan. Asumsi yang digunakan peluang kelestarian 95% dicapai dalam waktu 50 tahun. Simulasi model dibantu dengan program VORTEX.

(34)

Pada penelitian ini, pengamatan monyet ekor panjang dilakukan di 4 (empat) tipe penutupan lahan yaitu hutan primer di kawasan hutan lindung Register 39 Batu Tegi, hutan sekunder di sekitar bendungan Batu Tegi, hutan pantai Kiluan Negeri dan kebun campur di Kelumbayan. Tujuan dipilihnya keempat tipe penutupan lahan yang berbeda sebagai lokasi penelitian adalah untuk membandingkan faktor lingkungan dan parameter demografi monyet ekor panjang di tipe penutupan lahan yang berbeda.

3.1. Letak dan Luas

Register 39 Batu Tegi

Secara administrasi KHL (Kawasan Hutan Lindung) Register 39 Batutegi terletak diantara dua kabupaten, dibagian selatan masuk Kecamatan Pulau Panggung Kabupaten Tanggamus, dibagian utara perbatasan dengan Kabupaten Lampung

Gambar 1 Peta lokasi Register 39 Batutegi (Sumber : Dinas Kehutanan

(35)

Utara. Secara kelembagaan KHL Register 39 dibawah pengawasan Dinas Kehutanan Kabupaten Tanggamus.

Kawasan ini memiliki luas + 11.450 ha dan kawasan ini sangat penting karena merupakan ”catchment area” (sumber air) bagi bendungan/ waduk Batu Tegi.

Kiluan Negeri dan Kelumbayan

Pekon Kiluan Negeri secara administratif pemerintahan termasuk dalam Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus, Propinsi Lampung. Luas wilayah desa adalah 2.761 Ha. Secara geografis terletak pada koordinat 5o46’30”- 5o47’55” LS dan 105o05’05” – 105o06’20” BT.

Gambar 2 Peta lokasi Kiluan Negeri dan Kelumbayan (Sumber : Balai KSDA Lampung)

(36)

3.2. Iklim

Register 39 Batu Tegi

Suhu harian di daerah ini antara 23oC sampai 40o

Kiluan Negeri dan Kelumbayan

C dengan kelembaban antara 39% sampai dengan 81%. Iklim di wilayah ini termasuk kategori yang memeiliki kelembaban tinggi. Musim penghujan terjadi pada bulan September sampai Maret dan musim kemarau berlangsung pada bulan Mei sampai Agustus. Curah hujan rata-rata adalah 2349mm/tahun.

Musim penghujan di kawasan Teluk Kiluan dan Kelumbayan berlangsung selama bulan Desember – April dengan curah hujan tahunan rata-rata 2.350 mm. Suhu udara relatif konstan, dimana suhu rata-rata tertinggi terjadi bulan September-Oktober (29,10oC) dan suhu terendah terjadi pada bulan Juli dan November (25,12o

3.3. Flora

C). Berdasarkan data iklim dari stasiun pengamat cuaca terdekat yaitu di Kotaagung, maka tipe iklim di daerah tersebut menurut klasifikasi iklim Schmith dan Ferguson (1952) termasuk daerah tipe iklim B dengan nilai Q = 28,33, namun menurut klasifikasi iklim Koppen di daerah tersebut digolongkan ke dalam tipe A. Musim kemarau berlangsung selama bulan Juli sampai Oktober. Pada bulan-bulan tersebut kelembaban udara mencapai 68% – 82%, sedangkan kelembaban udara tertinggi diperoleh pada bulan Desember yaitu 85%. Topografi umumnya bergelombang, mengingat daerah tersebut dikelilingi oleh perbukitan dan pantai.

Register 39 Batu Tegi

Tipe hutan di kawasan ini adalah campuran dari hutan hujan dataran rendah dan gugus perbukitan yang berada di ketinggian antara 200 m dpl sampai 1800 m dpl, yang merupakan hutan campuran dari 4 tingkatan vegetasi, yaitu: tumbuhan bawah, semak, anakan pohon dan pohon. Untuk flora register 39 blok Way Rilau yang merupakan kawasan hutan yang termasuk dalam tipe hutan dataran rendah dan perbukitan mempunyai struktur dan komposisi vegetasi yang sangat beragam seperti

(37)

juga kebanyakan hutan heterogen lainnya. Jenis tumbuhan yang umum dijumpai untuk tingkatan pohon adalah Eughenia sp, Shorea sp, Dracontomelon sp, Nephelium

sp, Ficus spp, Dillenia sp, Artocarpus sp, bendo, pasang Quercus sp, durian hutan dll,

sedangkan pada tumbuhan bawah banyak terdapat jenis tepus (Hornstedia sp), rotan, telasih Euphatoriumsp, pandan-pandanan, pisang hutan Musa spp dan lainnya. Selain itu tedapat juga kebun/ladang yang didominasi jenis nangka, cempedak, rambutan, durian, kopi, dan lada. Di bagian areal dekat genangan merupakan hutan sekunder dan semak belukar.

Kiluan Negeri dan Kelumbayan

Dari luas daratan di Pekon/Desa Kiluan Negeri dan Kelumbayan hampir 75% dimanfaatkan oleh penduduk sebagai lahan pertanian lahan kering dan perkebunan. Pada umunya kebun merupakan kebun campuran yang merupakan kebun marga. Daerah hutan pantai memiliki luas hanya sekitar 50 hektar sedangkan luas kebun campuran mencapai 250 hektar. Komoditas yang banyak dikembangkan di Pekon Kiluan Negeri dan Kelumbayan tersebut adalah tanaman kelapa, kopi, pisang, cengkeh, lada, coklat dan padi. Lahan yang dipakai untuk menanam padi merupakan sawah tadah hujan yang berbatasan dengan kebun campur. Tanaman pisang dan sebagian lada merupakan tumpang sari dengan tanaman kelapa. Selain itu penduduk juga menanam berbagai jenis tanaman buah-buahan seperti duku, rambutan dan durian. Usaha lain adalah perikanan. Usaha perikanan yang ada di Pekon Kiluan Negeri adalah perikanan tangkap.

3.4. Fauna

Register 39 Batu Tegi

Berdasarkan hasil pengumpulan data keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna, yang dilaksanakan oleh BKSDA Lampung di Register 39 blok Way Rilau telah berhasil diinventarisasi untuk jenis fauna sedikitnya 15 mamalia besar diantaranya siamang Symphalangus syndactilus, simpai Presbitis melalophos, babi hutan Sus sp, rusa Cervus unicolor, jejak harimau sumatra Panthera tigris sumatrae, jejak dan feses beruang madu Helarctos malayanus, sigung, tupai pohon dan

(38)

sedikitnya 40 jenis burung yang ditemukan antara lain : elang laut perut putih, rangkong badak, julang mas, tepekong rangkong, udang punggung merah, tiong mas, cabai gunung, walet linchi.

Kiluan Negeri dan Kelumbayan

Di dalam kebun campur di Kelumbayan dijumpai beberapa jenis satwa diantaranya cecah Presbytis melalopos, lutung Presbytis cristata, siamang Hylobates

syndactilus, dan berbagai jenis burung. Pada hutan pantai Kiluan Negeri beberapa

jenis satwa yang ditemukan diantaranya berbagai jenis burung, biawak (Varanus

salvator) dan ular.

(39)

4.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Propinsi Lampung pada berbagai tipe penutupan lahan yaitu di hutan primer dan hutan sekunder di wilayah Register 39 Batu Tegi Kabupaten Tanggamus, hutan pantai di Kiluan Negeri dan kebun campuran di Kelumbayan Kabupaten Pasawaran. Penelitian berlangsung pada bulan November 2009 – Januari 2010.

4.2. Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta, kompas, teropong binokuler, termohygrometer, kamera digital, tambang plastik, kertas koran, gunting, alkohol 70%, alat tulis, tally sheet, perangkat lunak SPSS 16.

4.3. Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi :

a. Data bio-fisik habitat berupa (a) suhu dan kelembaban udara, (b) ketinggian tempat (c) dan tumbuhan pakan monyet ekor panjang.

b. Identitas satwa yang meliputi ukuran kelompok (populasi), kelas umur (anak, muda, dewasa) dan jenis kelamin (jantan dan betina).

4.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan langsung di lapangan dan didukung dengan studi literatur. Pengumpulan data melalui pengamatan lapang secara langsung dilakukan untuk memperoleh data dan informasi tentang komponen fisik dan biotik habitat kelompok-kelompok monyet ekor panjang. Studi literatur dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi paramater demografi monyet ekor panjang di alam, bioekologi, dan data paramater demografi (ukuran kelompok, sex ratio, komposisi umur dan jenis kelamin, angka kelahiran kasar dan mortalitas). Data dan informasi tersebut diperoleh dari hasil-hasil penelitian dan jurnal.

(40)

Metode pengumpulan data satwa, potensi tumbuhan pakan dan kondisi fisik habitat monyet ekor panjang tersebut adalah sebagai berikut:

4.4.1. Pengumpulan Data Satwa

Dalam pelaksanaan pengumpulan data satwa, terlebih dahulu dilakukan persiapan yang meliputi : orientasi lapangan, wawancara dengan petugas lapangan dan masyarakat setempat. Tujuan dari persiapan ini untuk mengetahui lokasi-lokasi dimana banyak ditemui monyet ekor panjang.

Pengumpulan data parameter demografi monyet ekor panjang dilakukan dengan metode sampling dimana lokasi yang dipilih adalah tempat satwa tersebut mudah untuk ditemukan. Pada masing-masing habitat diambil 3 (tiga) kelompok. Setelah ditemukan lokasi masing-masing kelompok, dilakukan pengamatan dan pencatatan data yang meliputi jumlah individu dalam kelompok, kelas umur, dan jenis kelamin. Mengingat kesulitan untuk menentukan umur monyet ekor panjang di lapangan maka data umur hanya didasarkan pada kategori yang mencakup bayi, anak, muda dan dewasa.

Pengamatan dilakukan pada 3 kelompok di tiap tipe habitat dan dilakukan sebanyak dua kali pada setiap jalur pengamatan yang sama yaitu pagi hari ( 6.00 – 9.00) dan sore hari ( 15.00 – 18.00). Seringkali monyet ekor panjang ditemukan berkumpul di tempat-tempat yang memiliki sumber pakan yang banyak atau di dekat sumber air. Jumlah total kelompok yang diamati adalah 12 kelompok.

4.4.2. Pengumpulan Data Tumbuhan Potensi Sumber Pakan

Jenis vegetasi sumber pakan monyet ekor panjang diketahui melalui analisis vegetasi di tiap kelompok monyet ekor panjang yang ditemukan. Data yang dikumpulkan meliputi nama jenis, nama famili dan bagian yang dimakan. Metode yang digunakan dalam analisis vegetasi adalah Metode garis berpetak (Soerianegara & Indrawan 1988), yakni pengamatan vegetasi dilakukan pada suatu petak yang dibagi-bagi ke dalam petak-petak berukuran 20m x 20m (digunakan untuk pengambilan data vegetasi tingkat pertumbuhan pohon (diameter ≥20 cm), 10 m x 10m (untuk vegetasi tingkat pertumbuhan tiang (diameter 10 sampai <20 cm), 5m x 5m (digunakan untuk vegetasi tingkat pertumbuhan pancang (diameter <10 cm, tinggi >1,5 m) dan 2m x 2m untuk

(41)

vegetasi tingkat pertumbuhan semai (tinggi <1,5 m; diameter <3 cm), semak dan tumbuhan bawah. Pada lokasi ditemukan kelompok monyet ekor panjang dilakukan analisa vegetasi untuk jenis pakan. Jumlah petak tiap kelompok sebanyak 10 petak ukur. Jumlah plot sebanyak 10 plot pada tiap kelompok yang ditemuka n. Jumlah total plot pengamatan adalah 120 plot.

C D B A A Arah B 100m C D

Gambar 3 Bentuk dan ukuran jalur pengamatan populasi monyet ekor panjang dan analisis vegetasi

4.4.3. Pengumpulan Data Biofisik

Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Ketinggian tempat. Untuk mengetahui ketinggian tempat pada suatu lokasi kelompok monyet ekor panjang dilakukan pengukuran dengan menggunakan altimeter.

b. Iklim mikro. Suhu udara dan kelembaban udara diukur dengan menggunakan termohygrometer.

Pengumpulan data biofisik dilakukan di setiap lokasi ditemukan kelompok, yaitu sebanyak 12 lokasi pengamatan.

4.5. Pengolahan dan Analisis data

4.5.1. Penentuan Ukuran Populasi Minimum Lestari

Ukuran populasi minimum lestari adalah ukuran populasi minimum yang dapat menjamin kelestariannya sepanjang masa. Untuk mengetahui peubah-peubah paramater demografi digunakan Matriks Leslie tidak terpaut kepadatan. Model pertumbuhan matriks ini baik digunakan untuk mengatur populasi satwa liar yang terancam punah atau yang dieksploitasi (Lesnoff 1999, Texeira 2006)

(42)

Pendekatan yang digunakan untuk menentukan ukuran populasi minimum lestari adalah dengan menggunakan aljabar dari Matriks Leslie yang telah dimodifikasi (Priyono 1998). Matriks Leslie ini hanya untuk jenis kelamin betina saja sedangkan untuk jenis kelamin jantan diperoleh dari seks rasio.

Bentuk Matriks Leslie yang dimodifikasi sebagai berikut :

N1 t+1 δ0 0 Fm Fd N1 t

N2 t+1 = p1 δ1 0 0 x N2 t

N3 t+1 0 p2 δ2 0 N3 t

N4 t+1 0 0 p3 δ3 N4 t

Keterangan :

N1 t+1 = ukuran populasi KUx pada tahun ke

N

t+1 1 t = ukuran populasi KUx pada tahun ke

F

t m =

F

fecundity pada kelas umur muda d

p

= fecundity pada kelas umur dewasa

x

kehidupan pada kelas umur berikutnya (age specific survival) = peluang hidup bagi individu kelas umur x untuk melangsungkan

δ = proporsi anggota populasi yang tidak mengalami peningkatan kelas umur

1. Peluang hidup (px

p

) untuk setiap kelas umur.

x

Lx Lx+1

= keterangan :

Lx+1 = jumlah individu yang hidup pada KU

L

x+1 x = jumlah individu yang hidup pada KUx

3. Natalitas kasar (mx

Natalitas kasar menyatakan suatu perbandingan antara jumlah individu kelompok umur bayi terhadap jumlah total individu betina produktif pada suatu periode tertentu. Dengan demikian, natalitas kasar dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

) keterangan : mx x = natalitas kasar i B

= jumlah bayi ditemukan pada kelompok ke-i

i

= Bi xi mx

(43)

1. Fecundity (Fx) = mx

Kemampuan/kapasitas induk betina dalam suatu populasi untuk menghasilkan anak.

Untuk menentukan ukuran populasi minimum lestari digunakan aljabar dari Matriks Leslie yang dimodifikasi. Ukuran kelestarian minimum dihitung untuk setiap jenis kelamin dan setiap kelas umur. Pada perhitungan ini yang digunakan untuk jenis kelamin betina. Kelestarian akan dicapai pada saat B-D = 0 dan Nt-No = 0. Perpotongan antara kedua titik persamaan tersebut merupakan ukuran populasi minimum lestari.

1. Birth = Death

B = Fm.Nm + Fd.Nd + δb N

D = (m

b

xb.Nb) + (mxa.Na )+( mxm.Nm) + (δmd.Nd

Berdasarkan persamaan-persamaan di atas, maka B = D maka diperoleh persamaan : ) Fm.Nm + Fd.Nd + δb.Nb = (mxb.Nb) + (mxa.Na )+( mxm.Nm) + (δmd.Nd keterangan : )...(1)

Fm = fecundity kelas umur muda, Nm = jumlah individu pada kelas umur

muda, Fd = fecundity kelas umur dewasa, Nd = jumlah individu pada kelas

umur dewasa, δb = proposri kelas umur bayi, mxb = kematian kelas umur bayi,

Nb = jumlah individu kelas umur bayi, mxa = kematian kelas umur anak, Na =

jumlah individu kelas umur anak, mxm = kematian kelas umur muda.

2. N0 = N1=N2=Ni = (Nbayi + Nanak + Nmuda + Ndewasa

N ) i = (Fm.Nm + Fd.Nd + δpb.Nb) + (pxb/1.5.Nb + δpa.Na) + (pxa/2.5.Na + δpm.Nm (p ) + xm/5.Nm + δpd.Nd δ ) ………..(2) pb =1- pxb/1.5 δmb=1- m δpa = 1- pxa/2.5 δma = 1- mb/1.5 δpm= 1- pxm/5 δmm =1- ma/2.5 δpd = 1- pxm/12 δmd = 1- m m/5 keterangan : d/12 Ni F

= ukuran populasi monyet ekor panjang

x

(44)

kelas umur px

kehidupan pada kelas umur berikutnya

= peluang hidup anggota populasi yang mampu melanjutkan

Persamaan-persamaan ukuran populasi seperti di atas digunakan karena pembagian selang umur antar setiap kelas umur tidak sama dan lebih dari satu tahun. Pada umumnya Matriks Leslie digunakan untuk populasi yang jelas cohortnya dan selang kelas umur satu tahun.

Ukuran kelestarian akan dicapai apabila Birth – Death = 0 dan Nt - N0 =

Sehingga persamaan menjadi :

0 Fm.Nm + Fd.Nd + δb Nb - (mxb.Nb) + (mxa.Na )+( mxm.Nm) + (δmd.Nd) = (Fm.Nm + Fd.Nd + δpb.Nb) + (pxb/1.5.Nb + δpa.Na) + (pxa/2.5.Na + δpm.Nm (p ) + xm/5.Nm +δpd.Nd keterangan : ) ...(3) Fm N

= fecundity kelas umur muda

m

F

= jumlah individu pada kelas umur muda,

d

N

= fecundity kelas umur dewasa

d

δb = jumlah individu pada kelas umur dewasa

m

= proporsi kelas umur bayi

xb

N

= kematian kelas umur bayi,

b

m

= jumlah individu kelas umur bayi,

xa

N

= kematian kelas umur anak,

a

m

= jumlah individu kelas umur anak,

xm

δ

= kematian kelas umur muda,

pb

δ

= proporsi kelas umur bayi yang tidak mengalami perpindahan ke kelas umur anak,

pa

δ

= proporsi kelas umur anak yang tidak mengalami perpindahan ke kelas umur muda,

pm

δ

= proporsi kelas umur muda yang tidak mengalami perpindahan ke kelas umur dewasa,

pd = proporsi kelas umur dewasa yang tidak mengalami kematian.

4.5.2 Analisis Peubah-peubah Parameter Demografi yang Menentukan Ukuran Populasi Minimum Lestari

Berdasarkan aljabar dari Matriks Leslie di atas dan persamaan yang digunakan, maka peubah parameter demografi yang mempengaruhi ukuran populasi (Nt+1) adalah peluang hidup (px) dan fekundity (Fx

Pengujian peubah-peubah parameter demografi yang menentukan ukuran populasi minimum lestari dilakukan dengan analisis regeresi linear. Persamaan regresi yang digunakan adalah :

Gambar

Tabel 1   Kepadatan monyet ekor panjang di beberapa tempat
Tabel 2  Seks ratio monyet ekor panjang di beberapa tempat
Gambar 1  Peta lokasi Register 39 Batutegi    (Sumber : Dinas Kehutanan     Provinsi Lampung)
Gambar 3   Bentuk dan ukuran jalur  pengamatan populasi monyet ekor  panjang dan analisis vegetasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini mengungkapkan struktur populasi, keragaman fenotipe kualitatif, dan keragaman genetik populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur (sebagai

Tujuan penelitian ini adalah untuk menduga parameter demografi monyet ekor panjang ( Macaca fascicularis ) yang terdiri dari ukuran populasi, angka kelahiran,

Metode pewarnaan HE dan MT digunakan untuk mengamati morfologi dan identifikasi sel-sel penyusun PI dan perkembangan buluh darah dan jaringan ikat secara histologis, sedangkan

Metode pewarnaan HE dan MT digunakan untuk mengamati morfologi dan identifikasi sel-sel penyusun PI dan perkembangan buluh darah dan jaringan ikat secara histologis, sedangkan

Penelitian ini mengungkapkan struktur populasi, keragaman fenotipe kualitatif, dan keragaman genetik populasi lokal monyet ekor panjang di Jawa Timur (sebagai

Penelitian ini perlu dilakukan untuk menganalisis persebaran kelompok, menghitung jumlah total individu, dan menganalisis bagaimana kondisi umum vegetasi di lokasi monyet ekor

Struktur populasi monyet ekor panjang pada kawasan TWA Pangandaran adalah sebanyak 195 individu dengan komposisi 23 jantan dewasa, 57 betina dewasa, 19 jantan remaja, 16

Survei menggunakan jalur untuk mengetahui jarak monyet ekor panjang dari pinggir sungai dan agar lebih efisien pada saat identifikasi monyet ekor panjang di habitat berbeda,