• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V STRUKTUR NAFKAH DAN KERAGAMAN PENDAPATAN

5.2 Struktur Pengeluaran Rumahtangga

Secara garis besar kebutuhan rumahtangga dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu kebutuhan primer, sekuder dan tersier. Pada tingkat

pendapatan tertentu, setiap rumahtangga akan mengalokasikan pendapatannya utnuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sehari-hari. Setiap rumahtangga memiliki pola pengeluaran (konsumsi) atau membelanjakan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pengeluaran rumahtangga menunjukkan berapa besar pendapatan rumahtangga yang digunakan untuk keperluan konsumsi. Tingkat pengeluaran ini tidak terlepas dari pendapatan suami, ibu dan anak. Dengan demikian, besaran pendapatan/tahun yang dibelanjakan untuk setiap kebutuhan tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan rumahtangga. Dilihat dari tingkat pendapatan rumahtangga pekerja batik tulis, dapat digolongkan sebagai penduduk miskin.

Tebel 5. Rata-Rata Tingkat Pengeluaran Rumahtangga Pekerja Batik Tulis Pada Industri Kecil dan Industri Besar

Jenis Kebutuhan

Industri Kecil Industri Besar Konsumsi (Rp/tahun) Konsumsi (Rp/tahun)

Primer 7,239,557 8,256,497

Sekunder 767,314 909,771

Tersier 776,743 1,091,886

Jumlah 8,783,614 10,258,154

Sumber: Diolah dari Data Primer Penelitian, 2011

Berdasarkan data pada Tabel 5 di atas, menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran total per tahun rumahtangga pekerja batik tulis pada masing-masing industri batik berbeda. Total pengeluaran ini berdasarkan jenih kebutuhan rumahtangga. Pada industri kecil, tingkat pengeluaran per tahun paling banyak dikeluarkan untuk kebutuhan primer sebesar Rp 7.239.557,00; kebutuhan sekunder sebesar Rp 767.314,00 dan kebutuhan tersier sebesar Rp 776,743,00. Sedangkan pada industri besar, tingkat pengeluran per tahun paling banyak juga pada kebutuhan primer, yaitu sebanyak Rp 8.256.297,00; kebutuhan sekunder sebesar Rp 909.771,00; dan kebutuhan tersier sebesar Rp 1.091.886,00. Pada Gambar 21, ditunjukkan persentase tingkat pengeluaran rumahtangga pekerja batik tulis pada industri kecil dan industri besar.

82

Keterangan:

npekerja batik industri kecil : 35

npekerja batik industri besar : 35

Uji Statistik Chi-Square, P-value = 0,6625 (Tidak Berbeda Nyata)

Gambar 20. Persentase Responden Menurut Tingkat Pengeluaran Rumahtangga pada Industri Kecil dan Industri Besar

Berdasarkan data Gambar 21 di atas, menunjukkan bahwa persentase tingkat pengeluaran rumahtangga menurut 70 responden pada kedua tipe industri batik. Tingkat pengeluran ini diukur berdasarkan kotegori ketiga jenis kebutuhan, baik primer, sekunder maupun tersier. Sesuai dengan perincian data yang diperoleh responden, kebutuhan primer ini terdiri dari: beras, minyak goreng, susu, buah- buahan, roti/camilan, gula, kopi/teh, lauk-pauk, pakaian dan kosmetik. Pada kebutuhan sekunder, terdiri dari: biaya kesehatan, biaya listerik, biaya pendidikan, biaya transportasi dan biaya kegiatan sosial. Kemudian, pada kebutuhan tersier terdiri dari: biaya telpon/pulsa, biaya buku dan alat-alat tulis, biaya hiburan, biaya lebaran, biaya pajak PBB, biaya pajak motor, biaya bensin/perawatan motor dan biaya pijit.

Melalui uji statistik chi-square sebesar P-value = 0,6625 (> 10%) yang artinya bahwa tingkat pengeluaran rumahtangga menyatakan tidak berbeda nyata pada kedua industri batik baik industri kecil maupun industri besar. Sesuai dengan hipotesis penelitian dapat dikatakan menolak H1, yaitu tidak terdapat

perbedaan dalam pengeluaran kebutuhan-kebutuhan pada rumahtangga pekerja batik tulis baik industri kecil maupun industri besar. Komposisi yang dibelanjakan

Primer 82,42% Sekunder 8,74% Tersier 8,84% Industri Kecil Primer 80,49% Sekunder 8.87% Tersier 10,64% Industri Besar

untuk kebutuhan memiliki proporsi yang sama antara keduanya. Hal ini disebabkan, tingkat pengeluaran rumahtangga baik pada industri kecil maupun industri besar persentase tersbesar adalah untuk kebutuhan primer. Pada industri kecil menunjukkan angka sebesar 82,42 % untuk kebutuhan primer, 8,47% untuk kebutuhan sekunder dan 8,84 % untuk kebutuhan tersier. Sedangkan, pada industri besar persentase terbesar juga untuk kebutuhan primer sebesar 80,49%, sebesar 8,87 % untuk kebutuhan sekunder dan sebesar 10,64% untuk kebutuhan tersier. Dari angka-angka tersebut, menunjukkan sebagian besar rumahtangga responden mengeluarkan porsi lebih banyak dari pengeluaran non-makanannya. Dari pendapatan yang diperoleh, pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan keperluan sehari-hari berupa pemenuhan pangan baik dari segi skala prioritas menempati urutan pertama. Pemenuhan kebutuhan untuk keperluan anak sekolah, kegiatan-kegiatan sosial pengeluaran yang kadang kala relatif cukup besar jumlahnya baik dari segi besarnya maupun skala prioritas menempati urutan kedua dan ketiga. Faktor jumlah anggota keluarga juga mempengaruhi tingkat konsumsi rumahtangga semakin banyak jumlah anggota rumahtangga maka semakin banyak pula konsumsi yang dikeluarkan oleh rumahtangga. Akan tetapi, jumlah pengeluaran yang dibelanjakan oleh setiap rumahtangga responden termasuk golongan yang sederhana. Dengan demikian, persentase pengeluaran rumahtangganya untuk makanan (dari total pengeluaran rumahtangga) jauh lebih besar. Di samping itu, pada industri besar untuk pengeluaran kebutuhan tersier menunjukkan lebih besar dibandingkan industri kecil.

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai perincian kebutuhan tersier, bahwa pada rumahtangga industri besar terdapat lebih banyak responden yang anggota rumahtangganya masih memerlukan biaya untuk pendidikan, untuk kebutuhan kendaraan bermotor dan alat komunikasi (handphone), sehingga pengeluaran untuk kebutuhan tersier menjadi lebih banyak. Kondisi ekonomilah yang memaksa mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan rumahtangga sesuai beban tanggungan anggota rumhtangganya. Dengan demikian, pekerja batik harus pandai mengelola keuangan rumahtangga untuk berbagai macam pengeluaran agar pendapatan suami dapat mencukupi kebutuhan rumahtangganya.

84

5.2.2 Tingkat Kemampuan SavingRumahtangga

Pendapatan yang diterima rumahtangga tidak seluruhnya digunakan untuk konsumsi, jika terdapat sisa pendapatan setelah dibelanjakan barang atau jasa biasanya digunakan untuk tabungan dan biasanya setiap rumahtangga mempunyai kebiasaan tertentu untuk mengalokasikan pendapatan menurut penggunaannya. Tabungan dipengaruhi oleh ukuran anggota dalam rumahtangga, semakin besar ukuran rumahtangga atau jumlah anggota rumahtangga maka semakin besar pula proporsi pendapatan yang dikeluarkan untuk konsumsi dan ini berakibat pada jumlah proporsi pendapatan untuk kemampuan menabung/saving. Selain itu, jumlah anggota keluarga yang bekerja akan menambah pendapatan yang diterima oleh kelaurga, misalnya: anak. Jadi tingkat menabung rumahtangga sama dengan pendapatan dikurangi konsumsi.

Tabel 6. Rata-Rata Tingkat Kemampuan Saving Rumahtangga Pekerja Batik pada Industri Kecil dan Industri Besar, Tahun 2011.

Jenis Industri Pendapatan Total (Rp/tahun) Konsumsi Total (Rp/tahun) Tingkat Saving (Selisih Pendapatan) Industri Kecil 17.404.701 8.783.614 8.621.086 Industri Besar 20.916.370 10.258.154 10.658.216

Sumber: Diolah dari Data Primer Penelitian, 2011

Berdasarkan data pada Tabel 6 di atas, menunjukkan bahwa rata-rata setiap rumahtangga pada industri kecil maupun industri besar memiliki tingkat kemampuan saving yang berbeda. Dari selisih antara total pendapatan rumahtangga per tahun dengan total konsumsi rumahtangga per tahun diperoleh hasil dari selisih pendapatan yang cukup tinggi. Dimana, pada rumahtangga industri kecil memiliki tingkat kemampuan menabung sebesar Rp 8.621.086,00 per tahun. Sedangkan pada rumahtangga industri besar memiliki kemampuan menabung sebesar Rp 10.658.216,00. Hal ini dikarenakan, pada industri besar total pendapatan rumahtangga menunjukkan lebih besar dibanding industri kecil, sehingga rumahtangga industri besar lebih mampu untuk mengalokasikan pendapatannya untuk menabung. Sisa dari rata-rata pendapatan total rumahtangga tersebut yang dinamakan tingkat kemampuan saving (saving ability). Dari

penjelasan data sebelumnya pada tabel 6 mengenai rata-rata tingkat pengeluaran rumahtangga, semua responden penelitian hanya menghafal pengeluaran yang mereka ingat saja setiap kebutuhan yang mereka perlukan dalam satu hari. Selain itu, mereka mencoba menutup-nutupi pengeluaran dikarenakan takut dianggap mewah atau berlebihan, sehingga sisa pendapatan tersebut masih digunakan untuk pengeluaran rumahtangga yang tidak terduga, baik yang dilakukan oleh suami, anak dan anggota rumahtangga lain yang masih menjadi tanggungjawab rumahtangga. Contoh pengeluaran-pengeluaran yang tidak terduga, seperti: biaya untuk kesehatan (sakit), biaya renovasi rumah, biaya perbaikan elektronik, biaya sumbangan rumahtangga, biaya cicilan motor (bagi yang memiliki motor), dan lain sebagainya. Beberapa pengeluaran yang tidak terduga tersebut biasanya bernilai cukup besar dan aktivitas pengeluaran tersebut dilakukan oleh para suami. Dengan demikian, sisa pendapatan (tingkat saving rumahtangga) pada industri kecil maupun industri besar digunakan untuk pengeluaran tak terduga dan untuk simpanan rumahtangga.

Pendapatan saya tidak dapat mencukupi untuk membiaya renovasi rumah. Apalagi keluarga saya masih banyak terlilit hutang sehingga untuk membangun rumah sudah tidak mampu lagi, kondisi atap rumah yang sudah bocor tidak sanggup untuk memperbaiki rumah. Untuk urusan biaya renovasi rumah saya serahkan kepada suami saya (Ibu Kty; pekerja batik industri kecil, 45 tahun).

Kasus Ibu Kty di atas, merupakan salah satu responden yang bekerja di industri kecil. Beliau memiliki hutang-hutang yang belum sanggup dibayarnya dengan upah membatik yang di dapat sangat kecil. Apalagi kondisi rumah beliau tidak layak untuk ditempati oleh anggota rumahtangga yang berjumlah enam orang, sehingga untuk membiayai renovasi rumah beliau menyerahkan sepenuhnya kepada pihak suami. Biaya renovasi rumah tidak pasti dikeluarkan setiap tahunnya. Biaya renovasi rumah tersebut merupakan salah satu pengeluraan rumahtangga yang tidak terduga dan jumlahnya cukup banyak.