BAB II KAJIAN TEORI
C. Struktur/Unsur Pembangun Novel
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur yang secara langsung turut serta membangun cerita. Kepaduan inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai jika kita membaca sebuah novel.
Prosa fiksi atau novel dibangun dengan dua unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Nurgiyantoro (Rokhmansyah,2014:32) mengatakan bahwa unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun yang terkandung didalam suatu karya sastra. Unsur intrinsik prosa fiksi atau novel terdiri atas tema dan amanat, tokoh dan penokohan, alur, latar, dan sudut pandang. Sedangkan unsur ektrinsiknya, prosa fiksiatau novel adalah unsur yang berada diluar prosa itu sendiri.
Nurgiyantoro (Rokmansyah,2014:33) menggemukakan bahwa unsur ekstrinsik itu terdiri atas unsur biografi, unsur psikologis, keadaan lingkungan, dan pandangan hidup seseorang. Sebuah novel akan terwujud
dengan baik jika antar unsur intrinsik saling terkait dan terpadu. Adapun unsur-unsur intrinsik yang dimaksud akan dijelaskan sebagai berikut.
a. Tema
Tema sebagai salah satu unsur karya, maupun untuk mendeskripsikan pernyataan tema yang dikandung dan ditawarkan oleh sebuah cerita fiksi. kedua hal itu berkaitan. Kejelasan pengertian tema akan membantu usaha penafsiran dan pendeskripsian pernyataan sebuah cerita fiksi.
Staton (1965:20) dan Kenny (1966:88) mengemukakan bahwa tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko & Rahmanto, 1986:142). Baldic (2001:258) mengemukaakan bahwa tema adalah gagasan abstrak utama yang terdapat dalam sebuah karya sastra atau yang secara berulang-berulang dimunculkan baik secara eksplisit maupun yang banyak ditemukan implisif lewat pengulangan motif.
Jadi tema adalah gagasan (makna) dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara berulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit.
b. Alur/Plot
Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang mengganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain. Tinjauan struktural terhadap teks fiksi pun sering lebih ditekankan pada pembicaraan plot walau mungkin mempergunakan istilah lain. Masalah linearitas struktur penyajian peristiwa dalam karya fiksi banyak dijadikan objek kajian.
Plot secara tradisional, orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalan cerita, sedangkan teori-teori yang berkembang lebih kemudian dikenal dengan istilah struktur naratif, susunan, dan juga sujet. Penyamaan begitu saja antara plot dan jalan cerita, bahkan mendefinisikan plot sebagai jalan cerita, sebenarnya kurang tepat. Plot memang mengandung unsur jalan cerita atau tepatnya: peristiwa demi peristiwa yang susul menyusul, namun lebih dari sekadar jalan cerita itu sendiri.
Staton (1965:14) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau meneyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Kenny (1966:14) mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan sebab akibat.
Abrams (1999:224) menyetujui adanya perbedaan antara cerita dan plot, mengemukakan bahwa plot adalah sebuah teks fiksi yang
merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu sebagaimana yang terlihat dalam pergurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek artistik dan emosional tertentu.
Plot sebuah cerita fiksi, sebagai mana dikatakan Forster (1970:94-95), memiliki sifat misterius dan intelektual. Plot menampilkan kejadian-kejadian yang mengandung konflik yang mampu menarik atau bahkan mengharukan dan mencekam pembaca.
Hal itu mendorong pembaca untuk mengetahui kejadian-kejadian berikutnya.
c. Tokoh dan penokohan
Sebuah cerita fiksi sering digunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Ada istilah pengertiannya menunjuk pada tokoh cerita dan pada teknik pengembangannya dalam sebuah cerita.
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: siapakah tokoh utama novel itu?
Atau ada berapa orang jumlah tokoh novel itu? dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan karakter, menunjuk pada sifat dan sikaf para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kausalitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak–watak tertentu dalam
sebuah cerita. Atau seperti yang dikatakan oleh Johanes (1968:33) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Abrams, Baldic (2001:37) menjelaskan bahwa tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama, sedangkan penokohan (characterization) adalah penghadiran tokoh dalam cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya.
Istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh”
dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisnya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan yang jelas kepada pembaca.
d. Sudut Pandang
Sudut pandang, point of view, merupakan salah satu unsur fiksi yang oleh Staton dogolongkan sebagai sarana cerita, literary device. Walau demikian, hal itu tidak bearti bahwa perannya dalam fiksi tidak penting. Sudut pandang haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. Reaksi afektif pembaca terhadap sebuah cerita fiksi pun dalam banyak hal akan di ganti oleh bentuk sudut pandang.
Baldic (2001:198), yaitu bahwa sudut pandang adalah posisi atau sudut mana yang menguntungkan untuk menyampaikan kepada pembaca terhadap peristiwa atau cerita yang diamati dan dikisahkan.
Both (Stevick,1967:89) mengemukakan bahwa sudut pandang merupakan teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya, untuk dapai sampai dan berhubungan dengan pembaca.
e. Latar/Setting
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1999:284).
Staton (1965) mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca sebuah cerita fiksi.
f. Amanat
Nurgiyantoro (Rokhmansyah, 2013:32) menyatakan bahwa amanat adalah pesan moral yang ingin disampaikan pengarang melalalui rentetan cerita yang disajikan dalam prosa.” Selanjutnya
“Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang disampaikan oleh penulis melalui novelnya” (Kurniasari,2012:161).
Amanat dapat pula diartikan sebagai pesan tertentu yang ingin disampaikan pengarang melalui suatu cerita. Berdasarkan beberapa
keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa amanat adalah pesan penting yang ingin disampaikan pengarang secara tersurat maupun secara tersirat.
D. Nilai Sosial dalam Karya Sastra