• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3. Tinjauan Studi Terdahulu

2.3.3. Studi Aspek Kebijakan

Studi tentang aspek kebijakan menyangkut tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap suatu komoditi dengan menggunakan matriks análisis kebijakan (PAM).

Dewanata (2011) melakukan penelitian tentang analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditi jeruk siam di Kabupaten Garut. Dalam hasil analisis tersebut, diketahui bahwa dampak kebijakan pemerintah terhadap pengusahaan jeruk siam secara keseluruhan menunjukkan proteksi pemerintah terhadap sistem produksi sangat rendah. Petani tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah sehingga harga jeruk siam yang berlaku di Kecamatan Semarang Rp 5 000, 00 per kilogram berada di bawah harga efesiennya yaitu Rp 5 380,36 per kilogram.

Sadikin (2001) melakukan kajian tentang analisis daya saing komoditi jagung dan dampak kebijakan pemerintah terhadap agribisnis jagung di NTB pasca krisis ekonomi. Dalam hasil analisisnya dengan menggunakan PAM menyimpulkan bahwa pengembangan usaha jagung di NTB secara finansial dan ekonomi efesien sebab sistem produksi jagung tersebut pada saat krisis berlangsung mempunyai keunggulan kompetitif dan komperatif lebih baik daripada sebelum terjadinya krisis. Hal ini disebabkan karena kebijakan

pemerintah memberikan subsidi input sebagai insentif bagi petani jagung di NTB sehingga menyebabkan biaya input yang dikeluarkan petani lebih rendah daripada harga sosial yang seharusnya.

Yao (1997) melakukan penelitian tentang dampak kebijakan pemerintah terhadap produksi padi Thailand yang mempunyai kompetisi dengan kedelai dan kacang hijau yang dilakukan di dua lokasi yang berbeda. Hasil penelitian menginformasikan bahwa kebijakan pemerintah Thailand adalah melindungi produsen padi melalui pemberian subsidi pada input tradable demikian pula dengan komoditi kedelai dan kacang hijau. Bahkan untuk produksi kedelai, pemerintah Thailand memberikan subsidi sebesar 21.6 persen.

Mohanty, Fang dan Caudhari (2003) tentang Daya Saing Kapas di India. Hasil penelitian tersebut adalah produksi kapas India tidak efesien tanpa intervensi pemerintah dan kemungkinan terjadi pergeseran tanaman kapas digantikan oleh tanaman tebu dan kacang tanah yang lebih menguntungkan, sehingga dianjurkan agar kebijakan India lebih menjaga ketersediaan kapas murah untuk sector hadloom dan tekstil.

Agatha dan Victor (2011) melakukan penelitian tentang Daya Saing Padi dan Jagung secara Ekologi di Nigeria dengan metode PAM. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa produksi padi dan jagung dengan sistem irigasi baik di dataran tinggi maupun rendah lebih menguntungkan dibanding sistem yang lain. Hal ini diperlihatkan dengan nilai PCR < 1. Sedangkan nilai NPCO kurang dari satu menunjukkan bahwa harga output padi dan jagung yang lebih rendah dari harga internasional. Kebijakan penurunan harga output padi dan jagung masing-masing sebesar 90 persen dan 93 persen di bawah harga internasional menunjukkan bahwa produksi padi dan jagung pada berbagai sistem tidak dilindungi oleh kebijakan pemerintah berupa pajak yang berlaku. Hal ini sejalan dengan Penelitian yang dilakukan oleh Ugochukwuy dan Ezedinma (2010) tentang Intensifikasi Padi di Nigeria Tenggara dengan pendekatan analisis kebijakan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sistem tanaman padi baik di dataran rendah maupun dataran tinggi menguntungkan secara finansial dan ekonomi dengan nilai PCR dan DRC kurang dari satu, sedangkan nilai EPC dan PC kurang dari satu menunjukkan bahwa petani di Nigeria Tenggara masih

133

memperoleh keuntungan dalam memproduksi padi meskipun tanpa subsidi dari pemerintah.

Penelitian yang dilakukan oleh Karbasi, Rastegaripour dan Amiri (2011) tentang Aplikasi PAM pada Air Minum Kemasan di Negara Iran. Hasil penelitian tersebut adalah sistem yang dilakukan oleh Baluchestan dalam memproduksi air minum kemasan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Kebijakan pemerintah Iran terhadap perusahaan air minum kemasan dapat dilihat dari nilai NPCO yang lebih kecil dari satu (NPCO < 1) yaitu sebesar 0.27. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Iran memberikan subsidi pada input yang digunakan sehingga harga input lebih rendah 27 persen dari harga dunia.

Novianti (2003) melakukan penelitian analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas unggulan sayuran. Hasil penelitian dengan menggunakan metode PAM, dimana kebijakan pemerintah dibidang perdagangan komoditas sayuran khususnya kentang dan kubis menyebabkan harga kedua komoditas tersebut lebih murah dibanding dengan harga sosial yang seharusnya diterima petani. Hal ini berkaitan dengan tiga faktor klasik yaitu (1) lembaga pemasaran output belum berfungsi efektif dan tidak transparan sehingga rantai pemasaran panjang dan biaya pemasaran tinggi, (2) posisi tawar petani lemah sehingga petani hanya penerima harga yang pasif serta hanya menerima keputusan harga dari pedagang, dan (3) mental usahatani masih bermental subsidi sehingga menjadi kendala untuk mandiri, maju dan bersaing dengan pasar global.

Penelitian tentang dampak kebijakan pemerintah pada komoditi perikanan dilakukan oleh Suprapto (2005), dimana hasil analisis yang dilakukan terhadap ekspor ikan hias DKI Jakarta di pasar internasional menghasilkan nilai Output Transfer (OT) negatif yang berarti bahwa penerimaan yang diterima pelaku usaha ikan hias (ikan betta) lebih kecil daripada penerimaan sesungguhnya tanpa kebijakan pemerintah. Hal ini ditunjukkan pula dengan nilai NPCO yang kurang dari satu yang berarti bahwa akibat kebijakan pemerintah, produsen menerima 99 persen dari penerimaan yang seharusnya diterima bila tidak ada kebijakan. Persentase transfer bersih dari penerimaan ekonomi sebelum adanya kebijakan dapat diketahui melalui nilai SRP. Pengusahaan ikan betta memiliki nilai SRP

negatif, yang berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan pelaku usaha ikan betta berkurang 0.16 dari penerimaan ekonominya. Dengan demikian, kebijakan pemerintah terhadap input output pada pengusahaan ikan betta menyebabkan keuntungan yang diterima pelaku usaha ikan betta lebih rendah daripada keuntungan yang sesungguhnya jika tidak ada kebijakan pemerintah.

133

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing

Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu yang baik dan biaya produksi yang cukup rendah sehingga pada harga-harga yang terjadi di pasar kegiatan produksi tersebut menguntungkan. Daya saing suatu komolditas akan tercermin pada harga jual yang murah di pasar dan mutu yang tinggi. Untuk analisis daya saing suatu komoditas biasanya ditinjau dari sisi penawaran karena struktur biaya produksi merupakan komponen utama yang akan menentukan harga jual komoditas tersebut (Salvatore, 1997).

Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditi adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efesiensi dalam pengusahaan komoditi tersebut. Keuntungan dilihat dari keuntungan privat dan keuntungan sosial, sedangkan efesiensi penguasaan komoditi dilihat berdasarkan indikator keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif.

Kajian mengenai daya saing berawal dari pemikiran Adam Smith mengenai konsep penting tentang “spesialisasi” dan “perdagangan bebas” yang dikenal dengan teori perdagangan klasik melalui teori keunggulan absolute (absolute advantage). Teori keunggulan absolut menyatakan bahwa setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak, serta mengimpor barang jika negara tersebut memiliki ketidakunggulan mutlak (Krugman dan Obstfeld, 2004).

Kelebihan dari teori keuntungan absolut yaitu terjadi perdagangan bebas antara dua negara yang saling memiliki keunggulan absolut yang berbeda dimana terjadi interaksi ekspor dan impor. Kelemahannya adalah apabila hanya satu negara yang memiliki keunggulan absolut maka perdagangan internasional tidak akan terjadi karena tidak ada keuntungan (Oktaviani dan Novianti, 2009).

Teori Adam Smith ini disempurnakan oleh David Ricardo pada tahun 1817 melalui bukunya yang berjudul “Principles of Political Economy and

Taxation” memperluas teori keunggulan absolut Adam Smith menjadi teori keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantagse) baik secara efesiensi tenaga kerja maupun produktivitas tenaga kerja (Salvatore, 1997).

3.1.1.1. Keunggulan Komparatif

Keunggulan komparatif (comparative advantage) mula-mula

dikemukakan oleh David Ricardo. Teori ini didasarkan pada nilai tenaga kerja yang menyatakan bahwa hanya satu faktor produksi yang penting yang menentukan nilai suatu komoditas yakni tenaga kerja. Ricardo membuktikan bahwa apabila ada dua negara yang saling berdagang dan masing-masing negara mengkonsentrasikan diri untuk mengekspor barang yang bagi negara tersebut memiliki keunggulan komparatif maka kedua negara tersebut akan beruntung (Halwani, 2002). Ternyata ide tersebut bukan saja bermanfaat dalam perdagangan internasional tapi juga sangat penting diperhatikan dalam ekonomi regional. Dalam perdagangan bebas antar daerah, mekanisme pasar mendorong masing-masing daerah bergerak kea rah sektor yang daerahnya memiliki keunggulan komparatif. Akan tetapi, mekanisme pasar seringkali bergerak lambat dalam mengubah struktur ekonomi suatu daerah. Sedangkan model Hechkscher-Ohlin (H-O) lebih menekankan pada keseimbangan perdagangan antar dua kutub ekonomi neoclassic. Ide dasar model H-O adalah wilayah yang mempunyai tenaga kerja melimpah, secara relatif akan memanfaatkan kemampuan dirinya untuk memproduksi barang dengan faktor produksi padat karya yang relatif lebih murah. Dengan demikian, wilayah tersebut akan mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi barang tersebut.

Daya saing suatu komoditi sangat tergantung oleh keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam produksi dan perdagangan. Ada pendapat dari beberapa kelompok teknorat mengenai keunggulan komparatif yaitu suatu wilayah dapat memiliki keunggulan komparatif jika memiliki kekayaan alam yang melimpah, tenaga kerja yang padat karya, dengan muatan teknologi yang rendah, sehingga faktor produksi menjadi murah dan merupakan andalan untuk berkompetisi dalam perdagangan maupun terhadap serbuan barang-barang sejenis dalam negeri untuk jangka pendek. Menurut Suprianti (1988), keunggulan

133

komparatif dapat dibagi menjadi dua, yaitu keunggulan komparatif natural (alami) dan keunggulan komparatif buatan (terapan). Sumber keunggulan komparatif alami ditunjukkan dengan kondisi iklim yang cocok, upah tenaga kerja yang murah dan ketersediaan sumberdaya alam. Sedangkan keunggulan komparatif terapan telah diaplikasikan dan telah disesuaikan dengan adanya faktor pendukung seperti faktor teknologi, permintaan skala ekonomi dan struktur pasar.

Menurut Darusman (1999), pada awalnya keunggulan komparatif digunakan untuk melihat tingkat efesiensi produksi dari dua jenis produk yang dihasilkan oleh suatu negara dimana biaya produksinya dinyatakan dalam penggunaan tenaga kerja. Sehingga dapat dikatakan bahwa keunggulan komparatif digunakan untuk mengkaji efesiensi relatif penggunaan tenaga kerja dalam memproduksi barang yang sama antar wilayah. Dalam perkembangan selanjutnya, keunggulan komparatif tidak hanya digunakan untuk mengkaji efesiensi tenaga kerja (sumberdaya manusia ) saja, tapi juga digunakan untuk sumberdaya lainnya. Bila suatu wilayah mempunyai kelebihan dalam permodalan maka dapat dikatakan bahwa wilayah tersebut mempunyai keunggulan komparatif di bidang faktor produksi modal. Demikian juga bila suatu wilayah mempunyai kelebihan dalam sumberdaya alam maka dapat dikatakan bahwa suatu wilayah tersebut mempunyai keunggulan komparatif dalam faktor produksi alam. Cara tersebut dikenal dengan melihat keunggulan komparatif dari sisi input. Disamping dari sisi input, cara melihat keunggulan komparatif juga dapat dilihat dari sisi output yaitu dari realisasi ekspornya. Dari semua faktor-faktor yang mempengaruhi keunggulan komparatif yaitu keadaan alam, kombinasi dari faktor produksi, pertimbangan lokasi, transportasi dan dukungan kelembagaan. Konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Oleh karena itu, konsep keunggulan komparatif tidak dapat dipakai untuk mengukur daya saing suatu kegiatan produksi pada kondisi perekonomian aktual. Namun asumsi perekonomian yang tidak mengalami ditorsi atau hambatan sama sekali sulit ditemukan pada dunia nyata, sehingga konsep keunggulan komparatif tidak dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur keuntungan suatu kegiatan ekonomi.

3.1.1.2. Keunggulan Kompetitif

Keunggulan kompetitif adalah keunggulan yang ditujukan oleh suatu negara atau daerah dalam daya saing produk yang dihasilkan dibandingkan dengan negara atau daerah lain. Sebagai contoh, jika suatu daerah mempunyai kelebihan dalam komoditi tertentu (mempunyai kelebihan komparatif) namun hal tersebut tidak terlihat dalam prestasi ekspornya maka dapat dikatakan komoditi yang dimiliki negara tersebut tidak mampu bersaing di pasaran dunia.

Konsep keunggulan kompetitif pertama kali dikembangkan oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan perdagangan internasional yang ada. Menurut Porter (1990), kekuatan kompetitif menentukan tingkat persaingan dalam suatu industri baik domestik maupun internasional yang menghasilkan barang dan jasa. Menurut Porter, bahwa keunggulan perdagangan antar negara dengan negara lain di dalam perdagangan internasional secara spesifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada, kenyataan yang ada adalah persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri yang ada dalam suatu negara. Oleh karena itu dapat dicapai dan dipertahankan dalam suatu sub sektor tertentu disuatu negara dengan meningkatkan produktivitas penggunaan sumberdaya yang ada. Porter (1990) menyatakan bahwa penentu daya saing adalah persaingan yang sehat antar industri, adanya deferensiasi produk dan kemampuan teknologi. Porter menyatakan bahwa istilah keunggulan kompetitif adalah bahasan dalam persepektif mikro (bisnis) sedangkan istilah keunggulan komparatif merupakan kajian dalam persepektif makro.

Halwani (2002) menyatakan bahwa keunggulan kompetitif suatu negara ditentukan oleh empat faktor yaitu keadaan faktor-faktor produksi, permintaan dan tuntutan kualitas, industri terkait dan pendukung yang kompetitif dan strategi, struktur dan sistem penguasaan antar perusahaan. Selain empat faktor penentu tersebut, keunggulan kompetitif juga ditentukan oleh faktor eksternal yaitu sistem pemerintahan dan terdapatnya kesempatan. Faktor-faktor ini secara bersama-sama akan membentuk sistem dalam peningkatan keunggulan kompetitif suatu negara. Suatu komoditas dapat memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sekaligus yang berarti komoditas tersebut menguntungkan untuk diproduksi dan diusahakan serta dapat bersaing di pasar internasional. Akan tetapi bila suatu

133

komoditas yang diproduksi suatu negara hanya mempunyai keunggulan komparatif namun tidak memiliki keunggulan kompetitif, maka di negara tersebut dapat disumsikan terjadi distorsi pasar atau terdapat hambata-hambatan yang mengganggu kegiatan produksi sehingga merugikan produsen seperti prosedur administrasi, perpajakan dan lain-lain. Oleh karena itu pemerintah perlu untuk mengadakan deregulasi yang dapat menghilangkan hambatan atau distorsi pasar tersebut.

Keunggulan kompetitif merupakan perluasan dari konsep keunggulan komparatif yang menggambarkan kondisi daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan suatu kegiatan dimana keuntungan privat diukur berdasarkan harga pasar dan nilai uang yang berlaku berdasarkan analisis finansial. Harga pasar adalah harga yang sebenarnya dibayar oleh produsen untuk membeli faktor produksi dan harga yang benar-benar diterima dari hasil penjualan output.

Dokumen terkait