• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN 3.1. Contoh Kasus

Dalam dokumen kel 1 rs akreditasi nasional (Halaman 46-51)

71% RS di Jatim Tak Terakreditasi

Jumat, 12/08/2011 | 10:28 WIB sumber : Surabaya post online

SURABAYA- Bertambahnya jumlah rumah sakit (RS) di Jatim ternyata masih saja tak diimbangi dengan peningkatan layanan kesehatan memadai. Indikasi ini setidaknya masih rendahnya jumlah RS yang mengantongi akreditasi dari Kementerian Kesehatan. Dari 309 RS di Jatim hanya sekitar 29% atau sekitar 90 RS yang sudah terakreditasi. Sisanya 71% atau sebanyak 219 tidak terakreditasi.

Kepala Dinas Kesehatan Jatim, Drs Mudjib Affan MARS mengatakan, akreditasi RS menjadi sesuatu hal yang penting lantaran menjadi jaminan bagi masyarakat mendapatkan kualitas layanan kesehatan. “Setiap rumah sakit harus terakreditasi, karena akreditasi merupakan salah satu standart kualitas dan pelayanan rumah sakit,” kata Affan, Kamis (11/8).

Lantaran itu, Dinkes Jatim menargetkan tahun 2012 nanti seluruh RS harus sudah mendapatkan akreditasi paling tidak secara nasional di Jatim yang berlaku untuk rumah sakit tipe A, B, C dan D.

Ia menyebutkan, dari 309 RS di Jatim rinciannya 206 RS swasta, 58 RS pemerintah, 12 RS BUMN atau BUMD dan 25 RS milik TNI dan polri. ”Jumlah tersebut telah memenuhi jumlah penduduk di Jatim,” paparnya.

Sebab dari 309 RS tersebut setidaknya ada lebih dari 4.000 tempat tidur.“Untuk jumlah rumah sakit memang sudah mencukupi. Namun, persebarannya belum merata,” katanya.

Ia mengungkapkan, RS tersebut sebagian ada di kota besar. Seperti Surabaya, Malang, Kediri, Jombang dan kota besar lainnya. Di kota tersebut semua tipe rumah sakit ada di kota besar. Sedangkan di daerah kebanyakan rumah sakit bertipe C dan D dengan jumlah yang cukup sedikit. Karena itu, ia mengimbau agar lembaga swasta yang ingin mendirikan rumah sakit di kota besar dan kota lain dibatasi. Dengan memberlakukan syarat yang lebih tinggi. Sebab, dengan penyebaran rumah sakit yang tidak merata tersebut

maka, akreditasi bisa menjadi jaminan mutu pelayanan bagi masyarakat. “Jadi, kalau bisa dengan adanya akreditasi rumah sakit maka pelayanan di RS daerah dan kota besar sama,” ungkapnya.

Dihubungi terpisah, Dr Slamet Riyadi Yuwono, DTMH, MARS, Ketua Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) Jatim membenarkan, kalau tidak semua rumah sakit di Jatim terakreditasi. “Jumlahnya memang relatif masih kecil,” paparnya.

Jumlah yang cukup kecil tersebut, lantaran dulunya akreditasi dilakukan sebagai imbauan saja. Namun, setelah muncul Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit maka akreditasi menjadi kewajiban bagi semua rumah sakit.

Tapi, lanjut dia, hal ini tidak hanya terjadi di Jatim saja. Sebab data Kementerian Kesehatan tahun 2010 mengungkapkan dari 1.523 rumah sakit di Indonesia dan baru 653 RS yang terakreditasi. Sedangkan saat ini jumlah rumah sakit sudah 1.668 unit. “Sebanyak 50 persen dari rumah sakit yang belum terakreditasi adalah rumah sakit pemerintah, dan 50 persen lainnya rumah sakit swasta,” terangnya.

Akreditasi rumah sakit, kata dia, diperlukan sebagai batas penilaian pelayanan yang diberikan rumah sakit. Rumah sakit yang terakreditasi berarti sudah memenuhi standar pelayanan yang ditentukan pemerintah. Akreditasi rumah sakit dibagi tiga, yaitu untuk lima pelayanan, 12 pelayanan dan 16 pelayanan. Saat ini mayoritas RS yang mendapatkan akreditasi, baru sampai tahap lima pelayanan “ Rumah sakit yang terakreditasi akan memberikan keuntungan pada masyarakat berupa kepastian hukum serta standart pelayanan medis. Seperti jaminan pelayanan dan Standart Operation Procedure (SOP). Di Jatim langkah langkah yang rumah sakit akreditasi yang belum,”terangnya.

Ia mengatakan, terdapat beberapa kendala yang menyebabkan rumah sakit tidak mendapatkan akreditasi, di antaranya mutu pelayanan yang memang tidak memenuhi syarat atau kurang tenaga kerja. “Selain akreditasi lokal, pemerintah juga mendorong agar seluruh rumah sakit memiliki akreditasi internasional. Hingga saat ini, hanya empat rumah sakit di Indonesia yang memiliki mutu dunia, antara lain, RS Siloam, RS Sentosa dan RS Eka,” katanya.

3.2. Analisis dan Solusi Masalah

Berdasarkan studi kasus tersebut alasan dari masih banyaknya rumah sakit yang belum mendapatkan akreditasi adalah pelaksanaan akreditasi sebelumnya hanya berupa imbauan, sehingga hanya sedikit yang berinisiatif untuk mengajukan akreditasi. Ketika UU no 44 tahun 2009 tentang diterapkan, terlihatlah bahwa masih banyak RS yang belum melakukan akreditasi. Permasalahan lain yang menjadi kendala pelaksanaan akreditasi adalah banyak RS yang belum memiliki tenaga kerja yang memadai, seperti belum adanya tenaga dokter dan tenaga medis tetap. Selain itu mutu pelayanan di banyak RS juga tidak memenuhi mutu pelayanan yang disyaratkan. Sehingga banyak RS masih sulit untuk mendapatkan sertifikat akreditasi.

Pelaksanaan akreditasi RS sangat penting, karena akan memberi jaminan kualitas pelayanan bagi masyarakat. Akreditasi akan memberikan standard bagi RS secara nasional, sehingga memungkinkan penyetaraan kualitas RS di daerah dan kota. Pemberian akreditasi memungkinkan RS berkompetisi secara sehat, dalam meningkatkan pelayanan dan mutu rumah sakit itu sendiri. Sehingga bagi masyarakatnya pun bisa memudahkan mereka dalam mendapatkan akses rujukan dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu sesuai dengan tujuannya yaitu menciptakan masyarakat Indonesia yang sehat.

Akreditasi memberikan jaminan bagi masyarakat tentang mutu pelayanan dari rumah sakit. Sementara itu, jika sebuah rumah sakit tidak melakukan akreditasi maka izin operasionalnya akan dicabut. Per- 1 november 2011 akan dimulai akreditasi. Sesuai dengan peraturan yang mengatur tentang akreditasi itu berlaku setelah dua tahun masa sosialisasi. Maka setelah tanggal itu sanksi pencabutan izin operasional bagi rumah sakit yang belum terakreditasi benar-benar di berlakukan.

Salah satu solusi dari permasalahan diatas adalah dengan pemenuhan sumber daya yang lebih baik. Setiap rumah sakit hendaknya memiliki tenaga dokter dan tenaga medis yang mencukupi, sehingga pelayanan yang ditawarkan akan lebih bermutu kepada masyarakat. Bukan hanya dari segi kuantitas tenaga dokter dan medis, namun kualitas dari skill mereka pun

harus ditingkatkan. Selain itu juga pemenuhan fasilitas dan peralatan kesehatan yang diperlukan masyarakat yang berada dalam jangkauan rumah sakit juga dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

Dalam upaya pemenuhan akreditasi, rumah sakit sudah seharusnya memberi perhatian yang lebih. Pihak rumah sakit harus mempersiapkan semua hal mulai dari fisik bangunan, pelayanan kesehatan, perlengkapan, obat-obatan, ketenagaan dan administrasi sebelum pelaksanaan akreditasi. Sehingga target pemenuhan akreditasi dapat terpenuhi, dan pelayanan rumah sakit pun dapat meningkat sesuai dengan harapan masyarakat.

KESIMPULAN

Akreditasi rumah sakit adalah pengakuan terhadap rumah sakit yang diberikan oleh lembaga independen yang ditetapkan oleh Menteri, setelah dinilai bahwa rumah sakit itu memenuhi standar pelayanan rumah sakit yang berlaku. Tujuan utama akreditasi rumah sakit adalah agar kualitas pelayanan yang diberikan terintegrasi dan menjadi budaya sistem pelayanan di rumah sakit sehingga memberikan jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

Akreditasi dilakukan sekurang-kurangnya setiap tiga tahun sekali dan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Survei akreditasi ini dilakukan oleh badan yang terlegitimasi dan di Indonesia adalah komite akreditasi rumah sakit dan sarana kesehatan lainnya (KARS). Sedangkan sertifikasi diberikan oleh dirjen pelayanan medis depkes RI berdasarkan rekomendasi KARS.

Dinas kesehatan hendaknya melakukan koordinasi dan pembinaan ke rumah sakit, baik negeri maupun swasta agar melaksanakan akreditasi. Karena sesuai dengan UU No 44 tahun 2009 menyebutkan bahwa RS yang tidak melaksanakan standarisari akreditasi terancam dicabut izin operasionalnya.

DAFTAR PUSTAKA

Dalam dokumen kel 1 rs akreditasi nasional (Halaman 46-51)

Dokumen terkait